Share

3. Jahitan Terlepas

Tiba-tiba saja perutku mulas kembali saat hendak membuka kemasan bakso. Akhirnya, tamu tak diundang itu datang lagi. Terpaksa, kuseret kakiku ke kamar mandi dengan malas. Kututup kegiatan di kamar mandi, sekalian membersihkan diri. Mumpung dua makhluk kecilku tertidur pulas.

Selesai berganti baju, kulihat tumpukan popok di atas ember. Ya, ampun. Ternyata, pekerjaanku sungguh masih banyak. Sementara, kinerjaku saat ini benar-benar lelet. Kukira, semua ibu duamelahirkan akan merasakan hal sama denganku. Terlebih, hanya baru tiga hari proses lahiran itu.

Nanti, akan kuminta Mas Haidar membelikan mesin cuci agar aku tak kesulitan. Saat ini, biarlah kukerjakan cucian dengan manual. Terpaksa, saat tubuhku audah bersih dan wangi, kucuci popok, bedongan dan baju si kembar, lalu dijemur di halaman belakang.

Tiba saatnya, aku akan menikmati camilanku. Begitu bersemangat saat aku melangkahkan kaki kembali ke dalam rumah. Duduk terlentang di ruang tamu, aku memindahkan seluruh makanan ke dalam mangkuk yang kubawa dari dapur.

Meskipun makanannya sudah tak hangat lagi, tapi gak apa-apa. Aku masih bisa menikmatinya tanpa terganggu. Semua makanan telah kutuangkan. Ku ambil sendok, dan...

"Eeaaa.. Eaaa..."

Baru saja mau bersuap, salah satu bayiku menangis kencang. Saat seperti ini, ingin rasanya aku berlari dan kabur dari hadapan mereka. Aku benar-benar kehilangan waktu untuk diriku sendiri.

Bersamaan dengan itu, ponselku berdering. Aduh, tambah panas saja kupingku. Sempoyongan, bergegas menuju kamar untuk menggendong Haura yang semakin mengencangkan jeritannya. Saat tubuh kecil itu sudah berhasil dipangku, ada yang baru kusadari. Tanganku basah dan lengket.

Semerbak aroma khas kotoran bayi meniup hidungku.

"Ya, ampun. Haura! Kalian ini bener-bener gak bisa lihat Bunda senang dikit, ya!"

Entah kenapa, tiba-tiba emosiku membuncah pada anakku yang tak berdosa. Sembari terus menggendong Haura agar diam, kumasak air untuk mereka mandi. Sekalian saja mereka dibersihkan agar tak bekerja dua kali.

"Udah, dong Haura. Diem, Bunda lagi panasin air buat kamu mandi!"

Aku terus menegur Haura, seolah-olah dia mengerti dengan apa yang kukatakan. Nyatanya, Haura sama sekali tak menghentikan tangis. Saat hendak mengambil baju baru di lemari plastik, Hanum pun ikut terbangun karena bisingnya suara Haura.

Kini, kedua bayiku menangis secara bersamaan. Ini bukan pertama kali. Dan saat seperti ini seringkali kusesali. Andai bisa, aku ingin lenyap saja sekarang juga. Andai boleh, aku ingin waktu bisa diputar kembali. Entah kenapa, ingin sekali berteriak pada Mas Haidar karena ia sama sekali tak pernah membantuku. Menyentuh piring kotor pun, sepertinya haram baginya sehingga kukerjakan semua pekerjaan rumah sendiri. Apalagi ikut mengasuh dan meredakan tangis si kembar.

Mas Haidar hanya mengajak main sesekali atau sekadar mengapa kedua bayiku. Tak lebih dari itu. Sisanya, hampir dua puluh empat jam, kukorbankan seluruh waktuku untuk mereka.

Tiba-tiba, air yang sedari tadi menggenang di kedua pelupuk mataku membuncah jua. Aku tak dapat menahan penderitaan ini. Menderita? Iya, aku merasa sangat menderita.

Wahai semesta, telanlah aku..

Kutimbang dua-duanya secara bersamaan. Karena tanganku ada dua, akhirnya aku tak bisa melakukan aktivitas lain selain menggendong mereka.

Bagaikan pinang dibelah dua. Saudara kembar itu kalau yang satu sakit, satunya ikut sakit. Satu pup, satunya ikut pup. Aku mulai pusing dengan kondisi seperti ini. Terus kugoyang mereka ke kanan dan ke kiri sampai lelah sendiri.

Tangisan mereka bergantian dengan isakan yang keluar dari mulutku. Menggema di rumah yang belum lunas cicilannya.

Saat tangisan mereka mulai mereda, kuhempaskan badan di atas kursi empuk depan lemari. Walau bekas jahitan di bagian tubuh sensitifku masih sangat perih, kupaksakan untuk duduk normal seperti tiada luka. Tubuhku seperti baru tertindih ribuan besi. Mataku mulai menggelayutkan kantung mata. Aku kehabisan tenaga. Napasku terengah-engah, seperti sudah lomba lari dan jadi pemenangnya.

Kutempelkan punggung menuju sandaran kursi. Bernapas sejenak dari keruwetan meredakan dua makhluk mungil yang masih berada dalam pangkuanku. Aroma khas dari bokong mereka menusuk ke lubang hidung. Namun, kelelahan dan rasa kantukku tak bisa dihindari. Tanpa terasa, mataku mulai terlipat. Kehilangan sadar, lalu tertidur. Lupa bahwa api di atas kompor terus berkobar memanasi panci yang kini terisi air.

*****

Hidungku mengendus bau asap dari benda yang terbakar. Perlahan, mataku terbuka. Lama-lama, kepulan asap membumbung di area dapur. Menembus tirai kerang yang menjadi sekat antara dapur dan ruang tengah.

Spontan, tubuhku bangkit. Lupa bahwa aku masih sangat lemah, kuayunkan kaki dengan cepat menuju kamar. Meletakan Haura dan Hanum yang masih tertidur ke atas kasur. Dengan panik, kuseret kakiku menuju dapur yang mengabu. Tampak di sana, api berkobar di atas lap yang tersimpan di pinggir kompor.

Aku menepuk jidat. Salahku juga! Tadi, menyimpan lap itu sangat dekat dengan sumber api. Kepulan asap mulai menyusup ke paru-paru. Terbatuk-batuk, aku berusaha mengambil satu ember air penuh dari dalam kamar mandi yang berdampingan dengan dapur. Kupadamkan api yang masih menyala di atas kompor. Air dalam panci tersebut telah menyusut setengahnya.

Beberapa ember berhasil kuangkat guna menyiram benda yang terbungkus api itu. Untung saja belum merambat ke tempat lain. Beberapa menit kusiram, akhirnya api itu berhasil padam. Embusan asap masih tersisa di udara dan aku menghela napas lega.

Tubuhku semakin sakit. Terlebih, jahitan di bagian sensitifku terasa sangat perih. Seperti luka yang tengah disirami air garam, sepertinya jahitannya sobek. Saat kupandangi tubuh ke bawah, kuangkat rok daster setinggi lutut. Ada yang merayap di betisku. Cairan berwarna merah segar itu mengalir pelan ke bawah.

Tubuh ini rubuh seketika. Dengan posisi duduk terlentang dan pundak bersandar di tembok dapur, aku mengaduh kesakitan. Air mata mewujudkan sakit yang saat ini menyergap tubuhku. Bersamaan dengan semburan air dari mataku, jeritan dari bibirku tak bisa ditahan.

Kuremas daster yang kini dipakai. Aku harus bagaimana? Sementara, rasa sakit di bagian sensitifku tak mereda juga. Semakin lama, semakin perih rasanya. Seperti ada belati yang mengiris luka yang masih basah. Aku menangis sekencang-kencangnya.

Aku memukul dinding tembok berulang. Kali saja, dengan sakitnya jemariku yang beradu dengan tembok, sakit di tubuhku berkurang. Namun, tetap saja. Perihnya tak berubah.

Sekuat tenaga, kuangkat kembali tubuh ini untuk menghubungi Mas Haidar. Diiringi kepedihan, aku merayap gontai menuju kamar. Mengambil gawai yang tergeletak di sebelah Hanum yang tertidur. Isak tangisku masih menggema. Aku tak bisa berhenti.

Kucari kontak Mas Haidar, segera menghubunginya. Tak berselang lama, telepon langsung tersambung. Tanpa menyapa dan berucap salam, aku langsung melapor apa yang terjadi.

"Mas, sakit, Mas. Tolong ak-ak-aku," lirih, aku berbicara pada seseorang di seberang sana.

"Kenapa, Zara?" Suara Mas Haidar terdengar panik. Dapat kutangkap suara beberapa orang yang sedang berbicara di sisinya.

"Mas, sakit. Tolong aku, pulang sekarang!" Aku masih terisak, sembari memaksa Mas Haidar untuk pulang sekarang juga.

"Zara? Kamu kenapa?" Berulang kali pertanyaan itu terlontar, aku tak bisa menjawabnya.

Detik berikutnya, gawaiku terjatuh bersamaan dengan tulang yang kehilangan kekuatan untuk menopang tubuh. Tiba-tiba saja, semuanya gelap seketika.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status