Tiba-tiba saja perutku mulas kembali saat hendak membuka kemasan bakso. Akhirnya, tamu tak diundang itu datang lagi. Terpaksa, kuseret kakiku ke kamar mandi dengan malas. Kututup kegiatan di kamar mandi, sekalian membersihkan diri. Mumpung dua makhluk kecilku tertidur pulas.
Selesai berganti baju, kulihat tumpukan popok di atas ember. Ya, ampun. Ternyata, pekerjaanku sungguh masih banyak. Sementara, kinerjaku saat ini benar-benar lelet. Kukira, semua ibu duamelahirkan akan merasakan hal sama denganku. Terlebih, hanya baru tiga hari proses lahiran itu.Nanti, akan kuminta Mas Haidar membelikan mesin cuci agar aku tak kesulitan. Saat ini, biarlah kukerjakan cucian dengan manual. Terpaksa, saat tubuhku audah bersih dan wangi, kucuci popok, bedongan dan baju si kembar, lalu dijemur di halaman belakang.Tiba saatnya, aku akan menikmati camilanku. Begitu bersemangat saat aku melangkahkan kaki kembali ke dalam rumah. Duduk terlentang di ruang tamu, aku memindahkan seluruh makanan ke dalam mangkuk yang kubawa dari dapur.Meskipun makanannya sudah tak hangat lagi, tapi gak apa-apa. Aku masih bisa menikmatinya tanpa terganggu. Semua makanan telah kutuangkan. Ku ambil sendok, dan..."Eeaaa.. Eaaa..."Baru saja mau bersuap, salah satu bayiku menangis kencang. Saat seperti ini, ingin rasanya aku berlari dan kabur dari hadapan mereka. Aku benar-benar kehilangan waktu untuk diriku sendiri.Bersamaan dengan itu, ponselku berdering. Aduh, tambah panas saja kupingku. Sempoyongan, bergegas menuju kamar untuk menggendong Haura yang semakin mengencangkan jeritannya. Saat tubuh kecil itu sudah berhasil dipangku, ada yang baru kusadari. Tanganku basah dan lengket.Semerbak aroma khas kotoran bayi meniup hidungku."Ya, ampun. Haura! Kalian ini bener-bener gak bisa lihat Bunda senang dikit, ya!"Entah kenapa, tiba-tiba emosiku membuncah pada anakku yang tak berdosa. Sembari terus menggendong Haura agar diam, kumasak air untuk mereka mandi. Sekalian saja mereka dibersihkan agar tak bekerja dua kali."Udah, dong Haura. Diem, Bunda lagi panasin air buat kamu mandi!"Aku terus menegur Haura, seolah-olah dia mengerti dengan apa yang kukatakan. Nyatanya, Haura sama sekali tak menghentikan tangis. Saat hendak mengambil baju baru di lemari plastik, Hanum pun ikut terbangun karena bisingnya suara Haura.Kini, kedua bayiku menangis secara bersamaan. Ini bukan pertama kali. Dan saat seperti ini seringkali kusesali. Andai bisa, aku ingin lenyap saja sekarang juga. Andai boleh, aku ingin waktu bisa diputar kembali. Entah kenapa, ingin sekali berteriak pada Mas Haidar karena ia sama sekali tak pernah membantuku. Menyentuh piring kotor pun, sepertinya haram baginya sehingga kukerjakan semua pekerjaan rumah sendiri. Apalagi ikut mengasuh dan meredakan tangis si kembar.Mas Haidar hanya mengajak main sesekali atau sekadar mengapa kedua bayiku. Tak lebih dari itu. Sisanya, hampir dua puluh empat jam, kukorbankan seluruh waktuku untuk mereka.Tiba-tiba, air yang sedari tadi menggenang di kedua pelupuk mataku membuncah jua. Aku tak dapat menahan penderitaan ini. Menderita? Iya, aku merasa sangat menderita.Wahai semesta, telanlah aku..Kutimbang dua-duanya secara bersamaan. Karena tanganku ada dua, akhirnya aku tak bisa melakukan aktivitas lain selain menggendong mereka.Bagaikan pinang dibelah dua. Saudara kembar itu kalau yang satu sakit, satunya ikut sakit. Satu pup, satunya ikut pup. Aku mulai pusing dengan kondisi seperti ini. Terus kugoyang mereka ke kanan dan ke kiri sampai lelah sendiri.Tangisan mereka bergantian dengan isakan yang keluar dari mulutku. Menggema di rumah yang belum lunas cicilannya.Saat tangisan mereka mulai mereda, kuhempaskan badan di atas kursi empuk depan lemari. Walau bekas jahitan di bagian tubuh sensitifku masih sangat perih, kupaksakan untuk duduk normal seperti tiada luka. Tubuhku seperti baru tertindih ribuan besi. Mataku mulai menggelayutkan kantung mata. Aku kehabisan tenaga. Napasku terengah-engah, seperti sudah lomba lari dan jadi pemenangnya.Kutempelkan punggung menuju sandaran kursi. Bernapas sejenak dari keruwetan meredakan dua makhluk mungil yang masih berada dalam pangkuanku. Aroma khas dari bokong mereka menusuk ke lubang hidung. Namun, kelelahan dan rasa kantukku tak bisa dihindari. Tanpa terasa, mataku mulai terlipat. Kehilangan sadar, lalu tertidur. Lupa bahwa api di atas kompor terus berkobar memanasi panci yang kini terisi air.*****Hidungku mengendus bau asap dari benda yang terbakar. Perlahan, mataku terbuka. Lama-lama, kepulan asap membumbung di area dapur. Menembus tirai kerang yang menjadi sekat antara dapur dan ruang tengah.Spontan, tubuhku bangkit. Lupa bahwa aku masih sangat lemah, kuayunkan kaki dengan cepat menuju kamar. Meletakan Haura dan Hanum yang masih tertidur ke atas kasur. Dengan panik, kuseret kakiku menuju dapur yang mengabu. Tampak di sana, api berkobar di atas lap yang tersimpan di pinggir kompor.Aku menepuk jidat. Salahku juga! Tadi, menyimpan lap itu sangat dekat dengan sumber api. Kepulan asap mulai menyusup ke paru-paru. Terbatuk-batuk, aku berusaha mengambil satu ember air penuh dari dalam kamar mandi yang berdampingan dengan dapur. Kupadamkan api yang masih menyala di atas kompor. Air dalam panci tersebut telah menyusut setengahnya.Beberapa ember berhasil kuangkat guna menyiram benda yang terbungkus api itu. Untung saja belum merambat ke tempat lain. Beberapa menit kusiram, akhirnya api itu berhasil padam. Embusan asap masih tersisa di udara dan aku menghela napas lega.Tubuhku semakin sakit. Terlebih, jahitan di bagian sensitifku terasa sangat perih. Seperti luka yang tengah disirami air garam, sepertinya jahitannya sobek. Saat kupandangi tubuh ke bawah, kuangkat rok daster setinggi lutut. Ada yang merayap di betisku. Cairan berwarna merah segar itu mengalir pelan ke bawah.Tubuh ini rubuh seketika. Dengan posisi duduk terlentang dan pundak bersandar di tembok dapur, aku mengaduh kesakitan. Air mata mewujudkan sakit yang saat ini menyergap tubuhku. Bersamaan dengan semburan air dari mataku, jeritan dari bibirku tak bisa ditahan.Kuremas daster yang kini dipakai. Aku harus bagaimana? Sementara, rasa sakit di bagian sensitifku tak mereda juga. Semakin lama, semakin perih rasanya. Seperti ada belati yang mengiris luka yang masih basah. Aku menangis sekencang-kencangnya.Aku memukul dinding tembok berulang. Kali saja, dengan sakitnya jemariku yang beradu dengan tembok, sakit di tubuhku berkurang. Namun, tetap saja. Perihnya tak berubah.Sekuat tenaga, kuangkat kembali tubuh ini untuk menghubungi Mas Haidar. Diiringi kepedihan, aku merayap gontai menuju kamar. Mengambil gawai yang tergeletak di sebelah Hanum yang tertidur. Isak tangisku masih menggema. Aku tak bisa berhenti.Kucari kontak Mas Haidar, segera menghubunginya. Tak berselang lama, telepon langsung tersambung. Tanpa menyapa dan berucap salam, aku langsung melapor apa yang terjadi."Mas, sakit, Mas. Tolong ak-ak-aku," lirih, aku berbicara pada seseorang di seberang sana."Kenapa, Zara?" Suara Mas Haidar terdengar panik. Dapat kutangkap suara beberapa orang yang sedang berbicara di sisinya."Mas, sakit. Tolong aku, pulang sekarang!" Aku masih terisak, sembari memaksa Mas Haidar untuk pulang sekarang juga."Zara? Kamu kenapa?" Berulang kali pertanyaan itu terlontar, aku tak bisa menjawabnya.Detik berikutnya, gawaiku terjatuh bersamaan dengan tulang yang kehilangan kekuatan untuk menopang tubuh. Tiba-tiba saja, semuanya gelap seketika.Bersambung...Samar terdengar suara langkah kaki bersahutan dengan langkah tergesa. Entah ini mimpi atau bukan, untuk membuka mata rasanya berat sekali. Saat sebuah jarum menusuk lenganku, akhirnya aku tersadar. Kuedarkan pandang menuju sekeliling.Dimana aku? Perlahan, kuingat kembali apa yang terjadi beberapa saat lalu. Kompor yang menyala. Api yang membara. Menciptakan kepulan asap mengudara di dapur. Lalu, Haura dan Hanum yang kuletakkan di atas kasur. Dimana mereka? Seorang bidan dan dua asistennya tengah sibuk menempelkan alat-alat ke tubuhku. Saat ingatanku telah pulih, refleks tubuhku berusaha untuk terangkat. Namun, sayangnya, rasa sakit di bekas jahitan itu merambat. Kepalaku seperti ditimpa batu besar dan dijatuhkan berkali-kali."Mbak Zara, tenang, ya. Kami akan obati luka jahitan bekas lahiran kemarin dengan mengulang proses menjahitnya. Sobeknya lumayan besar." Bu bidan mencoba menahanku yabg terus memaksa bangkit dari ranjang periksa.Setelah kurasakan sa
"Aku menyesal menjadi ibu, Mas."Pernyataanku membuat kepala Mas Haidar bertanduk. Raut tak suka ia tunjukkan saat aku mengeluh."Istighfar, Zara. Kalimat yang baru saja kamu ucapkan adalah kalimat yang banyak orang lain sesalkan. Ada banyak perempuan yang tak bisa melahirkan bayi dari rahimnya sendiri. Banyak sekali yang menginginkan sepertimu. Seharusnya, kamu lebih bersabar dan mempertebal iman. Bukan bicara ngawur seperti ini."Kupandangi langit lewat kaca jendela mobil. Begitulah. Kalau ada sesuatu yang kukeluhkan, Mas Haidar selalu cepat menyalahkanku. Tak pernah sekalipun ia menghibur hati. Di matanya, aku adalah perempuan berhati sempit dan tidak pandai bersyukur.Sementara, ia ingin aku menjadi wanita sempurna. Perempuan yang ikhlas menerima apapun, perempuan tanpa amarah layaknya peran protagonis di sinetron layar kaca. Tak melawan, tak bertindak. Hanya menangis dalam doa.Bukan, aku bukan wanita seperti itu. Layaknya manusia ya
Kedua bayi kecilku tengah bermain saat azan maghrib berkumandang. Aku sengaja memanfaatkan waktu senggang untuk menghabiskan makanan tadi pagi yang kupesan. Siomay tahu ikan tenggiri yang sudah dingin dan sepotong bakso sisa pagi masih tersisa.Awet sekali bila menghabiskan makanan akhir-akhir ini. Lumayan juga, mengirit uang jajanku. Tak lupa, sayur bening daun katuk buatan ibu mertua kuhabiskan sampai tak bersisa. Sepiring nasi yang kupesan dari warteg tersaji bercampur sayur. Syukurku terpanjat kala bisa makan enak tanpa tergesa. Hal ini menjadi momen yang sangat sulit kucari setelah melahirkan. Setelah seluruh piring, mangkuk dan gelas kosong, aku menepikan semuanya ke sudut kamar. Biar saja kubersihkan besok.Dering gawaiku berbunyi, aku segera mengangkatnya. Salam terucap dari lisan Mas Haidar yang berbicara lewat sambungan telepon. Lekas, kujawab salam dengan berbisik agar tak menganggu tidur Haura dan Hanum."Zara, malam ini temen-temen k
"Maafkan Bunda, ya, Sayang. Bunda harusnya ikut temani kalian ke sana," lirih ucapanku berbisik di kedua telinga Haura dan Hanum yang berada dalam dekapan.Kedua bayiku masih tampak anteng dan bermain. Sesekali mereka memberikan upah pada kelelahanku. Segaris senyum di bibir mereka yang menenangkan. Segera kuganti pakaian bawah Haura saat menyadari lenganku basah. Hanum diletakkan di sebelahnya.Saat mereka asyik bermain seperti ini, aku merasa menjadi manusia normal. Layaknya seorang ibu yang melimpahkan cinta untuk anaknya. Kuasuh dan belai penuh cinta. Teringat kejadian tadi pagi, saat kumarahi mereka karena terus menangis tanpa henti. Menambah lelah dan pikiran sehingga penuh beban.Sesal di hati terbit. Harusnya, aku lebih sabar. Tak murka hilang kendali. Terlebih, sempat enggan me nyu sui dan mencubit makhluk tak berdosa itu."Maafkan, Bunda, ya, Haura dan Hanum. Bunda tahu, Bunda bukan orang tua yang baik. Tapi, Bunda akan berusaha lebih ba
Lebih dari setengah jam mereka menempel di tubuhku, rasanya kelopak mataku mulai berat. Dapat kurasakan mereka masih menyedot ASI yang keluar begitu deras. Berbeda dengan kemarin, seret dan sulit sekali keluar. Malam ini, bagai hujan yang menghujam tanah hingga banjir, kedua anakku akan tidur kekenyangan.Membayangkan mereka akan tidur lelap setelah ini dan aku akan melakukan hal sama. Aku menguap lebar, tanpa bisa kututup dengan telapak tangan. Kulirik jam yang menggantung di dinding.Pukul sebelas.Akhirnya, sesuai harapan, kedua anakku tidur lelap dan melepaskan lekatan bibir mereka dari tubuhku. Kuletakkan satu-persatu perlahan. Menahan luka jahitan yang akan terasa perih jika bergerak agak jongkok, saat meletakkan bayi.Kurentangkan kaki sembari meregangkan seluruh otot yang mengeras. Pegal sekali! Andai saja punya robot pemijit tubuh, aku akan menjadi orang pertama yang membeli.Saat kelopak mata mulai menutup dan kesadaran hendak b
Penawaran Mas Haidar seperti basa-basi saja. Saat ia bertanya butuh bantuan atau tidak, tubuhnya mematung di ambang pintu. Sedikitpun tak mendekat.Menahan sesuatu yang tercekat di tenggorokan, sekuat mungkin aku berusaha menjawab. "Gak perlu. Bola lebih penting daripada Haura dan Hanum," sahutku ketus.Mas Haidar mengangkat sebelah alisnya. Memandangku bingung."Kenapa jawabnya gitu, Zara? Apa aku gak boleh menghibur diri dari jenuhnya pekerjaan?"Kali ini, Mas Haidar malah berbalik menyerang. Andai dia tahu, setelah Hanum dan Haura lahir, tak ada waktu untukku mengusir jenuh. Berbeda dengan Mas Haidar yang masih bebas dengan aktivitas menyenangkan diri sendiri. Bergaul dengan kawan-kawan tanpa peduli bagaimana keadaan rumah, istri dan anaknya.Mas Haidar tak pernah kehilangan dunianya. Berbeda jauh dengan kehidupanku yang berubah seratus delapan puluh derajat."Silakan aja kalau mau pergi. Aku sudah biasa ditinggal." Berpura-pu
Perih di bekas luka jahit tiba-tiba menggerogoti kulit. Semakin pecah tangisanku, luka itu semakin menggigit. "Aaarrrghhhh!"Badanku luruh di lantai saat itu juga. Punggungku yang lemas bersandar pada pintu. Berkali, kuketuk keras pintu oleh kepala bagian belakang. Biar saja mati saat ini juga, ketimbang harus mereguk sendiri derita.Semakin kencang gamparan kepalaku di pintu. Tiba-tiba kepalaku mulai berputar. Ya Allah.. apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus membunuh kedua bayiku untuk mengakhiri derita ini?Ayah, Ibu. Cepatlah datang ke sini. Aku butuh kalian. Aku membatin dalam isakan yang terus berkumandang. Haura dan Hanum tak jua berhenti menangis.Habis tenaga, rasanya aku pasrah. Kuletakkan Haura dan Hanum di lantai. Tak peduli dingin dan angin yang menyelinap dari celah pintu. Mereka terus meraung entah mau apa.Kupejamkan mata. Merenungi kehidupan yang terasa menyiksa. Salah apa aku, Tuhan? Sehingga Engkau menghuku
Setelah begadang semalaman, kelopak mataku sudah tak bisa ditahan lagi. Fajar mulai terbit dari ufuk timur. Jam-jam dimana kedua bayiku tidur nyenyak setelah terjaga hingga dinihari.Mengurus dua bayi sendirian seringkali membuatku lupa melakukan hal-hal penting lain di rumah. Seperti yang terjadi kemarin, saat Ibu menyuruhku untuk makan. Tak sempat menanak nasi ataupun mengolah makanan. Kalaupun ingat, rasanya tubuhku tak akan kuat.Empat hari terakhir, kuisi perut dengan memesan makanan online. Walaupun tak masalah bagi Mas Haidar, tetap saja mulut Ibu tak diam. Beberapa kali dia menasihatiku, jangan jadi perempuan malas dan manja. Menjadikan alasan melahirkan sebagai senjata agar semuanya serba instan. Padahal, kondisi Ibu dulu saat melahirkan, tentu berbeda dengan apa yang kualami sekarang.Saat kubaringkan tubuh di atas kasur, layar gawaiku bergetar. Sebuah pesan masuk, dari Ibu.[Zara, hari ini Ibu gak bisa main sama cucu-cucu Ibu. Ada bupat