Sayang sekali, padahal aku baru saja mulai nyaman bergabung dengan keluarganya.
Tidak ada jarak di antara kami, karena semuanya sangat baik. Termasuk Pak Irfan, suami Mbak Kanaya. Kalau suami Mbak Fira dan Mbak Nala, mereka tidak ada di sini karena masih bekerja."Mami masih tinggal di sini beberapa hari lagi ya, Ken," kata Bu Arini saat Mas Kenzi pamit pulang."Jangan lama-lama ya, Mi!" rengeknya manja. Persis seperti anak kecil.Ya ampun, sejak hari pertama bekerja, aku baru lihat dia bisa manja begitu!"Sudah besar Ken, kamu yang seharusnya mengurus Mami. Nggak malu sama Disty?"Aku tersenyum. Lucu juga. Mas Kenzi itu seperti sedang mencari perhatian dari ibu dan ketiga kakaknya."Jangan lupa ingatkan dia ya Dis, Mami khawatir dia lupa makan."Duh, jangan sampai Mas Kenzi cerita masalah kemarin. Bisa malu aku sama Bu Arini. Mataku mengerjap, bersiap menunggu kalimat selanjutnya yang keluar dari Mas Kenzi."Tenang Mi, jangan selalu menganggap Kenzi seperti anak kecil begitu.""Kamu tetap anak kecil di mata kami, Kenzi," tepis Bu Arini.Fiuh, syukurlah ... ternyata Mas Kenzi tidak mengadu sama Bu Arini. Mendengar Ibu dari delapan orang anak itu bicara, aku bisa menarik kesimpulan, sebenarnya, Mas Kenzi itu manja karena perlakuan mereka sendiri.Sebelum pulang, Mbak Kanaya sempat memberikan aku beberapa dress miliknya. Katanya masih baru, tapi kekecilan.Mengingat baju yang diberikannya merek terkenal, tentu aku senang bukan main. Kapan lagi bisa punya baju sebagus ini? Masalah kapan dipakainya, itu urusan nanti. Kali aja suatu hari Adi ngajak ngedate, ya kan?!
***
Di tengah perjalanan menuju kantor, Mas Kenzi menerima telepon dari Mbak Alsha.
"Kamu di rumah, Sha? Baiklah ...."Apa maksud Mas Kenzi? Di rumah siapa?Setelah menutup sambungan telepon, Mas Kenzi meminta Pak Darmo untuk kembali ke rumah, bukan ke kantor.Katanya, Mbak Alsha ada di sana.
Huft ... kenapa tiba-tiba saja dadaku terasa sesak mendengarnya?***
"Ini pasti karena tahu Bu Arini bermalam lama di rumah Mbak Kanaya. Makanya Mbak Alsha berani kesini!" dengkus Mbak Titin, ART yang tugasnya bersih-bersih.
"Lha iyo mana langsung nyelonong minta ke kamar Mas Kenzi!" sambung Bude."Mas Kenzi nya juga kebelet itu pasti!" tuduh Mbak Sari.Kami berempat sejak tadi berkumpul menyaksikan kedatangan Mbak Alsha yang dirasa kurang pantas. Bagaimana tidak? begitu datang, dia langsungminta ke kamar Mas Kenzi. Katanya sih, nggak nyaman karena ada kami.Aku sendiri sempat berpapasan dengan Mbak Alsha. Dia cantik, tinggi seperti Mas Kenzi. Tapi sikapnya berbeda seratus delapan puluh derajat dibanding saat video call waktu itu.Dengan tatapan sinis, dia diam saja saat aku menyapanya.
"Sana Dis, kamu pura-pura ngapain gitu ke kamarnya. Daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan nantinya!" perintah Bude."Aduh, Disty takut Bude. Nanti kalau Mas Kenzi marah bagaimana? Biarin aja, namanya juga orang lagi kasmaran!""Ayolah Dis! Kasihan Bu Arini nanti. Bisa apes dia kalau rumahnya dibuat zina!" tambah Mbak Titin.Aku juga sebenarnya nggak rela melihat Mas Kenzi berduaan dengan pacarnya di kamar. Tapi mau bagaimana lagi? Aku takut mereka marah. Apalagi saat mengingat wajah tak ramah Mbak Alsha tadi.Dengan berpura-pura mengantar minuman, aku langsung masuk ke kamar Mas Kenzi sesuai arahan Bude dan kawan-kawannya."Astaghfirullah!!!" pekikku spontan, saat melihat Mas Kenzi yang posisinya berhadapan dengan Alsha, seperti hendak menciumnya. Mendengar suaraku, sontak dia langsung berbalik badan."Kamu ngapain kesini, Disty!" bentak Mas Kenzi keras."Ehm, anu—""Anu apa?" Dia berdiri dan berkacak pinggang."Saya mau nganter minuman buat Mbak Alsha , Mas ...," alasanku."Ya sudah taruh di sana!" perintahnya. "Di kamar ini sudah ada minuman, Disty! kamu nggak tahu atau berlagak nggak tahu?" tanya Mas Kenzi kesal.Duh, arahan Bude ngaco ini! Di kamar Mas Kenzi, kan udah lengkap, mau apa aja juga ada. Kenapa Bude malah nyuruh aku bawa minuman? Garing banget kan?"Kamu nggak keluar?"Benar juga, kenapa aku malah diam mematung di sini?"Saya—""Saya perlu privasi sama Alsha, Disty!""Iya Mas, maaf ...."Dengan langkah gontai, aku keluar dari kamar Mas Kenzi. Pikiranku tiba-tiba kacau karena Mas Kenzi bersuara keras seperti tadi."Disty!" tiba-tiba Mas Kenzi kembali memanggilku. Ada apa?Aku kembali berbalik dan menemui Mas Kenzi.
"Ya, Mas Kenzi?""Mata Alsha kelilipan tadi. Saya hanya bantu meniupnya," jelas Mas Kenzi tanpa kuminta.Jadi tadi dia meniup mata Mbak Alsha? Aku pikir ... Eh, tapi apa urusannya sama aku? Apa dia pikir aku peduli?***Kaget habis dimarahi Mas Kenzi, aku keluar untuk mencari udara segar. Namun, saat tiba di depan, ternyata Adi sudah berada di tempat dia berjaga."Habis dimarahi sama Mas Kenzi, ya?" tebak Adi."Kok tahu?""Saya tadi kebetulan lagi patroli keliling di bawah kamarnya. Kedengaran dari sana," jelas Adi.Aku mendengkus, kemudian duduk di bangku yang ada. Adi, dia malah mengambil tempat di sampingku."Kamu cemburu?" tebaknya asal."Ish, siapa yang cemburu? Memang aku siapa? Aku itu tadi disuruh Bude dan yang lainnya kesana. Takut Mas Kenzi khilaf.""Terus kenapa mukanya kesel begitu?""Kagetlah. Aku baru kali ini denger Mas Kenzi suaranya keras."Kulirik Adi yang tersenyum sambil terus menatapku. "Kamu cantik hari ini, Dis...," pujinya."Duh, Adi jangan buat aku nggak nyaman. Aku lagi nggak enak hati ini!"Aku mencoba menutupi perasaan gugup karena pujian Adi."Kamu ada hari libur?""Nggak tahu, Bu Arini belum pernah bahas itu. Aku juga bingung, mau tanya nggak enak. Memang kenapa?""Saya boleh ajak kamu jalan?""Aku nggak suka jalan. Naik mobil aja capek, apalagi jalan."Adi tertawa kecil mendengar kelakarku barusan.
"Nggak jalan, tapi naik motor. Tenang aja, motornya nggak butut kok!""Kamu pikir aku matre?""Bukan begitu. Saya hanya menghargai kamu. Sebagai lelaki, setidaknya saya bisa memastikan kamu senang dan nyaman jalan sama saya, Mbak Disty ...," jelas Adi.Aku lalu memberanikan diri menatap Adi. Kenapa ada desiran di dalam hati yang sulit untuk dimengerti? Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta?"Jadi bagaimana, mau kan saya ajak jalan?" tanya Adi kembali memastikan. Karena sejak tadi, pikiranku masih bercabang-cabang. "Kapan?" "Kalau sekadar makan bakso, sekarang juga boleh." "Saya nggak suka bakso." "Cari makanan lain yang kamu suka 'kan bisa?" Ternyata Adi beneran niat. Dia terus saja mencari cara agar aku menyanggupinya. "Bukannya kamu lagi jaga?" Aku menoleh untuk menghilangkan rasa gugup. Karena setiap kali bicara, Adi selalu menatapku dengan lekat. Entah kenapa wajah Adi sekarang berubah lebih ganteng dua kali lipat daripada Mas Kenzi. Bisa jadi karena mau ngajak aku jalan, jadi tambah ganteng. Atau karena Mas Kenzi habis marah-marah jadi gantengnya berkurang? Aduh, Adisty! Kenapa perasaan ini cepat sekali berubah? "Gampang, tuh lihat!" Adi menunjuk Pak Bambang yang baru saja berganti pakaian dan keluar dari pintu belakang. "Pak Bambang kan, sudah mau pulang?" "Saya bisa ganti pakai uang rokok." "Kalau Mas Kenzi cari gimana?" Aku terus saja berkelit mencar
"Ya, Mas Kenzi!" sahutku dari luar kamar.Segera kusampaikan perintahnya kepada Bude yang masih berada di dapur. Sepertinya, makan sebelum tidur sudah menjadi kebiasaannya.Sambil menahan kantuk, aku menemani Bude menyiapkan pesanan nasi goreng itu, sampai Mas Kenzi datang untuk menyantapnya."Maaf, saya tahu kamu pasti kaget tadi," katanya sambil makan nasi goreng buatan Bude."Nggak perlu minta maaf Mas Kenzi, saya ngerti." Lagipula, tidak ada urusannya denganku. Toh, aku hanya menuruti perintah Bude saat itu."Saya cuma mau kamu tahu, kalau saya nggak mungkin melakukan sesuatu sama Alsha, apalagi di rumah ini," jelasnya lagi tanpa kuminta. "Saat saya mengajak kamu ke rumah Mbak Kanaya, kamu pasti sudah tahu kalau keluarga saya itu nggak ada yang menyukai Alsha."Ini yang aku tunggu-tunggu. Aku sudah kepo setengah mati sejak kemarin mengetahui tentang bagaimana hubungan Mas Kenzi dan Mbak Alsha sebenarnya. Tapi, apa dia benar-benar ingin menceritakan semuanya padaku?"Kenapa, Mas?
Pesan dari Mas Kenzi semakin membuatku penasaran dan terus memikirkannya. Kenapa jadi aku yang sakit hati melihat dia terluka?Berpikir realistis Adisty, kamu tak lebih dari seorang pengasuh!***Jam setengah enam pagi, aku dan Mas Kenzi sudah berada di lapangan golf. Saat berada di restoran, Mas Kenzi mengenalkan aku pada seorang temannya."Ini Rico, teman saya."Mas Rico mengulurkan tangannya lebih dulu.Seperti waktu itu, Mas Kenzi meminta Nina yang menjadi caddy-nya. Sedangkan Pak Rico, dia memilih caddy laki-laki untuk membantunya dalam permainan kali ini.Dari Nina, aku tahu kalau Pak Rico juga cukup sering main di sini. Dia juga masih belum menikah seperti Mas Kenzi.Sejak pertama bertemu, aku merasa Pak Rico terus memerhatikanku. Bukan kegeeran, hanya saja, aku jadi merasa tidak nyaman."Dis, boleh saya minta nomor handphone kamu?" tanya Pak Rico saat Mas Kenzi berada di tengah lapangan.Seharusnya, tadi Mas Kenzi membiarkan aku menunggu bersama Pak Darmo saja di mobil. Darip
[Adisty, save nomor saya. Rico]Kutatap lagi pesan dari Pak Rico di ponsel.Balas nggak, balas nggak?Kalau dibalas, rasanya aku masih malas menanggapinya. Tapi kalau tidak dibalas, kasihan juga. Ditambah lagi nggak enak sama Mas Kenzi.[Baik, Pak][Rico saja. Bisa saya telpon?]Tuh kan! Sekalinya dibalas, malah mau telepon![Maaf, saya nggak enak, sudah malam. Ada Bude di samping saya] balasku berbohong. Aku masih kurang nyaman untuk berbicara dengan Pak Rico, lelaki bertubuh atletis yang tingginya lebih tinggi sekitar lima centi dari Mas Kenzi itu.Kalau majikanku berkulit putih seperti salju, Pak Rico lebih mirip Adi, hitam tapi nggak manis, lebih manis Adi. Kalau Pak Rico, terlihat lebih 'cowok', dengan janggut dan jambang tipisnya."Bagaimana, Rico sudah hubungin kamu?" tanya Mas Kenzi saat aku sedang menemaninya sarapan. Aku mengangguk sambil terus memerhatikan penampilan Mas Kenzi pagi ini. Melihatnya memakai kemeja, membuatku terpesona setengah mati. Sayang, lelaki di depank
"Dis, kalau kita makan siang dulu, bagaimana?" tawar Mas Rico, setelah baju beserta perlengkapan lainnya yang akan aku gunakan di pesta sudah kami dapatkan."Maaf Mas, saya mau langsung pulang aja. Nggak enak kalau nanti tiba-tiba Bu Arini dateng, terus saya nggak ada di tempat." Aku mencoba memberi alasan, semoga saja Mas Rico mengerti.Walaupun dia bersikap sopan, aku masih canggung kalau harus terus berdua dengannya.Mas Rico menuruti permintaanku. Dia hanya mengantarku sampai di depan rumah Bu Arini. Begitu membuka pagar, aku melihat Adi seperti tengah bersiap mencecarku dengan berbagai pertanyaan."Duh, tipis nih harapan?" sindir Adi."Kenapa?" Aku duduk di sampingnya. Di bangku pos seperti biasanya."Saingan nambah, mana kelas kakap pula ...," kata Adi sambil melihat ke depan. Tidak biasanya dia bicara sambil memalingkan wajahnya dariku seperti itu."Kamu masih mikir aku matre?" dengkusku kesal."Ya nggak gitu, Mbak. Hanya saja, saya jadi kecil hati ...," ungkapnya pelan."Say
"Kalian berdua kenapa ada di sini?" tanya Mas Rico yang datang menghampiri kami. Kehadirannya membuatku sadar kalau sejak tadi termangu gara-gara ucapan Mas Kenzi."Saya—""Saya nunggu kamu di dalam, Disty! Kalau saja seseorang tidak memberitahu kalau kamu ada di sini, saya akan tetap menunggu kamu seperti orang bodoh!" Suara Mas Rico terdengar cukup keras. Sepertinya, dia marah karena aku lebih memilih bersama Mas Kenzi di sini. Wajar, ini semua memang salahku."Maaf Mas Rico, tapi—""Bro!" Mas Kenzi menyela percakapan kami."Gue cuma nggak mau ada salah paham Ken. Mereka kan, tahunya Disty ini calon istri gue!" alasan Mas Rico.Benar juga, kenapa aku tidak berpikir sampai ke sana? Aku jadi merasa bersalah. Apalagi dua orang ini jadi berdebat di hadapanku."Gue ngerti. Kalau begitu, gue balik duluan. Kalian juga langsung balik, kan? Gue titip Disty!" pamit Mas Kenzi sambil beranjak pergi.Entah kenapa, aku merasa tidak rela membiarkannya pulang sendirian."Setelah bertemu pengantin,
Kuabaikan pesan Mas Kenzi dan memilih memberi penjelasan pada Bude."Maafkan Disty, ya Bude. Dusty tahu pasti Bude kecewa banget. Terlebih sama Bu Arini. Disty merasa nggak enak sekali, Bude ....""Bu Arini memang begitu kalau sedang marah. Menghindarinya lebih baik, Nduk! Sekarang sebaiknya kamu bersiap, besok habis subuh, Pak Darmo yang akan mengantar kamu sampai ke terminal."Meski perasaanku masih tidak enak, aku berusaha memahami perkataan Bude.Ponselku kembali menyala. Lagi-lagi Mas Kenzi mengirim pesan.[Kenapa tidak dibalas? Saya perlu bicara sama kamu. Sudah tidur belum?]Kutunjukan pesan dari Mas Kenzi pada Bude agar dia membacanya sendiri."Bagaimana Bude?""Abaikan saja, Dis! Oya, jangan sampai dia tahu kalau kamu pulang kampung besok!" pesan Bude."Lho, kan Disty dianter sama Pak Darmo?""Pak Darmo nggak akan bilang sampai kamu tiba di tujuan. Kalau sudah naik bis, itu urusan lain, Nduk!""Sekali lagi, Disty minta maaf, Bude ...." Aku benar-benar menyesal telah mengecewa
[Dis, jawab telepon saya!]Terlalu banyak pesan dari Mas Kenzi, membuatku malas membacanya dari atas satu persatu.[Maaf, Mas Kenzi, saya lupa pamit.]Tidak butuh lama, setelah aku membalas pesan, Mas Kenzi langsung meneleponku. Membuatku semakin bingung, haruskah aku menjawab panggilan telepon darinya?"Kamu kembali ke Jakarta sekarang, Adisty!" perintah Mas Kenzi setelah sebelumnya menjawab salam dariku."Maaf, Mas tapi untuk sekarang ini saya nggak bisa!""Karena Mami? Saya sudah bicara sama Mami, Dis. Kamu bisa kembali ke rumah ini secepatnya!"Dia terus saja memaksa dan tidak mengindahkan penjelasanku."Maaf Mas Kenzi, tapi—""Saya sudah terbiasa dengan adanya kamu di sini. Kembali besok, saya tunggu kamu di rumah!""Maaf Mas Kenzi, tapi saya nggak bisa kembali dalam waktu dekat ini." Aku masih terus mencoba menolak dengan halus, tapi dia malah salah paham."Kamu menolak permintaan saya? Kamu masih marah hanya karena saya kelupaan?""Maaf Mas Kenzi, bukan karena itu.""Apapun ala