Share

BAB 6

"Minum." Satria memberi botol minuman teh dingin. Namun, Ayra malah melengos. Menatap pemandangan di luar kaca. 

"Yasudah, kalau tidak mau." Satria menghadap depan lagi. Menaruh minuman itu. Deni menggaruk pelipis, terus menyetir dengan perasaan bingung terhadap keduanya. 

"Kamu boleh kerja yang lain asal jangan jadi pemulung." Satria berujar lagi dari depan. Sungguh, dia tidak tega melihatnya dan tidak suka. Ternyata Ayra bisa senekat itu saat terdesak. 

"Ngatur-ngatur. Kamu pikir siapa?" balas Ayra ketus. Dia terpaksa masuk mobil untuk diantarkan pulang. 

Uang pemberian Satria dikembalikan tidak mau menerima begitu saja, sebagai gantinya lelaki itu meminta ia berhenti mulung dan pulang. Sudah lumayan jauh Ayra melangkah, Satria kasihan. 

"Loh, kan pacarnya? Sebagai pacar yang baik, Satria tidak mau melihat kamu mulung." Deni menimpali dengan terheran-heran. 

Ayra melotot mendengar itu. Pacar?! 

Sementara Satria di sebelah lelaki itu mulai tidak enak diam. Deni percaya begitu saja saat dia mengiyakan Ayra pacarnya. Padahal bukan. Semata-mata karna ingin Ayra segera menemukan tempat tinggal. Dengan begitu, Deni pun sigap mencarikan. 

"Sebagai pacar yang baik Satria tidak mau melihat kamu kesusahan. Iya, kan, Sat?" Dengan entengnya Deni mengatakan itu lagi. 

Satria membalas dengan anggukan dan senyuman kaku. Tidak berani melihat pada Ayra di belakang yang sudah memerah wajahnya. 

"Dengar, dia itu bukan--"

"Sudah sampai kan? Ini gangnya?!" Satria sengaja berkata keras. Sembari menunjuk persimpangan. Kalimat Ayra pun menggantung, ikut menoleh, menyadari telah sampai. Deni memberhentikan mobil. 

Ayra turun. Mendekati Satria juga menatap temannya. "Dia bukan pacar saya!" Akhirnya dia bisa mengatakan itu. Gantian Satria melebarkan mata. Tidak mengira Ayra akan menjelaskan lagi. Lalu melirik pelan pada Deni yang tertegun bingung. 

Ayra lalu menjauh. Satria menyusul membuka pintu. "Sayang, aku tidak mau kita putus!" dan mengejar. Seketika Deni menggeleng geli melihat tingkahnya. 

"Kamu apa-apaan, sih!" Ayra berhenti melangkah menghardiknya. Satria membuatnya malu saja. 

"Kamu jangan ngaku-ngaku, ya! Dan jangan aneh-aneh." 

Satria tidak menjawab, melihat pada temannya yang masih memperhatikan di sana. Dia sengaja melakukan semua. 

"Ayo, aku antar." Dia malah meraih tangannya. Mengajak pergi. 

"Satria lepas. Kamu tidak boleh menyentuh saya seenaknya!" Ayra kuatir karna dirinya masih masa iddah dan Satria bukanlah mahramnya. 

"Aku temenin sampai kontrakan." 

"Tidak usaah!" 

Satria bebal. Terus membawanya. Sampai hilang dari pandangan Deni. Temannya itu menggeleng lagi sambil memantik api pada sebatang rokok. 

"Segitunya sama cewek," ujarnya mengepulkan asap seraya tersenyum geli. Menganggap Satria budak cinta. 

Sesampainya di depan pintu kontrakan barulah Satria melepas pergelangannya. Ayra mendengus menatap tak suka.

"Tidak sopan kamu," omelnya. Selain tidak lagi memanggilnya mbak seperti saat menjadi adik ipar, Satria juga berani mencampuri kehidupannya. 

"Maaf." Satria berkata santai. "Sekarang aku tenang kamu sudah di sini." 

"Pergi kamu."

"Gak boleh mampir?" Ayra melihatnya lagi tak habis pikir. Lelaki itu malah tersenyum ditatap seperti itu. 

"Aku tidak sudi menawarkan itu padamu." 

"Bisa gak sih, kamu gak usah seketus itu sama aku? Bersikap biasa aja gitu."

"Biasa aja? Sama orang yang sudah fitnah aku? Tidak bisa!" 

"Harusnya kamu berterima kasih, karna aku kamu bisa lepas dari suami ja-hat yang memperlakukanmu tidak adil. Kamu menderitakan?" 

"Tapi tidak dengan cara hina seperti itu. Caramu buruk dan aku membencinya." Ada geram tertahan juga mendadak mata Ayra berkaca-kaca. Sakit hati ingat sikap Haris yang berubah juga bertambah pahit perpisahannya dilalui dengan cara tak baik. 

"Kamu lanca-ng memasuki kamarku menaruh bajumu itu!" 

"Bukan aku yang melakukannya." 

"Tapi kamu malah memperkeruh. Kamu membuat kesalahan besar dengan mengaku-ngaku bukannya menyangkal. Membuat Mas Haris percaya kalau kamu sudah menzinaiku!" Tumpah bulir bening itu di pipi Ayra. Namun, cepat dia menghapusnya. 

Satria terenyuh. Menyesal melakukan itu, tapi kemudian berpikir lebih baik seperti itu. Lebih baik Ayra berpisah dari Haris dari pada bertahan tapi terus-terusan disakiti dengan perlakuan tidak adil. Selama ini dia sering melihatnya diam-diam menangis. 

"Maaf, Ayra." 

Ayra menghela nafas, kemudian berbalik. Memasuki kontrakan dan pintu ditutupnya kencang. 

*** 

Pengakuan palsu Satria tempo hari membuat Ayra belum basa bersikap ramah terhadapnya. 

Saat ini dia sedang ingin fokus menata kehidupan baru. Setelah keadaan membaik dan leluasa barulah bertindak banyak. Untuk mendapatkan apa-apa yang harusnya dia dapatkan. Sekarang ingin menenangkan diri dulu. 

Percaya di setiap kesulitan pasti akan ada kemudahan. Dia hanya perlu terus bersabar dan berihtiar lagi. 

Kabar baik itu pun akhirnya menghampiri. Bu Dita memberi tahu lowongan pekerjaan. Seorang kenalannya pemilik warung bubur ayam membutuhkan satu karyawan untuk membantunya. 

"Saya mau, Bu." Ayra langsung menyanggupinya. 

"Tapi bagian tukang cuci mangkuk." 

"Tidak apa-apa. Saya bersedia." 

"Kalau begitu besok kamu langsung ke warungnya. Bisa langsung bekerja di sana." 

"Alhamdulillah ... Iya, Bu, terimakasih banyak." 

Ayra sumringah. Kini harinya terasa lebih cerah. Tidak apa-apa hanya sebagai tukang cuci. Terpenting pekerjaan halal. 

Besoknya, pagi-pagi sekali Ayra segera pergi ke tempat tujuan. Sepuluh menit berjalan kaki sampai, tidak jauh di perempatan. 

Bu Dina pemilik warung bubur ayam tersebut menyambut baik saat Ayra menghampiri dan memperkenalkan diri. 

"Saya sudah tau kamu dari Bu Dita, kamu bisa langsung bekerja, Ayra. Tempat pencuciannya di belakang." 

"Iya, Bu. Terimakasih." Ayra pun pamit melipir. 

Warung baru buka. Ayra mulai bekerja dari jam enam pagi. Bu Dina dan satu orang lain sibuk melayani pembeli yang datang sedangkan dia bertugas mencuci mangkuk dan gelas kotor bekas makan. Karyawan sebelumnya lahiran sehingga berhenti, Ayra bersyukur bisa menjadi pengganti. Tepat sekali ketika bekalnya sudah habis. 

Pu-kul sebelas warung sudah sepi. Ayra diijinkan pulang karna pekerjaan selesai. Pemilik warung memberi upah 50 ribu. Ayra bersyukur bisa diambil harian, tidak harus menunggu lama sebulan sekali. 

"Terimakasih banyak, Bu." 

"Sama-sama Ayra, besok kamu ke sini lagi."

"Iya, Bu. Pasti. Kalau begitu saya pamit pulang." Ayra berlalu. 

Sembari melangkah, Ayra kembali memperhatikan selembar uang bewarna biru itu. Menetes haru air matanya. Ayra sangat bersyukur. Jam kerjanya pun tidak lama dan tidak berat melakukannya. Uang tersebut lalu dimasukkan dalam saku. Mungkin nanti akan mencari tambahan jika masih kurang untuk bekal hidupnya.  

Di belakangnya motor Satria mengikuti. Lelaki itu tahu ia sehabis pulang bekerja dan tersenyum kecil. Lebih baik seperti itu dari pada menjadi pemulung. Kemudian dia mendekat memelankan kendaraan. 

"Aku antar pulang."

"Kamu?" Ayra heran lelaki itu bisa muncul di mana-mana. 

"Dari pada jalan kaki pegel." 

"Tidak. Terimakasih." Ayra berpaling menatap lurus lagi. 

"Yasudah, kalau begitu aku temenin sampe kontrakan." Dia mengikutinya. 

"Apaan, sih." Ayra menggerutu. 

"Jangan ikuti aku." 

Satria tidak mendengarkan. Terus melaju di sampingnya. Ayra tak mau ambil pusing akhirnya membiarkan. Percuma dilarang. Tidak mempan. Lelaki itu tersenyum dia berhenti mengomelinya. Mengikuti saat Ayra memasuki gang. Ingin memastikannya aman sampai di tempatnya. 

Sementara itu di kediaman Haris, Marni terus memikirkan mereka. Hidupnya terasa kurang saat dua orang itu pergi. Pada Haris dia terus menyampaikan keberatan. Seperti hari ini dia membicarakan mereka lagi. 

"Kamu gegabah Haris. Mengusir Ayra dan Satria. Bagaimana kalau mereka tidak melakukan seperti yang kamu tuduhkan? Jadinya fitnah!" 

"Satria sendiri sudah mengaku, Bu. Kenapa masih diragukan?"

"Bagaimana kalau dia hanya mengaku-ngaku? Hanya pura-pura?" 

Haris terdiam. 

"Sudah Ibu peringatkan jauh-jauh hari untuk pasang CCTV di sini. Tapi kamu tidak mendengarkan Ibu. Bisa ketahuan siapa pelaku sebenarnya. Pelaku yang menaruh kaus Satria di kamar Ayra." 

"Memangnya siapa yang mau melakukan hal konyol itu, Bu?" Haris menggeleng tak habis pikir.  

"Tentu saja orang yang tidak menyukai Ayra!" 

Degh! Jantung Tisa berdegup kencang mendengar itu. Sedikit pias dan matanya membola sempurna. Segera menjauh berjalan mundur berhenti menguping. 

"Kamu akan menyesal Haris. Telah menyia-nyiakan istri sebaik Ayra." 

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
sebagai wanita apalagi hidup tanpa orangtua harusnya aira bisa sedikit pintar. jgn krn dapat suami kaya jadi terlena dan merasa nyaman seakan2 hidup berkecukupan selama2nya.
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
perempuan DAJJAL
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
sudah MENZOLIMI istrimu sudah poligami malah ZOLIM itu perempuan d
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status