Share

BAB 6

Author: Tika Pena
last update Last Updated: 2023-12-23 21:31:59

"Minum." Satria memberi botol minuman teh dingin. Namun, Ayra malah melengos. Menatap pemandangan di luar kaca. 

"Yasudah, kalau tidak mau." Satria menghadap depan lagi. Menaruh minuman itu. Deni menggaruk pelipis, terus menyetir dengan perasaan bingung terhadap keduanya. 

"Kamu boleh kerja yang lain asal jangan jadi pemulung." Satria berujar lagi dari depan. Sungguh, dia tidak tega melihatnya dan tidak suka. Ternyata Ayra bisa senekat itu saat terdesak. 

"Ngatur-ngatur. Kamu pikir siapa?" balas Ayra ketus. Dia terpaksa masuk mobil untuk diantarkan pulang. 

Uang pemberian Satria dikembalikan tidak mau menerima begitu saja, sebagai gantinya lelaki itu meminta ia berhenti mulung dan pulang. Sudah lumayan jauh Ayra melangkah, Satria kasihan. 

"Loh, kan pacarnya? Sebagai pacar yang baik, Satria tidak mau melihat kamu mulung." Deni menimpali dengan terheran-heran. 

Ayra melotot mendengar itu. Pacar?! 

Sementara Satria di sebelah lelaki itu mulai tidak enak diam. Deni percaya begitu saja saat dia mengiyakan Ayra pacarnya. Padahal bukan. Semata-mata karna ingin Ayra segera menemukan tempat tinggal. Dengan begitu, Deni pun sigap mencarikan. 

"Sebagai pacar yang baik Satria tidak mau melihat kamu kesusahan. Iya, kan, Sat?" Dengan entengnya Deni mengatakan itu lagi. 

Satria membalas dengan anggukan dan senyuman kaku. Tidak berani melihat pada Ayra di belakang yang sudah memerah wajahnya. 

"Dengar, dia itu bukan--"

"Sudah sampai kan? Ini gangnya?!" Satria sengaja berkata keras. Sembari menunjuk persimpangan. Kalimat Ayra pun menggantung, ikut menoleh, menyadari telah sampai. Deni memberhentikan mobil. 

Ayra turun. Mendekati Satria juga menatap temannya. "Dia bukan pacar saya!" Akhirnya dia bisa mengatakan itu. Gantian Satria melebarkan mata. Tidak mengira Ayra akan menjelaskan lagi. Lalu melirik pelan pada Deni yang tertegun bingung. 

Ayra lalu menjauh. Satria menyusul membuka pintu. "Sayang, aku tidak mau kita putus!" dan mengejar. Seketika Deni menggeleng geli melihat tingkahnya. 

"Kamu apa-apaan, sih!" Ayra berhenti melangkah menghardiknya. Satria membuatnya malu saja. 

"Kamu jangan ngaku-ngaku, ya! Dan jangan aneh-aneh." 

Satria tidak menjawab, melihat pada temannya yang masih memperhatikan di sana. Dia sengaja melakukan semua. 

"Ayo, aku antar." Dia malah meraih tangannya. Mengajak pergi. 

"Satria lepas. Kamu tidak boleh menyentuh saya seenaknya!" Ayra kuatir karna dirinya masih masa iddah dan Satria bukanlah mahramnya. 

"Aku temenin sampai kontrakan." 

"Tidak usaah!" 

Satria bebal. Terus membawanya. Sampai hilang dari pandangan Deni. Temannya itu menggeleng lagi sambil memantik api pada sebatang rokok. 

"Segitunya sama cewek," ujarnya mengepulkan asap seraya tersenyum geli. Menganggap Satria budak cinta. 

Sesampainya di depan pintu kontrakan barulah Satria melepas pergelangannya. Ayra mendengus menatap tak suka.

"Tidak sopan kamu," omelnya. Selain tidak lagi memanggilnya mbak seperti saat menjadi adik ipar, Satria juga berani mencampuri kehidupannya. 

"Maaf." Satria berkata santai. "Sekarang aku tenang kamu sudah di sini." 

"Pergi kamu."

"Gak boleh mampir?" Ayra melihatnya lagi tak habis pikir. Lelaki itu malah tersenyum ditatap seperti itu. 

"Aku tidak sudi menawarkan itu padamu." 

"Bisa gak sih, kamu gak usah seketus itu sama aku? Bersikap biasa aja gitu."

"Biasa aja? Sama orang yang sudah fitnah aku? Tidak bisa!" 

"Harusnya kamu berterima kasih, karna aku kamu bisa lepas dari suami ja-hat yang memperlakukanmu tidak adil. Kamu menderitakan?" 

"Tapi tidak dengan cara hina seperti itu. Caramu buruk dan aku membencinya." Ada geram tertahan juga mendadak mata Ayra berkaca-kaca. Sakit hati ingat sikap Haris yang berubah juga bertambah pahit perpisahannya dilalui dengan cara tak baik. 

"Kamu lanca-ng memasuki kamarku menaruh bajumu itu!" 

"Bukan aku yang melakukannya." 

"Tapi kamu malah memperkeruh. Kamu membuat kesalahan besar dengan mengaku-ngaku bukannya menyangkal. Membuat Mas Haris percaya kalau kamu sudah menzinaiku!" Tumpah bulir bening itu di pipi Ayra. Namun, cepat dia menghapusnya. 

Satria terenyuh. Menyesal melakukan itu, tapi kemudian berpikir lebih baik seperti itu. Lebih baik Ayra berpisah dari Haris dari pada bertahan tapi terus-terusan disakiti dengan perlakuan tidak adil. Selama ini dia sering melihatnya diam-diam menangis. 

"Maaf, Ayra." 

Ayra menghela nafas, kemudian berbalik. Memasuki kontrakan dan pintu ditutupnya kencang. 

*** 

Pengakuan palsu Satria tempo hari membuat Ayra belum basa bersikap ramah terhadapnya. 

Saat ini dia sedang ingin fokus menata kehidupan baru. Setelah keadaan membaik dan leluasa barulah bertindak banyak. Untuk mendapatkan apa-apa yang harusnya dia dapatkan. Sekarang ingin menenangkan diri dulu. 

Percaya di setiap kesulitan pasti akan ada kemudahan. Dia hanya perlu terus bersabar dan berihtiar lagi. 

Kabar baik itu pun akhirnya menghampiri. Bu Dita memberi tahu lowongan pekerjaan. Seorang kenalannya pemilik warung bubur ayam membutuhkan satu karyawan untuk membantunya. 

"Saya mau, Bu." Ayra langsung menyanggupinya. 

"Tapi bagian tukang cuci mangkuk." 

"Tidak apa-apa. Saya bersedia." 

"Kalau begitu besok kamu langsung ke warungnya. Bisa langsung bekerja di sana." 

"Alhamdulillah ... Iya, Bu, terimakasih banyak." 

Ayra sumringah. Kini harinya terasa lebih cerah. Tidak apa-apa hanya sebagai tukang cuci. Terpenting pekerjaan halal. 

Besoknya, pagi-pagi sekali Ayra segera pergi ke tempat tujuan. Sepuluh menit berjalan kaki sampai, tidak jauh di perempatan. 

Bu Dina pemilik warung bubur ayam tersebut menyambut baik saat Ayra menghampiri dan memperkenalkan diri. 

"Saya sudah tau kamu dari Bu Dita, kamu bisa langsung bekerja, Ayra. Tempat pencuciannya di belakang." 

"Iya, Bu. Terimakasih." Ayra pun pamit melipir. 

Warung baru buka. Ayra mulai bekerja dari jam enam pagi. Bu Dina dan satu orang lain sibuk melayani pembeli yang datang sedangkan dia bertugas mencuci mangkuk dan gelas kotor bekas makan. Karyawan sebelumnya lahiran sehingga berhenti, Ayra bersyukur bisa menjadi pengganti. Tepat sekali ketika bekalnya sudah habis. 

Pu-kul sebelas warung sudah sepi. Ayra diijinkan pulang karna pekerjaan selesai. Pemilik warung memberi upah 50 ribu. Ayra bersyukur bisa diambil harian, tidak harus menunggu lama sebulan sekali. 

"Terimakasih banyak, Bu." 

"Sama-sama Ayra, besok kamu ke sini lagi."

"Iya, Bu. Pasti. Kalau begitu saya pamit pulang." Ayra berlalu. 

Sembari melangkah, Ayra kembali memperhatikan selembar uang bewarna biru itu. Menetes haru air matanya. Ayra sangat bersyukur. Jam kerjanya pun tidak lama dan tidak berat melakukannya. Uang tersebut lalu dimasukkan dalam saku. Mungkin nanti akan mencari tambahan jika masih kurang untuk bekal hidupnya.  

Di belakangnya motor Satria mengikuti. Lelaki itu tahu ia sehabis pulang bekerja dan tersenyum kecil. Lebih baik seperti itu dari pada menjadi pemulung. Kemudian dia mendekat memelankan kendaraan. 

"Aku antar pulang."

"Kamu?" Ayra heran lelaki itu bisa muncul di mana-mana. 

"Dari pada jalan kaki pegel." 

"Tidak. Terimakasih." Ayra berpaling menatap lurus lagi. 

"Yasudah, kalau begitu aku temenin sampe kontrakan." Dia mengikutinya. 

"Apaan, sih." Ayra menggerutu. 

"Jangan ikuti aku." 

Satria tidak mendengarkan. Terus melaju di sampingnya. Ayra tak mau ambil pusing akhirnya membiarkan. Percuma dilarang. Tidak mempan. Lelaki itu tersenyum dia berhenti mengomelinya. Mengikuti saat Ayra memasuki gang. Ingin memastikannya aman sampai di tempatnya. 

Sementara itu di kediaman Haris, Marni terus memikirkan mereka. Hidupnya terasa kurang saat dua orang itu pergi. Pada Haris dia terus menyampaikan keberatan. Seperti hari ini dia membicarakan mereka lagi. 

"Kamu gegabah Haris. Mengusir Ayra dan Satria. Bagaimana kalau mereka tidak melakukan seperti yang kamu tuduhkan? Jadinya fitnah!" 

"Satria sendiri sudah mengaku, Bu. Kenapa masih diragukan?"

"Bagaimana kalau dia hanya mengaku-ngaku? Hanya pura-pura?" 

Haris terdiam. 

"Sudah Ibu peringatkan jauh-jauh hari untuk pasang CCTV di sini. Tapi kamu tidak mendengarkan Ibu. Bisa ketahuan siapa pelaku sebenarnya. Pelaku yang menaruh kaus Satria di kamar Ayra." 

"Memangnya siapa yang mau melakukan hal konyol itu, Bu?" Haris menggeleng tak habis pikir.  

"Tentu saja orang yang tidak menyukai Ayra!" 

Degh! Jantung Tisa berdegup kencang mendengar itu. Sedikit pias dan matanya membola sempurna. Segera menjauh berjalan mundur berhenti menguping. 

"Kamu akan menyesal Haris. Telah menyia-nyiakan istri sebaik Ayra." 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (5)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
sebagai wanita apalagi hidup tanpa orangtua harusnya aira bisa sedikit pintar. jgn krn dapat suami kaya jadi terlena dan merasa nyaman seakan2 hidup berkecukupan selama2nya.
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
perempuan DAJJAL
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
sudah MENZOLIMI istrimu sudah poligami malah ZOLIM itu perempuan d
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 87

    "Sasya sudah lahiran. Bayinya laki-laki," ujar Ayra. Satria mengeryit heran dari mana istrinya tahu soal ini? Dia sendiri saja tidak tahu. "Kok kamu tau?""Tau aja." Ayra berkata santai. "Tau dari mana? Temenan aja engga," cecar Satria. Mereka hanya tau wanita itu sakit perut saat di rumah sakit. Tidak tahu jenis kelamin bayi. Tapi Ayra? Entah dari siapa bisa tahu. "Bilang tau dari siapa?" tanya Satria lagi sedikit jengkel karna Ayra tidak mau buru-buru menjawab, malah memakan kue manis di hadapan dengan santainya. "Jawab, Ayra. Jangan buat aku penasaran," tekannya. "Gak mau." Satria menyentak pinggangnya hingga merapat. "Katakan." "Apaan sih, Mas.""Atau aku cium nih." Ayra masih diam saja malah senyum-senyum. Dia tidak takut dicium. "Atau aku melakukannya di sini. Buka baju kamu." Ayra melotot mendengar itu. Ini di ruang tamu. Satria tidak peduli, justru menyeringai dan mencoba membuka kancing bajunya. "Jangan, Mas!" Ayra pun menyingkirkan tangan tersebut. "Bagaimana kal

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU    BAB 86

    Sasya kesakitan, terus meraung menangis. "Sakit, Maa." Pada mamanya dia mengadu. "Padahal belum HPL-nya kok perut kamu sudah sakit aja." Mamanya pun heran. Dia sibuk mengusap keringat putrinya itu. Ibu mertua juga mengusap-usap perut Sasya. Alex cemas dan merasa bersalah. Gara-gara dia memaksa pergi tadi, Sasya jadi kesakitan. Dia menunduk memegangi tangan istrinya. Tapi oleh Sasya ditepis. "Pergi!" Bahkan dia diusir. "Sayang, gak boleh begitu," tegur mamanya. "Alex suami kamu. Dia sudah baik mau nemenin kamu periksa kandungan.""Ini semua gara-gara dia, Mama. Perut aku jadi sakit. Dia menyeretku pulang!" "Apa? Kamu benar melakukan itu Alex?" Mama Alex pun tidak diam saja mendengar itu. "Aku minta maaf. Aku cuma ngajak dia jalan cepet tadi.""Harusnya tidak boleh seperti itu, Alex!" Mamanya membentaknya. "Aku tau aku salah. Aku emosi tadi karna Sasya nyentuh pipi Satria." "Kalian bertemu Satria?" tanya Mama Sasya. Alex mengangguk. "Dia dan istrinya juga di sini tadi. Habis c

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 85

    Sasya termenung dalam kamar, sambil mengusap perut gendutnya. Sekarang usia kehamilan sudah menginjak sembilan bulan. Pipinya lebih berisi, begitu juga tubuh yang menggendut karna nafsu makan bertambah. Sehari-hari, hanya mengurung diri dalam kamar. Dia tidak mau keluar. Malu sekedar bersapa dengan tetangga. Atau bertemu siapapun.Pintu terbuka. Masuk sosok Alex. Datang membawakan bingkisan makanan. Tersenyum saat melihat istrinya itu. "Sayang, aku bawakan makanan untuk kamu." Diletakkan kantung itu di meja samping ranjang. Sasya melirik. Betapa dia perhatian. Dia juga tidak protes terhadap perubahan di tubuhnya. Tapi meski begitu, Sasya masih tidak cinta. Dulu pacaran dengannya sebatas iseng dan kesenangan semata tanpa niat serius untuk dinikahi. Alex hanya pelampiasan rasa kesepian saja. "Aku bukain ya." Alex membuka bingkisan itu. Kemudian meraih sendok yang ada dalam kotaknya hendak menyuapi Sasya. Tapi Sasya menepis, sampai makanan terjatuh. "Kamu gak usah sok baik. Aku gak

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 84

    Mau tidak mau Sasya digiring masuk ke dalam mobil Papanya. Begitu juga Alex, ikut menemani. Mereka meminta maaf atas kegaduhan yang Sasya buat. Mobil itu pun membawa mereka pergi. Satria menghela napas lega. Sekarang, masalahnya benar-benar selesai. Diliriknya Papanya yang ikut hadir di sini. "Terimakasih Papa sudah datang." Dia yang mengajak Papa Sasya untuk melihat kelakuan putrinya. "Akan Papa usahakan supaya pernikahan anak Papa baik-baik saja," jawab lelaki itu tersenyum tenang, sambil menepuk pelan bahunya. Dia tahu prahara yang terjadi dalam rumah tangga anaknya, sebisa mungkin membantu. Satria kemudian melihat Haris. "Terimakasih Mas Haris sudah repot-repot kasih bukti." "Tidak perlu berterimakasih, Satria. Kamu sendiri sudah banyak menolongku. Sudah sewajarnya Masmu membantu." Satria tersenyum mendengar untaian kata-kata sejuk dari sang kakak. Haris jauh lebih dewasa dan lebih bijak. Dengan kesadaran dan keinginannya sendiri dia membantu mencari bukti kebohongan Sasya.

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 83

    "Jangan mengaku-ngaku kamu!" Satria menolak tegas. Yakin itu bukan anaknya. "Usia kehamilanku 6 bulan, tepat setelah kejadian malam itu." "Tidak. Aku yakin aku tidak melakukannya denganmu!" "Kamu harus bertanggung jawab, Mas Satria. Kamu harus nikahin aku. Setelah anak ini lahir aku yakin akan mirip sama kamu." Sasya mengelus-elus kembali perutnya. Lalu melirik Ayra yang masih mematung shock. Matanya memerah dan tampak berkaca-kaca. "Ra, aku rela jadi istri kedua. Ijinkan Mas Satria menikahiku. Kasihan anak ini kalau lahir tanpa Ayah." Sasya memasang wajah memelas. Tidak peduli Ayra yang sakit hati akan kedatangannya, malah meminta berbagi suami. "Selama ini aku diam saja. Aku lalui trimester pertama sendirian. Mual, muntah ... aku tidak ingin mengganggu kalian. Tapi aku tidak bisa terus seperti itu. Aku juga ingin anak ini diakui Ayahnya." Air matanya menetes saat menceritakan itu. Betapa dia ingin bisa bersama Satria. "Aku mencintai Satria. Aku janji akan jadi istri yang baik

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 82

    Tisa sudah ditangani dokter dan kini berada di ruang rawat. Setetes demi setetes cairan terjatuh dari kantung infusan, mengalir lewat selang dan masuk ke tubuh perempuan itu melalui jarum infus. Haris berdiri memperhatikan. Tisa tidak berdaya oleh penyakitnya. Selama ini dia menahan sendirian. Entah bagaimana jadinya jika dia tidak pergi ke kontrakannya. Sepasang matanya yang terpejam akhirnya terbuka secara perlahan. Melihat hanya Haris seorang yang ada di dekatnya. "Mas ...." lirih dia memanggil. "Kamu di rumah sakit. Aku yang membawa ke sini." Mata Tisa berkaca-kaca, dia kira dirinya sudah mati. Tapi ternyata dibawa berobat. "Kamu tidak usah bawa aku ke sini, Mas." "Mana mungkin orang hampir sekarat kubiarkan." Haris tidak setega itu, meski keduanya pernah saling membenci. "Dendy mana, Mas?""Di luar bersama Tia. Anak kecil tidak boleh masuk." "Aku ingin bertemu.""Harus sembuh dulu." Tisa menunduk sedih. Menyesal tidak pergi ke rumah Haris untuk menemui anaknya. Menyesal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status