"Minum." Satria memberi botol minuman teh dingin. Namun, Ayra malah melengos. Menatap pemandangan di luar kaca. "Yasudah, kalau tidak mau." Satria menghadap depan lagi. Menaruh minuman itu. Deni menggaruk pelipis, terus menyetir dengan perasaan bingung terhadap keduanya. "Kamu boleh kerja yang lain asal jangan jadi pemulung." Satria berujar lagi dari depan. Sungguh, dia tidak tega melihatnya dan tidak suka. Ternyata Ayra bisa senekat itu saat terdesak. "Ngatur-ngatur. Kamu pikir siapa?" balas Ayra ketus. Dia terpaksa masuk mobil untuk diantarkan pulang. Uang pemberian Satria dikembalikan tidak mau menerima begitu saja, sebagai gantinya lelaki itu meminta ia berhenti mulung dan pulang. Sudah lumayan jauh Ayra melangkah, Satria kasihan. "Loh, kan pacarnya? Sebagai pacar yang baik, Satria tidak mau melihat kamu mulung." Deni menimpali dengan terheran-heran. Ayra melotot mendengar itu. Pacar?! Sementara Satria di sebelah lelaki itu mulai tidak enak diam. Deni percaya begitu saja sa
"Jadi, benar ya Mbak Tisa, Kalau Mbak Ayra selingkuh dengan Mas Satria, dengan adek ipar sendiri?" "Betul. Itu kenapa Mbak Ayra dicerai Mas Haris dan dua-duanya diusir dari rumah." Ayra mundur tidak jadi melangkah ke depan rumah Haris saat mendengar suara itu. Berdiam di pojok garasi melihat dengan geram beberapa Ibu-ibu tengah membicarakannya bersama Tisa. Sambil memilih sayur di pedagang mobil losbak kecil. Tisa begitu bersemangat menggosipkannya. "Gak nyangka, ya, tampang alim begitu bisa selingkuh.""Mangkannya jangan hanya terkesan dengan penampilan Bu-ibu, bisa menipu." Tisa terus mengompori. "Pantas Mas Haris marah langsung menceraikan," timpal Ibu-ibu lain. "Dua-duanya tega dan tidak tahu diri. Sudah enak tinggal di rumah bagus begini, malah buat ulah." "Lebih tidak tahu diri lagi si Ayra, sudah mandul malah selingkuh. Padahal Mas Haris baik, gak ada bersyukurnya." Tisa tersenyum senang dan puas mendengar respon Ibu-ibu itu. Mereka ikut membenci Ayra. Sesuai yang dihara
"Loh, barang-barang saya ke mana, Bu?" Ayra heran sekembalinya ke kontrakan barang yang tadi dikumpulkan tidak ada. "Ada di dalam," jawab Bu Dita. Lalu mendekat padanya yang terdiam kebingungan. "Kamu gak usah pergi. Boleh tinggal di sini." Heran Ayra mendengarnya. "Tapi, Bu, tadi--""Sudah. Gak apa-apa. Kamu bebas tinggal di sini." Dielus lengan janda muda itu berbicara sungguh-sungguh. Serta ramah. Berbeda dengan sebelumnya yang ketus. "Saya belum bisa bayar sewanya, Bu.""Tidak apa-apa, tidak usah pikirkan itu. Maafkan saya Ayra, tadi saya sudah menyuruhmu pergi tanpa memperdulikan keadaan kamu." "I-iya, Bu." Tak enak dan bingung Ayra menanggapinya. Karna tiba-tiba semua berubah. Dirinya diberi kesempatan tinggal lagi di kontrakan tanpa pertimbangan biaya sewa. Bu Dita membebaskannya. "Kamu bisa istirahat di dalam." "Tapi dua orang itu, Bu?""Mereka sudah pergi. Mencari kontrakan lain.""Terimakasih banyak ya, Bu.""Sama-sama. Saya pergi dulu, Ayra." Bu Dita meninggalkannya y
"Tidak sudi." Haris tertegun. Ayra menolaknya. Bahkan, dengan kata-kata sangat tidak enak didengar. Seperti dulu dia pernah melontarkan kalimat itu. Saat ibunya meminta rujuk. Sekarang Ayra mengatakannya. Haris tertohok. Rasanya sesakit itu. "Aku tidak mau rujuk." Dia semakin mempertegas. "Apa?" Haris tak ingin mempercayainya. Dia kira Ayra akan langsung menerima. Dia kira perempuan itu akan senang dia datang. Karna tahu selama ini Ayra sangatlah mencintainya, sampai dia menikah lagi pun mengijinkan. "Aku tidak mau kembali denganmu, Mas." Ayra menatapnya marah juga kecewa atas tuduhannya tanpa bertabayun lebih dulu. Belum lagi kasih sayang yang timpang antara dirinya dan Tisa selama mereka bersama. Sudah teramat sakit hati. Tak ingin merasakan itu lagi. "Kita akan tetap seperti ini. Hanya mantan suami istri." Dengan sendiri seperti ini Ayra merasakan hidup tenang. Merasa lebih baik. Hal yang sudah lama hilang bisa didapatkannya lagi. "Beri aku kesempatan, Ayra." Haris meraih tan
"Udah, biarin. Gak usah dilihat." Satria terus melaju dan semakin dipercepat. Menyisakan Haris yang geram melihat mereka menjauh tanpa mempedulikannya. Lelaki itu hendak menemui Ayra lagi tapi keburu pergi. Dan gagal. Ayra terdiam resah. Takut Haris berpikiran macam-macam. Dan membenarkan lagi tuduhannya selama ini. Ayra jadi menyesali sudah mau naik motor Satria. Seharusnya dia menolak. Satria menyadari Ayra jadi tidak tenang setelah dilihat mantan suaminya itu. Menoleh padanya yang terdiam. "Gak usah dipikirin. Biarin aja." "Nanti Mas Haris menuduh kita macam-macam seperti dulu." "Terpenting kenyataannya tidak seperti itu. Suatu saat semua akan terbongkar kebenarannya." Ayra tidak membalas lagi memilih diam kembali. Masih tidak tenang. Satria memberhentikan motor di depan warung bubur ayam yang baru buka. Ayra lekas turun, memberikan ongkos yang diambil dari tasnya. "Tidak usah. Simpan buat kamu saja." Lelaki itu cepat pergi lagi. Tidak ingin menerimanya. Menjadi tukang ojek h
"Kalian salah paham." Ayra berbicara dengan tenggorokkan serasa tercekat. Tiba-tiba tempatnya didatangi orang-orang ini. Memergokinya bersama Satria. Dilirik lelaki itu, masih melongo atas apa yang didengarnya. Memberi tatapan tajam atas apa yang sudah dia perbuat sampai disangka yang tidak-tidak. "Benar. Kami tidak melakukan apa-apa dan tidak ada hubungan apa-apa." Dia membela diri. Tidak seperti dulu saat di rumah Haris malah mengakui. "Saya hanya membantu Ayra yang lagi sakit." "Alasan. Jelas-jelas tadi kami melihatmu berpelukan." Warga tidak mempercayainya. "Kalian mengaku saja jangan cari-cari alasan," sahut yang lain. "Kita bawa saja ke Pak RT!""Ya, kita bawa lalu nikahkan!"Ayra menggeleng-geleng tidak menyangka semua itu bisa menimpanya. Dia jelas tidak bersalah. Lagi-lagi, semua karna ulah Satria. Seharusnya lelaki itu tidak menemaninya, sampai ikut tidur bersama dan beraninya memeluknya. Dia yang setengah kesadarannya hilang akibat demam tidak begitu menyadari, yang di
Haris sudah rapi bersiap ke kantor. Sudah menyelesaikan sarapan yang disediakan Marni. Sedangkan Tisa tidak terlihat batang hidungnya. "Tisa kok belum pulang sih, Ris? Perempuan hamil besar seharusnya jangan bepergian sendiri. Bagaimana kalau terjadi sesuatu?" Marni terlihat cemas tapi juga tak suka Tisa lama pergi. Perempuan itu sering bepergian keadaan hamil pun. "Katanya sebentar. Tapi dari kemarin sampai sekarang belum pulang. Kamu telepon coba, Ris. Jangan sering kelayapan. Mana lagi hamil besar." Tanpa menimpali ibunya, Haris segera menghubunginya. Namun Tisa tidak menerima telepon. Tak kunjung diangkat. "Dia tidak bisa dihubungi." "Ya ampun. HPL-nya sudah lewat, harusnya dia hawatir dan harus sudah bedres di rumah." Haris pun merasa kesal. Sudahlah ditinggal Ayra sekarang istri mudanya juga sering tidak ada. "Aku akan menjemputnya sebelum ke kantor." "Bawa pulang dan kamu tegasi dia untuk jangan begitu lagi, Ris." "Baik, Bu." Haris beranjak ke luar rumah diikuti Marni
"Mas Haris?" Ayra membelalak, lantas menoleh pada Satria yang tampak biasa saja. Sama sekali tidak ada sorot takut terhadap kakaknya itu. "Hina apanya? Kami tidak berbuat seperti itu." Dia bicara lugas dan tegas. "Justru kamu yang lebih hina, tidak bisa melihat kebenaran," tambahnya. Seketika membuat Haris mengha-jar wajahnya. Ayra menjerit. Terlebih, Haris melakukannya tidak sekali dengan gerakkan cepat. Lelaki itu tidak dapat menahan diri lagi. "Cukup. Hentikan. Jangan pukul Mas Satria!" Haris melihat padanya. "Mas Satria?" ujarnya tersenyum sinis. "Karna sekarang dia suamimu jadi memanggil seperti itu, begitu? Kamu senang, hah? Akhirnya bisa berkumpul dengan teman zinamu ini?" Bugh! Belum sempat Ayra menjawab Satria gantian mengha-jar wajahnya. Lelaki itu memekik dan sedikit mundur. Menyentuh sudut bibirnya yang berdarah. Sama seperti dirinya, dia bahkan lebih dari satu di pelipis dan hidung. Haris hendak membalas tersulut emosi, tapi kali ini Satria menahannya. "Pergi da