Share

BAB 5

Author: Tika Pena
last update Last Updated: 2023-11-22 12:35:06

"Satria? Jadi kamu orangnya?!" 

Ayra tidak menyangka. Yang setiap pagi memberikan makanan padanya ternyata mantan ipar. 

"Ya ... dari aku." Satria sudah tenang kembali mencoba tersenyum. 

"Untuk apa kamu lakuin itu?" 

"Pengen aja berbagi sama kamu."

"Gak usah. Aku tidak butuh bantuan orang yang sudah fitnah aku. Bawa kembali makanan itu." 

"Ayra maaf ... karna itu aku merasa bersalah dan mau nebus kesalahan itu."

"Dengan memberi makanan? Itu tidak bisa mengembalikan harga diriku!" Ayra hendak menutup pintu tapi ditahan. 

"Pergi kamu. Jangan ke sini lagi!"   

"Ayra, aku minta maaf. Aku tahu kamu membutuhkan bantuan. Ambil apa yang sudah aku bawa ini." Satria kembali menyodorkan kantong makanan itu. 

"Bawa pulang saja. Dan untuk semua makanan yang kamu beri dan sudah aku makan, aku akan menggantinya!" 

"Tidak usah diganti, Ayra."

Ayra berusaha menutup pintu dan kali ini berhasil. Dia bersandar pada pintu tersebut. 

"Ayra!" 

"Pergi atau aku akan teriak!" 

Lelaki itu menunduk tidak memaksa lagi. Menatap kantong makanan yang kali ini gagal diberikan. Ayra masih marah terhadapnya. Menolak meski membutuhkan. 

Ayra sebal terhadapnya. Sudah mengaku palsu. Membuat fitnah. Membuat dirinya hina di mata Haris. Sekarang, dia berani memanggil nama tanpa sebutan 'mbak' atau 'kak' lagi setelah bercerai. Ayra tidak tahu tempat yang ditinggali sekarang pun atas bantuannya. 

Satria masih berdiri di luar menatap cat pintu yang pudar. Membayangkan hari-hari mantan kakak ipar tidak nyaman berada di tempat ini. Tidak mudah untuknya yang terbiasa hidup enak dengan kakak laki-lakinya, sekarang hidup serba kekurangan. 

Kemudian berbalik pergi melangkah dengan berat hati. 

Ayra bernafas lega melihatnya menjauh dari kaca jendela. Kemudian bergegas ke kamar mandi. 

Membeli sarapan dan mencoba mencari lowongan pekerjaan lagi setelahnya. 

Seperti biasa masih belum ada. Sudah menanyakan pada Bu Dita, menawarkan jadi pembantu di rumahnya tapi sudah ada pekerja. 

Ayra terdiam melihat pemulung anak kecil di jalan dan di tempat sam-pah dengan karung kecil di tangan. Memungut botol-botol minuman bekas juga kardus-kardus. 

"Ya Allah." Batin Ayra berperang. 'Apa aku harus melakukan itu?' sementara menunggu dapat pekerjaan. Dari pada diam. Mengumpulkan barang bekas kemudian dijual. 

"Bismillah. Aku harus mau melakukan apapun. Terpenting halal dan bukan mencuri." Ayra melangkah di antara gejolak hati, mendekat pada anak kecil itu di dekat tumpukkan sam-pah tepi jalan. 

Menitik air matanya tapi juga tersenyum, meyakinkan diri penderitaannya belum seberapa dibanding anak itu, masih kecil sudah berkutat dengan pekerjaan mulung. Pasti lebih pedih hidupnya dan Ayra harus bersyukur. 

"Dek, boleh Kakak mulung di sini?"

Anak laki-laki berusia sembilan tahun itu menoleh. "Mulung barang bekas?" tanyanya polos tapi juga heran. 

"Iya." 

"Boleh. Tapi buat apa, Kak?"

"Buat ... dijual sama seperti adek."

"Kakak mau jadi pemulung?" Ayra mengangguk kaku. Anak itu memperhatikannya semakin heran. 

"Kakak cantik, sayang jadi pemulung. Memangnya Kakak gak malu?" 

"Tidak apa-apa kok." Ayra terus berusaha meyakinkan dalam pedih. "Dijual perkilo kan, Dek?"

"Iya."

"Tempat jualnya di mana di sini?"

"Ada. Nanti bisa aku tunjukkan, Kak."

"Terimakasih ya, sekarang Kakak kumpulin barangnya dulu."

"Sama-sama, Kak." Mereka berdua sama-sama mencari barang bekas. 

Ayra menemukan karung kecil di tempat samp4h tersebut. Menjadi wadah. Memasukkan botol minuman yang dia temukan ke dalamnya. Ayra tersenyum pahit ke arah anak itu yang tenang dan terbiasa. Dia kemudian pergi. 

"Mau ke mana, Dek?" 

"Cari di tempat lain, Kak." 

"Tapi di sini masih ada."

"Buat Kakak saja." 

Ayra merasa terharu. Anak itu memilih mencari di tempat lain membiarkannya memungut barang bekas di sini. Mulia sekali. Ayra pun meneruskan memungut barang-barang bekas yang ada. 

Setelah dirasa tidak ada. Dia juga pindah. Menyusuri jalan. Merasa risih saat pengendara yang lewat memperhatikannya. Ayra terus menunduk saja. Jujur, malu tapi harus mau. 

Sungkan saat melewati warung dan beberapa pemuda tengah nongkrong di sana. Terdiam ingin mengambil beberapa botol kemasan bekas minum. Tapi ragu. Dia lalu memberanikan diri mengambil cepat. Memasukkannya dalam karung. 

"Ini bener pemulung? Baru kali ini gue nemu pemulung secantik ini." Salah satu dari tiga orang itu bicara. 

"Gue gak salah liatkan?" Mereka terus memperhatikan terheran-heran. 

"Gi-la. Baru kali ini nemu pemulung sebening dan semulus ini." Yang lain ikut bicara. 

"Dari pada mulung mending kerja sama Abang aja. Kerja nemenin di kasur. Enak," timpal teman satunya sembari tersenyum menggoda. Juga diiringi kekehan kecil. 

Ayra resah mendengarnya. Tidak nyaman. "Neng!" Dia cepat pergi saat dipanggil. Takut dikejar orang itu. Takut diganggu. 

Berjalan lagi sambil mera-ba dada yang berdegup. Tidak mau menjumpai laki-laki genit seperti itu lagi. Tetapi melihat karung, barangnya baru dapat sedikit. Dia harus mencari lagi. 

Menyingkirkan rasa takut juga rasa malu-malunya Ayra mengambil barang bekas di tong sam-pah yang baru dijumpai. Mencoba abai dengan tatapan orang sekitar. Lebih sering menundukkan pandangan. 

"Sat. Sat!"  

Satria yang tengah menunduk memainkan ponsel merasa terganggu temannya mengguncang bahunya. "Jangan ganggu gue. Fokus aja nyetir." 

"Lihat itu! Bukannya itu cewek lo?" Deni menghadapkan wajahnya untuk melihat Ayra. Seketika Satria melebarkan mata melihatnya. 

"Benerkan cewek lo itu? Yang tempo hari gue kasih tau alamat kontrakan." 

Satria memperhatikannya memungut botol bekas dan memasukkan dalam karung. 

"Dia ... mulung? Sat, masa cewek secakep itu mulung si? Itu gak bener kan? Sayang banget." 

"Berhenti!" Deni pun mengikuti instruksinya memberhentikan mobil. "Lo tunggu di sini."

"Oke." 

Satria membuka pintu dan turun. Cepat menghampiri Ayra. Berhenti tidak jauh di depannya. Memperhatikan lagi dia dengan stelan daster murah dan hijab instan ditambah berkegiatan mulung barang bekas. Satria terenyuh. Tidak tega. Ingin menyangkal tapi itu benar Ayra. Bukan orang lain. Dia tak habis pikir. 

Entah bagaimana jika Haris melihatnya? Apa akan iba seperti dirinya atau puas melihat mantan istri menderita?

"Ayra," panggilnya. Ayra mendongak. Membelalak melihatnya. 

"Kamu gak boleh kaya gini." Satria menahan tangannya yang hendak mengambil botol bekas minum. 

"Lepas!" Ayra tidak suka tindakannya. 

"Berhenti. Jangan lakuin kaya gini lagi." Satria merebut karung yang dipegangnya memasukkan dalam tong sampah. 

"Satria kamu apaan?!" Ayra berang. 

"Jangan jadi pemulung."

"Kenapa? Ini halal dari pada mencuri!" 

"Kamu tidak pantas Ayra. Kalau kamu butuh uang aku bisa kasih, jangan mulung." Satria memberikan lembaran uang merah, diambil dari dompetnya.  

"Tidak." Ayra menepis. 

"Terima, Ayra. Kamu tidak usah takut. Ini uang halal. Aku iklas." Dia tidak mau melihatnya memungut barang bekas lagi. 

Ayra menggeleng dengan lelehan air mata. Sedih, marah, malu, lelah, campur aduk menjadi satu. 

Satria memaksa mengepalkan uang itu di telapaknya dan menggenggam. "Aku gak mau melihat kamu seperti ini. Dan gak akan ngebiarin kamu seperti ini." 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 87

    "Sasya sudah lahiran. Bayinya laki-laki," ujar Ayra. Satria mengeryit heran dari mana istrinya tahu soal ini? Dia sendiri saja tidak tahu. "Kok kamu tau?""Tau aja." Ayra berkata santai. "Tau dari mana? Temenan aja engga," cecar Satria. Mereka hanya tau wanita itu sakit perut saat di rumah sakit. Tidak tahu jenis kelamin bayi. Tapi Ayra? Entah dari siapa bisa tahu. "Bilang tau dari siapa?" tanya Satria lagi sedikit jengkel karna Ayra tidak mau buru-buru menjawab, malah memakan kue manis di hadapan dengan santainya. "Jawab, Ayra. Jangan buat aku penasaran," tekannya. "Gak mau." Satria menyentak pinggangnya hingga merapat. "Katakan." "Apaan sih, Mas.""Atau aku cium nih." Ayra masih diam saja malah senyum-senyum. Dia tidak takut dicium. "Atau aku melakukannya di sini. Buka baju kamu." Ayra melotot mendengar itu. Ini di ruang tamu. Satria tidak peduli, justru menyeringai dan mencoba membuka kancing bajunya. "Jangan, Mas!" Ayra pun menyingkirkan tangan tersebut. "Bagaimana kal

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU    BAB 86

    Sasya kesakitan, terus meraung menangis. "Sakit, Maa." Pada mamanya dia mengadu. "Padahal belum HPL-nya kok perut kamu sudah sakit aja." Mamanya pun heran. Dia sibuk mengusap keringat putrinya itu. Ibu mertua juga mengusap-usap perut Sasya. Alex cemas dan merasa bersalah. Gara-gara dia memaksa pergi tadi, Sasya jadi kesakitan. Dia menunduk memegangi tangan istrinya. Tapi oleh Sasya ditepis. "Pergi!" Bahkan dia diusir. "Sayang, gak boleh begitu," tegur mamanya. "Alex suami kamu. Dia sudah baik mau nemenin kamu periksa kandungan.""Ini semua gara-gara dia, Mama. Perut aku jadi sakit. Dia menyeretku pulang!" "Apa? Kamu benar melakukan itu Alex?" Mama Alex pun tidak diam saja mendengar itu. "Aku minta maaf. Aku cuma ngajak dia jalan cepet tadi.""Harusnya tidak boleh seperti itu, Alex!" Mamanya membentaknya. "Aku tau aku salah. Aku emosi tadi karna Sasya nyentuh pipi Satria." "Kalian bertemu Satria?" tanya Mama Sasya. Alex mengangguk. "Dia dan istrinya juga di sini tadi. Habis c

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 85

    Sasya termenung dalam kamar, sambil mengusap perut gendutnya. Sekarang usia kehamilan sudah menginjak sembilan bulan. Pipinya lebih berisi, begitu juga tubuh yang menggendut karna nafsu makan bertambah. Sehari-hari, hanya mengurung diri dalam kamar. Dia tidak mau keluar. Malu sekedar bersapa dengan tetangga. Atau bertemu siapapun.Pintu terbuka. Masuk sosok Alex. Datang membawakan bingkisan makanan. Tersenyum saat melihat istrinya itu. "Sayang, aku bawakan makanan untuk kamu." Diletakkan kantung itu di meja samping ranjang. Sasya melirik. Betapa dia perhatian. Dia juga tidak protes terhadap perubahan di tubuhnya. Tapi meski begitu, Sasya masih tidak cinta. Dulu pacaran dengannya sebatas iseng dan kesenangan semata tanpa niat serius untuk dinikahi. Alex hanya pelampiasan rasa kesepian saja. "Aku bukain ya." Alex membuka bingkisan itu. Kemudian meraih sendok yang ada dalam kotaknya hendak menyuapi Sasya. Tapi Sasya menepis, sampai makanan terjatuh. "Kamu gak usah sok baik. Aku gak

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 84

    Mau tidak mau Sasya digiring masuk ke dalam mobil Papanya. Begitu juga Alex, ikut menemani. Mereka meminta maaf atas kegaduhan yang Sasya buat. Mobil itu pun membawa mereka pergi. Satria menghela napas lega. Sekarang, masalahnya benar-benar selesai. Diliriknya Papanya yang ikut hadir di sini. "Terimakasih Papa sudah datang." Dia yang mengajak Papa Sasya untuk melihat kelakuan putrinya. "Akan Papa usahakan supaya pernikahan anak Papa baik-baik saja," jawab lelaki itu tersenyum tenang, sambil menepuk pelan bahunya. Dia tahu prahara yang terjadi dalam rumah tangga anaknya, sebisa mungkin membantu. Satria kemudian melihat Haris. "Terimakasih Mas Haris sudah repot-repot kasih bukti." "Tidak perlu berterimakasih, Satria. Kamu sendiri sudah banyak menolongku. Sudah sewajarnya Masmu membantu." Satria tersenyum mendengar untaian kata-kata sejuk dari sang kakak. Haris jauh lebih dewasa dan lebih bijak. Dengan kesadaran dan keinginannya sendiri dia membantu mencari bukti kebohongan Sasya.

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 83

    "Jangan mengaku-ngaku kamu!" Satria menolak tegas. Yakin itu bukan anaknya. "Usia kehamilanku 6 bulan, tepat setelah kejadian malam itu." "Tidak. Aku yakin aku tidak melakukannya denganmu!" "Kamu harus bertanggung jawab, Mas Satria. Kamu harus nikahin aku. Setelah anak ini lahir aku yakin akan mirip sama kamu." Sasya mengelus-elus kembali perutnya. Lalu melirik Ayra yang masih mematung shock. Matanya memerah dan tampak berkaca-kaca. "Ra, aku rela jadi istri kedua. Ijinkan Mas Satria menikahiku. Kasihan anak ini kalau lahir tanpa Ayah." Sasya memasang wajah memelas. Tidak peduli Ayra yang sakit hati akan kedatangannya, malah meminta berbagi suami. "Selama ini aku diam saja. Aku lalui trimester pertama sendirian. Mual, muntah ... aku tidak ingin mengganggu kalian. Tapi aku tidak bisa terus seperti itu. Aku juga ingin anak ini diakui Ayahnya." Air matanya menetes saat menceritakan itu. Betapa dia ingin bisa bersama Satria. "Aku mencintai Satria. Aku janji akan jadi istri yang baik

  • BAJU ADIKKU DI RANJANG ISTRIKU   BAB 82

    Tisa sudah ditangani dokter dan kini berada di ruang rawat. Setetes demi setetes cairan terjatuh dari kantung infusan, mengalir lewat selang dan masuk ke tubuh perempuan itu melalui jarum infus. Haris berdiri memperhatikan. Tisa tidak berdaya oleh penyakitnya. Selama ini dia menahan sendirian. Entah bagaimana jadinya jika dia tidak pergi ke kontrakannya. Sepasang matanya yang terpejam akhirnya terbuka secara perlahan. Melihat hanya Haris seorang yang ada di dekatnya. "Mas ...." lirih dia memanggil. "Kamu di rumah sakit. Aku yang membawa ke sini." Mata Tisa berkaca-kaca, dia kira dirinya sudah mati. Tapi ternyata dibawa berobat. "Kamu tidak usah bawa aku ke sini, Mas." "Mana mungkin orang hampir sekarat kubiarkan." Haris tidak setega itu, meski keduanya pernah saling membenci. "Dendy mana, Mas?""Di luar bersama Tia. Anak kecil tidak boleh masuk." "Aku ingin bertemu.""Harus sembuh dulu." Tisa menunduk sedih. Menyesal tidak pergi ke rumah Haris untuk menemui anaknya. Menyesal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status