Share

BAB 5

"Satria? Jadi kamu orangnya?!" 

Ayra tidak menyangka. Yang setiap pagi memberikan makanan padanya ternyata mantan ipar. 

"Ya ... dari aku." Satria sudah tenang kembali mencoba tersenyum. 

"Untuk apa kamu lakuin itu?" 

"Pengen aja berbagi sama kamu."

"Gak usah. Aku tidak butuh bantuan orang yang sudah fitnah aku. Bawa kembali makanan itu." 

"Ayra maaf ... karna itu aku merasa bersalah dan mau nebus kesalahan itu."

"Dengan memberi makanan? Itu tidak bisa mengembalikan harga diriku!" Ayra hendak menutup pintu tapi ditahan. 

"Pergi kamu. Jangan ke sini lagi!"   

"Ayra, aku minta maaf. Aku tahu kamu membutuhkan bantuan. Ambil apa yang sudah aku bawa ini." Satria kembali menyodorkan kantong makanan itu. 

"Bawa pulang saja. Dan untuk semua makanan yang kamu beri dan sudah aku makan, aku akan menggantinya!" 

"Tidak usah diganti, Ayra."

Ayra berusaha menutup pintu dan kali ini berhasil. Dia bersandar pada pintu tersebut. 

"Ayra!" 

"Pergi atau aku akan teriak!" 

Lelaki itu menunduk tidak memaksa lagi. Menatap kantong makanan yang kali ini gagal diberikan. Ayra masih marah terhadapnya. Menolak meski membutuhkan. 

Ayra sebal terhadapnya. Sudah mengaku palsu. Membuat fitnah. Membuat dirinya hina di mata Haris. Sekarang, dia berani memanggil nama tanpa sebutan 'mbak' atau 'kak' lagi setelah bercerai. Ayra tidak tahu tempat yang ditinggali sekarang pun atas bantuannya. 

Satria masih berdiri di luar menatap cat pintu yang pudar. Membayangkan hari-hari mantan kakak ipar tidak nyaman berada di tempat ini. Tidak mudah untuknya yang terbiasa hidup enak dengan kakak laki-lakinya, sekarang hidup serba kekurangan. 

Kemudian berbalik pergi melangkah dengan berat hati. 

Ayra bernafas lega melihatnya menjauh dari kaca jendela. Kemudian bergegas ke kamar mandi. 

Membeli sarapan dan mencoba mencari lowongan pekerjaan lagi setelahnya. 

Seperti biasa masih belum ada. Sudah menanyakan pada Bu Dita, menawarkan jadi pembantu di rumahnya tapi sudah ada pekerja. 

Ayra terdiam melihat pemulung anak kecil di jalan dan di tempat sam-pah dengan karung kecil di tangan. Memungut botol-botol minuman bekas juga kardus-kardus. 

"Ya Allah." Batin Ayra berperang. 'Apa aku harus melakukan itu?' sementara menunggu dapat pekerjaan. Dari pada diam. Mengumpulkan barang bekas kemudian dijual. 

"Bismillah. Aku harus mau melakukan apapun. Terpenting halal dan bukan mencuri." Ayra melangkah di antara gejolak hati, mendekat pada anak kecil itu di dekat tumpukkan sam-pah tepi jalan. 

Menitik air matanya tapi juga tersenyum, meyakinkan diri penderitaannya belum seberapa dibanding anak itu, masih kecil sudah berkutat dengan pekerjaan mulung. Pasti lebih pedih hidupnya dan Ayra harus bersyukur. 

"Dek, boleh Kakak mulung di sini?"

Anak laki-laki berusia sembilan tahun itu menoleh. "Mulung barang bekas?" tanyanya polos tapi juga heran. 

"Iya." 

"Boleh. Tapi buat apa, Kak?"

"Buat ... dijual sama seperti adek."

"Kakak mau jadi pemulung?" Ayra mengangguk kaku. Anak itu memperhatikannya semakin heran. 

"Kakak cantik, sayang jadi pemulung. Memangnya Kakak gak malu?" 

"Tidak apa-apa kok." Ayra terus berusaha meyakinkan dalam pedih. "Dijual perkilo kan, Dek?"

"Iya."

"Tempat jualnya di mana di sini?"

"Ada. Nanti bisa aku tunjukkan, Kak."

"Terimakasih ya, sekarang Kakak kumpulin barangnya dulu."

"Sama-sama, Kak." Mereka berdua sama-sama mencari barang bekas. 

Ayra menemukan karung kecil di tempat samp4h tersebut. Menjadi wadah. Memasukkan botol minuman yang dia temukan ke dalamnya. Ayra tersenyum pahit ke arah anak itu yang tenang dan terbiasa. Dia kemudian pergi. 

"Mau ke mana, Dek?" 

"Cari di tempat lain, Kak." 

"Tapi di sini masih ada."

"Buat Kakak saja." 

Ayra merasa terharu. Anak itu memilih mencari di tempat lain membiarkannya memungut barang bekas di sini. Mulia sekali. Ayra pun meneruskan memungut barang-barang bekas yang ada. 

Setelah dirasa tidak ada. Dia juga pindah. Menyusuri jalan. Merasa risih saat pengendara yang lewat memperhatikannya. Ayra terus menunduk saja. Jujur, malu tapi harus mau. 

Sungkan saat melewati warung dan beberapa pemuda tengah nongkrong di sana. Terdiam ingin mengambil beberapa botol kemasan bekas minum. Tapi ragu. Dia lalu memberanikan diri mengambil cepat. Memasukkannya dalam karung. 

"Ini bener pemulung? Baru kali ini gue nemu pemulung secantik ini." Salah satu dari tiga orang itu bicara. 

"Gue gak salah liatkan?" Mereka terus memperhatikan terheran-heran. 

"Gi-la. Baru kali ini nemu pemulung sebening dan semulus ini." Yang lain ikut bicara. 

"Dari pada mulung mending kerja sama Abang aja. Kerja nemenin di kasur. Enak," timpal teman satunya sembari tersenyum menggoda. Juga diiringi kekehan kecil. 

Ayra resah mendengarnya. Tidak nyaman. "Neng!" Dia cepat pergi saat dipanggil. Takut dikejar orang itu. Takut diganggu. 

Berjalan lagi sambil mera-ba dada yang berdegup. Tidak mau menjumpai laki-laki genit seperti itu lagi. Tetapi melihat karung, barangnya baru dapat sedikit. Dia harus mencari lagi. 

Menyingkirkan rasa takut juga rasa malu-malunya Ayra mengambil barang bekas di tong sam-pah yang baru dijumpai. Mencoba abai dengan tatapan orang sekitar. Lebih sering menundukkan pandangan. 

"Sat. Sat!"  

Satria yang tengah menunduk memainkan ponsel merasa terganggu temannya mengguncang bahunya. "Jangan ganggu gue. Fokus aja nyetir." 

"Lihat itu! Bukannya itu cewek lo?" Deni menghadapkan wajahnya untuk melihat Ayra. Seketika Satria melebarkan mata melihatnya. 

"Benerkan cewek lo itu? Yang tempo hari gue kasih tau alamat kontrakan." 

Satria memperhatikannya memungut botol bekas dan memasukkan dalam karung. 

"Dia ... mulung? Sat, masa cewek secakep itu mulung si? Itu gak bener kan? Sayang banget." 

"Berhenti!" Deni pun mengikuti instruksinya memberhentikan mobil. "Lo tunggu di sini."

"Oke." 

Satria membuka pintu dan turun. Cepat menghampiri Ayra. Berhenti tidak jauh di depannya. Memperhatikan lagi dia dengan stelan daster murah dan hijab instan ditambah berkegiatan mulung barang bekas. Satria terenyuh. Tidak tega. Ingin menyangkal tapi itu benar Ayra. Bukan orang lain. Dia tak habis pikir. 

Entah bagaimana jika Haris melihatnya? Apa akan iba seperti dirinya atau puas melihat mantan istri menderita?

"Ayra," panggilnya. Ayra mendongak. Membelalak melihatnya. 

"Kamu gak boleh kaya gini." Satria menahan tangannya yang hendak mengambil botol bekas minum. 

"Lepas!" Ayra tidak suka tindakannya. 

"Berhenti. Jangan lakuin kaya gini lagi." Satria merebut karung yang dipegangnya memasukkan dalam tong sampah. 

"Satria kamu apaan?!" Ayra berang. 

"Jangan jadi pemulung."

"Kenapa? Ini halal dari pada mencuri!" 

"Kamu tidak pantas Ayra. Kalau kamu butuh uang aku bisa kasih, jangan mulung." Satria memberikan lembaran uang merah, diambil dari dompetnya.  

"Tidak." Ayra menepis. 

"Terima, Ayra. Kamu tidak usah takut. Ini uang halal. Aku iklas." Dia tidak mau melihatnya memungut barang bekas lagi. 

Ayra menggeleng dengan lelehan air mata. Sedih, marah, malu, lelah, campur aduk menjadi satu. 

Satria memaksa mengepalkan uang itu di telapaknya dan menggenggam. "Aku gak mau melihat kamu seperti ini. Dan gak akan ngebiarin kamu seperti ini." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status