Share

5

Penulis: Fitri Soh
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-08 09:27:34

"Kamu yakin, Cin, mau saksikan ijab kabul Mas dan Anita?"

 

Sebenarnya tidak yakin, tapi aku mencoba memantapkan hati. Lebih baik berdamai dengan keadaan daripada berlarut-larut dalam kepedihan. 

 

"Iya. Tapi ... aku gak mau tanda tangan. Mas hanya boleh menikahinya secara siri."

 

Aku menarik napas, tanganku dengan cepat menyusut air mata yang terus mengucur tak mau berhenti. Dalam hati, terus kuucap istighfar. Astaghfirullah. Astaghfirullah. Aku sadar telah egoist, tapi ... entahlah. Aku tak sanggup membayangkan jika semua harta nanti harus dibagi dengan Anita juga. Dua vila di Bogor yang tiap bulan selalu membuat tabungan kami mengembung, 5 hektar sawah, dua mobil milikku dan satu punya Mas Yoga yang belum lunas. Astaghfirullah. Maafkan hamba yang terlalu manusiawi. Jika harta benda itu akhirnya harus berpindah tangan, maka itu untuk Farhan dan Caca. Bukan untuk anak-anak Anita kelak. 

 

Mas Yoga memandangku cukup lama, entah hanya perasaanku saja, tapi sesaat ia terlihat sedih. Lalu perlahan senyumnya mengembang lalu ia mengangguk. Ditariknya tubuhku ke dalam dekapannya yang nyaman. Aku selalu suka begini. Hangat. Nyaman. Seolah melindungi. Namun, kenapa sekarang terasa berbeda? 

 

Sebentar lagi, aku dan perempuan bernama Anita itu akan berbagi dada bidang ini. Ya, Tuhan. Kenapa membayangkan hal itu begitu menyesakkan dada?

 

***

 

Sepanjang proses ijab kabul berlangsung, mataku terus mencuri-curi pandang ke arah perut Anita, lalu bergantian ke wajah hitam manisnya yang dirias tipis. Sesekali gadis mungil itu tampak membekap mulut, lalu tersenyum-senyum, matanya yang bulat jernih tampak berbinar senang, senyum terus terkembang di bibir seksinya yang merah merekah. membuatku semakin yakin pasti terjadi sesuatu yang tidak beres.

Aku perempuan, pernah hamil dan melahirkan.

Setiap hari bertatap muka dengan pasien. Pasti ....

 

Membayangkan hal itu, membuat air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya luruh juga, meluncur deras saling berkejaran. Apa jangan-jangan Mas Yoga sudah lama mengkhianatiku? 

 

Kugigit bibir kuat saat merasakan nyeri di dada. Aku menunduk, mendengarkan proses ijab kabul sambil sibuk menyeka air mata. Aku baru benar-benar menatap ke arah Mas Yoga dan perempuan mungil di sampingnya saat terdengar teriakan,

 

"Ayah! Kenapa ayah cium dia? Kasihan bunda! Bunda, kenapa Bunda diam saja?!"

 

Perhatian sebagian orang langsung tertuju padaku, lalu berganti ke Farhan yang berdiri di sampingku duduk. Tangan Farhan menuding ke arah Anita, wajahnya menatap Mas Yoga penuh benci.

 

"Apa ayah tidak sayang bunda?!"

 

"Sayang, duduk." Nasihatku karena malu orang-orang memandang kemari. Farhan memandangku, tatapan kesal masih melekat kuat di matanya.

 

"Kenapa bunda hanya nangis? Ayah cium orang itu, harusnya bunda marah!"

Ucapan Farhan membuatku semakin larut dalam kepedihan. Aku tersengal. Lalu karena tak tahan terus menjadi pusat perhatian, akhirnya aku berdiri.

 

"Maafkan aku, Mas. Aku tidak tahan. Aku tidak kuat. Tolong jaga anak-anak." 

 

Mas Yoga memandangku dengan mata berkaca-kaca. Ia hendak berdiri, tapi perempuan di sebelahnya langsung menarik tangannya agar kembali duduk.

Pedih. Kenapa begini pedih? Segera kubalikkan badan lalu berlari keluar. Terus berlari ke arah jalan menerjang hujan. Guntur dan petir yang terus mencipta cahaya keperakan di langit pekat sama sekali tak kupedulikan. Takut, sebenarnya.

Bagaimana kalau aku kesambar petir lalu anak-anak menjadi yatim? Lalu, Anita akan menjadi istri sah Mas Yoga. Ya Tuhan, ampuni hamba. Bahkan disaat begini, masih saja memikirkan anak-anak dan suami tercinta. Maafkan hambamu yang lemah ini, Tuhan.

 

"Dek. Tunggu. Dek, tunggu! Cinta!"

 

Suara itu begitu lekang dalam ingatan. Aku menoleh. Itu Mas Yoga berlari mendekat. Kemeja putihnya basah kuyup. Ia berlari semakin dekat lalu memelukku. Aku terisak dalam pelukannya. Bahkan disaat hati terasa begitu hancur, aku tetap tak sanggup menolak pesonanya. Aku terlalu cinta. Sungguh sangat cinta. Tapi aku tak rela dimadu. Tak siap berbagi. Ini terlalu menyakitkan ternyata. Haruskah memilih lepas darinya saja? Tapi bagiamana nasib anak-anak yang butuh sosok anak jika memilih cerai?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • BALAS DENDAM CANTIK    40

    Aku menatap ke arah pintu yang perlahan membuka. Mas Yoga masuk membawa jus wortel. Ia duduk di bibir ranjang, sambil tersenyum kecil mengulurkan gelas itu padaku. Aku terus diam menatapnya tanpa ekspresi. Semua tak lagi sama, Mas. Meskipun sekarang kamu bersikap baik, keputusan untuk cerai tak bisa diganggu gugat. Sampai kapan pun, aku tak mau dimadu.Mas Yoga memajukan gelas di tangannya lebih dekat ke arahku. Karena aku terus diam, ia akhirnya menempelkan gelas ke mulutku."Aku selalu ingat hampir tiap pagi dan malam kamu meminum ini." Tatapnya, aku berpaling darinya. Memperhatikan matahari pagi yang menyinari dedaunan."Bundaa!" Itu suara Caca. Aku menegakkan tubuh lalu merentangkan tangan saat putri kecilku itu berlari mendekat. Kucium pipinya dan memangkunya."Caca mau ikut bunda, gak?" Tatapku. Caca memandangku penuh minat."Ke mana, Bun?""Pengadilan agama."Wajah Mas Yoga menegang. Ia menegakkan tubuh. Tangannya meremas gelas cukup kuat. Aku pura-pura tak melihat."Caca tungg

  • BALAS DENDAM CANTIK    39

    Cinta memandangku dengan wajah jengkel bercampur penasaran. "Apa, Mas? Katakan saja mumpung aku masih mau mendengar."Kugelengkan kepala melihat tingkahnya. Ia bersidekap di dada dan memandangku angkuh."Ayo katakan, Mas?!""Aku menikahi Anita sebenarnya karena ...." Aku menarik napas dalam saat teringat perkataan Mas Yogi tempo hari."Kamu harus menyembunyikan ini dari istrimu. Dia mudah keceplosan. Setelah Anita melahirkan, kamu boleh menceraikannya," kata Mas Yogi kala itu sambil menatap penuh harap."Ayo cepat katakan, Mas.""Cinta, aku ...." Aku menatapnya ragu. Teringat permintaan Mas Yogi agar aku tetap bungkam membuatku bingung. Kalau mengatakannya, aku takut Cinta akan bilang pada Anita bahwa yang dinikahinya bukan Mas Yogi. Anita tipe yang meledak-ledak. Anita bisa saja langsung mendatangai rumah bapak dan mengatakan bahwa ia hamil anak Mas Yogi. Dan bapak pasti akan kecewa dua sekaligus. Pertama karena Mas Yogi berzina sampai berbuah anak di luar pernikahan, lalu kedua kare

  • BALAS DENDAM CANTIK    38

    "Apa kamu tidak merindukanku, Cin?"Hening cukup lama. Aku dan Mas Yoga saling menatap. Aku rindu, Mas. Sangat rindu. Bahkan saat ini aku sebenarnya ingin sekali memelukmu, tapi menahannya karena semua tak lagi sama. Kembali membuka mati, berarti harus siap menanggung rasa sakit lagi. "Cin?"Ditangkupnya wajahku dengan kedua tangan, tapi aku berpaling menghindari tatap dengannya. Tanganku bergerak pelan menepis tangannya."Di mana Anita?" tanyaku sambil menatap keluar kamar. Mas Yoga mengikuti arah tatapanku. Terlihat jelas bahwa Mas Yoga kecewa dengan sikapku, tapi aku bersikap cuek. Mencoba cuek walau hatiku remuk dan sakit. Perih, andai kamu tahu."Dia sedang ke rumah ibunya.""Kenapa kamu gak mengantar istri kesayanganmu itu?" Nadaku sinis. Mas Yoga memandangku terkejut."Aku sengaja tetap di rumah agar bisa menyambutmu." Ia terlihat menahan kesal.Aku memperhatikannya lama, lalu tersenyum mengejek. "Kamu gak perlu menyambut perempuan jahat sepertiku, Mas." Aku keluar dari kamar.

  • BALAS DENDAM CANTIK    37 B

    "Lima belas tahun lalu, aku masih jadi preman pasar bersama Tara dan Redi. Semua orang takut pada kami karena aku tak segan main fisik." Tatapnya."Pistol yang kutemukan itu, apa ...."Ia mengangguk. "Sebelum mengasuh Putri, aku seolah tak punya tujuan hidup, Cinta. Perempuan yang kucintai terus saja menolakku. Aku berbuat semaunya sendiri sampai meresahkan warga. Siapa pun yang berani mengusikku juga keluargaku, dia akan terima akibatnya."Sungguh mengerikan ternyata dia. Aku memilih menatap ke arah lain saat kami beradu tatap. Aku baru menatapnya saat mendengar kekehan kecil."Apa kamu akan mengurungkan niat menikah denganku?" Didongakkannya wajahku menghadapnya. Bertatapan dengan jarak yang begitu dekat, membuatku sangat malu. Aku mengalihkan pandang ke arah lain. Pada rumah-rumah panggung yang terpacak di bibir sunga. Mas Zain naik ke jembatan, ia terlibat pembicaraan pada seorang perempuan tua lalu menerima uang. Mas Zain menuju rumah dengan banyak plastik berisi kerupuk yang dig

  • BALAS DENDAM CANTIK    37

    Astagaaa, sepertinya aku akan gilaa!" Teriak Neni di pagi hari yang cerah saat aku baru selesai mandi juga memandikan Caca. Caca kini tengah makan tempe goreng sambil menonton televisi. Wajah Caca begitu riang setelah aku mengatakan besok kami akan ke Jakarta bertemu dengan ayahnya. "Ada apa, Nen? Pagi-pagi udah teriak-teriak aja." Aku menatapnya terpana saat ia menuju ke arahku dengan beberapa bunga teratai di tangan. Diulurkannya bunga putih kekuningan itu padaku."Apa ini?""Dari pangeranmu." Luwes sekali ia mengatakan Mas Zain pangeran, astaga. Aku meraih bunga darinya lantas berjalan menuju pintu, tak ada Mas Zain di depan."Dia ke rumah ibunya dulu. Nanti ke sini, katanya. Apa kalian sekarang jadi anak ingusan baru puber yang setiap hari bertemu? Sungguh seperti anak ABG." Ia menggeleng dengan wajah muak.Aku tertawa kecil melihatnya yang pura-pura pingsan di sofa. Kujitak kepalanya sambil duduk lalu menghidu bunga teratai dalam dekapan. Wanginya begitu mendamaikan. Aku terse

  • BALAS DENDAM CANTIK    36

    Ini yang terakhir aku memintanya padamu. Kamu mau jadi istriku atau tidak?" "Ummp ...."Ia mengerutkan kening. Tanpa mengatakan apa pun, aku menepis tangan agar tak lagi mengungkung tubuhku lalu berjalan ke arah meja, meraih aquarium lalu melangkah cepat meninggalkannya."Aku bertanya bukannya dijawab."Aku tak mengindahkannya."Cinta, ada yang tertinggal," katanya saat aku mencapai ambang pintu. Penasaran apa yang sebenarnya tertinggal, aku pun menoleh. Mas Zain mendekat, ia merebut aquarium dari tanganku dan meletakkan kembali ke meja."Apa yang tertinggal?" Aku menatapnya heran.Mas Zain merogoh saku celananya, lalu dengan cepat menyematkan cincin ke jari manisku. Jantungku berdetak kencang saat kami beradu tatap."Jangan pernah mengembalikan padaku lagi."Aku tak menyahut karena begitu malu. Mas Zain meraih bonsai kelapa juga pisau dan berjalan keluar. Ia menoleh di ambang pintu mengisyaratkan agar aku mengikutinya. Sementara ia duduk di bangku kecil fokus membersihkan serabut ke

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status