Share

Bab 5 : Lord Kegelapan

Author: Ryu Nata
last update Last Updated: 2025-11-19 17:11:36

Malam itu, Istana Musim Semi diselimuti oleh keheningan yang menyesatkan. Di luar kamar tidurnya, penjaga kerajaan berpatroli dengan irama yang membosankan—irama yang sudah dihafal Elara di kehidupan sebelumnya.

Elara berganti pakaian. Ia meninggalkan sutra mewah dan jubah kerajaan, menggantinya dengan jubah hitam polos dengan tudung besar, pakaian yang biasa dikenakan oleh pedagang pasar malam. Ia menyembunyikan cincin giok kecil pemberian Ayahnya di balik lapisan jubah. Itu adalah jimat pelindung, yang kini ia bawa sebagai pengingat akan apa yang harus ia lindungi.

Ia tidak membawa senjata. Senjatanya adalah pengetahuan.

Menyelinap keluar dari Istana bagi seorang Putri yang dijaga ketat adalah tindakan bunuh diri, tetapi Elara ingat satu jalan rahasia: terowongan suplai bawah tanah tua yang jarang digunakan, menuju ke gudang penyimpanan rempah-rempah yang berada tepat di luar dinding Istana. Ia pernah menggunakannya saat remaja untuk bertemu dengan anak petani secara diam-diam.

Langkah kakinya ringan dan hening di koridor marmer. Jantungnya berdebar, bukan karena takut tertangkap, tetapi karena kegembiraan strategis.

Akhirnya, ia tiba di pintu rahasia di balik lemari kain linen. Menggeser mekanisme kuno itu membutuhkan tenaga, tetapi Elara berhasil. Udara di terowongan terasa lembap dan dingin, berbau tanah basah dan rempah-rempah yang membusuk.

Setelah sepuluh menit berjalan di dalam kegelapan yang diselingi cahaya obor kecil yang ia bawa, Elara muncul di Gudang Rempah. Pintu keluarnya tersembunyi di balik tumpukan karung lada. Ia menyelinap keluar, dan kini, ia berdiri di pinggir Distrik Malam Ibukota.

Jalanan dipenuhi dengan bau masakan, arak, dan suara tawa riuh. Ini adalah sisi Ibukota yang jarang dilihat oleh bangsawan. Di sinilah Valerian tidak memiliki kendali mutlak.

Tujuan Elara adalah Rumah Teh Bunga Terlarang, tempat Kael biasa bertemu dengan pelanggannya. Rumah teh itu dikenal sebagai pusat informasi gelap, tempat para penguasa dan bandit bernegosiasi.

Setelah berjalan sekitar lima belas menit, Elara menemukan tempat itu. Pintu masuknya tampak biasa, hanya tirai biru tua tanpa tanda. Namun, ada aura dingin dan kewaspadaan yang memancar dari sana.

Elara menarik napas dalam-dalam dan melangkah masuk.

Di dalam, suasananya gelap dan dipenuhi asap dari pembakaran dupa. Para tamu—kebanyakan pria berpakaian gelap dan wanita dengan perhiasan mencolok—berbisik di balik meja rendah.

"Saya mencari Tuan Kael," kata Elara kepada seorang pelayan yang memiliki tato naga di lengan. Suaranya rendah dan tegas.

Pelayan itu menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki, terkejut melihat sosok mungil berbalut jubah gelap. "Apakah Anda punya janji, Nona?"

"Katakan padanya, wanita yang menolak janji penyelamatan di Penjara Utara datang untuk mengambil kembali tawarannya."

Pelayan itu ragu sejenak, lalu membungkuk dan menghilang di balik tirai beludru merah.

Elara menunggu. Jantungnya kini berdetak lebih cepat. Lord Kael adalah kartu liar. Dia adalah penguasa kegelapan, dan membuat kesepakatan dengannya adalah seperti menari di atas mata pisau.

Setelah beberapa saat, tirai merah terbuka. Seorang pria muncul.

Dia tinggi, mengenakan jubah sutra hitam yang sangat mewah. Wajahnya tampan, tetapi sorot matanya yang berwarna abu-abu perak begitu dingin dan menusuk, seolah mampu melihat ke dalam jiwa. Di telinga kirinya, ada anting perak berbentuk bulan sabit. Itu adalah tanda Lord Kael.

"Jarang sekali ada Putri yang masih hidup mendatangi sarangku," suara Kael dalam dan bergetar, penuh ejekan. Dia memberi isyarat agar Elara mengikutinya ke ruangan pribadi.

"Apa yang membuatmu berubah pikiran, Permaisuri Elara?" tanya Kael saat mereka duduk di ruangan kecil itu. Dia menuangkan arak yang berwarna keemasan untuknya. "Aku ingat kau mengatakan bahwa 'hukum kekaisaran harus ditegakkan', bahkan saat itu berarti kematianmu."

Elara melepaskan tudungnya. Ia menatap Kael dengan mata yang penuh tekad dan pengalaman yang seharusnya belum ia miliki.

"Hukum Kekaisaran ditegakkan oleh mereka yang memiliki kekuasaan, Lord Kael," jawab Elara tenang. "Dan kekuasaan itu telah membunuhku sekali. Kali ini, aku tidak mencari hukum. Aku mencari keadilan."

"Dan mengapa kau berpikir aku bisa memberikannya?"

"Karena kau memiliki jaringan yang tidak dimiliki Valerian. Kau memiliki informasi yang ia coba sembunyikan. Dan yang terpenting," Elara mencondongkan tubuh sedikit, suaranya menjadi bisikan berbahaya. "Kau membenci Valerian sama besarnya denganku."

Kael menyipitkan mata. Ada kejutan nyata di matanya. "Aku tidak pernah mengatakan aku membencinya."

"Kau menawarkan pelarian kepada musuh Valerian yang paling lemah—yaitu aku—saat aku di penjara. Itu sudah cukup menjadi pengakuan. Lagipula," Elara tersenyum dingin. "Aku tahu tentang saudaramu yang dibunuh di bawah perintah Valerian saat perebutan tahta."

Wajah Kael mengeras. Kehangatan yang ia tunjukkan langsung lenyap. Elara telah menyentuh luka terbesarnya.

"Siapa kau sebenarnya?" Kael meletakkan cangkirnya dengan bunyi dentang yang keras.

"Aku adalah diriku yang baru," jawab Elara. "Aku tahu Wangsa Kaira akan runtuh dalam tiga bulan. Aku tahu Valerian berencana membunuh Ibu Suri dan menguasai seluruh perbatasan. Aku tahu segalanya, Kael. Dan aku datang bukan untuk meminta, melainkan untuk berinvestasi."

Elara mengeluarkan gulungan kecil dari jubahnya, yang berisi rincian lokasi Benteng Timur dan potensi keuntungannya.

"Aku akan memberimu separuh keuntungan dari semua yang akan kita ambil kembali dari Valerian," tawar Elara. "Tapi sebagai gantinya, aku membutuhkan jaringan informasimu, dan aku ingin kau menjadi mata serta pedang rahasia Wangsa Kaira. Apa tawaranmu?"

Kael mengambil gulungan itu, membacanya cepat, dan kemudian tertawa—tawa yang dalam dan penuh bahaya.

"Permaisuri yang naif telah tiada. Yang tersisa adalah Iblis. Aku suka itu," Kael bersandar santai. Matanya yang keperakan menatap tajam ke mata Elara.

"Baik, Elara Kaira. Aku terima tawaran ini. Tapi, ingat," Kael tersenyum, sebuah janji dan ancaman di saat yang sama. "Di dunia gelapku, harga yang harus dibayar selalu lebih mahal daripada uang."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 8 : Perayaan Ibu Suri dan Benih Curiga

    Malam itu, Istana Kekaisaran mengadakan perayaan kecil untuk menghormati ulang tahun Ibu Suri—sebuah kewajiban formal yang dihadiri oleh semua bangsawan terkemuka. Elara berdiri di Aula Perjamuan, mengenakan gaun sutra ungu yang anggun, tampak tenang dan ramah, tetapi matanya mengamati semua pergerakan. Di tangannya, ia memegang cangkir arak buah, menjauhkan diri dari kerumunan, membiarkan orang lain mengira ia sedang cemas karena kegagalan proyek Valerian hari itu. "Tampaknya Anda sedang merayakan sesuatu, Putri Elara," sebuah suara lembut berbisik di telinganya. Itu adalah Lord Kael. Dia berpakaian berbeda, mengenakan jubah bangsawan kelas atas berwarna abu-abu gelap dengan aksen perak, dan terlihat seperti seorang Duke dari wilayah kaya. Perubahan drastis dari pakaiannya di rumah teh yang gelap. "Saya merayakan kegagalan, Lord Kael," jawab Elara, tidak berbalik, menjaga suaranya tetap rendah. "Kegagalan itu selalu mendatangkan keuntungan, bukan?" Kael tersenyum. "Informas

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 7 : Reuni dengan Sang Pedang Setia

    Ruang kerja Ayahanda, Kepala Wangsa Kaira, terasa pengap oleh ketegangan. Di atas meja mahoni yang berkilauan terhampar peta-peta militer, namun suasana di ruangan itu jauh dari kata damai. Valerian duduk di samping Ayah Elara, Tuan Kaira, dengan senyum yang dipaksakan. Namun, Elara bisa melihat urat nadi yang berdenyut di pelipisnya. Kedatangan Jenderal Orion—sekutu Wangsa Kaira yang dipaksa pensiun—telah mengganggu semua rencana Valerian. Tuan Kaira, sebaliknya, tampak bersemangat. "Aku tak sabar mendengar analisis Jenderal Orion, Yang Mulia. Dia adalah satu-satunya yang berani menantang proyek-proyek yang membuang-buang uang. Putriku, Elara, kau yang mengundangnya. Kau pasti melihat manfaatnya, Nak." "Tentu saja, Ayahanda," jawab Elara lembut. Ia duduk di seberang Valerian. "Saya hanya ingin memastikan bahwa kekayaan Wangsa Kaira digunakan untuk proyek yang benar-benar memperkuat Kekaisaran dan Yang Mulia." Valerian menyela dengan nada sedikit tajam. "Putri Elara, proyek Bente

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 6: Kesepakatan Berdarah

    Keheningan di ruangan pribadi itu terasa berat, hanya diselingi oleh bunyi api yang berderak di perapian. Lord Kael menatap Elara, matanya yang berwarna perak seperti memindai setiap inci jiwanya. "Harga yang lebih mahal daripada uang," ulang Elara, membiarkan tantangan itu menggantung di udara. "Apa harga yang kau maksud, Kael?" Kael tersenyum kecil, senyum yang tidak mencapai matanya. "Aku tidak mencari kekuasaan di Istana, Elara. Aku sudah memiliki duniaku sendiri. Yang kubutuhkan adalah kepatuhan mutlak pada saat yang kuminta. Kau harus melakukan apapun yang kuperintahkan, tanpa pertanyaan, asalkan itu tidak mengancam nyawamu atau tahtamu." Ini adalah permainan berisiko tinggi. Valerian meminta kepatuhan naif karena cinta, sementara Kael meminta kepatuhan mutlak karena kesepakatan. Keduanya adalah bentuk rantai. "Aku setuju," jawab Elara tanpa ragu. "Tetapi ada syarat timbal balik. Kau harus memprioritaskan keselamatan Wangsa Kaira, dan tidak pernah menggunakan informasiku un

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 5 : Lord Kegelapan

    Malam itu, Istana Musim Semi diselimuti oleh keheningan yang menyesatkan. Di luar kamar tidurnya, penjaga kerajaan berpatroli dengan irama yang membosankan—irama yang sudah dihafal Elara di kehidupan sebelumnya. Elara berganti pakaian. Ia meninggalkan sutra mewah dan jubah kerajaan, menggantinya dengan jubah hitam polos dengan tudung besar, pakaian yang biasa dikenakan oleh pedagang pasar malam. Ia menyembunyikan cincin giok kecil pemberian Ayahnya di balik lapisan jubah. Itu adalah jimat pelindung, yang kini ia bawa sebagai pengingat akan apa yang harus ia lindungi. Ia tidak membawa senjata. Senjatanya adalah pengetahuan. Menyelinap keluar dari Istana bagi seorang Putri yang dijaga ketat adalah tindakan bunuh diri, tetapi Elara ingat satu jalan rahasia: terowongan suplai bawah tanah tua yang jarang digunakan, menuju ke gudang penyimpanan rempah-rempah yang berada tepat di luar dinding Istana. Ia pernah menggunakannya saat remaja untuk bertemu dengan anak petani secara diam-diam.

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 4: Strategi Lama dan Sekutu Baru

    Setelah Adelia pergi, dengan bangga membawa misi yang akan menjadi bumerang, Elara segera kembali ke kamarnya. Ia mengunci pintu, memastikan tidak ada pelayan yang menguping. Tidak ada waktu untuk bersantai. Hanya tiga bulan sebelum Wangsa Kaira dihancurkan, dan kunci kehancuran itu terletak pada Proyek Pelabuhan Selatan yang didanai oleh Ayahandanya. Valerian akan menggunakan proyek itu untuk menghabiskan kekayaan Wangsa Kaira, menuduh Ayah Elara menggelapkan dana, dan kemudian merebut sisa hartanya. Di kehidupan pertamanya, Elara, karena cinta, memohon Ayahandanya untuk menyetujui proyek itu. Kini, ia harus menghentikannya. Elara mengeluarkan gulungan peta tua yang disembunyikan di balik ukiran dinding—peta yang dulu ia gunakan untuk bermain di masa kecilnya, tetapi sekarang menyimpan rahasia militer ayahnya. Proyek Pelabuhan Selatan adalah proyek militer yang secara strategis buruk; itu hanya akan membuang-buang uang. Proyek yang benar-benar penting, yang mampu menggandak

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 3: Permainan Adelia dan Cincin Zamrud

    Elara tidak menyukai bagaimana Adelia berdiri. Adiknya berdiri terlalu tegak, tersenyum terlalu manis, dan matanya menyembunyikan perhitungan yang dulu, di kehidupan pertama, tidak pernah Elara sadari. "Kakak Elara, Anda terlihat sangat lelah," kata Adelia, melangkah mendekat dengan langkah anggun yang dipelajari. Ia memegang tangan Elara dengan kehangatan palsu. "Saya sungguh khawatir melihat Anda menemui Putra Mahkota segera setelah bangun tidur." "Khawatir?" tanya Elara, menghela napas lembut, membiarkan ekspresi wajahnya terlihat sedikit rapuh. "Aku baik-baik saja, Adelia. Aku selalu senang melihat Valerian." Tentu saja, Valerian adalah mangsa paling lezat, batin Elara. "Kakakku yang manis, kau selalu terlalu baik," Adelia membelai punggung tangan Elara. Elara ingat gerakan ini. Gerakan yang selalu diikuti oleh permintaan, atau, lebih buruk lagi, oleh pemerasan emosional. Di kehidupan pertama, dua minggu setelah adegan ini, Adelia datang memohon agar Elara membantunya menutu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status