(Pov Amel)
****Namaku Amelia. Perempuan berusia 25 tahun, dengan paras lumayan cantik membuat mata lelaki jelalatan menatapku. Namun, aku tak pernah merasa puas diri, atau memanfaatkan kecantikan yang kumiliki untuk mendapatkan apa yang kumau."Sayang, orang tuaku ingin bertemu denganmu, bisa?" ujar Sam, lelaki yang berstatus kekasihku."Secepat itu?"Ya, memangnya salah?""Tidak. Cuma aku belum siap saja, Sam.""Siap nggak siap kamu harus mau, Amel!" desaknya lagi sambil memanyunkan bibirnya beberapa centi."Ta-tapi, aku ....""Sudah, aku tak suka penolakanmu. Bukannya kamu pernah bilang kamu rindu memiliki orang tua?" ujar Sam, mengingatkan kerinduanku pada kedua orang tuaku.Ya, aku memang haus kasih sayang orang tua. Karena orang tuaku sudah meninggal dunia ketika aku masih SMA, kecelakaan maut yang merenggut nyawa keduanya.🌼🌼🌼"Mau kemana?" tanya seseorang, membuatku kaget seperti maling yang ketahuan hendak mencuri."Aku mau ke dapur, perutku lapar sekali."Tatapan perempuan itu membuatku takut, netranya menyipit memperhatikan tubuhku."Kamu anak baru di sini?" tanya perempuan itu lagi."Anak baru, maksudnya apa?""Ah, jangan pura-pura polos! Kamu mencari dapur, bukan? Dari sini kamu lurus, nanti belok kiri lalu kamu jalan aja sampai ujung!""Makasih, Mbak!""Panggil aku, Reva!""Iya, Mbak Reva."Perempuan yang bernama Reva meninggalkanku begitu saja, dari cara berpakaiannya yang terbuka dia seperti bukan perempuan baik-baik.'Ah, apa peduliku mesti harus menilai dia seperti itu?'Aku kembali berjalan sesuai petunjuk Reva. Ya, aku berhasil menemukan dapur di bagian ujung. di meja makan aku tak menemukan maka
🌼🌼🌼Dari rumah Galuh, Helmi memutuskan untuk mengajak Alif ke lembang. Di sana, memang banyak tempat wisata yang ramah anak-anak."Aku ingin mengajak Alif main, bisa kah kamu menunggu di mobil saja!" ucap Helmi. Ketika mobilnya perlahan masuk parkiran kawasan Floating Market, Lembang."Tidak bisa. Aku di amanahkan oleh Bu Dinda agar menemani Alif kemana pun dia pergi!" sahut Amel ketus."Baiklah."Alif kembali ceria, ketika melihat kereta air di depannya. Sepertinya, ia mulai melupakan kejadian di rumah Galuh tadi pagi.Helmi membeli makanan ikan yang sengaja di jual di situ, lalu mengajak Alif memberi makan ikan-ikan koi yang ukurannya sebesar paha orang dewasa. Helmi sadar, beberapa bulan ini hubungannya dengan Alif sempat terputus karena masalahnya yang tak kunjung usai."Lif, kamu suka ikan-ikan ini?" tanya Helmi."Suka, Ayah." "Ayo, ka
****Helmi yang memang sudah pamit dari semalam, ia lebih memilih untuk berangkat dini hari. Selain menghindari jalanan yang macet, ia tak mau harus berdebat dengan mamanya.Ia menurunkan koper besar, lalu memasukkan beberapa potong pakaian miliknya. Gerakannya sengaja ia pelankan, agar Mariah tetap tertidur.Kemudian ia mengambil selembar kertas kosong dari dalam laci, ia menuliskan sesuatu, lalu menaruhnya di atas meja istrinya.Tanpa kembali pamit atau mencium kening istrinya terlebih dahulu, ia melangkah pergi begitu saja.Jalanan yang masih sepi, membuat ia melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba saja bayangan Amel menari-nari di pelupuk matanya, saat kehormatan di balik tubuh lemahnya, ia ambil paksa tanpa ampun. Air mata dan permohonannya tak ia gubris sedikit pun, karena saat itu Helmi memang di bawah pengaruh minuman beralkohol.Bisikan setan sepertinya telah merasuki dirinya, h
****Dua hari berlalu tanpa kabar dari suaminya, membuat Mariah dilanda kepanikan yang luar biasa. Ia tak bisa makan dengan nikmat, apalagi tidur dengan nyenyak."Mar, makanannya jangan di lihatin terus!" ujar Wulan."Aku nggak nafsu makan, Ma.""Jangan seperti anak kecil, dong, Mar!""Ma, bisa diam nggak, sih? Aku tuh, udah cukup pusing dengan Mas Helmi yang tiba-tiba menghilang gini!" ketus Mariah, tak lupa ia tampakkan wajah bete di depan mertuanya itu."Mar, pikirkan juga calon cucu perempuan Mama, dong!" bujuk Wulan lagi."Ya sudah, Mama mending diam saja, nanti juga kalau aku sudah lapar pasti makan, kok!" Mariah beranjak dari duduknya lalu melengos pergi, meninggalkan makanan yang dari tadi hanya di aduk-aduknya."Punya mertua bawel amat mulutnya, huh!" gerutu Mariah.Wulan bergeming, beberapa kali ia mengusap dadanya dengan pelan, dari
****Sejak tiba di Jakarta, Helmi sengaja menonaktifkan ponselnya. Namun, justru bukan ketenangan yang ia rasakan, hasrat ingin kembali kepada Dinda malah semakin menjadi-jadi.'Dinda, dugaanku salah. Kamu tetap bertahta di hatiku, bodohnya, aku terlambat menyadari itu semua!' batin Helmi.'Andai saja, kamu mau memaafkanku dan memberiku kesempatan lagi untuk membersamaimu, aku pasti bahagia sekali.' Matanya berkabut ketika kenangan manis dulu melintas di pikirannya. Menggodanya untuk bernostalgia, dan akhirnya ia merasakan pilu karena kebodohannya sendiri.'Apa salahnya aku mencobanya? Ya, mencoba mengajak Dinda untuk rujuk kembali.'Tiba-tiba senyuman melengkung di bibirnya, ia sangat berharap Dinda bersedia menerima permintaannya untuk kembali rujuk dan memulainya dari awal lagi.Tangannya mulai mengetik pesan untuk mantan yang tak bisa ia lupakan. Bagaimana ia bisa lupa? S
****Wulan kembali masuk ke rumah sakit ketika pihak rumah sakit menyampaikan kalau Mariah kembali drop. Tentu saja itu membuatnya semakin khawatir dengan bayi yang berada dalam kandungan menantunya itu."Ma, biarin saja lah si Mariah itu di rumah sakit sendirian. Biar dia tahu rasa di campakkan suami itu rasanya seperti apa?" cetus Galuh."Nggak bisa gitu, Galuh. Dia nggak punya siapa-siapa selain Mama dan Helmi. Sekarang Helmi pun entah di mana keberadaannya.""Pastinya si Helmi itu pergi karena udah bosan dengan kelakuan si Mariah yang nggak tahu diri itu!" sahut Galuh. Galuh heran kenapa Wulan begitu baik pada Mariah, sedangkan sama Dinda, ia begitu membencinya. Padahal, kalau bukan karena kebaikan Dinda, tak mungkin ia masih tinggal di rumah peninggalan Papa ini, sebab ia pernah menggadaikan rumah ini ke rentenir demi menopang gaya sosialitanya di depan teman-teman arisannya."Hustt,
****Malam telah datang, Mariah kembali merasakan dirinya dalam kehampaan. Ia terbiasa dengan sentuhan Helmi di setiap malam-malamnya. Kini, entah di mana keberadaan lelaki tua yang telah membawa separuh hatinya."Menikahlah denganku, Mariah! Akan kubuat kamu bahagia meskipun hanya sebagai ratu kedua, tapi aku akan adil seadil-adilnya," mohon Helmi kala itu, ucapan janjinya terus saja terngiang-ngiang di telinganya sampai saat ini.Mariah mengambil ponselnya, lalu ia membuka galeri fotonya. Memperhatikan secara detail setiap gaya foto suaminya yang tak lagi muda itu, lalu menangis tersedu-sedu. Ada rindu yangbtak bisa ia sampaikan.'Kamu di mana, Mas? Bukankah kamu mengharapkan anak perempuan dariku, lalu kenapa kamu pergi meninggalkanku?' ratapnya dalam hati.'Memang dulu aku tidak mencintaimu, bahkan sekarang pun entah aku mencintaimu atau tidak, tapi yang jelas anak ini butuh Ayah, Mas!'
****Dinda batal berkunjung ke rumah Umi Aisah di minggu pagi, Sebab, kota Bandung sejak dini hari di guyur hujan. Beruntungnya, menjelang sore hujan telah benar-benar reda dan mereka telah siap berangkat.Dinda sengaja mengajak Mbak Sri untuk ikut serta karena ia khawatir saat ia asik bercengkrama dengan keluarga, Alif rewel. Sesampainya di sana, Umi telah menyiapkan banyak menu makanan kesukaan Dinda."Umi, aku 'kan sudah bilang jangan repot-repot seperti ini! Aku jadi berasa datang ke ondangan bukan ke rumah Umi," rengek Dinda manja."Umi nggak repot. Kan, banyak yang bantu, Disha sama Abi juga bantu, loh!" sahut Umi Aisah."Iya. Sampai pegal, loh, ini tanganku!" Sambung Disha, membuat semua yang ada di ruangan ini ikut tertawa."Bagaimana kabar kamu, Nak?" tanya Abi, ketika Dinda mencium kedua tangan cinta pertamanya itu."Alhamdulilah, baik, Abi.""Perceraian kamu?" tanya Abi lagi, membuat Umi Aisyah menyik