****"Din, aku bukan anak Mama. Pantas saja selama ini Mama menginginkan cucu perempuan dari Helmi, huhuhu," ucap Galuh, di sela tangisannya yang mulai mereda."Loh, bagaimana bisa?" tanya Dinda penasaran.___________________Pagi itu Galuh datang ke rumah Wulan dengan perasaan kesal. Pasalnya, Wulan menghubunginya pagi-pagi buta, dan memaksanya untuk datang ke rumahnya tepat pukul 05:00 pagi."Mama ini, apa Helmi belum sanggup bayar orang untuk beres-beres rumah?" Galuh menggerutu."Galuh kan kasih Mama tiap bulan itu lumayan besar, apa tak cukup untuk membayar ART?" lanjut Galuh."Udah ada, cuma masakannya nggak seenak kamu!" sahut Wulan acuh."Lah, Mama 'kan bisa ajarkan, bagaimana cara membuat masakan yang Mama sukai!" "Sudahlah, kamu nggak perlu banyak omong. Kamu itu udah Mama besarkan, apa salahnya kamu berbakti sama Mama
****Mariah kewalahan ketika melihat mertuanya tak berhenti menangis sejak pagi. Ia sudah berusaha membujuknya, namun mertuanya tetap menangis.'Sudahlah, aku lelah menghadapi mertua yang batu begini, mending istirahat saja di kamar!'Sesampainya di kamar, ia sempatkan untuk mengabari Helmi, lalu rebahan sambil berselancar di media sosialnya.Mariah tersenyum puas ketika mengingat kejadian tadi pagi antara Galuh dan Mama mertuanya. Benar-benar di luar dugaan jika iparnya hanya anak pungut.Ia berpikir, jika ia melahirkan anak perempuan maka tak akan ada yang mampu menyingkirkan dirinya termasuk Galuh dan anak perempuannya, Laura. Karena mereka tak ada hubungan darah dan bisa dipastikan yang berhak sepenuhnya atas harta Wulan adalah Helmi, suaminya."Lihat, Adinda Putri syakira! Aku lah satu-satunya yang akan jadi pemenang di hati Helmi, juga mertuaku. Tinggal anak-anakmu yang perlu aku sing
****Keadaan Wulan memburuk, tentu saja membuat Helmi panik setengah mati. Wulan menolak untuk makan dan pergi ke Dokter, ia hanya terbaring di kamar dengan air mata yang selalu merembes membasahi pipinya."Ma, jangan begini, Helmi nggak mau Mama kenapa-kenapa!""Kita ke rumah sakit, ya, Ma!"Hening. Ya, Wulan menjadi irit bicara sejak kejadian itu. Baginya, ini adalah mimpi buruk yang selama ini ia takutkan. Nahasnya, ia harus menghadapinya sendirian tanpa suaminya, Almarhum Adi."Ma, makan, ya! Biar Mariah yang suapin!" bujuk Helmi. Ia terus berusaha membujuk mamanya untuk makan.Mariah mencebik, ingin rasanya ia menolak menyuapi mertuanya yang sangat manja itu, namun apa daya, ia takut Helmi semakin murka."Hel, antar Mama kerumah Galuh sekarang!" ucap Wulan sedikit memohon."Apa tak sebaiknya jangan sekarang? Mbak Galuh pasti belum mau ber
****Mendengar kabar mantan mertuanya sedang berada di rumah sakit, Dinda berinisiatif untuk mengabari Galuh, siapa tahu Galuh belum tahu tentang ini.[Mbak, sudah tahu Mama Wulan di rawat di rumah sakit?] Dinda mengiriminya sebuah pesan.[Tahu. Tapi, Mbak rasa itu tak penting lagi, Din?]Dari isi pesan balasan Galuh, sepertinya dia belum mau berdamai dengan kenyataan. [Banyak alasan kenapa Mbak harus menjaga hubungan baik dengan Mama, salah satunya Mbak bisa mencari tahu orang tua kandung Mbak. Kedua, bagaimanapun Mama wulan telah membesarkan Mbak. Maaf kalau aku lancang!]Satu menit, lima menit, bahkan setengah jam kemudian tak ada balasan lagi dari Galuh, itu membuat Dinda sedikit khawatir.'Apa Mbak Galuh marah? Hm, biarlah aku akan meminta maaf, jika dia tak menghubungiku lagi hari ini,' batin Dinda."Mbak Amel, bagaimana sudah kerasan k
"Mbak, tolong aku, Mbak!"Derap langkah Helmi mengejutkan Galuh dan Wulan. Mariah terkulai lemas, ia tak sadarkan diri dalam gendongan Helmi."Dia kenapa, Hel?" tanya Galuh dan Wulan hampir berbarengan."Aku tak sengaja mendorongnya," jawab Helmi pelan."Apa-apaan, Hel? Kamu tahu 'kan dia sedang hamil?"Sentak Wulan. Ia tampak khawatir dengan keadaan menantunya itu, sedangkan Galuh, ia hanya diam saja tanpa bereaksi apapun."Kamu ini malah diam saja, cepat panggil Dokter, Hel!" Dengan sisa-sisa tenaganya Wulan berusaha untuk bangkit dari ranjangnya untuk membantu Mariah agar segera sadar. Namun, karena memang tubuhnya yang lemah ia gagal dan kembali berbaring seperti semula."Mama mau ngapain sih? Mama ini masih sakit, biarkan Helmi saja yang urus Mariah!" larang Galuh."Ta-tapi Mama takut terjadi hal buruk pada kandungan Mariah, Galuh!""
****"Apa semuanya sudah di siapkan, Mbak Amel?" tanya Dinda, ia tampak masih mengancingkan baju anak bungsunya itu."Sudah, Bu." "Oke, kita tinggal tunggu Ayah datang, ya, Sayang!" ucap Dinda sambil mencium kening Alif dengan hangat."Oke, Bunda!" sahut Alif riang.Kemarin malam Helmi sudah memberi kabar kalau pagi ini ia akan menjemput Alif untuk berkunjung ke rumah Galuh, sekalian untuk menjenguk mamanya pasca kepulangannya dari rumah sakit.Meski Dinda khawatir melepas Alif tanpa pengawasan dirinya, tapi ia yakin tak mungkin Helmi membiarkan hal buruk terjadi pada anak kandungnya. Lagipula ia akan meminta Amel untuk terus mendampingi Alif.Pukul 09:00 pagi, Helmi datang. Dinda meminta Mbak Sri membuatkan kopi hitam kesukaannya dulu. Suasana mendadak kaku, mereka terdiam dalam keheningan, sibuk dengan pikiran masing-masing."Din," Helmi dengan susah paya
(Pov Amel)****Namaku Amelia. Perempuan berusia 25 tahun, dengan paras lumayan cantik membuat mata lelaki jelalatan menatapku. Namun, aku tak pernah merasa puas diri, atau memanfaatkan kecantikan yang kumiliki untuk mendapatkan apa yang kumau."Sayang, orang tuaku ingin bertemu denganmu, bisa?" ujar Sam, lelaki yang berstatus kekasihku."Secepat itu?"Ya, memangnya salah?""Tidak. Cuma aku belum siap saja, Sam.""Siap nggak siap kamu harus mau, Amel!" desaknya lagi sambil memanyunkan bibirnya beberapa centi."Ta-tapi, aku ...." "Sudah, aku tak suka penolakanmu. Bukannya kamu pernah bilang kamu rindu memiliki orang tua?" ujar Sam, mengingatkan kerinduanku pada kedua orang tuaku.Ya, aku memang haus kasih sayang orang tua. Karena orang tuaku sudah meninggal dunia ketika aku masih SMA, kecelakaan maut yang merenggut nyawa keduanya.
🌼🌼🌼"Mau kemana?" tanya seseorang, membuatku kaget seperti maling yang ketahuan hendak mencuri."Aku mau ke dapur, perutku lapar sekali."Tatapan perempuan itu membuatku takut, netranya menyipit memperhatikan tubuhku."Kamu anak baru di sini?" tanya perempuan itu lagi."Anak baru, maksudnya apa?""Ah, jangan pura-pura polos! Kamu mencari dapur, bukan? Dari sini kamu lurus, nanti belok kiri lalu kamu jalan aja sampai ujung!""Makasih, Mbak!""Panggil aku, Reva!""Iya, Mbak Reva."Perempuan yang bernama Reva meninggalkanku begitu saja, dari cara berpakaiannya yang terbuka dia seperti bukan perempuan baik-baik.'Ah, apa peduliku mesti harus menilai dia seperti itu?'Aku kembali berjalan sesuai petunjuk Reva. Ya, aku berhasil menemukan dapur di bagian ujung. di meja makan aku tak menemukan maka