Share

BAB 2

Author: jasheline
last update Last Updated: 2025-06-15 15:41:12

Pagi itu, Amora terbangun seperti biasa. Masih dengan rutinitasnya: membersihkan rumah, memasak untuk suami dan mertuanya, seolah hidupnya memang hanya sebatas itu bak pelayan tanpa upah di rumah sendiri.

Tentang percakapan telepon Enzo dengan perempuan lain tadi malam, Amora memilih bungkam. Bukan karena tidak tahu. Tapi karena terlalu lelah menghadapi kenyataan. Cinta bisa membuatnya buta, iya. Tapi harga dirinya sebagai perempuan? Jangan pernah coba-coba diinjak.

Apalagi kalau membayangkan nasibnya di rumah ini hanya sebagai babu, sementara perempuan lain duduk manis seperti ratu, darahnya mendidih. Tidak. Amora tak rela sedikit pun.

"Amora! Ini sarapan kok cuma segini? Mana cukup buat berlima!" bentak Bu Ratna sambil menjatuhkan sendoknya ke piring.

Belum sempat Amora menjawab, Enzo sudah muncul, duduk di sebelah ibunya dengan wajah tak berdosa.

"Maaf, Bu. Berasnya habis," ujar Amora lirih, mencoba tetap tenang.

Bu Ratna mendecak keras. "Ya belilah! Masa hal kayak gini mesti diajarin juga?"

Amora menarik napas. "Uangnya mana, Bu?"

Mata tua itu melotot. "Berani-beraninya kamu minta uang ke saya? Minggu kemarin saya sudah kasih, kan? Apa jangan-jangan kamu tilep?"

"Minggu kemarin Ibu cuma kasih dua ratus ribu untuk semua kebutuhan dapur. Tentu saja sudah habis!"

"Jangan bohong, Amora! Dua ratus ribu itu banyak. Masa’ segini tanggalnya sudah habis?!"

Amora tertawa pelan, getir. "Kalau memang banyak, kenapa nggak Ibu saja yang belanja? Saya pengin lihat, gimana caranya dua ratus ribu cukup buat makan berlima selama seminggu."

Bu Ratna mendengus seperti api yang tersiram bensin. "Kamu nantangin saya?! Astaga, Enzo! Dengar tuh, istri kamu sudah mulai melawan! Nasib, nasib! Sudah yatim piatu, miskin, sekarang kurang ajar pula! Modal miskin kok serakah!"

"Dua ratus ribu... banyak?" Amora kembali tertawa. Lebih dingin. Lebih menusuk.

"Amora! Cukup!" bentak Enzo akhirnya. "Jangan kurang ajar sama Ibu!"

Amora tak menjawab. Hanya menatap mereka dengan mata yang tidak lagi berisi cinta, lalu pergi meninggalkan meja makan dengan langkah penuh luka yang tak terlihat.

"Amora! Mau ke mana kamu?!" teriak Bu Ratna dengan suara menggelegar. "Enzy sebentar lagi ke sini! Kalau dia nggak kebagian makanan, bagaimana!? Sana masak lagi! Hei! Budeg ya kamu?!"

Amora tak peduli. Tubuhnya masih berdiri di rumah itu, tapi jiwanya sudah hancur di tempat lain. Kalau suaminya saja sudah berpaling, lalu untuk apa dia terus bertahan?

"Amora itu masih sakit, Bu! Lagian, Ibu juga keterlaluan! Gara-gara Ibu dorong Amora kemarin, dia sampai jatuh. Kalau kepalanya gegar otak gimana?"

"Ya salah dia sendiri! Siapa suruh muntahin makanan yang sudah susah payah Ibu masak! Kurang ajar!” Enzo hanya menggeleng. Percuma berdebat dengan ibunya. Lebih baik cepat-cepat sarapan lalu pergi menemui perempuan yang lebih membuatnya betah.

"Ibu nggak mau tahu! Kamu harus paksa dia masak! Enzy sebentar lagi datang sama keluarganya, masa’ nggak ada suguhan apa-apa?"

Enzo mendengus pelan. "Kalau gitu, kasih Amora uang belanja."

"Enggak! Ibu nggak mau!"

"Ya sudah, terserah Ibu saja. Jangan salahkan Enzo kalau Amora terus membangkang. Pegangan pribadi saja nggak pernah dikasih, kok disuruh masak. Uangnya dari mana?"

Bu Ratna mendengus keras, menahan amarah. Wajahnya yang biasanya penuh gengsi kini memerah karena harga dirinya terusik. Tak lama kemudian, Enzo pamit. Tapi bukan ke pasar atau ke toko. Ke tempat perempuan lain yang sudah menunggunya sejak pagi.

"Mas berangkat dulu, Sayang. Doain ya, semoga toko ramai," pamit Enzo sambil menyodorkan tangannya.

Amora mencium tangan suaminya, seperti biasa. Seperti istri baik-baik yang selalu mendoakan suaminya pergi mencari nafkah. Tapi kali ini, hatinya kering. Doanya kosong.

"Halah! Mana ada doa orang miskin kayak dia manjur! Enzo, kamu sukses itu karena Ibu! Bukan karena dia!" sindir Bu Ratna, sengaja menyakiti.

Amora tersenyum kecil. Miris. Mereka tak tahu. Mereka lupa. Modal toko itu berasal dari hasil Amora menjual semua perhiasannya dulu. Dan sekarang, dia bahkan tak punya apa-apa. Kecuali luka yang perlahan berubah jadi bara.

Sedikit pun tak ada campur tangan Bu Ratna dalam membangun usaha toko meubel itu. Justru sebagian besar pelanggan tetap toko itu adalah orang-orang yang mengenal Amora. Semua berkat mulut manis dan upaya Amora melobi mereka satu per satu hingga rela menjadi pelanggan setia.

Amora yang membangun. Amora yang berjuang. Tapi orang lain yang merasa paling berjasa.

"Sudahlah, Bu! Jangan begitu. Bagaimanapun juga, Amora tetap menantu Ibu," ucap Enzo, mencoba meredam ketegangan.

Bu Ratna menghentakkan kakinya dengan kesal. "Terus aja kamu bela perempuan itu! Biar makin besar kepala!"

Enzo melirik Amora sekilas. "Jangan diambil hati, ya, omongan Ibu."

"Iya, Mas," jawab Amora lirih. Sudah biasa.

"Jangan lupa suntik insulin Ibu. Nanti kumat lagi sakitnya kalau lupa."

"Iya, Mas," jawab Amora lagi, dengan senyum tipis yang hambar.

Untuk kesekian kalinya, Amora tetap memainkan perannya sebagai istri patuh. Tapi kali ini, ia ingin tahu sejauh mana Enzo tega memperlakukannya seperti boneka.

Begitu Enzo pergi, Amora mengambil motor matic pinjaman dari tetangga. Diam-diam, ia membuntuti mobil sang suami. Tapi aneh, bukannya belok ke arah toko, Enzo justru melaju terus menuju sebuah perumahan baru yang asing bagi Amora.

Detak jantungnya berpacu cepat saat Enzo membelokkan mobil ke halaman sebuah rumah bercat biru. Rumah itu sepi, mencurigakan. Tak lama, Enzo turun dan di sanalah, seorang perempuan dengan pakaian minim menyambutnya dengan senyuman genit.

"Jadi... di sini tempat kamu menyembunyikan perempuan itu, Mas?" bisik Amora dengan nafas bergetar, menahan gejolak emosi yang hampir meledak.

Perlahan, ia turun dari motor, berjalan mengendap mendekati pintu rumah yang tak sepenuhnya tertutup. Dan saat itulah, dunia Amora runtuh.

"Astaghfirullah..." gumamnya pelan, matanya membelalak ngeri. Di sana, tepat di depan matanya, Enzo dan wanita itu terlibat dalam adegan yang membuat darahnya mendidih.

“Kamu... beneran selingkuh?” bisik Amora nyaris tanpa suara.

Tangannya bergetar hebat saat menyalakan ponsel dan mulai merekam. Meski hatinya hancur, pikirannya tetap sadar, bukti harus ia genggam.

"Jangan di sini, Mas," rengek si wanita sambil menggeliat.

"Di sini aja, lebih menantang," balas Enzo dengan senyum cabul.

"Kalau ada yang lihat gimana?"

"Biarin aja! Biar sekalian jadi tontonan gratis!" Enzo terkekeh puas.

Perempuan itu pun tertawa manja. Namun geli dan jijik bercampur jadi satu di dada Amora. Air matanya jatuh tanpa ia sadari.

"Tapi, Mas harus kasih aku uang lagi, ya!"

"Berapa, hm?"

"Dua juta. Aku mau beli tas baru, Mas!" pinta wanita itu dengan suara yang dibuat seimut mungkin.

"Oke. Nanti selesai 'main' langsung Mas kasih. Uang segitu, bukan masalah untuk Mas!"

Keduanya kembali melanjutkan aktivitas mereka. Sementara, Amora yang terus merekam perbuatan mesum keduanya hanya bisa menangis sambil menertawai kebodohan dirinya.

"Aku minta dua ratus ribu aja, kamu marah. Tapi dia... minta dua juta, kamu kasih. Ternyata segininya aku nggak berharga buat kamu," gumam Amora getir, menyaksikan kebusukan lelaki yang pernah ia cintai sepenuh jiwa.

Tiba-tiba..

Pluk!

Seseorang menepuk pundaknya dari belakang.

"Hei! Ngapain kamu di sini?"

Deg!

Dunia Amora seketika gelap. Ia buru-buru mematikan ponselnya, lalu berbalik dengan wajah pucat pasi. Suaranya tercekat.

"Bukannya kamu... mau maling, ya?! Cepat ngaku!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 51

    Angin sore itu terasa dingin di wajah Enzo, namun rasa dingin yang menusuk hatinya jauh lebih parah. Ia berdiri mematung di depan toko meubelnya, menatap kosong ke seberang jalan. Di sana, sebuah toko meubel baru yang megah baru saja dibuka. Spanduk besar terpampang mencolok, "Grand Opening! Diskon Hingga 70%!" Tawa riuh rendah dan percakapan pelanggan yang hilir mudik keluar masuk toko itu bagaikan alunan melodi kegagalan yang menyayat-nyayat telinganya.Seorang pegawainya, mendekat dengan wajah cemas yang tak bisa ia sembunyikan. "Pak Enzo, toko mereka ramai sekali. Mereka punya banyak sekali promo, dan harga produknya jauh lebih murah daripada kita. Pelanggan kita sepertinya semua pindah ke sana," lapor pegawai dengan nada gemetar.Enzo hanya bisa menghela napas panjang, mendengus. "Aku tahu, aku tidak buta!" Matanya menyala penuh keputusasaan. "Kalau begini terus, kita bisa bangkrut. Habis kita!" Ia mengusap wajahnya yang kusut dan menyugar rambutnya ke belakang. Enzo merasa sepe

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 50

    Pagi itu, Amora dengan berat hati menemui Enzo, mantan suaminya, di sebuah restoran. Ia merasa muak berhadapan dengan pria yang telah menyakitinya itu. Enzo menyambutnya dengan senyum lebar, memegang setangkai mawar merah dan kotak cokelat kecil. Melihat hadiah yang tampak tak seberapa itu, Amora tanpa sadar terkekeh sinis, merasa jijik dengan tingkah Enzo."Cokelat sekecil itu?" bisiknya dalam hati. Ia membayangkan Enzo memberikan hadiah itu kepada anak kecil. Tapi, anak siapa? Enzo tidak memiliki anak dengannya. "Apakah dia sudah punya anak dengan Livy?" pikir Amora, sebuah pertanyaan yang menyulut api cemburu yang sudah padam."Amora! Hai!" sapa Enzo dengan suara ramah yang dibuat-buat. "Sudah lama kita tidak bertemu. Kamu terlihat semakin cantik."Amora hanya mengangguk kaku, tidak menanggapi pujiannya. "Untuk apa kamu memanggilku ke sini, Mas? Ada yang perlu dibicarakan?" tanyanya, suaranya dingin dan datar."Duduk dulu, Amora," jawab Enzo. "Aku sudah pesan minuman kesukaanmu. Ju

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 49

    Suasana di ruang eksekutif terasa mencekam akibat amarah Aiden. Sang CEO muda itu berdiri dengan tatapan membara di hadapan beberapa karyawan yang berlutut ketakutan. Aiden merasa marah dan kecewa karena adiknya, Amora, diperlakukan tidak baik di wilayah kekuasaannya sendiri. Hal ini tidak hanya menyangkut masalah pribadi, tetapi juga harga diri dan otoritasnya sebagai pemimpin.Salah seorang karyawan yang berlutut, seorang pria paruh baya dengan kemeja sedikit kusut, memberanikan diri mengangkat wajahnya, air mata terlihat jelas menggenangi pelupuk matanya. Suaranya bergetar saat ia mencoba menyampaikan permohonan, "Pak… Pak Aiden… kami mohon ampun. Jangan pecat kami!"Karyawan lain menimpali dengan nada yang tak kalah memelas, "Iya, Pak. Kalau kami dipecat, lalu bagaimana nasib keluarga kami? Anak-anak kami akan makan apa, Pak?" Nada putus asa dalam suaranya semakin menambah suram suasana ruangan itu.Aiden mendengus sinis, tatapannya tajam menusuk setiap individu yang berlutut di h

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 48

    Hawa tegang menyelimuti ruangan. Para karyawan yang tadinya berani mengerubungi Amora, kini mundur perlahan. Kehadiran Aiden di tengah mereka terasa seperti sambaran petir yang tiba-tiba. Wajahnya yang memancarkan aura kekuasaan membuat nyali mereka menciut. Mereka menunduk, saling lirik, seolah baru saja tertangkap basah melakukan perbuatan buruk. Mereka semua tahu, Aiden bukanlah sosok yang bisa diajak main-main. Keheningan yang mencekam itu dipecahkan oleh suara Aiden yang menggelegar, menusuk setiap sudut ruangan. "Kenapa kalian semua diam? Saya tanya, kenapa?! Jawab pertanyaan saya! Siapa yang berani menyentuh adik saya, hah?" Matanya menatap tajam satu per satu wajah yang pucat pasi di depannya. Kebingungan menyelimuti mereka. "Adik?" gumam beberapa orang. Siapa yang Aiden maksud sebagai adiknya? Setahu mereka, Amora hanyalah seorang karyawan baru. Namun, cara Aiden membela Amora begitu protektif, seolah Amora adalah bagian terpenting dari hidupnya. Pandangan Aiden akhirnya ja

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 47

    Enzo menggeram, kepalan tangannya bergetar menahan amarah yang membuncah. Amora baru saja pergi, melenggang santai, seolah ancamannya tak lebih dari sekadar angin lalu. Rasanya seperti ada bara api yang membakar di dalam dadanya. Bagaimana bisa perempuan itu begitu berani? Begitu acuh tak acuh pada peringatannya? Enzo bersumpah, ia akan membuat Amora membayar mahal untuk semua ini. Janji itu bukan sekadar gertakan kosong, melainkan sebuah tekad yang membaja. "Aku akan merebut semua yang kamu miliki, Amora! Tunggu saja! Kamu akan menyesal!" gumamnya penuh dendam.Amarah Enzo akhirnya menuntunnya kembali ke toko meubel miliknya. Namun, pemandangan di sana tak kunjung meredakan kekesalannya. Sebaliknya, hal itu justru menambah beban di pundaknya. Toko meubel besar yang baru dibuka di seberang jalan tampak ramai, dipenuhi pembeli. Enzo merasakan dingin merayap di punggungnya. Toko itu, dengan produk-produknya yang lebih modern dan beragam, bagaikan raksasa yang siap menelan habis usahany

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 46

    "Kenapa Abang lihatin aku kayak gitu? Muka Abang kenapa ditekuk begitu?" Amora bertanya, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia bisa membaca ekspresi wajah Aiden, kakak laki-lakinya, yang terlihat gelisah dan penuh kekhawatiran. Hanya saat-saat tertentu Aiden menunjukkan sisi rapuhnya, terutama jika itu menyangkut Amora."Ini bukan tentang Abang, tapi tentang kamu," jawab Aiden, suaranya terdengar berat. "Kamu kenapa marah-marah begitu? Kayaknya ada badai di dalam sana, ya?" Ia menunjuk ke arah dada Amora, mencoba mencairkan suasana dengan candaan.Amora menghela napas panjang, melipat kedua tangannya di depan dada. "Aku kesal sama si Saras. Dia makin hari makin menyebalkan, Bang! Dia tidak tahu diri. Dia terus-menerus menantangku, seolah aku tidak ada artinya. Padahal, aku tidak pernah mengusiknya, aku tidak pernah mencari masalah dengannya. Tapi dia? Setiap kali dia melihatku, dia selalu membuat ulah. Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak marah. Rasanya aku ingin sekali menampa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status