LOGINPagi itu, Amora terbangun seperti biasa. Masih dengan rutinitasnya: membersihkan rumah, memasak untuk suami dan mertuanya, seolah hidupnya memang hanya sebatas itu bak pelayan tanpa upah di rumah sendiri.
Tentang percakapan telepon Enzo dengan perempuan lain tadi malam, Amora memilih bungkam. Bukan karena tidak tahu. Tapi karena terlalu lelah menghadapi kenyataan. Cinta bisa membuatnya buta, iya. Tapi harga dirinya sebagai perempuan? Jangan pernah coba-coba diinjak. Apalagi kalau membayangkan nasibnya di rumah ini hanya sebagai babu, sementara perempuan lain duduk manis seperti ratu, darahnya mendidih. Tidak. Amora tak rela sedikit pun. "Amora! Ini sarapan kok cuma segini? Mana cukup buat berlima!" bentak Bu Ratna sambil menjatuhkan sendoknya ke piring. Belum sempat Amora menjawab, Enzo sudah muncul, duduk di sebelah ibunya dengan wajah tak berdosa. "Maaf, Bu. Berasnya habis," ujar Amora lirih, mencoba tetap tenang. Bu Ratna mendecak keras. "Ya belilah! Masa hal kayak gini mesti diajarin juga?" Amora menarik napas. "Uangnya mana, Bu?" Mata tua itu melotot. "Berani-beraninya kamu minta uang ke saya? Minggu kemarin saya sudah kasih, kan? Apa jangan-jangan kamu tilep?" "Minggu kemarin Ibu cuma kasih dua ratus ribu untuk semua kebutuhan dapur. Tentu saja sudah habis!" "Jangan bohong, Amora! Dua ratus ribu itu banyak. Masa’ segini tanggalnya sudah habis?!" Amora tertawa pelan, getir. "Kalau memang banyak, kenapa nggak Ibu saja yang belanja? Saya pengin lihat, gimana caranya dua ratus ribu cukup buat makan berlima selama seminggu." Bu Ratna mendengus seperti api yang tersiram bensin. "Kamu nantangin saya?! Astaga, Enzo! Dengar tuh, istri kamu sudah mulai melawan! Nasib, nasib! Sudah yatim piatu, miskin, sekarang kurang ajar pula! Modal miskin kok serakah!" "Dua ratus ribu... banyak?" Amora kembali tertawa. Lebih dingin. Lebih menusuk. "Amora! Cukup!" bentak Enzo akhirnya. "Jangan kurang ajar sama Ibu!" Amora tak menjawab. Hanya menatap mereka dengan mata yang tidak lagi berisi cinta, lalu pergi meninggalkan meja makan dengan langkah penuh luka yang tak terlihat. "Amora! Mau ke mana kamu?!" teriak Bu Ratna dengan suara menggelegar. "Enzy sebentar lagi ke sini! Kalau dia nggak kebagian makanan, bagaimana!? Sana masak lagi! Hei! Budeg ya kamu?!" Amora tak peduli. Tubuhnya masih berdiri di rumah itu, tapi jiwanya sudah hancur di tempat lain. Kalau suaminya saja sudah berpaling, lalu untuk apa dia terus bertahan? "Amora itu masih sakit, Bu! Lagian, Ibu juga keterlaluan! Gara-gara Ibu dorong Amora kemarin, dia sampai jatuh. Kalau kepalanya gegar otak gimana?" "Ya salah dia sendiri! Siapa suruh muntahin makanan yang sudah susah payah Ibu masak! Kurang ajar!” Enzo hanya menggeleng. Percuma berdebat dengan ibunya. Lebih baik cepat-cepat sarapan lalu pergi menemui perempuan yang lebih membuatnya betah. "Ibu nggak mau tahu! Kamu harus paksa dia masak! Enzy sebentar lagi datang sama keluarganya, masa’ nggak ada suguhan apa-apa?" Enzo mendengus pelan. "Kalau gitu, kasih Amora uang belanja." "Enggak! Ibu nggak mau!" "Ya sudah, terserah Ibu saja. Jangan salahkan Enzo kalau Amora terus membangkang. Pegangan pribadi saja nggak pernah dikasih, kok disuruh masak. Uangnya dari mana?" Bu Ratna mendengus keras, menahan amarah. Wajahnya yang biasanya penuh gengsi kini memerah karena harga dirinya terusik. Tak lama kemudian, Enzo pamit. Tapi bukan ke pasar atau ke toko. Ke tempat perempuan lain yang sudah menunggunya sejak pagi. "Mas berangkat dulu, Sayang. Doain ya, semoga toko ramai," pamit Enzo sambil menyodorkan tangannya. Amora mencium tangan suaminya, seperti biasa. Seperti istri baik-baik yang selalu mendoakan suaminya pergi mencari nafkah. Tapi kali ini, hatinya kering. Doanya kosong. "Halah! Mana ada doa orang miskin kayak dia manjur! Enzo, kamu sukses itu karena Ibu! Bukan karena dia!" sindir Bu Ratna, sengaja menyakiti. Amora tersenyum kecil. Miris. Mereka tak tahu. Mereka lupa. Modal toko itu berasal dari hasil Amora menjual semua perhiasannya dulu. Dan sekarang, dia bahkan tak punya apa-apa. Kecuali luka yang perlahan berubah jadi bara. Sedikit pun tak ada campur tangan Bu Ratna dalam membangun usaha toko meubel itu. Justru sebagian besar pelanggan tetap toko itu adalah orang-orang yang mengenal Amora. Semua berkat mulut manis dan upaya Amora melobi mereka satu per satu hingga rela menjadi pelanggan setia. Amora yang membangun. Amora yang berjuang. Tapi orang lain yang merasa paling berjasa. "Sudahlah, Bu! Jangan begitu. Bagaimanapun juga, Amora tetap menantu Ibu," ucap Enzo, mencoba meredam ketegangan. Bu Ratna menghentakkan kakinya dengan kesal. "Terus aja kamu bela perempuan itu! Biar makin besar kepala!" Enzo melirik Amora sekilas. "Jangan diambil hati, ya, omongan Ibu." "Iya, Mas," jawab Amora lirih. Sudah biasa. "Jangan lupa suntik insulin Ibu. Nanti kumat lagi sakitnya kalau lupa." "Iya, Mas," jawab Amora lagi, dengan senyum tipis yang hambar. Untuk kesekian kalinya, Amora tetap memainkan perannya sebagai istri patuh. Tapi kali ini, ia ingin tahu sejauh mana Enzo tega memperlakukannya seperti boneka. Begitu Enzo pergi, Amora mengambil motor matic pinjaman dari tetangga. Diam-diam, ia membuntuti mobil sang suami. Tapi aneh, bukannya belok ke arah toko, Enzo justru melaju terus menuju sebuah perumahan baru yang asing bagi Amora. Detak jantungnya berpacu cepat saat Enzo membelokkan mobil ke halaman sebuah rumah bercat biru. Rumah itu sepi, mencurigakan. Tak lama, Enzo turun dan di sanalah, seorang perempuan dengan pakaian minim menyambutnya dengan senyuman genit. "Jadi... di sini tempat kamu menyembunyikan perempuan itu, Mas?" bisik Amora dengan nafas bergetar, menahan gejolak emosi yang hampir meledak. Perlahan, ia turun dari motor, berjalan mengendap mendekati pintu rumah yang tak sepenuhnya tertutup. Dan saat itulah, dunia Amora runtuh. "Astaghfirullah..." gumamnya pelan, matanya membelalak ngeri. Di sana, tepat di depan matanya, Enzo dan wanita itu terlibat dalam adegan yang membuat darahnya mendidih. “Kamu... beneran selingkuh?” bisik Amora nyaris tanpa suara. Tangannya bergetar hebat saat menyalakan ponsel dan mulai merekam. Meski hatinya hancur, pikirannya tetap sadar, bukti harus ia genggam. "Jangan di sini, Mas," rengek si wanita sambil menggeliat. "Di sini aja, lebih menantang," balas Enzo dengan senyum cabul. "Kalau ada yang lihat gimana?" "Biarin aja! Biar sekalian jadi tontonan gratis!" Enzo terkekeh puas. Perempuan itu pun tertawa manja. Namun geli dan jijik bercampur jadi satu di dada Amora. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. "Tapi, Mas harus kasih aku uang lagi, ya!" "Berapa, hm?" "Dua juta. Aku mau beli tas baru, Mas!" pinta wanita itu dengan suara yang dibuat seimut mungkin. "Oke. Nanti selesai 'main' langsung Mas kasih. Uang segitu, bukan masalah untuk Mas!" Keduanya kembali melanjutkan aktivitas mereka. Sementara, Amora yang terus merekam perbuatan mesum keduanya hanya bisa menangis sambil menertawai kebodohan dirinya. "Aku minta dua ratus ribu aja, kamu marah. Tapi dia... minta dua juta, kamu kasih. Ternyata segininya aku nggak berharga buat kamu," gumam Amora getir, menyaksikan kebusukan lelaki yang pernah ia cintai sepenuh jiwa. Tiba-tiba.. Pluk! Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. "Hei! Ngapain kamu di sini?" Deg! Dunia Amora seketika gelap. Ia buru-buru mematikan ponselnya, lalu berbalik dengan wajah pucat pasi. Suaranya tercekat. "Bukannya kamu... mau maling, ya?! Cepat ngaku!”Di tengah terik matahari yang hangat, suasana di teras rumah Jericho dan Amora dipenuhi aroma bawang goreng, kecap, dan kacang yang menggugah selera. Kandungan Amora kini sudah semakin membesar. Perutnya sudah menjadi bundar, menandakan usianya sudah memasuki bulan kelima. Kehamilan ini telah membawa rutinitas baru yang aneh, didominasi oleh ngidam mendadak Amora.Hari ini, keinginan Amora mencapai puncaknya: ia ingin makan ketoprak, tetapi dengan syarat tukang ketopraknya harus siaga di sampingnya saat ia makan. Tidak hanya itu, ia juga butuh dessert berupa es dawet, dan entah mengapa, Jericho dipaksa cosplay menjadi tukang es dawet dengan gerobak pinjaman yang sudah bersih mengkilat."Dek, Abang mau ngomong," kata Aiden yang tampak ragu-ragu saat hendak mengutarakan niatnya. Ia melihat ke sekeliling, merasa canggung dengan seting drama ngidam ini."Ngomong aja, Bang!" timpal Amora. Perempuan hamil itu sedang menikmati ketoprak yang baru saja dibelikan oleh sang suami. Ia mengunyah
Keheningan yang mencekam telah menyelimuti ruang tunggu di luar kamar mandi sejak Amora masuk beberapa menit yang lalu. Jericho, yang biasanya tenang dan percaya diri, kini mondar-mandir seperti setrikaan, mengabaikan statusnya sebagai seorang 'Jericho' yang seharusnya selalu berkepala dingin. Setiap detik terasa seperti jam."MASSSS!" teriak Amora dari arah kamar mandi. Suara itu bukan jeritan ketakutan, melainkan ledakan syok dan emosi yang campur aduk.Jericho yang memang sedari tadi menunggu di depan pintu segera berlari untuk masuk. Ia menerobos masuk, jantungnya berdebar kencang. Takut, jika sesuatu yang buruk terjadi kepada sang istri. Ia membayangkan skenario terburuk, mulai dari hasil negatif hingga Amora terpeleset."Iya, kenapa, Sayang?" tanya Jericho panik. Matanya langsung menyapu lantai, mencari tanda-tanda bahaya."I-ini..." Amora berdiri mematung, wajahnya pucat, tetapi matanya berkaca-kaca. Amora menyerahkan testpack itu dengan tangan gemetar. Ia tidak sanggup menata
Plak!Suara tamparan itu memecah keheningan sore. Wajah Vanya tertoleh ke samping ketika sang Ayah tiba-tiba saja menamparnya dengan sangat keras. Kemurkaan jelas tergambar di wajah pria tua itu. Matanya merah, urat-urat di lehernya menegang."Ba-bapak?" lirih Vanya tak percaya. Air mata yang sudah mengering karena syok, kini mengalir lagi, bercampur dengan rasa sakit di pipi. Ayahnya, pria yang seharusnya menjadi pelindungnya, kini menjadi algojonya."Ini semua gara-gara kamu! Kamu yang sudah membuat kita semua jadi gembel!" tuding sang Ayah penuh kebencian. Ia tidak mau mengakui kesalahannya menandatangani kertas kosong. Lebih mudah menyalahkan Vanya, yang membawa Herman ke dalam hidup mereka.Vanya menggeleng dengan air mata yang mengalir deras. Kerasnya tamparan itu tak hanya menyisakan sakit di pipi tapi juga di hati. Ia merasa hancur, dikhianati oleh kekasih, dan kini disalahkan oleh keluarganya sendiri."Kenapa malah nyalahin Vanya sih, Pak? Kan, Bapak sendiri yang mau tanda ta
Dulu, Herman kehilangan segalanya karena ketahuan selingkuh oleh istrinya. Ia mengingat tatapan kosong istrinya, tuntutan cerai yang dingin, dan pintu yang tertutup di wajahnya. Dan, selingkuhan Herman kala itu adalah Vanya.Herman mengakui kebodohannya, tetapi rasa sakitnya berlipat ganda karena Vanya, sumber dari kehancurannya, malah melenggang bebas dan mendapatkan kehidupan baru. Harta, status sosial dan segala kemewahan yang dulu Herman dapatkan dari sang istri seketika musnah tak bersisa. Ia jatuh dari langit ke lumpur. Sementara, Vanya pun langsung pergi begitu saja dan malah menikah dengan Enzo tanpa peduli lagi pada nasib Herman. Kebahagiaan Vanya adalah racun bagi Herman.Jadi, wajar jika Herman sekarang membalas dendam pada Vanya, kan? Baginya, ini bukan sekadar pembalasan, melainkan reklamasi keadilan yang harus ia ambil sendiri."Hahahahaha!! Hanya modal duit sedikit, tapi sekarang aku bisa dapatkan uang yang jauh lebih banyak. Ini sih namanya ketiban durian runtuh," uca
Di ruang perawatan rumah sakit yang kini hening, ketegangan akibat kedatangan Enzo telah berganti menjadi rasa lega yang dangkal. Pintu terbuka, dan Herman masuk, membawa aura percaya diri yang mencolok."Gimana, Mas?" tanya Vanya pada pria yang baru saja memasuki ruang perawatannya. Vanya tersenyum, senyum yang dipaksakan dan penuh harapan. "Sudah aku bayar semuanya, Va," jawab Herman tersenyum. Senyumnya lebar, seolah ia baru saja memenangkan lotre, padahal ia baru saja membayar biaya persalinan selingkuhannya. "Sekarang, kita bisa pulang." Ia melangkah mendekat, memberikan sentuhan di bahu Vanya, sebuah gestur kepemilikan."Syukurlah!" ucap Ibunda Vanya penuh kelegaan. Ia menarik napas dalam-dalam, mengusap dadanya. Ketakutan akan tuntutan rumah sakit telah lenyap. "Terima kasih ya, Nak Herman! Kalau nggak ada Nak Herman, mungkin Vanya dan bayinya masih akan tetap ditahan oleh pihak rumah sakit." Pujian itu tulus dari perspektifnya yang hanya melihat uang dan kebebasan.Pria itu
Di ruangan yang dingin dan berbau obat, keheningan Enzo setelah keterkejutannya langsung dipecah oleh reaksi panik Vanya. Vanya reflek menutupi wajah bayinya kembali. Ekspresi gugup tak bisa ia sembunyikan. Matanya melebar, napasnya tersengal, dan keringat dingin membasahi pelipisnya."Namanya juga bayi baru lahir, Mas. Maklumlah, kalau wajahnya agak beda sama kamu," ujar Vanya beralasan. Suaranya terdengar terlalu keras, mencoba menutupi getaran panik di dalamnya. Ia berharap Enzo yang dulu, Enzo yang mudah dibujuk dan dibutakan oleh rasa bersalah, masih ada.Mendengar alasan mantan istrinya, Enzo langsung tersenyum kecewa. Ia menyadari, dia tidak sebodoh yang Vanya kira lagi. Pengkhianatan Vanya, ironisnya, terasa seperti pengakuan terakhir bahwa ia telah sepenuhnya lepas dari bayang-bayang masa lalunya yang naif."Tapi, nggak beda sampai semua-muanya juga kan, Va?" celetuk Enzy sambil tertawa kecil. Tawa Enzy adalah tawa kemenangan yang dingin. Ia menatap Vanya dengan tatapan menil







