"Telan makanan itu! Cepat, telan!"
Dengan mata melotot penuh amarah, seorang wanita paruh baya mencengkeram dagu menantunya, memaksa mulut itu terbuka. Tangannya yang lain menyumpalkan makanan basi ke dalam mulut perempuan muda yang terduduk lemas di lantai. "Uhuk! Uhuk! Makanan ini... sudah basi, Bu..." Amora tersedak, air matanya meleleh deras, membasahi pipi pucatnya. "Memangnya kenapa kalau basi?" desis ibu mertua itu tajam. "Masih makanan, kan? Apa kamu pikir pantas dapat hidangan mewah di rumah ini?!" Amora menggeleng lemah. "Tapi... ini sudah beracun, Bu. Mau Ibu racuni aku?" Senyum sinis melengkung di bibir wanita tua berambut konde itu. "Racun? Huh! Kamu itu gembel! Dasar perempuan tak berguna!" tangannya melayang, menoyor kepala Amora dengan kasar. "Kamu harus tahu diri! Hidupmu saja sudah untung bisa numpang di rumah anakku!" "Aku menantu Ibu," lirih Amora, mencoba bertahan dengan sisa harga dirinya. "Menantu? Pantas? Dari mana? Anak siapa kamu?! Asal-usulmu saja nggak jelas! Pantas saja hidup anakku malah jatuh miskin setelah nikah sama kamu!" dengusnya penuh jijik. "Pemilik toko meubel seharusnya dapat perempuan terhormat, bukan sampah sepertimu!" Tiba-tiba, rambut Amora ditarik paksa. Tubuhnya terhuyung, tapi ia tak melawan. Ia menahan semuanya. Luka batin, sakit fisik, dan harga diri yang diinjak-injak, semua ia telan demi janji suci kepada lelaki yang amat dicintainya. "Apapun yang terjadi, jangan pernah melawan, ya Sayang. Kalau kamu melawan, Ibu pasti makin jadi. Aku nggak tega lihat kamu disakiti, tapi percayalah... aku akan selalu setia sama kamu. Kumohon, demi aku, bersabarlah." "Aku janji, Mas. Asal Mas tetap setia sama aku, aku akan taat. Aku nggak akan pernah melawan Ibu." Cinta membuatnya rela menjadi tahanan di rumah sendiri. Bahkan kakak iparnya pun ikut menghina dan menyiksanya. Tapi Amora tetap diam, tetap pasrah demi Enzo, suaminya, lelaki yang telah membuatnya mencintai hingga separuh nyawa. "Hei! Jangan malah melamun!" Bentakan nyaring sang ibu mertua membuyarkan lamunannya. "Cepat habiskan makanan itu!" Dengan tangan gemetar, Amora menyendokkan makanan basi itu, memaksakan masuk ke mulutnya yang sudah penuh air mata. Suara tawa meledak dari bibir sang ibu mertua. Gelak puas yang terdengar lebih mengerikan dari teriakan apapun. "Habiskan! Satu butir nasi pun jangan sampai tersisa! Aku mau lihat kamu melata seperti anjing kampung!" Amora menangis tanpa suara, tanpa perlawanan. Yang ada hanya luka, perih, dan kepedihan yang membungkam. Namun tubuhnya tak mampu lagi bertahan. Dengan napas tersengal, ia bangkit, berlari sempoyongan menuju kamar mandi. "Hoek!" Semua makanan itu keluar bersama kepahitan yang telah ia telan sejak lama. Belum sempat menenangkan diri, terdengar lagi suara langkah keras mendekat. Sang ibu mertua mendobrak masuk. "Kurang ajar! Sudah dikasih makan malah dimuntahin! Dasar perempuan tak tahu diuntung!" Dorongan keras mendarat di punggung Amora. Tubuh lemah itu terjungkal, kepalanya menghantam bak air. Bukkk! Seketika dunia terasa berputar. Suara, warna, semuanya berbaur menjadi gelap... *** "Amora... Sayang... kamu dengar suara Mas, kan?" Suara lembut namun cemas menyelinap masuk di antara kegelapan. Samar-samar, Amora membuka mata. Wajah Enzo, suaminya, tampak buram di pandangan matanya. "Kamu kenapa bisa jatuh di kamar mandi, Sayang?" lirih Enzo, menatap Amora penuh tanya sekaligus khawatir. Jemarinya menyapu lembut rambut istrinya yang kusut berantakan. "A-aku..." Amora tercekat. Tenggorokannya terasa pahit. Dan untuk pertama kalinya ada kilatan keraguan dalam matanya. "Istrimu memang bebal, Enzo! Sudah Ibu bilang, jangan bersihkan kamar mandi pembantu. Tapi tetap saja dia ngeyel! Dasar perempuan keras kepala, lihat sendiri akibatnya sekarang! Malah bikin repot semua orang!" serapah Bu Ratna, penuh nada menyalahkan. Amora ingin membela diri. Ingin berteriak bahwa semua ini bukan salahnya. Tapi lidahnya kelu. Bahkan untuk sekedar bernafas saja terasa berat. Perutnya melilit, seluruh tubuhnya gemetar tak berdaya. Sedari pagi bahkan sedari kemarin ia tak diberi makan layak. Hanya nasi basi siang tadi yang dipaksa masuk ke kerongkongannya. Jika ia tak salah ingat, matahari kini hampir tenggelam, hampir maghrib waktunya berbuka puasa, walau ia tak berniat puasa, tetapi hidupnya dipaksa menahan lapar setiap hari. “La-par…” lirihnya nyaris tak terdengar. Enzo yang sedari tadi menatapnya penuh kekhawatiran segera membungkuk. “Lapar? Kamu lapar, Sayang?” Matanya yang biasanya penuh kepercayaan diri kini tampak rapuh. Amora mengangguk lemah. “Bu… tolong ambilkan Amora makan. Kasihan dia,” pinta Enzo tanpa sadar sedikit meninggikan suara, mulai muak dengan sikap ibunya. Bu Ratna mendengus. “Iya, iya! Bentar!” Dengan langkah berat penuh rasa malas, wanita itu berjalan menuju dapur. Tak lupa ia mengomel sendiri. “Dasar perempuan pembawa sial! Hidup di rumah orang kok repotnya minta ampun!” Ia mengambil nasi putih dingin dalam magic jar yang hampir kosong. Dua potong tempe goreng yang sudah layu ia letakkan asal-asalan di atas piring. Segelas air putih ia siapkan tanpa niat tulus sedikit pun. “Ini nasinya,” katanya sinis, kembali ke kamar. Enzo menatap piring itu. Hanya nasi dan tempe. “Lho, kok cuma tempe doang, Bu? Lauk yang lain?” “Ya adanya cuma itu. Lauk yang lain udah dimakan kakakmu. Mau protes? Mau masak sendiri?!” Enzo hanya terdiam. Tak ada gunanya berdebat. Ia memilih mendekati istrinya lagi. “Nggak apa-apa, ya Sayang. Makan seadanya dulu. Aku tahu kamu nggak keberatan, kan?” Amora ingin tertawa getir. Ingin berteriak, ‘AKU MUAK MAKAN TEMPE!’ Tapi apa gunanya? Enzo akan merasa bersalah, dan ia tak sanggup melihat itu. Lagi-lagi, Amora mengorbankan perasaannya demi menjaga harga diri suami yang bahkan tak mampu melindunginya. “Iya, Mas,” jawabnya dengan senyum palsu yang hampir tak mampu ia lukiskan. Amora dulu perempuan yang cantik. Kulit putihnya bersih, rambutnya hitam lebat, alisnya tebal alami. Tubuhnya proporsional, ideal. Tapi lihatlah dia sekarang... tubuh tinggal tulang berbalut kulit kusam. Pipi tirus, mata cekung. Amora perlahan berubah menjadi bayangan dirinya sendiri. “Bu, istirahat aja. Biar aku yang temani Amora makan,” ucap Enzo lagi, mencoba bersikap baik. “Huh! Dasar anak bodoh! Terserah kalianlah! Ibu mau tidur, jangan ganggu!” sahut Bu Ratna ketus, berbalik menuju kamarnya. “Istirahat yang cukup, Bu!” balas Enzo, memaksakan senyum. Begitu pintu kamar tertutup, Enzo kembali menatap istrinya dengan mata sendu. “Maafin Ibu, ya Sayang. Aku tahu... semua ini gara-gara dia.” Amora memalingkan wajah. Bukan karena marah, tapi karena lelah. Hati dan tubuhnya sudah habis. “Sayang... jangan nyerah, ya! Aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Bertahanlah sedikit lagi. Percayalah, suatu saat Ibu akan luluh melihat kesabaranmu.” “Berapa lama lagi, Mas?” lirih Amora, matanya berkaca-kaca. “Aku capek. Aku... aku nggak kuat lagi. Ibu nggak pernah akan luluh, Mas. Yang ada, aku mati di rumah ini!” Enzo menggenggam tangannya erat. “Sabar, Sayang! Sabar sedikit lagi!” Amora menggeleng pelan, tangisnya hampir pecah. “Aku nggak butuh sabar lagi, Mas. Aku butuh hidup! Aku butuh harga diriku kembali! Aku butuh kamu... untuk benar-benar ada di pihakku, bukan cuma berdiri di antara aku dan Ibu!” Enzo terdiam. Ada luka yang dalam di matanya. Tapi tetap saja... ia terlalu lemah. “Aku mau kita pindah, Mas. Rumah kontrakan kecil pun nggak apa-apa. Aku rela. Asal kita lepas dari neraka ini.” “Maaf... uang Mas belum cukup buat kontrak rumah. Semua uang keuntungan bulan ini sudah Mas kasih ke Ibu... buat bayar cicilan toko.” Amora menatap suaminya dengan luka yang tak bisa ia ucapkan. “Mas... aku nggak kuat lagi...” “Jangan marah... jangan kecewa sama aku, Amora. Aku nggak bisa kalau kamu benci aku...” Air mata Amora jatuh tanpa suara. Di satu sisi, ia ingin marah. Tapi Enzo... adalah satu-satunya alasan ia masih bernafas sampai detik ini. “Aku nggak marah, Mas...” Amora berbohong, seperti biasanya. Demi Enzo. Demi cinta yang entah masih berharga atau sudah berubah jadi racun perlahan membunuhnya. "Mas... aku mau tidur sebentar, ya. Badanku rasanya remuk." "Tentu, Sayang. Istirahatlah," jawab Enzo, tersenyum lembut, seolah-olah pria paling penyayang di dunia. Amora perlahan memejamkan mata, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam lelah yang menumpuk. Enzo pun ikut merebahkan diri di sampingnya, memeluknya dari belakang dengan tangan hangat yang terasa seperti belenggu. Tak sampai setengah jam, dering ponsel memecah keheningan kamar. Enzo sontak terbangun. Dengan gerakan cepat, dia meraih ponsel di atas nakas, matanya sekilas melirik Amora yang masih membelakangi dirinya. "Amora?" panggilnya pelan, pura-pura memastikan. Ditepuk-tepuknya pelan bahu sang istri. Tak ada respons. "Bagus," bisiknya puas. Dengan cekatan, Enzo mengangkat panggilan. "Halo, Sayang? Uangnya udah habis? Yaudah... nanti Mas transfer, lima juta cukup? Beli lingerie yang paling seksi, ya. Besok Mas kangen banget sama kamu." DEG! Amora yang sejak tadi hanya memejamkan mata pura-pura tidur, mendengar setiap kata dengan jelas. Setiap ucapan Enzo menampar telinganya seperti cambuk. Tubuhnya membeku, tapi jemari kurusnya mulai mencengkram selimut erat-erat, nyaris robek. ‘Sayang? Lima juta? Lingerie? Untuk siapa, Mas?’Angin sore itu terasa dingin di wajah Enzo, namun rasa dingin yang menusuk hatinya jauh lebih parah. Ia berdiri mematung di depan toko meubelnya, menatap kosong ke seberang jalan. Di sana, sebuah toko meubel baru yang megah baru saja dibuka. Spanduk besar terpampang mencolok, "Grand Opening! Diskon Hingga 70%!" Tawa riuh rendah dan percakapan pelanggan yang hilir mudik keluar masuk toko itu bagaikan alunan melodi kegagalan yang menyayat-nyayat telinganya.Seorang pegawainya, mendekat dengan wajah cemas yang tak bisa ia sembunyikan. "Pak Enzo, toko mereka ramai sekali. Mereka punya banyak sekali promo, dan harga produknya jauh lebih murah daripada kita. Pelanggan kita sepertinya semua pindah ke sana," lapor pegawai dengan nada gemetar.Enzo hanya bisa menghela napas panjang, mendengus. "Aku tahu, aku tidak buta!" Matanya menyala penuh keputusasaan. "Kalau begini terus, kita bisa bangkrut. Habis kita!" Ia mengusap wajahnya yang kusut dan menyugar rambutnya ke belakang. Enzo merasa sepe
Pagi itu, Amora dengan berat hati menemui Enzo, mantan suaminya, di sebuah restoran. Ia merasa muak berhadapan dengan pria yang telah menyakitinya itu. Enzo menyambutnya dengan senyum lebar, memegang setangkai mawar merah dan kotak cokelat kecil. Melihat hadiah yang tampak tak seberapa itu, Amora tanpa sadar terkekeh sinis, merasa jijik dengan tingkah Enzo."Cokelat sekecil itu?" bisiknya dalam hati. Ia membayangkan Enzo memberikan hadiah itu kepada anak kecil. Tapi, anak siapa? Enzo tidak memiliki anak dengannya. "Apakah dia sudah punya anak dengan Livy?" pikir Amora, sebuah pertanyaan yang menyulut api cemburu yang sudah padam."Amora! Hai!" sapa Enzo dengan suara ramah yang dibuat-buat. "Sudah lama kita tidak bertemu. Kamu terlihat semakin cantik."Amora hanya mengangguk kaku, tidak menanggapi pujiannya. "Untuk apa kamu memanggilku ke sini, Mas? Ada yang perlu dibicarakan?" tanyanya, suaranya dingin dan datar."Duduk dulu, Amora," jawab Enzo. "Aku sudah pesan minuman kesukaanmu. Ju
Suasana di ruang eksekutif terasa mencekam akibat amarah Aiden. Sang CEO muda itu berdiri dengan tatapan membara di hadapan beberapa karyawan yang berlutut ketakutan. Aiden merasa marah dan kecewa karena adiknya, Amora, diperlakukan tidak baik di wilayah kekuasaannya sendiri. Hal ini tidak hanya menyangkut masalah pribadi, tetapi juga harga diri dan otoritasnya sebagai pemimpin.Salah seorang karyawan yang berlutut, seorang pria paruh baya dengan kemeja sedikit kusut, memberanikan diri mengangkat wajahnya, air mata terlihat jelas menggenangi pelupuk matanya. Suaranya bergetar saat ia mencoba menyampaikan permohonan, "Pak… Pak Aiden… kami mohon ampun. Jangan pecat kami!"Karyawan lain menimpali dengan nada yang tak kalah memelas, "Iya, Pak. Kalau kami dipecat, lalu bagaimana nasib keluarga kami? Anak-anak kami akan makan apa, Pak?" Nada putus asa dalam suaranya semakin menambah suram suasana ruangan itu.Aiden mendengus sinis, tatapannya tajam menusuk setiap individu yang berlutut di h
Hawa tegang menyelimuti ruangan. Para karyawan yang tadinya berani mengerubungi Amora, kini mundur perlahan. Kehadiran Aiden di tengah mereka terasa seperti sambaran petir yang tiba-tiba. Wajahnya yang memancarkan aura kekuasaan membuat nyali mereka menciut. Mereka menunduk, saling lirik, seolah baru saja tertangkap basah melakukan perbuatan buruk. Mereka semua tahu, Aiden bukanlah sosok yang bisa diajak main-main. Keheningan yang mencekam itu dipecahkan oleh suara Aiden yang menggelegar, menusuk setiap sudut ruangan. "Kenapa kalian semua diam? Saya tanya, kenapa?! Jawab pertanyaan saya! Siapa yang berani menyentuh adik saya, hah?" Matanya menatap tajam satu per satu wajah yang pucat pasi di depannya. Kebingungan menyelimuti mereka. "Adik?" gumam beberapa orang. Siapa yang Aiden maksud sebagai adiknya? Setahu mereka, Amora hanyalah seorang karyawan baru. Namun, cara Aiden membela Amora begitu protektif, seolah Amora adalah bagian terpenting dari hidupnya. Pandangan Aiden akhirnya ja
Enzo menggeram, kepalan tangannya bergetar menahan amarah yang membuncah. Amora baru saja pergi, melenggang santai, seolah ancamannya tak lebih dari sekadar angin lalu. Rasanya seperti ada bara api yang membakar di dalam dadanya. Bagaimana bisa perempuan itu begitu berani? Begitu acuh tak acuh pada peringatannya? Enzo bersumpah, ia akan membuat Amora membayar mahal untuk semua ini. Janji itu bukan sekadar gertakan kosong, melainkan sebuah tekad yang membaja. "Aku akan merebut semua yang kamu miliki, Amora! Tunggu saja! Kamu akan menyesal!" gumamnya penuh dendam.Amarah Enzo akhirnya menuntunnya kembali ke toko meubel miliknya. Namun, pemandangan di sana tak kunjung meredakan kekesalannya. Sebaliknya, hal itu justru menambah beban di pundaknya. Toko meubel besar yang baru dibuka di seberang jalan tampak ramai, dipenuhi pembeli. Enzo merasakan dingin merayap di punggungnya. Toko itu, dengan produk-produknya yang lebih modern dan beragam, bagaikan raksasa yang siap menelan habis usahany
"Kenapa Abang lihatin aku kayak gitu? Muka Abang kenapa ditekuk begitu?" Amora bertanya, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia bisa membaca ekspresi wajah Aiden, kakak laki-lakinya, yang terlihat gelisah dan penuh kekhawatiran. Hanya saat-saat tertentu Aiden menunjukkan sisi rapuhnya, terutama jika itu menyangkut Amora."Ini bukan tentang Abang, tapi tentang kamu," jawab Aiden, suaranya terdengar berat. "Kamu kenapa marah-marah begitu? Kayaknya ada badai di dalam sana, ya?" Ia menunjuk ke arah dada Amora, mencoba mencairkan suasana dengan candaan.Amora menghela napas panjang, melipat kedua tangannya di depan dada. "Aku kesal sama si Saras. Dia makin hari makin menyebalkan, Bang! Dia tidak tahu diri. Dia terus-menerus menantangku, seolah aku tidak ada artinya. Padahal, aku tidak pernah mengusiknya, aku tidak pernah mencari masalah dengannya. Tapi dia? Setiap kali dia melihatku, dia selalu membuat ulah. Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak marah. Rasanya aku ingin sekali menampa