Aku masih berada di teras saat sang mentari hampir tenggelam di ufuk barat. Duduk, mondar-mandir lalu duduk kembali. Sudah puluhan kali aku menghubungi Mas Reyhan, tapi tetap juga tak diangkat. Elin juga kuhubungi, tapi nomornya tidak aktif. Sejak siang tadi perutku rasanya sangat mules. Bayi dalam rahimku seperti meronta mengajak kontraksi. Aku cemas karena sampai saat ini Mas Reyhan belum juga mengangkat teleponnya. Bagaimana kalau nanti aku melahirkan? Siapa yang akan menemani? “Sudah hampir magrib, Re! Enggak baik perempuan masih ada di luar rumah apalagi sedang hamil kayak kamu.” Aku terkejut saat sebuah suara yang sangat kukenal tiba-tiba menyapaku. Refleks aku menoleh pada sumber suara tersebut. Benar saja. Bu Erna-tetangga sebelah rumah yang menyapaku. “Iya, Bu. Ini lagi menunggu Mas Reyhan pulang,” jawabku tergagap.Tadi pagi Mas Reyhan sudah pamit mau menemani Elin ke dokter, jadi aku cuma berharap semoga rencana mereka batal.“Di dalam saja menunggunya,” saran tetanggaku
Tak berselang lama, bapak dan ibu datang. Mereka langsung mendekat padaku yang masih terbaring lemah. “Maafkan kami datang terlambat ya, Nak!” ujar ibu merasa bersalah. “Enggak apa-apa kok, Bu!” aku membesarkan hati ibu. “Apa sudah ada yang adan untuk bayimu?” timpal bapak. “Sudah, Pak. Tadi anaknya Bu Erna yang adan,” jawabku jujur. Bapak menganggukkan kepala lalu keluar ruangan. Mungkin dia mau berterima kasih sama Bu Erna.“Selamat ya, Re! Bayinya cantik kayak kamu,” ucap Bu Erna yang baru saja masuk.“Iya, Bu.” Aku melempar senyum pada perempuan paruh baya yang sudah mengorbankan waktunya untukku, “ Terima kasih ya ibu sudah menolongku,” “Kamu itu sudah ibu anggap sebagai anak sendiri, jadi sudah seharusnya aku ada di sini,” jawabnya. Ya. Bu Erna memang sangat baik padaku. Dia sudah seperti orang tua kedua bagiku. Saking sayangnya aku sering dikasih sesuatu sama mereka.“Alhamdulillah, saya senang dengarnya, Saya juga berterima kasih karena ibu sudah sangat baik sama Rere,
“Buka pintunya, Dek! Kita bicara baik-baik!” Mas Reyhan berteriak sambil terus menggedor-gedor pintu. Namun, aku abai. Apanya yang mau dibicarakan?“Ayolah, Dek! Jangan seperti anak kecil. Buka pintunya. Aku juga ingin bertemu anak kita.” Lagi. Suamiku kembali berteriak memohon. Ah! Masa bodoh! Hati ini sudah terlanjur kecewa. “Oek... oek... oek...” Rupanya teriakan Mas Reyhan telah mengganggu tidur Hanin. Gegas aku menyeka air mata lalu bangkit dan menyusui anakku. “Tidur yang lelap ya, Nak! Jangan pedulikan suara ayahmu,” bisikku. Meski telah kususui, tapi Hanin tetap saja menangis. Akhirnya aku menimangnya berharap meredakan tangisnya. Akan tetapi tangisnya tak kunjung mereda. Huh! Teriakan Mas Reyhan mengganggu saja!“Buka pintunya, Re! Biar ibu yang menimang. Siapa tahu mau diam.” Teriak ibu dari balik pintu. Entah sejak kapan dia datang. Jika ibu yang meminta rasanya aku sulit menolak. Toh, suara Mas Reyhan sudah tak terdengar lagi. Gegas aku memutar anak kunci lalu membuk
Aku duduk melangut di teras rumah. Merutuki hidup yang mulai terasa berat. Kemarin Mas Reyhan benar-benar pergi menemani Elin padahal yang aku inginkan dia tetap tinggal. Apa dia tak peka dengan perasaanku?Ah! Aku tak boleh secengeng ini. Untuk apa memikirkan orang yang tak peduli denganku. Lebih baik aku mulai menyelidiki semuanya. Aku beranjak ke dalam lalu segera kembali setelah mengambil ponsel. Membukanya, mencari kontak dengan nama ‘Angga’ kemudian menghubungi suami Elin. “Halo, Re! Tumben menelepon, ada apa?” tanya suara dari seberang sana. “Em... enggak, Mas. Ingin tanya kabar saja,” sahutku kaku. Selama ini kami tak cukup dekat. Bicara juga hanya seperlunya saja. Itu kulakukan demi menjaga perasaan Elin. Namun, Elin justru tak menjaga perasaan ini. “Oh... aku baik, Re. Kamu sendiri bagaimana? Apa sudah lahiran?” tanyanya kemudian. “Alhamdulillah, Mas. Baru hari kemarin,” jawabku. “Selamat ya, Re. Maaf belum sempat ke situ. Besok kalau enggak sibuk aku bakal jenguk kep
Seminggu setelah bersalin aku masih tetap tinggal di rumah ibu. Pun dengan Mas Reyhan. Sejak tinggal di sini suamiku tak pernah lagi keluar malam. Meskipun dia jarang membantuku mengurus Hanin, tapi setidaknya dia tak menemui Elin.Seperti biasa setiap pagi aku berjibaku di dapur. Membantu ibu memasak juga mencuci pakaian. Tak enak rasanya jika aku berpangku tangan sedangkan ibu kelelahan mengurus rumah. Saat sedang menyapu kamar aku mendengar suara motor berhenti di halaman rumah. Kutinggalkan pekerjaan ini karena penasaran siapa gerangan yang datang. Setelah membuka pintu, aku tersentak kaget saat mengetahui bahwa Elin yang datang. “Berani juga dia datang ke sini,” batinku. “Selamat ya, Re. Kamu sudah menjadi ibu,” ucap Elin berusaha memelukku, tapi aku menghindar. “Maaf! Reyhan enggak ada di rumah. Nanti malam saja datangnya,” sindirku. Elin memicingkan mata seperti bingung dengan ucapanku. “Aku ke sini mau ketemu kamu dan anakmu, Re. Bukan Reyhan,” jawab Elin.“Jangan bohong
Sudah hampir setengah bulan aku dan Mas Reyhan tinggal di rumah orang tuaku. Sebenarnya suamiku beberapa kali mengajakku pulang ke rumah, tapi aku selalu menolak dengan alasan biar ada yang menemani kalau di tinggal kerja. Meski sekarang Mas Reyhan tak pernah keluyuran, tapi hubungan kami tak kunjung menghangat. Dia lebih sering menghabiskan malam dengan bermain ponsel di teras ketimbang menemaniku atau Hanin. Jika dipikir-pikir hubungan ini sudah tak sehat. Pernikahan bukan hanya soal nafkah lahir ataupun batin, tapi juga ada hati yang harus dijaga. “Dek, nanti malam aku mau ke rumah Elin ya. Bapaknya lagi sakit. Tak enak kalau tak jenguk. Boleh kan?” ungkap Mas Reyhan sepulang kerja. Aku terkejut mendengar ucapan suamiku. Selama ini orang tua Elin sangat baik terhadapku. Tentu saja aku khawatir dengan keadaannya.“Sakit apa, Mas?” tanyaku balik.“Enggak tahu. Tadi Elin yang kabari, katanya sudah ada seminggu bapaknya tinggal di rumah Elin” jawab Mas Reyhan.“Kalau begitu aku iku
Aku mondar-mandir di dalam kamar, gelisah menunggu Mas Angga datang. Rasanya sudah tak sabar memergoki langsung kelakuan suami dan sahabatku. Hanin sudah kudandani, aku juga sudah berganti pakaian. Setidaknya pakaian yang luwes untuk bepergian.Waktu menunjukkan pukul delapan malam saat terdengar deru mesin berhenti di depan rumah. Gegas aku keluar karena yakin itu pasti Mas Angga yang datang. Benar saja. Saat sampai di depan, Mas Angga tampak terburu-buru keluar dari mobil lalu mendekat pada ibu yang lebih dulu ada di teras. “Assalamu alaikum,” ucap Mas Angga. “Waalaikum salam, Nak Angga kok sendirian. Elin mana?” Ibu menatap heran pada Mas Angga. “Iya, Bu... Habis dari kerjaan langsung mampir sini mau jemput Rere,” jawab Mas Angga. “Jemput ke mana?” cecar ibu penuh selidik. Mas Angga tampak kebingungan dengan pertanyaan ibu.“Anu, Bu... bapaknya Elin sakit. Jadi aku mau jenguk dia,” sambarku cepat. Mau tak mau aku berbohong pada ibu. Ah! Tidak. Yang bilang bapaknya Elin sakit
“Kamu dengar sendiri kan, Re? Aku tak mungkin menikam kamu. Dikhianati itu sangat sakit. Makanya aku enggak mau selingkuh apalagi dengan suami sahabatku sendiri.” Ucap Elin kemudian. Aku tertunduk tak menyahut. Rasanya sangat malu dengan kebodohanku.Sejenak hening menyelimuti kami. Pikiranku hanya dipenuhi oleh sesal karena sudah menuduh sahabat sendiri. “Maafkan aku, Lin.” Setelah memupuk keberanian, aku mendekat pada Elin lalu memeluk tubuhnya. “Iya, aku tahu posisimu. Jika aku jadi kamu, aku juga akan berbuat hal yang sama.” Elin mengelus punggungku menenangkan. Aku semakin merutuki kebodohanku yang gegabah. “Nanti kalau Reyhan datang, kita paksa dia buat berbicara. Biar semuanya jelas,” usul Mas Angga. Aku dan Elin mengangguk setuju. Mas Reyhan harus menjelaskan kenapa dia berkhianat dan mengkambing-hitamkan Elin. Suasana terasa sunyi. Sesekali Elin dan suaminya mengajakku mengobrol, tapi aku hanya menanggapi sekedar saja. Pikiranku lebih didominasi oleh kemarahan pada Mas