Share

BAB 4

“Time is the invisible and the strongest presence.” – Khalid Masood

Aku terbangun karena sinar matahari muncul dari jendela yang tidak kututup rapat semalam. Mengerang, menarik tangan, mengumpukan kesadaran. Tumben sekali Mama tidak datang dan memaksaku untuk bangun sambil dengan nada sinis mengatakan kalau anak gadis tidak boleh bangun siang. Ah tunggu, ini bukan kamarku. Dan Mama berada jauh di sana.

“Good morning, Chiang Mai!”

Jam bulst yang menempel di dinding menunjukan pukul tujuh lebih empat puluh dua menit. Aku segera berlari ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh, berpakaian, dan tidak lupa mengoles skin care juga riasan ringan. Yang jelas walau dikejar waktu, memakai sun screen itu hal yang sangat wajib bagiku. Aku telat!

Rencananya hari ini aku akan mengikuti temple tour yang memutari kuil-kuil di Chiang Mai. Tour dimulai pukul sembilan. Hanya tinggal sekitar satu jam lagi untuk bertemu dengan turis lainnya di meeting point. Kata perwakilan travel, aku cukup menaiki satu bis saja dari terminal terdekat. Tapi tidak ada yang menjamin apakah bis dengan mudah ditemukan. Aku mencoba mengecek kembali barang bawaan, lalu bergegas keluar dari apartemen berlari ke terminal terdekat.

Sesampainya di terminal aku sadar telah berjalan cukup jauh dan memakan waktu yang tidak sebentar. Intinya jarak terminal dan apartemen itu tidak dekat. Kalau tahu begitu aku pinjam mobil Tante Tantri saja. Aku mengelap keringat di kening sambil menunggu bis datang dan membaca petunjuk jalur bis di papan.

“Hei!” Seorang laki-laki yang rasanya familiar menyapaku dari dalam mobil yang tiba-tiba berhenti.

“Kamu? Eh, hei!” Jawabku canggung setelah yakin dia sedang berbicara padaku.

Dia membuka kaca mobil lebih besar lagi dan tampak sedang mengambil sesuatu dari sakunya. Pulpen milikku. “Makasih banyak. Pulpen ini ngebantu banget.”

“Sama-sama. Aku nggak percaya aja kalau kamu beneran mau balikin pulpen ini.” Lebih tepatnya kok bisa kita ketemu lagi?

“Kebetulan banget bisa ketemu kamu lagi. Tadinya mau nitip di lobby sesuai kesepakatan kita. Tapi yang jaga lobby lagi nggak ada.”

Aku memasukan pulpen ke dalam tas, memutar otak, apa yang harus aku katakan padanya. Kita tidak bisa ngobrol lebih lama dan satu bis sudah terlihat mendekat ke arah kami.

“Aku Manee, kita belum kenalan, kan?” Dia memecah perhatianku.

Aku mengerenyit. Mani? Ma-ni? Ma-nee? Kedengarannya begitu. “Aku Thalia. Eh kamu ngalangin bis yang mau aku naiki. Belakang kamu ada bis.”

Aneh, dia malah melihat ke arah belakang tanpa sedikit pun memajukan mobilnya meski klakson bis mulai berdering. Beberapa orang di sekitar kami memperhatikan tingkah kami dan terlihat seperti tidak suka.

 “Gini, aku harus pergi sekarang. Makasih udah balikin pulpennya. Kamu bisa majuin mobil kamu, kan? Bis itu mau berhenti di sini.” Aku panik saat supir bis kembali memencet klakson dan penumpang mulai sibuk berlari masuk bis yang berada hampir di tengah jalan karena tidak berhasil menepi dengan baik.

“Gimana kalau aku yang anterin? Nggak mau lebih lama disinisin sama orang-orang, kan? Ayo naik.”

“Nggak usah, ngerpotin. Aku naik bis aja dan aku juga sekarang harus ke meeting point secepatnya,” ucapku tegas dan memutuskan untuk masuk ke dalam bis.

Manee menggeleng. “Mai... Santai aja. Aku juga nggak punya jadwal hari ini.” Dia membuka pintu mobil. “Ayo naik. Kalau kamu naik bis belakang, kamu kena omel satu bis karena mereka tahu penyebab jalanan yang sekarang mulai macet itu karena kamu.”

Aku? Bukan aku tapi kamu. Apa maksudnya? Ini pemaksaan! Sekarang bukan hanya bis yang memencet klakson tapi kendaraan lain yang merasa tertutup jalannya mulai memencet klakson. Membuatku refleks masuk ke mobil Manee dengan cepat dan menutup pintunya kesal. Manee menginjak gas dan bunyi klakson sedikit demi sedikit menghilang.

“Turunin aku di terminal bis berikutnya,” ucapku tegas.

Manee menggelengkan kepalanya. “Ngapain?”

“Ngapain? Aku lagi kejar waktu. Hari ini aku ikut temple tour dan aku telat.”

“Yang jelas, kalau pun kamu tetap maksa naik bis, kamu bakalan beneran ketinggalan tour. Rencana kamu gagal. Kan tadi aku udah bilang, aku aja yang anterin. Sama aja, kan?” Manee menyenderkan tubuhnya. “Nyantai aja. Aku nggak akan ngapa-ngapain kamu. Janji.”

Apa kata-katanya bisa kupengang? Ya Tuhan, apa sebenarnya ini sudah termasuk kasus penculikan? Apa aku harus maksa buka pintu terus loncat? Oke tunggu, Thalia. Tenang dulu dan coba berpikir lebih luas.

Apa yang dikatakan Manee ada benarnya. Kalau aku naik bis, aku pasti telat dan ditinggal apa lagi aku belum melakukan pembayaran. Terus aku akan kebingungan pergi ke temple apa dan harus naik apa. Sedangkan kalau aku mengikuti tawaran Manee, aku bisa lebih santai dan menikmati liburanku. Aku juga bisa sampai ke tempat tujan dengan kepastian.

 “Mau ke mana aja hari ini?” tanya Manee memecah lamunanku.

“Nggak tau, sebenarnya aku belum tahu mau ke mana.” Aku memandang lurus jalanan yang asing.

“Kalau gitu sesuai rencana kamu hari ini, kita ke temple aja gimana?”

“Terserah kamu,” jawabku dan Manee menyalakan tape mobil.

Ya, aku pilih untuk mengikuti tawaran Manee dan mencoba pasrah. Aku janji, aku akan melakukan apa pun kalau Manee sampai macam-macam padaku.

Sekitar satu jam lebih, mobil yang kami naiki tiba di sebuah kawasan penuh pepohonan. Kata Manee, kuil yang akan kami kunjungi adalah kuil paling terkenal dan tidak pernah sepi dari wisatawan. Namanya ‘Wat Phra That Doi Suthep’.

“Gimana kalau kita berhenti di sini aja? Kapan lagi kamu bisa naik Songtaew?” ajak Manee sambil menepikan mobilnya lalu menunjuk jejeran mobil yang mirip dengan bemo berwarna merah. Mobil dengan pintu penumpang terletak di belakang.

“Apa bedanya sama kita naik mobil ini?”

“Ya beda. Kalau kamu naik mobil itu, kamu bisa lebih ngerasain gimana rasanya jadi wisatawan seratus persen di sini. Kebanyakan wisatawan nggak akan ngelewatin naik kendaraan itu. Kamu? Nggak mau ngelewatin juga, kan?”

Oke, jadi letak kuil masih jauh dan Manee mengajakku untuk pindah kendaraan. Tapi aku belum bisa mencerna apa yang ingin Manee katakan sebenarnya. Ya selain kendaraan yang disebut Songtaew itu tidak memiliki AC, mengandalkan angin yang berhembus, dan memiliki tempat duduk berhadapan seperti angkutan umum di Indonesia.

Manee mengangkat bahunya. “Beneran nggak mau coba? Nanti nyesel.”

Lagi–lagi tanpa menunggu jawabanku, dia melepas sabuk pengamannya, dan turun dari mobil. Setelah itu membuka pintu mobil di sampingku. Aku hanya bisa speachless melihat sikapnya. Bagaimana bisa dia memaksaku seperti ini?

Manee mengangkat sebelah alisnya. “Ayo turun, kapan lagi?”

Bagaimana kalau aku menolak ajakannya? Apakah dia akan meninggalkanku sendiri di sini? Dan menghancurkan jadwalku tentunya. Mau tidak mau aku mengikuti ajakannya, bangkit dari duduk, dan keluar dari mobil. Kami menghampiri Songtaew yang berbaris paling depan.

“Kamu nggak keberatan, kan?” Manee tersenyum tampak tidak ada masalah.

Aku tidak ingin mengatakan apa pun lagi jadi aku mengangguk saja lebih ke terserah.  Percuma aku tolak, toh dia sudah membuka pintu mobilku, menyuruhku turun. Dengan cepat Manee berbicara pada supir kemudian mengeluarkan sejumlah uang.

“Kamu nggak usah bayar. Ucapan terimakasih buat pulpennya,” katanya sambil mempersilakanku menaiki Songtaew. “Nggak usah ngerasa nggak enak. Nyantai aja.”

Siapa juga yang merasa tidak enak? Yang ada aku merasa dipaksa untuk kesekian kalinya. Laki-laki yang aneh. Tanpa menunggu aku menjawab, Manee mendorongku pelan memasuki Songaew. Angin menerbangkan rambutku selama Songtaew melaju di jalanan menanjak. Aku bisa melihat deretan pohon tinggi berdaun hijau juga toko-toko kecil yang bersebaran di sepanjang perjalanan. Jalan menuju kuil sedikit berbelok-belok. Tidak lama Songtaew menepi.

Manee turun terlebih dulu. “Nah, sebelum ke kuil, aku minta supir turun di sini dulu. Aku rasa kamu wajib ke sini juga.”

Kami berhenti pada sebuah tempat wisata. Kata Manee tempat ini bernama ‘Bhubing Royal Palace’. Satu kata yang pertama keluar dari mulutku adalah indah. Sebenarnya terlihat biasa saja seperti tempat wisata di Indonesia mungkin karena sama-sama di negara tropis. Tempat ini dipenuhi tanaman hijau, berbagai bunga yang berwarna–warni, juga jalanan setapak yang menjadi jalan khusus sehingga kami tidak menginjak rumput. Sesuai dengan namanya, ada sebuah istana yang beridiri dengan pemandangan menarik di sekitarnya. Salah satunya adanya kolam besar dengan air mancur.

Aku mengambil beberapa gambar menggunakan pocket camera yang kubawa dari Indonesia. Dengan cepat tangan Manee menutup lensa lalu mengambil kameraku.

“Harus ada kamunya dong. Sini aku bantu foto.”

Ada rasa aneh dan canggung ketika tahu ada mata Manee di balik kamera itu. Mata seorang laki-laki asing. Laki-laki yang kukenal tidak sengaja karena peristiwa peminjaman pulpen. Matahari sudah mulai berjalan ke atas kepala. Manee mengajakku untuk melanjutkan perjalanan.

Songtaew kembali menepi. Kini Manee membawaku ke tempat tujuan utama kami. Kuil Wat Phra That Doi Suthep. Ada banyak anak tangga yang kira-kira jumlahnya mencapai ratusan. Sebagai jalan pengunjung menuju kuil.>>

“Serius? Kita harus naik tangga itu? Tangganya banyak dan ini...” aku menunjuk ke arah kakiku yang memakai wedges agak tinggi. Aku terbiasa menggunakan wedges sebagai alas kaki sehari-hari tetapi aku menyerah kalau harus menaiki tangga itu.

Manee tertawa lalu menarik tas ranselku pelan. “Jaman udah makin canggih. Kita bisa naik lift kok. Ikut aku!”

Karena letak kuil di atas bukit, tidak jauh dari tangga terdapat lift untuk membantu wisatawan naik. Sedikit harus mengantri tapi dibandingkan harus menaiki tangga, lebih baik pegal mengantri, bukan? Tidak butuh waktu lama untuk sampai di atas. Setelah sampai di atas, berjalan lebih dekat, ada anak–anak kecil yang menari tarian tradisional, menyambut wisatawan.

Kuil Wat Phra That Doi Suthep sangat luas. Kuil ini didominasi warna emas pada pagodanya yang memberi kesan mewah. Ditambah berbagai patung Buddha duduk gagah dengan berbagai ukuran. Cahaya matahari yang terik memperindah kuil ini, memberi pantulan yang menambah unsur mahal. Sempurna ketika disatukan dengan langit biru dan gumpalan awan. Ketika melihat langit, aku merasa awan-awan itu berada tidak jauh dari kepala. Terasa dekat.

Selain membantuku mengambil beberapa gambar dengan kamera, Manee juga menemaniku berjalan dari satu sudut ke sudut lainnya.

“Gimana? Bagus, kan? Kalau tadi kamu ikut temple tour, kamu nggak bisa lama-lama dan harus pindah ke kuil yang lain. Sekarang, sih, kamu bebas mau sampai kapan nikmatin pemandangan kayak gini.”

“Iya, bagus banget. Kamu sering ke sini?”

“Nggak sering. Soalnya tempatnya agak jauh dari apartemen dan jauh dari rumah orangtuaku.”

Jadi dia tinggal sendirian? Bagaimana rasanya ya? Terkadang, aku ingin mencoba tinggal jauh dari orangtua. Ini menjadi keinginan terpendamku sejak memasuki usia ABG. Tetapi setelah Ma dan Pa bercerai, dan aku memilih tinggal bersama mama, rasa rindu yang tidak pernah putus terhadap papa selalu muncul. Dan artinya, aku tidak bisa jauh-jauh dari mereka.

Keningku mulai mengeluarkan keringat. Matahari benar-benar sedang berada di atas kepala meski udara yang sejuk sejak tadi tidak berhenti berkejaran di sekitar kami. Mungkin karena wisatawan yang datangnya juga sangat banyak.

Manee membuka tasnya dan mengeluarkan satu pack tisu berukuran sedang. “Butuh ini?”

“Ah iya makasih banget.” Aku mengambil selembar tisu. Sebenarnya aku membawa tisu dalam tas tapi malas untuk mengeluarkannya. Hebat, ada laki–laki yang membawa tisu dengan ukuran seperti ini ketika berpergian

Manee melirik. “Hmm, eh iya kamu punya impian? Atau permintaan yang selama ini belum terkabul? Atau apa pun itu?”

Ada dan banyak sekali! Siapa yang tidak memiliki impian, sih? Semua orang punya impian. Impian untuk terus hidup, impian menjadi orang kaya, impian ingin menjadi orang sukses, impian ingin menikah dan berkeluarga.

“Pastinya ada. Bukannya selama hidup, kita berjalan ditemani impian-impian? Bagiku impian itu seperti lampu. Penerang jalan setiap mahluk hidup.”

“Kalau gitu, ikut aku!”

Manee mengajakku masuk ke sebuah ruangan bagian dari kuil. Ruangan yang sejak awal kami datang dipenuhi wisatawan sampai aku tidak tahu ruangan itu memiliki fungsi apa. Dengan kesabaran penuh, Manee menarik lenganku untuk sedikit berdesak-desakan. Ada perasaan aneh ketika merasakan tangannya menyentuh lenganku. Semakin berjalan masuk, aku mengerti. Walau jarak kami masih sedikit jauh, tapi aku bisa melihat ada beberapa Biksu yang berdiri di sana.

Sedikt menguras kesabaran untuk benar–benar sampai di hadapan Biksu. Setelah berhasil menempatkan tubuh di hadapan Biksu, beliau  memberi doa pada kami juga memakaikan gelang di tangan kami. Gelang berwarna merah maroon yang terbuat dari untaian benang. Gelang sederhana tapi memiliki makna. Selesai, Manee kembali menggandeng lenganku untuk mesuk ke ruang lainnya yang berisi jejeran lonceng besar. Selain jejeran lonceng, di sudut lainnya juga terdapat deretan guci berisi anu jenazah yang telah dikremasi. Aku tidak keberatan digandeng Manee. Mungkin dia hanya ingin mengurangi komunikasi atau tidak ingin mengeluarkan suara di tempat ini.

Manee meninggalkanku sesaat. Dia melangkah ke salah satu lonceng, menggoyangkannya, memejamkan matanya, kemudian berdoa. Tidak lama, matanya kembali terbuka. Dia tersenyum padaku. Senyum itu.

“Nggak ikut berdoa?”

“Nggak, bukan kepercayaanku. Nggak apa-apa, kan?” tanyaku hati – hati.

“Nggak apa-apa, setiap manusia kan beda. Begitu pun dalam hal kepercayaan. Bukan masalah. Ini loh yang aku tanya tadi ke kamu. Kalau doa di sini, impian kita bisa terkabul. Ya tergantung usaha juga, sih. Tapi kan nggak ada yang nggak mungkin.”

Iya benar. Tidak ada yang tidak mungkin dan aku sangat menghargai pemahaman mereka yang membunyikan lonceng dan mengucapkan doa juga harapan di sini.

Setelah mengambil gambar, kami keluar dari kuil. Semakin lama kuil semakin ramai. Manee mengajakku untuk berdiri sebentar di sekitar kuil yang menghadap kota Chiang Mai.

“Kabutnya tebal, padahal kita bisa lihat kota Chiang Mai dari sini loh. Sayang banget.”

“Ya, nggak apa–apa. Bisa ke sini aja aku udah senang.” Aku memandang gelang di tangan kanan. “Oh ya ini gelang apa?”

“Jimat keberuntungan. Terserah mau percaya atau nggak tapi selama kita masih terus merasa beruntung, hidup kita pasti lebih positif.” Manee ikut memandang gelang di tangannya.

“Tapi hidup kan kayak bola. Berputar, nggak selamanya di atas. Nggak selamanya positif. Nggak aneh kalau kita tiba–tiba punya pikiran negatif ketika lagi tertimpa masalah.”

“Walau berputar ke bawah, kalau kita memandangnya tetap dengan positif, hasilnya beda.”

Aku membalikan badan. “Iya, tapi nggak semudah itu.”

Manee tidak kembali menanggapi. Dia menatapku sekian detik lalu mengangkat bahunya. “Ya masalah tidap orang beda-beda, sih. Kadang aku sendiri suka kelepasan. Nggak bisa ngilangin pikiran negatif atau rasa pesimis terhadap sebuah keadaan.”

“Aku juga. See? Nggak semudah apa yang ada dalam teori kan, kan?”

“Tapi... Ah udahlah, kamu menang. Hahahaha.”

Dasar, bisanya hanya mengeluarkan teori. Sampai akhir zaman teori itu lebih mudah untuk dikatakan.

“Mau ke mana lagi?” tanya Manee sambil memperhatikan keadaan kuil yang semakin ramai.

“Bebas.”

Kami memutuskan untuk turun ke bawah dengan tangga. Ternyata di sekitar tangga banyak sekali toko-toko kecil yang menjual souvenir buatan penduduk sekitar. Aku membeli beberapa gelang untuk dijadikan oleh-oleh kemudian kami mencari Songtaew carteran kami, untuk kembali ke tempat kami memarkir mobil. Aku mengarahkan AC mobil lebih dekat. Ada rasa canggung ketika sadar tadi pagi aku sempat menolak tawarannya.

 “Kamu nggak kerja hari ini?” tanyaku.

Manee menarik napas. “Nggak, nggak ada kerjaan.”

“Maksudnya kamu lagi jadi pengangguran?”

“Ya bisa dikata begitu. Aku penulis. Penulis nggak menggantungkan diri sama waktu dan tempat.”

Ah, pantas saja kemarin dia sibuk dengan tumpukan kertas. Pasti dia penulis terkenal yang harus memberi tanda tangan di buku-bukunya. Edisi exclusive dan telah dipesan oleh penggemarnya. Berarti sekarang aku sedang jalan dengan orang terkenal, bukan?

“Sekarang mau ke mana? Udah makan?”

“Ah, belum.”

“Mau makan di mana?”

Aku menaikan bahu. “Gimana aku tahu nama restoran kalau aku baru pertama ke sini? Aku udah bilang, aku nggak tahu mau ke mana.”

“Kamu nggak tahu beneran? Nggak ada planing sama sekali mau ke mana aja di sini?” Matanya terbelalak tidak percaya.

“Ya gitu deh.”

“Kalau gitu aku yang bikin jadwal. Gimana? Kita ke resto dekat apartemen mau? Ada kok resto Thailand yang enak.”

Aku mengangkat bahu sambil mengangguk. “Boleh juga.”

Manee menyalakan mobilnya. Sekitar satu jam kemudian, mobil kami sampai di sebuah resto sederhana. Dibandingkan dengan sebutan restoran, tempat ini lebih terlihat seperti rumah makan. Jujur, perutku sudah memberi signal. Sudah lapar sejak tadi pagi tapi aku menahannya.

Tepat ketika masuk, kebetulan sekali ada Tante Tantri dan keluarganya duduk di salah satu meja. Yang paling membuatku aneh adalah melihat Nadia yang tiba-tiba lari menghampiri Manee. Sepertinya Manee juga mengenal baik keluarga Om Dahlan. Manee dengan semangat mengajak main Nadia.

Tante Tantri menyuruh kami untuk bergabung dalam satu meja, meminta pelayan menambahkan kursi, memberi kami buku menu. Manee tidak melihat buku menu sama sekali dan masih terus bermain dengan Nadia. Bernyanyi-nyanyi.

Manee mengayun pelan Nadia, bertanya sesuatu pada Tante Tantri dengan Bahasa Thailand yang dijawab dengan anggukan.

“Eh kalian saling kenal?” Tante Tantri melirikku. “Kenal di mana?”

Aku membolak-balikan buku menu. “Nggak sengaja, di cafe dekat apartemen. Thalia baru tahu kalau Om sama Tante kenal Manee juga.” Iya setidaknya membuatku agak tenang untuk menghabiskan waktu dengan orang yang baru dikenal.

Om Dahlan, suami Tante Tantri menunjuk satu nama makanan dalam menu. “Yang ini enak, Tha. Oh ya, kamu nggak usah khawatir jalan sama Manee.”

“Tante sama Om udah kenal Manee banget ya?” Aku melirik Manee dengan ujung mata. Memerhatikannya dari ujung kepala sampai kaki. Apa benar dia tidak berbahaya?

“Nggak banget, cuma ya kami kenal aja. Dia udah hampir tiga tahun tinggal di apartemen. Orangnya ramah dan ya pokoknya dia nggak akan ngapa-ngapain kamu. Tenang aja. Nadia aja dekat banget sama dia. Manee suka ngajak Nadia main dari kecil, dari masih bayi.” Tante Tantri berdiri, menggendong Nadia dan menyuruh Manee untuk duduk memesan makanan.

“Manee ini penulis best seller loh, Tha. Penggemarnya banyak tapi ya namanya juga penulis, nggak semuanya hafal muka dia. Kalau hafal kayaknya udah dikejar minta foto sama tanda tangan.” Om Dahlan tertawa pelan sedangkan Manee hanya nyengir. Giliran dia yang tidak paham apa yang dibicarakan Om Dahlan padaku. “Ganteng, kan?”

Aku mengangguk, canggung. “Lumayan.”

“Besok-besok kalau mau jalan sama dia aja. Om jamin, dia nggak akan macam-macam kok. Anaknya baik banget.”

“Ah iya, Om. Thalia ngerti. Dia memang janji mau jadi guide Thalia selama di sini. Seenggaknya Thalia udah nggak ragu buat jalan sama dia sekarang. Kebetulan banget ya bisa kayak gini.”

Kami menghabiskan waktu di resto sampai langit mulai gelap. Nadia sudah tidur sejak tadi dan makanan di piring sudah habis.

Mendengar ucapan dari Om Dahlan dan Tante Tantri tentang Manee membuatku mulai menikmati keberadaan sosoknya sebagai teman pertamaku di sini. Aku rasa dia cukup menjadi guide-ku dengan baik. Walau sedikit menyebalkan. Satu hal yang paling terpatri dari sosok Manee buatku, aku selalu suka melihat dia tersenyum.

Tidak aneh, kan?

Mai = Tidak

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status