Share

BAB 5

“The beginning is always today.” – Mary Shelley

Manee mengajakku untuk menikmati Chiang Mai ketika matahari baru saja terbit dengan lari pagi memutari jalan sekitar apartemen. Kami membuat janji di lobby, tepat ketika lift berhenti, terbuka, dia dengan training pants berwarna abu-abu yang dipadu baseball jacket biru dongker dan running shoes hitam, melambaikan tangannya. Tersenyum seperti biasa.

“Udah siap?” Dia melakukan peregangan, menarik kedua tangannya ke atas.

Aku mengangguk. Rasanya sudah siap, lagipula cuma sekadar lari pagi di sekitar sini. Tidak perlu membawa banyak barang. “Aku bawa beberapa uang, paspor, kartu apartemen, sama HP di tas ini. Ada lagi yang harus aku bawa?”

“Ah, ya ampun, aku lupa bawa HP. Kamu mau ikut naik atau mau nunggu di sini aja?” Manee melangkah cepat, memencet tombol lift.

Aku mengikutinya dari belakang. “Ikut.”

Apartemen Manee berada di lantai 10 dan letaknya di ujung. Aku mengikuti langkahnya yang terburu-buru. Walau sebenarnya dia tidak usah tergesa-gesa seperti ini menurutku. Kami tidak dikejar apa pun, kan? Dia membuka pintu apartemen miliknya, aku ragu untuk ikut masuk walau sebenarnya aku penasaran. Entahlah, aku selalu penasaran dengan isi rumah orang sejak kecil. Termasuk apartemen Manee.

“Masuk aja.” Manee mempersilakanku namun aku menjawabnya dengan gelengan halus.

Dari pintu yang terbuka, aku mengintip isi apartemennya. Manee tidak tahu berada di mana, mungkin dia masuk ke dalam kamarnya atau ruangan lain. Sopan tidak ya mengintip seperti ini? Meski Manee mempersilakanku untuk masuk, tapi rasanya canggung untuk masuk ke dalam rumah orang asing yang baru saja aku kenal. Lagipula dia itu laki-laki.

Aku bisa melihat dinding apartemen Manee yang bercat abu-abu muda. Di ruang televisi yang sekaligus dijadikan ruang tamu, terdapat satu set sofa biru kecil dengan tiga macam boneka di atasnya dan satu meja yang terbuat dari kaca yang diletakan tepat di depan sofa tersebut. Satu karpet berbulu menjadi alas meja. Tidak jauh dari sofa, aku bisa melihat rak yang terbuat dari kayu jati berlapis kaca berdiri kokoh. Di dalamnya ada banyak barang-barang unik.

Deretan lego dan gelas-gelas berbagai warna juga bentuk mendominasi isi rak. Ah, ingin rasanya masuk, melihat barang-barang itu lebih dekat lagi. Sementara itu, satu meja berisi komputer dengan lembaran post it yang menempel di mana-mana, gelas-gelas yang entah apa ada isinya atau tidak, juga tumpukan buku berhasil menyita perhatianku. Itu pasti meja kerja Manee yang dipakai untuk menulis buku-bukunya.

Tepat ketika aku mulai memperhatikan sudut ruangan lain, Manee muncul di hadapanku.

Sorry jadi bikin kamu nunggu.”

Padahal, aku belum puas mengintip. Kami kembali masuk ke dalam lift. Begitu keluar dari gedung, angin menerpa wajah. Aku suka udara ini. Sejuk dan mengingatkanku akan liburan di Lembang. Udaranya hampir sama. Manee mulai lari lebih dulu. Melihat sosoknya dari belakang membuat banyak pertanyaan muncul di benakku.

Apakah dia tinggal sendirian? Aku rasa isi apartemennya terlalu rapi dan bersih untuk apartemen seorang laki-laki. Dari  mulai gradasi warna dan kehadiran boneka. Apa mungkin orangtuanya sering berkunjung dan membantunya membersihkan ruangan demi ruangan? Atau sebenarnya dia tinggal dengan orang lain? Kakaknya atau adiknya? Atau..... Iya. Aku baru ingat, ada satu hal penting yang belum aku ketahui dan mungkin saja bisa menjadi masalah buatku. Apakah dia sudah memiliki kekasih? Apakah kekasihnya itu tinggal dalam satu apartemen dengannya? Dan boneka-boneka itu milik kekasihnya. Bisa jadi, kan?

Oh my god, aku kenapa, sih? Bukan masalahku dan bukan hakku untuk tahu tentang itu semua walau aku sangat penasaran.

“Aduh,” pertanyaan-pertanyaan itu runtuh seketika ketika tubuhku menabrak tubuh Manee. Dia berhenti mendadak.

Manee tertawa pelan. “Kamu nggak apa-apa? Ngelamun?”

“Nggak, nggak apa-apa dan nggak ngelamun juga.” Aku menarik senyum sesantai mungkin. “Kenapa?”

“Nggak, aku cuma mau bareng larinya. Nggak enak ngebelakangin kamu. Eh, ternyata kamu ngelamun.”

Aku menggeleng sambil menggaruk leher. Semua salah otakku yang gemar bekerja lebih aktif. “Santai aja.”

“Oh ya, aku boleh nanya?”

“Nanya apa?” Aku dan Manee masih menggerakan kaki kami dengan tempo yang lambat.

“Alasan kamu solo traveling gini apa?” Manee menggaruk kepalanya, nada suaranya sedikit ragu. “Maksudnya, aneh aja ada perempuan yang solo traveller tanpa tahu agenda selama traveling apa aja.”

“Aku sendiri nggak tau.” Aku terkekeh. Bahkan liburan ke negara ini saja karena tercetus iklan, kan? “Aku cuma ya.... Ngisi waktu liburan kuliah.”

“Itu doang?” Manee seperti tidak yakin akan jawabanku.

“I-iya.”

Aku membenarkan ikatan rambut, berusaha menghindari tatapan Manee yang mulai membaca ekspresiku. Dia tertawa pelan kemudian menyentil keningku. “Kalau ada yang mau dibagi, cerita aja.”

Hei, nggak sopan! Sentilan itu menyadarkanku bahwa aku memang terlihat dalam keadaan dan terlihat ‘bodoh’.

“Maksudnya?” Aku tidak ingin terpancing dan menahan untuk tidak bercerita. Bagaimana pun kami baru kenal beberapa hari. Bagaimana pun kami hanyak orang asing yang tidak sengaja bertemu.

“Firasatku mengatakan kalau kamu punya alasan khusus. Mungkin kamu lari dari sesuatu, atau mungkin kamu pengin lupain sesuatu.” Manee kembali siap-siap berlari lebih kencang. “Tapi ya kalau kamu nggak mau cerita, nggak apa-apa kok. Yang penting kamu nyaman liburan di sini. Dan aku bisa bantuin kamu.”

Bukan tidak mau cerita, hanya saja, ini semua masalah waktu. Dan lagipula, aku memang sedang dalam masa kehilangan rasa percaya pada banyak orang. Manee berlari, menunggalkanku tanpa menunggu jawabanku. Aku mengikutinya.

Dan itu jawabannya. Berlari.

Malamnya, Manee mengajakku menikmati malam di jalanan. Awalnya dia mengajakku untuk pergi ke Night Bazzar, tapi rasanya aku tidak bergairah pergi ke tempat seramai itu. Akhirnya kami hanya berjalan-jalan di sekitar Old Town. Melihat kendaraan dan orang-orang yang berlalu lalang, mengambil beberapa gambar dengan kamera. Awalnya, aku pikir sayang kalau harus menyiakan waktu yang jarang seperti ini, tapi tadi siang Manee harus pergi ke salah satu tempat. Dan rasanya aku kurang percaya diri bila pergi sendirian.

Apa mungkin aku sudah tergantung dengan laki-laki ini? Aku memandang Manee yang sedang memainkan ponselnya.

Segerombol siswa dengan seragamnya datang ke arah kami. Yang membuatku aneh, mereka tidak menghindari aku dan Manee yang berjalan di tengah trotoar, menabrakan tubuhnya padaku.

“Eh?” aku refleks membalikan tubuh, bertabrakan dengan tubuh Manee, dan tangan Manee mendekapku. Mungkin dia juga refleks karena gerakanku yang tiba-tiba. Mungkin.

Mereka seolah sengaja menggangguku, tertawa, kemudian berbicara dengan Bahasa Thailand. Entah apa artinya tapi Manee dengan sigap mencoba menarik salah satu dari mereka yang mulai kabur, menarik kerah kemejanya, berbicara tegas dengan Bahasa Thailand. Siswa itu menundukan kepala, kemudian susah payah melepas tarikan Manee, dan kabur menyusul teman-temannya.

Aku masih tidak mengerti, menatap Manee dengan kening mengkerut. Jantungku tiba-tiba berdegup lebih kencang memberi radar kalau aku hampir saja mengalami tindakan buruk dari para siswa itu. Apa yang sebenarnya terjadi?

Manee memandang tubuhku dari atas sampai bawah. “Kamu nggak apa-apa?”

Aku menggeleng. Masih diam karena bingung.

“Mereka sengaja, untung kamu balikin badan.”

“Maksudnya?”

“Biasa, anak sekolah yang punya pikiran jorok. Udah lupain aja, yang penting kamu nggak apa-apa.”

Sebentar, apakah mereka sengaja menabrakku untuk melakukan pelecehan seksual atau semacamnya? Sialan! Aku tidak peka! Mungkin saja mereka berbicara sesuatu yang jorok tadi makanya membuat Manee marah. Untung saja aku refleks membalikan badan karena takut jatuh tertabrak. Dan untung saja aku bersama Manee. Manee, menyelamatkanku dari suatu yang buruk. Walau jatuhnya, aku selamat karena pelukannya.

Ah, aku mikir apa, sih? Aku mencoba menenangkan diri, tidak panik. Melupakan kejadian yang baru saja terjadi dan bersyukur ada Manee di sampingku. Kami kembali berjalan.

Di dalam daerah yang dinamakan Old Town ini berdiri banyak kuil dengan berbagai desain dan ukuran. Rata-rata kuil-kuil sudah akan ditutup karena para Biksu terlihat merapi-rapikan kuil.

“Jam segini udah tutup. Kita agak telat. Tapi kalau kamu mau ke sini lagi, aku rekomendasi datangnya pagi aja.” Manee menunjuk salah satu kuil. “Itu kuil yang paling disukai wisatawan. Namanya Wat Cedi Luang.”

Wat cedi Luang sekilas mengingatkanku akan Candi Prambanan versi kecil. Tumpukan batu yang berdiri, deretan tangga untuk mencapai pintu. Sebenarnya kuil ini tidak begitu besar namun karena tinggi jadi terlihat besar.

Manee mengganti arah telunjuknya. Kali ini Manee menunjuk ke arah sebuah kuil yang berbentuk seperti rumah dengan tumpukan atap berlapis-lapis. “Kalau yang itu Wat Phant Tao. Ada kolamnya di belakang. Kalau pagi-pagi ke sini, bagus banget. Soalnya pemandangan di sekitar kayak pohon-pohon itu jadi mantul ke kolam itu. Bagus deh.”

“Kalau kamu mau ke sini lagi, kasih tahu aku ya? Aku pasti anterin.”

Tidak tahu mengapa, tapi kata-kata yang Manee ucapkan itu membuatku nyaman.

Setelah melewati deretan kuil, Manee mengajakku untuk mengambil beberapa gambar di salah satu tempat bernama Tha Phae Gate. Tha Phae Gate bentuknya seperti dinding benteng berwarna merah bata. Tidak, tepatnya merah orange muda. Tapi dikarenakan gelap jadi terlihat seperti merah bata.

“Apa ini semacam monumen selamat datang?” tanyaku pada Manee sambil memperhatikan wisatawan lain yang lagi sibuk mengambil gambar.

“Hmm bukan monumen sih, sesuai namanya ini jadi gerbang masuk Old Town.”

Malam semakin larut tapi aku dan Manee belum mau mengehentikan langkah kaki kami. Apalagi aku yang mulai merasakan nyaman dengan Chiang Mai di malam hari.

“Besok,” Manee mengajakku berhenti. “Rencana kamu mau ke mana?”

Aku menggeleng. “Belum tahu. Ada rekomendasi?”

“Besok ada festival besar, Thalia.”

Oh wait, aku ini bodoh atau apa? Festival... Festival Lampion! Itu kan tujuan utamaku ingin ke sini. Bagaimana aku bisa melupakan tujuan utamaku? Aku rasa, aku menjadi pelupa gara-gara terlalu banyak memikirkan hal-hal lain yang harus aku hadapi sejak pertama kali menginjakan kaki di negara ini sendirian. I’m stupid!

Aku mencoba mengingat nama dari festival lampion itu. Seingatku, ada nama khusus. “Sebentar, aduh apa ya namanya....”

Tawa kecil Manee keluar, melihat eskpresi bodohku. “Yee Peng dan Loy Kratong.

“Nah, itu dia!” Pantas saja aku lupa, namanya sulit. “Aku pengin banget datang ke festival itu. Yang menerbangkan lampion, kan? Iya, aku mau ke sana!”

“Astaga, aku kira kamu sejak awal memang punya tujuan buan datang ke dua festival itu, Thalia.”

“Ya.... Memang mau ke sana. Tapi aku keburu sibuk mikirin hal lain. Jadi, acaranya tuh besok?”

Manee mengangguk, menaruh telunjuk dan ibu jari di dagu. “Iya, besok. Mau ke sana? Oh ya, tahu nggak kalau festival lampion itu memang cuma ada di Chiang Mai? Nah, jadi kamu wajib datang.”

Aku ikut mengangguk-ngangguk senang. “Asyik! Aku mau ke sana!”

Dan rasanya aku nggak sabar menunggu matahari terbit!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status