Share

BAB 6

“Somehow we all are burning ourselves as we constantly thinking about our past.” - Bunny Naidu

“Satu... dua.. tiga...”

Aku dan Bayu masing-masing membuka kotak di tangan kami. Kotak berwarna cokelat muda dengan tutup warna biru di tangan Bayu dan dengan tutup warna merah di tanganku.

Aku menyelipkan rambut panjangku ke belakang telinga, memperhatikan satu buah gantungan ponsel di dalam kotak. Gantungan ponsel itu memiliki tali warna emas dengan satu karakter super hero di ujungnya. “Superman?”

Bayu mengeluarkan gantungan dalam kotak. “Iya. Anggap aku itu Superman kamu.”

“Kenapa? Super hero kan banyak, kenapa pilih dia?” aku mengambil gantungan itu dari tangan bayu. “Aku baru tahu kalau kamu suka karakter ini.”

“Dari kecil aku anggap dia pelindung dan pembela kebenaran. Dan aku mau jadi pelindung dan pembela kebenaran buat kamu.”

“Kamu alay deh, Bay.” Aku menepuk bahunya kencang, merasa geli mendengar perkataannya yang sebenarnya menyentuh lubuk hatiku yang paling dalam.

“Kok malah dibilang alay? Aku serius tahu. Aku mau jadi super hero kamu mulai sekarang. Ya anggap aja satu tahun terakhir itu pelatihan. Ngerti, kan?”

Gimana tidak alay? Bayu yang sedikit cuek dan benci sama hal romantis berubah seperti pujangga. Hanya karena hari ini spesial. Tapi bagaimana pun, usaha dia untuk membuatku merasa senang dengan kata-katanya berhasil. Aku senang.

“Tuh, kan alay. Udah ah. Yang jelas, aku mau gantung ini di HP aku. Nggak boleh lepas sampai kapan pun.”

Bayu tertawa sambil mengambil isi kotak di tangannya. “Terserah mau digantung di mana, asal jangan dihilangin aja. Kalau kamu hilangin berarti kamu kehilangan replika aku. Nggak ada yang lindungin kamu lagi nanti. Terus ini?”

Jangan ngomong gitu... Aku bergumam dalam hati. Aku tidak ingin kehilangan Bayu. Siapa sih yang ingin kehilangan orang spesial? “Aku janji jaga pelindung aku. Oh ya itu koala. Kamu nggak tahu koala?”

“Bukan.... Tahulah ini koala. Tapi artinya apa?”

Sekarang giliran aku yang menjelaskan apa makna hadiah itu buat Bayu. “Aku suka koala kamu tahu, kan?” Bayu mengangguk. “Ya aku kasih apa yang aku suka buat kamu. Jaga baik-baik pembatas bukunya. Selalu pakai buat ngasih batas komik yang kamu baca kalau perlu. Atau simpan di tempat barang-barang berharga.”

Bayu mengangguk kemudian mengeluarkan satu komik One Piece dalam tasnya. Pembatas buku yang memiliki ujung koala duduk dia selipkan asal-asalan.

Tangan Bayu menggenggam tanganku, matanya menatap mataku dalam, dan kedua tangannya memelukku erat. “Happy first annyversarry, Tha.

Happy first anniversarry too,” jawabku lalu bibir Bayu menyentuh bibirku lembut.

He is not my first love but he is my first boy friend who gave me first kiss... And now he is my super hero...

****

Sejak kejadian itu, aku tidak pernah lagi berbicara satu patah kata pun dengan Indy dan Bayu. Apa pun alasannya, aku akan menggunakan berbagai cara agar tidak perlu berkomunikasi dengan mereka. Aku dan Indy juga sudah berpisah bangku, tidak lagi pulang bersama, dan semua penghuni sekolah satu-persatu tahu masalah kami. Memakluminya.

Tidak tahu apa yang Tuhan rencakan, sekarang Bayu berada tepat di sampingku. Rupanya dia sedang melakukan hal yang sama, hunting CD terbaru di toko CD langganan kami dulu. Dulu. Mungkin sekarang masih, hanya status kami saja yang berbeda. Sudah dua bulan seperti musuh dan kini bertemu kembali di tempat yang tidak terduga.

Awalnya aku ingin diam saja, tapi Bayu menyapaku duluan.

“Hai, Tha,” sapanya sambil membolak-balikan CD penyanyi kesukaannya, The Click Five.

Dengan hati-hati aku membalas sapaannya dengan senyuman. Mataku mengelilingi seluruh sudut toko, mencari sosok Indy. Tidak ada.

“Sendirian?”

Aku menganggukan kepala. “Nggak sama pacar lo?”

“Indy ada acara keluarga.”

Hening sejenak, kami tidak saling berbicara lagi. Ada sekitar sepuluh menit kami pura-pura sibuk mengamati CD dari satu rak ke rak lain. Aku memutuskan untuk pamit.

“Bayu, gue duluan.” aku menenteng dua CD menuju kasir. “Salam buat pacar lo.”

Bayu menahanku. “Sorry, buat peristiwa waktu itu. Gue nggak ada niat buat kayak gitu sama lo.”

Aku tertawa dengan terpaksa. “Nyantai aja, gue udah lupain.”

“Semua ada alasannya, Tha.”

Oke, aku akan meladeni Bayu. Lagipula, banyak pertanyaan yang dari dulu ingin kutanyakan padanya. “Alasan apa?”

“Lo ingat, kan, kenapa tiba-tiba kita jadi jauh? Jujur, waktu kita jadi jauh itu, gue mulai dekat sama Indy. Lebih tepatnya, cuma ada Indy di samping gue saat itu. Padahal gue harap lo yang ada di samping gue.”

“Dan kalian jadian di belakang gue? Nice...

“Bukan, bukan gitu. Lo dengerin gue dulu, Tha. Gue nggak ada niatan buat ngekhianati lo. Gue nggak ada niatan buat back street di belakang lo. Lo waktu itu terlalu sibuk sama urusan pribadi lo. Lo ingat, waktu itu lo lebih milih sibuk ngurusin kegiatan baru lo? Ikut komunitas pecinta tari. Setiap weekend lo lebih milih kumpul sama mereka dibandingkan ngabisin waktu sama gue.”

Jelas aku ingat semuanya. Tapi bukannya Bayu yang salah? Menolak ajakanku. “Tapi gue udah sering ngajak lo, lo aja yang nggak mau ikut, Bayu.”

“Dan itu alasan kita bisa jadi jauh. Karena lo nggak mau pahami gue, Tha. Lo terlalu sibuk sama urusan lo sendiri. Saat gue kangen lo, gue pengin ngabisin waktu bareng lo kayak biasa, lo bilang nggak bisa. Di situ gue sadar, lo berubah.”

Berubah. Apa tidak ada kata-kata yang lain yang lebih membuatku merasa bersalah? Seketika darah dalam tubuhku mengalir lebih cepat, rasa sedih menghampiriku, rasa sesak itu datang lagi. “Tapi gue udah berusaha buat terus bareng lo, Bayu. Tapi...”

“Tapi lo nggak pernah mau ngaku, kalau lo penyebab kita putus. Gue justru beruntung bisa kenal sama Indy. Dia selalu ada buat gue, jadi tempat curhat gue soal lo. Dia selalu ngeyakinin gue kalau lo kayak gitu karena lo memang suka banget sama tari. Dia minta gue buat terus dukung lo. Tapi apa, Tha? Rasanya percuma karena lo nggak peduli sama apa yang gue lakuin. Lo malah nganggap gue over, nganggap gue nggak bisa ngertiin lo. Dan ketika bokap dan nyokap lo cerai, lo makin berubah. Bikin keberadaan gue nggak ada harganya.”

Pipiku basah oleh air mata yang terus mengalir. Aku menunduk, mencoba mengatur emosi. Apakah apa yang dikatakan oleh Bayu itu benar? Apa selama ini aku yang salah? Dan aku tidak menyadarinya? Tangan Bayu menyentuh wajahku, menghapus air mataku dengan ibu jarinya, dan menatapku dalam.

“Semoga lo bisa nemuin seseorang lebih bisa ngertiin lo, Tha. Nggak kayak gue.” Nada suara Bayu lembut, samar membuatku lupa kalau kami bukan siapa-siapa lagi sekarang. “Please, gue mohon, jangan nyalahin Indy lagi. Dia nggak salah. Lo bisa marah dan nyalahin gue, tapi jangan nyudutin dia.”

Bayu tersenyum, senyum simpul. Dia pamit, melangkahkan kaki ke kasir melakukan pembayaran, lalu pergi ke ambang pintu toko. Dia tidak pamit seperti biasa, dia tidak mengecup pipiku atau memelukku lagi. Dengan sekejap menghilang, meninggalkan sesuatu yang sangat membekas.

Padahal kami saling mencintai, mengapa jadi seperti ini?

****

Kepalaku pusing. Setelah semalam tidak bisa tidur karena pikiran yang berterbangan, aku juga tidak nafsu makan akhir-akhir ini. Parahnya, aku tidak tahu harus menceritakan pada siapa, mengeluh pada siapa, marah–marah pada siapa mengenai hal ini.

Semenjak aku menyadari ada yang salah di antara aku dan Indy, sahabatku, kami menjadi jauh. Apalagi setelah kabar itu berhembus kencang di seantero sekolah, dia selalu menghilang seketika kalau berpapasan denganku. Awalnya, aku mau mencoba memaafkan dan meminta penjelasan secara baik-baik. Tetapi melihat sikapnya, rencana itu hancur dan berganti dengan rasa benci.

Aku menghentikan langkah Indy.

Menyadari keberadaanku, Indy menggapai tanganku. “Maafin gue, Tha. Maafin gue. Gue udah coba hapus perasaan ini. Gue udah coba hargai hubungan kita. Gue juga udah coba jadi lebih dewasa. Tapi gue nggak bisa. Nggak bisa!”

Aku melepas pegangannya. Bagaimana bisa aku memaafkan Indy? Indy yang aku percaya, yang telah menjadi bagian hidupku selama bertahun–tahun mengkhianatiku.

“Lo jahat. Lo pengkhianat!” Aku menatap Indy setajam–tajamnya.

Indy mulai menangis, tidak tahu menangis karena merasa bersalah padaku, atau karena dia kesal denganku yang dianggap tidak punya hak untuk memarahinya seperti ini. Tapi aku punya hak! Aku punya!

Aku melirik Bayu yang ikut terbawa suasana. Bayu berdiri tanpa rasa bersalah di samping Indy. Tangannya merangkul bahu Indy, menenagkan Indy, berbisik padanya untuk tidak menangis. Pemandangan yang membuat perutku mual. Rasanya ingin muntah.

“Kenapa lo?” tanyaku sambil setengah berteriak. “Kasihan lihat pacar lo? Nggak tega? Lo nggak suka gue marah sama dia? Sadar dong, Bay. Kalian ngekhianati gue selama ini.”

Pandangan Bayu setengah kosong. Dia tidak berani menatap mataku dan memilih menatap pemandangan di belakangku. “Gue tahu, Indy sahabat lo. Tapi lo nggak bisa kayak gini.”

Tangis Indy semakin kencang. Ada banyak siswa dan siswi lain yang menyaksikan pertengkaran kecil kami di koridor ini tapi aku tidak peduli. Aku kesal dan amarah ini sudah dipendam dari seminggu lalu. Seperti bom yang telah dikubur sekian lama dan kini meledak karena sudah waktunya.

Well, gue nggak peduli sama apa yang lo lakuin berdua. Gue cuma peduli sama kesetiaan kalian. Cuma itu. Jadi, selama ini gue itu dianggap apa? Oh ya, gue tahu. Gue itu tembok penghalang buat kalian. Gue tahu.”

Aku tertawa miris. Hanya ada kata ‘benci’ yang terus muncul di pikiranku. Aku benci mereka. “Gue butuh lo Indy. Lo tahu, kan, kalau orangtua gue bercerai dua bulan lalu? Tapi apa? Ketika gue lagi butuh lo, lo kayak gini. Kita udah sahabatan berapa tahun, sih, Ndy? Lo.....”

“Lo pengkhianat!” Aku menahan air mata yang menggenang di pelupuk. “Dan buat lo, Bay. Makasih buat semua janji yang pernah lo ucapin ke gue. Buat janji yang nggak pernah lo tepati!”

“Semoga Tuhan masih sayang sama kalian! Semoga karma nggak berlaku buat kalian!”

Aku melepas gelang persahabatanku dengan Indy, melemparnya ke arah mereka lalu beranjak pergi, menerobos kerumunan siswa dan siswi yang menonton kami. Aku tidak peduli dengan deretan mata pelajaran yang masih menunggu hari ini. Aku hanya tahu kalau dunia sedang tidak berpihak padaku. Aku mengambil tas di kelas kemudian memanggil taksi untuk pulang, menangis sepanjang jalan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status