Home / Romansa / Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin / BAB 3 : Perintah Bulan Madu

Share

BAB 3 : Perintah Bulan Madu

Author: TenMaRuu
last update Last Updated: 2025-05-28 03:39:53

“Uhuk! Uhuk!”

Alina terbatuk hebat, sebagian air yang diminumnya nyaris menyembur keluar.

Saran Kakek Bramantyo soal bulan madu terasa seperti tulang ikan yang tersangkut di tenggorokannya.

Bulan madu?

Dengan pria sedingin es di sampingnya ini? Ide itu terdengar lebih seperti mimpi buruk daripada liburan romantis.

“Eh, berhati-hatilah, Alina,” kata Kakek Bramantyo sambil menepuk-nepuk punggung Alina dengan lembut, senyumnya sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.

“Maaf, Kakek. Aku tidak sengaja tersedak,” jawab Alina pelan, pipinya terasa panas karena malu. Ia melirik Revan, mencari pertolongan.

Ekspresi Revan yang tadinya kaku langsung berubah saat Kakeknya datang. Kini, ada seulas senyum tipis di bibirnya, sebuah senyum hangat yang jelas-jelas dipaksakan untuk menyenangkan pria tua itu.

“Kakek kenapa pagi-pagi sudah ke sini?” tanya Revan, nadanya terdengar ramah, berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Oh, Kakek memang sengaja datang untuk menyapa cucu menantu Kakek,” jawab Kakek Bramantyo, matanya yang tajam kini menatap Alina dengan tatapan hangat yang dibuat-buat.

“Lagipula, Kakek heran. Kenapa kalian langsung bekerja? Seharusnya kalian pergi bulan madu saja, menikmati waktu sebagai pengantin baru.”

Alina hanya bisa tersenyum kaku.

Menikmati waktu? Yang ada hanya keheningan canggung dan aturan-aturan tak terlihat, batinnya getir.

“Kami banyak pekerjaan, Kek,” sahut Revan cepat, masih dengan senyumnya yang sempurna. “Mungkin nanti setelah proyek besar Adhitama Corp selesai.”

Itu dia. Sebuah alasan logis. Alina berharap Kakek akan menerima alasan itu.

Namun, Kakek Bramantyo justru tertawa kecil.

“Pekerjaan tidak akan pernah ada habisnya, Van. Justru karena itu kau harus meluangkan waktu. Kakek tidak mau kau mengulangi kesalahan ayahmu yang terlalu gila kerja hingga lupa caranya menikmati hidup.”

Pria tua itu kembali menatap Alina. “Benar kan, Alina? Kau pasti juga ingin berlibur dengan suamimu, kan?”

Alina merasa seperti seekor rusa di depan sorotan lampu mobil. Ia terjebak.

Jika ia bilang tidak, ia akan terlihat aneh. Jika ia bilang ya, ia akan menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam situasi yang paling ia hindari.

“T-tentu, Kek,” jawab Alina terbata-bata. “Tapi… pekerjaan Revan dan saya juga cukup penting.”

“Halah!” Kakek mengibaskan tangannya. “Pekerjaan Revan bisa diatur Andra. Dan pekerjaanmu…”

Kakek menatap Alina lekat.

“Tentu tidak lebih penting daripada membangun fondasi rumah tanggamu, bukan?”

Alina terdiam, tak bisa membantah. Pria tua ini sangat pandai memojokkan orang dengan kata-kata manis yang berbalut logika tradisional.

“Sudah, tidak ada tapi-tapian,” kata Kakek dengan nada final. Senyumnya masih terpasang, tapi sorot matanya menunjukkan bahwa ini adalah sebuah perintah.

“Kakek sudah siapkan semuanya. Tiket pesawat, dan vila pribadi di salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Tenang, tidak akan ada yang mengganggu kalian.”

Mata Alina membelalak. Sudah disiapkan?

“Kalian berangkat besok pagi,” lanjut Kakek santai, seolah baru saja memutuskan menu makan siang.

Besok pagi?

Kali ini, bukan hanya Alina yang terkejut. Senyum di wajah Revan sedikit goyah.

“Besok, Kek? Itu terlalu mendadak. Saya ada rapat penting dengan investor dari Jepang.”

“Batalkan,” jawab Kakek singkat. “Atau jadwalkan ulang. Katakan pada mereka kau sedang bulan madu. Mereka pasti akan mengerti. Justru itu akan membuat citramu sebagai pria yang berkomitmen pada keluarga semakin baik.”

Revan tampak ingin membantah, rahangnya terlihat mengeras. Tapi di hadapan kakeknya, ia seolah kehilangan semua kuasanya. Ia hanya bisa menghela napas panjang, senyumnya kini terlihat sangat dipaksakan.

“Baik, Kek. Sesuai keinginan Kakek.”

Alina menatap Revan dengan tak percaya. Pria yang semalam dengan dinginnya mendebat setiap kata-katanya, kini tak berdaya di hadapan kakeknya sendiri.

“Nah, begitu baru cucu Kakek!” kata Kakek Bramantyo sambil tertawa puas. Ia menepuk pundak Revan, lalu menatap Alina. “Bersiaplah, Nak Alina. Nikmati bulan madumu.”

Setelah Kakek Bramantyo pergi, meninggalkan aroma kopi dan kemenangan di belakangnya, suasana di ruang makan itu kembali menjadi dingin dan tegang. Senyum di wajah Revan langsung lenyap, digantikan oleh ekspresi kaku yang jauh lebih dingin dari sebelumnya.

Pria itu bangkit dari kursinya, merapikan jasnya. Ia bahkan tidak menatap Alina saat berkata, “Bersiaplah. Kita berangkat besok pagi.”

Nadanya datar, tanpa emosi, seolah baru saja mengumumkan jadwal rapat yang membosankan.

Revan berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Alina yang masih duduk termangu di meja makan.

Bulan madu.

Berdua saja dengan Revan Adhitama di sebuah pulau pribadi.

Pikiran itu membuat perut Alina melilit, bukan karena bahagia, tapi karena cemas. Sandiwara ini akan segera memasuki babak baru yang jauh lebih intim dan berbahaya.

Dan ia sama sekali tidak siap.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 63 : Merakit Bom (Dengan Kertas dan Kopi)

    Jadi gini.Punya ide brilian itu satu hal.Ngerjainnya? Itu cerita lain.Euforia setelah Alina menemukan konsep "Api dan Air" itu cuma bertahan sekitar... dua belas jam. Setelah itu, yang tersisa adalah realita yang menampakkan wujudnya dalam bentuk tumpukan pekerjaan setinggi Gunung Everest.Studio Alina di Bintan, yang tadinya sudah mirip kapal pecah, sekarang naik level jadi lokasi syuting film post-apocalypse."Nggak, nggak, nggak!" Suara Deni terdengar nyaring dari speaker laptop, nadanya terdengar seperti orang yang baru saja lihat anak kucingnya dilindas sepeda. "Material fasad untuk Sayap Api nggak bisa pakai komposit kayu, Bu! Kurang garang! Harus pakai panel titanium hitam! Biar kayak Batmobile!"

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 62 : Dapur Neraka (Versi Arsitek)

    Oke, mari kita luruskan satu hal.Momen puitis di mana seorang arsitek jenius menarik satu garis ajaib dan jreng! jadilah sebuah mahakarya?Itu bohong. Omong kosong yang dijual film-film buat bikin orang normal merasa hidup mereka membosankan.Kenyataannya jauh lebih brutal.Seminggu setelah "paket amunisi" dari Revan mendarat, studio Alina di Bintan lebih mirip lokasi bencana daripada tempat lahirnya sebuah ide brilian.Ada tumpukan kertas kalkir yang gagal di sudut ruangan, tingginya sudah bisa jadi kursi tambahan. Cangkir-cangkir kopi kosong berjejer di setiap permukaan datar kayak pion-pion catur yang kalah perang. Dan bau di ruangan itu adalah campuran aneh antara bau kertas, tinta, dan keputusasaan.

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 61 : Selamat Datang di Surga (Para Arsitek Gila Perang)

    Kalau di film-film, adegan kayak gini biasanya diiringi musik yang menegangkan. Montage cepat. Kopi dituang, kertas dilempar, orang-orang nggak tidur tiga hari tiga malam, terus tiba-tiba jreng! jadilah sebuah mahakarya.Kenyataannya... yah, kurang lebih sama. Cuma lebih bau kopi basi dan lebih banyak umpatan.Studio kecil Alina di Bintan berubah fungsi dalam semalam.Dari tempat menyepi yang tenang, menjadi ruang situasi perang yang nggak pernah tidur."Oke, jadi Pak Antono ini ternyata nggak suka sama sudut yang terlalu tajam di lobi hotel," kata Deni lewat panggilan video, matanya merah karena kurang tidur tapi suaranya penuh semangat. "Di catatannya soal proposal Hote

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 60 : Amunisi Tiba (Tanpa Resi Pengiriman)

    Mari kita intip sebentar ke markas pemberontak di Bintan.Suasananya... sibuk.Kalau kamu bayangin tiga orang jenius lagi kerja bareng itu bakal keren dan canggih kayak di film-film, kamu salah besar. Kenyataannya lebih mirip indekos mahasiswa arsitektur seminggu sebelum sidang skripsi.Meja gambar Alina sudah penuh dengan kertas kalkir yang saling tumpang tindih. Ada bekas noda kopi di sudut, dan remah-remah biskuit di dekat tumpukan penghapus.Di layar laptop, wajah Deni dan Sinta terpampang, sama kacaunya.Deni lagi ngubek-ngubek Google kayak detektif kurang tidur, mencoba mencari profil dewan direksi Adhitama. "Oke, jadi Pak Suryo ini koleksi lukisan abstrak. Mungkin dia suka desain yang aneh-aneh, Bu?"Sinta, di sisi lain, lebih mirip

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 59 : Cara Seorang CEO Bilang 'Aku Dukung Kamu'

    Sementara itu di belahan dunia lain atau lebih tepatnya, di sebuah kantor di puncak gedung pencakar langit Jakarta, seorang pria baru saja menutup telepon.Revan Adhitama tidak langsung bergerak.Ia hanya berdiri di sana, di depan jendela raksasa, dengan ponsel yang masih tergenggam erat di tangannya.Di ujung jarinya, masih terasa sisa-sisa getaran dari kalimat terakhir Alina."Biar aku yang bekerja."Bukan nada memohon. Bukan nada bertanya.Itu adalah nada perintah.Dan entah kenapa, diperintah oleh wanita itu justru terasa... memuaskan.Sebuah senyum tipis—senyum yang benar-benar tulus, bukan senyum korporat hasil latihan—terukir di bibirnya.

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 58: Rapat Perang Pertama (Yang Nggak Direncanain)

    Ada dua jenis orang di dunia ini setelah menutup telepon penting.Jenis pertama bakal langsung buka media sosial, cari distraksi, atau mungkin bikin teh hangat buat nenangin diri.Jenis kedua... bakal langsung merakit bom.Alina Cantika Dewi jelas-jelas masuk kategori kedua.Begitu sambungan telepon dengan Revan terputus, ia tidak diam. Ia tidak merenung. Ia tidak panik.Energi di dalam studio kecil di Bintan itu berubah total.Kalau lima menit yang lalu tempat ini adalah surga seorang seniman, sekarang tempat ini adalah markas komando. Meja gambarnya bukan lagi kanvas, tapi meja strategi perang. Dan pensil di tangannya bukan lagi alat untuk menggambar, tapi tongkat komando.Hal pertama yang ia lakukan?

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status