“Uhuk! Uhuk!”
Alina terbatuk hebat, sebagian air yang diminumnya nyaris menyembur keluar.
Saran Kakek Bramantyo soal bulan madu terasa seperti tulang ikan yang tersangkut di tenggorokannya.
Bulan madu?
Dengan pria sedingin es di sampingnya ini? Ide itu terdengar lebih seperti mimpi buruk daripada liburan romantis.
“Eh, berhati-hatilah, Alina,” kata Kakek Bramantyo sambil menepuk-nepuk punggung Alina dengan lembut, senyumnya sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.
“Maaf, Kakek. Aku tidak sengaja tersedak,” jawab Alina pelan, pipinya terasa panas karena malu. Ia melirik Revan, mencari pertolongan.
Ekspresi Revan yang tadinya kaku langsung berubah saat Kakeknya datang. Kini, ada seulas senyum tipis di bibirnya, sebuah senyum hangat yang jelas-jelas dipaksakan untuk menyenangkan pria tua itu.
“Kakek kenapa pagi-pagi sudah ke sini?” tanya Revan, nadanya terdengar ramah, berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Oh, Kakek memang sengaja datang untuk menyapa cucu menantu Kakek,” jawab Kakek Bramantyo, matanya yang tajam kini menatap Alina dengan tatapan hangat yang dibuat-buat.
“Lagipula, Kakek heran. Kenapa kalian langsung bekerja? Seharusnya kalian pergi bulan madu saja, menikmati waktu sebagai pengantin baru.”
Alina hanya bisa tersenyum kaku.
Menikmati waktu? Yang ada hanya keheningan canggung dan aturan-aturan tak terlihat, batinnya getir.
“Kami banyak pekerjaan, Kek,” sahut Revan cepat, masih dengan senyumnya yang sempurna. “Mungkin nanti setelah proyek besar Adhitama Corp selesai.”
Itu dia. Sebuah alasan logis. Alina berharap Kakek akan menerima alasan itu.
Namun, Kakek Bramantyo justru tertawa kecil.
“Pekerjaan tidak akan pernah ada habisnya, Van. Justru karena itu kau harus meluangkan waktu. Kakek tidak mau kau mengulangi kesalahan ayahmu yang terlalu gila kerja hingga lupa caranya menikmati hidup.”
Pria tua itu kembali menatap Alina. “Benar kan, Alina? Kau pasti juga ingin berlibur dengan suamimu, kan?”
Alina merasa seperti seekor rusa di depan sorotan lampu mobil. Ia terjebak.
Jika ia bilang tidak, ia akan terlihat aneh. Jika ia bilang ya, ia akan menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam situasi yang paling ia hindari.
“T-tentu, Kek,” jawab Alina terbata-bata. “Tapi… pekerjaan Revan dan saya juga cukup penting.”
“Halah!” Kakek mengibaskan tangannya. “Pekerjaan Revan bisa diatur Andra. Dan pekerjaanmu…”
Kakek menatap Alina lekat.
“Tentu tidak lebih penting daripada membangun fondasi rumah tanggamu, bukan?”
Alina terdiam, tak bisa membantah. Pria tua ini sangat pandai memojokkan orang dengan kata-kata manis yang berbalut logika tradisional.
“Sudah, tidak ada tapi-tapian,” kata Kakek dengan nada final. Senyumnya masih terpasang, tapi sorot matanya menunjukkan bahwa ini adalah sebuah perintah.
“Kakek sudah siapkan semuanya. Tiket pesawat, dan vila pribadi di salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Tenang, tidak akan ada yang mengganggu kalian.”
Mata Alina membelalak. Sudah disiapkan?
“Kalian berangkat besok pagi,” lanjut Kakek santai, seolah baru saja memutuskan menu makan siang.
Besok pagi?
Kali ini, bukan hanya Alina yang terkejut. Senyum di wajah Revan sedikit goyah.
“Besok, Kek? Itu terlalu mendadak. Saya ada rapat penting dengan investor dari Jepang.”
“Batalkan,” jawab Kakek singkat. “Atau jadwalkan ulang. Katakan pada mereka kau sedang bulan madu. Mereka pasti akan mengerti. Justru itu akan membuat citramu sebagai pria yang berkomitmen pada keluarga semakin baik.”
Revan tampak ingin membantah, rahangnya terlihat mengeras. Tapi di hadapan kakeknya, ia seolah kehilangan semua kuasanya. Ia hanya bisa menghela napas panjang, senyumnya kini terlihat sangat dipaksakan.
“Baik, Kek. Sesuai keinginan Kakek.”
Alina menatap Revan dengan tak percaya. Pria yang semalam dengan dinginnya mendebat setiap kata-katanya, kini tak berdaya di hadapan kakeknya sendiri.
“Nah, begitu baru cucu Kakek!” kata Kakek Bramantyo sambil tertawa puas. Ia menepuk pundak Revan, lalu menatap Alina. “Bersiaplah, Nak Alina. Nikmati bulan madumu.”
Setelah Kakek Bramantyo pergi, meninggalkan aroma kopi dan kemenangan di belakangnya, suasana di ruang makan itu kembali menjadi dingin dan tegang. Senyum di wajah Revan langsung lenyap, digantikan oleh ekspresi kaku yang jauh lebih dingin dari sebelumnya.
Pria itu bangkit dari kursinya, merapikan jasnya. Ia bahkan tidak menatap Alina saat berkata, “Bersiaplah. Kita berangkat besok pagi.”
Nadanya datar, tanpa emosi, seolah baru saja mengumumkan jadwal rapat yang membosankan.
Revan berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Alina yang masih duduk termangu di meja makan.
Bulan madu.
Berdua saja dengan Revan Adhitama di sebuah pulau pribadi.
Pikiran itu membuat perut Alina melilit, bukan karena bahagia, tapi karena cemas. Sandiwara ini akan segera memasuki babak baru yang jauh lebih intim dan berbahaya.
Dan ia sama sekali tidak siap.
Ada dua jenis orang di dunia ini setelah menutup telepon penting.Jenis pertama bakal langsung buka media sosial, cari distraksi, atau mungkin bikin teh hangat buat nenangin diri.Jenis kedua... bakal langsung merakit bom.Alina Cantika Dewi jelas-jelas masuk kategori kedua.Begitu sambungan telepon dengan Revan terputus, ia tidak diam. Ia tidak merenung. Ia tidak panik.Energi di dalam studio kecil di Bintan itu berubah total.Kalau lima menit yang lalu tempat ini adalah surga seorang seniman, sekarang tempat ini adalah markas komando. Meja gambarnya bukan lagi kanvas, tapi meja strategi perang. Dan pensil di tangannya bukan lagi alat untuk menggambar, tapi tongkat komando.Hal pertama yang ia lakukan?
Alina masih berdiri di depan meja gambarnya.Aroma arang dari pensil dan kertas terasa pekat di udara. Di hadapannya, terhampar sketsa sebuah benteng yang lahir dari amarah.Suara Revan di seberang sana terdengar jauh. Seperti suara dari dunia lain. Dunia penuh jas mahal, pendingin udara sentral, dan pengkhianatan yang dibungkus senyum."...kita punya tantangan baru."Alina menarik napas pelan. "Tantangan?" tanyanya, mencoba menjaga suaranya tetap stabil. "Tantangan macam apa yang bisa muncul dari rapat dewan yang membosankan?"Di seberang sana, Alina bisa mendengar Revan menghela napas. Suara yang terdengar lelah, tapi bukan kalah."Pamanku," kata Revan, langsung ke intinya. "Dia mencoba bermain cantik."
Hening.Di dalam ruangan yang harganya lebih mahal dari gabungan harga rumah seluruh karyawannya itu, satu-satunya suara adalah dengung pelan pendingin udara.Dengung yang terdengar seperti hitungan mundur sebelum bom meledak.Semua mata—mata licik, mata penasaran, mata takut—semuanya tertuju pada satu orang.Revan Adhitama.Umpan dari Hariman sudah dilempar dengan begitu cantiknya ke tengah meja."Hanya untuk... 'membantu'."Sebuah bantuan yang rasanya seperti tamparan. Sebuah kepedulian yang baunya seperti penghinaan.Siapapun yang punya otak di ruangan itu tahu ini bukan usul. Ini adalah tes. Sebuah gertakan.
Kalau surga itu punya bau, mungkin baunya seperti udara Bintan di pagi hari. Campuran wangi garam laut, tanah basah, dan embun.Kalau neraka punya bau, baunya persis seperti udara Jakarta di jam pulang kerja. Campuran asap knalpot, debu konstruksi, dan ambisi yang membusuk.Revan Adhitama sedang menghirup dalam-dalam bau neraka itu sekarang.Ia duduk di kursi belakang mobilnya yang melaju pelan, terjebak di tengah lautan lampu merah dan klakson.Kontrasnya begitu menusuk.Beberapa jam yang lalu, ia masih berdiri di balkon, menatap lautan biru yang tenang. Sekarang, ia menatap lautan beton yang kacau balau.Ponsel di tangannya bergetar pelan. Ia membukanya lagi.Pesan dari Alina.
Hening.Itu hal pertama yang Alina sadari setelah telepon ditutup.Hening yang tadinya terasa damai, sekarang malah terdengar mengancam.Suara jangkrik di luar jendela yang tadinya kayak musik alam, sekarang malah terdengar kayak lagi menertawainya.Ponsel di tangannya terasa dingin dan berat.Kayak sebatang logam dari neraka.Paman Hariman.Sialan.Baru juga beberapa jam yang lalu ia merasa menemukan dunianya.Baru juga beberapa jam yang lalu ia merasa aman.Rasanya... kurang ajar banget.Tempat yang baru aja ia anggap 'rumah', tempat amannya, tahu-tahu rasany
BAB 53 : Telepon dari Kandang SerigalaSetiap hal indah pasti ada tanggal kedaluwarsanya.Gelembung kecil yang mereka ciptakan di studio Revan itu, dengan wangi kopi dan keheningan yang nyaman, ternyata punya masa berlaku yang sangat singkat. Cuma beberapa jam.Perpisahan mereka di lobi hotel terasa canggungnya minta ampun. Nggak ada pelukan dramatis ala film-film. Nggak ada ciuman perpisahan yang bikin lutut lemas. Yang ada cuma dua orang yang mendadak nggak tahu harus menaruh tangan di mana."Aku akan telepon kalau sudah sampai," kata Revan. Kalimat standar yang entah kenapa terdengar aneh keluar dari mulutnya."Oke," jawab Alina singkat.Revan menatapnya sejenak, seolah mau bilang sesuatu lagi, tapi nggak jadi. Akhirnya, ia cuma mengangguk kaku, lalu berbalik dan masuk ke dalam mobil hitam yang sudah menunggunya.Dan begitu saja. Pria itu pergi.Alina ditinggal sendirian di lobi yang megah, dengan kunci studio Revan di sakunya yang terasa berat dan panas.Rasanya aneh. Kosong.Sete