แชร์

BAB 3: SOAL PEWARIS

ผู้เขียน: TenMaRuu
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-05-28 03:39:53

Udara di dalam mobil terasa menyesakkan. 

Permintaan soal pewaris yang dilontarkan Kakek masih berdengung di telinga Alina, menciptakan ketegangan yang nyaris tak tertahankan.

Alina melirik Revan yang tetap fokus menyetir, wajahnya kaku diterpa cahaya lampu jalan.

‘Dia pasti juga kaget,’ batin Alina. 

Namun, ia harus memastikan itu karena sandiwara ini sudah cukup rumit tanpa tambahan syarat absurd seperti itu.

“Soal pewaris itu tidak ada di kontrak kita, kan?” tanya Alina hati-hati.

“Aku tahu,” jawab Revan, singkat, tanpa menoleh.

Alina mengernyitkan dahinya. Hanya itu jawabannya?

Kenapa rasanya Revan justru sangat santai di sini?

Alina menghela napas berat. Hingga akhirnya, mobil berbelok masuk gerbang rumah. Begitu berhenti, Revan mematikan mesin dan keluar tanpa berkata lagi. Alina menyusul, langkahnya cepat.

“Revan, tunggu.” Alina berdiri di bawah tangga saat Revan berhenti di anak tangga pertama. Kali ini, untuk pertama kalinya, ia menyebut nama pria itu tanpa embel-embel 'Pak'. Suaranya bukan untuk menyerang, melainkan untuk memastikan satu hal.

“Kita setuju untuk melakukan kontrak pernikahan ini. Aku juga setuju untuk hadiri acara keluarga, bersandiwara semanis yang kau mau.” Alina menghela napas sejenak. “Tapi soal anak … tubuhku bukan bagian dari kontrak. Tolong, jangan paksa aku untuk hal ini.”

Revan menuruni satu anak tangga, hingga mereka sejajar. Tatapannya menusuk, tajam, tapi bukan tanpa empati.

“Itu urusanku dengan Kakek. Kau tak perlu khawatir soal itu,” ucap Revan akhirnya. “Cukup jalankan apa yang ada di kontrak.”

Kelegaan menyusup perahan. Alina menganggukkan kepalanya. “Terima kasih.”

Revan hanya mengangguk, lalu berbalik dan menaiki tangga, meninggalkan Alina yang berdiri sendiri di tengah ruang luas dan sunyi. 

Untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, Alina merasa menang. Bukan atas Revan, tapi atas kendali atas dirinya sendiri.

**

Pagi pertama setelah ketegangan semalam terasa lebih sunyi daripada biasanya.

Alina duduk di ruang makan, berusaha mengalihkan pikirannya ke omelet di piring, meski seleranya nyaris tak ada. Ia tahu, semalam Revan sudah cukup lunak menanggapi penolakannya soal anak. Itu bukan hal kecil. Ia harus mengakui bahwa pria itu masih memberinya ruang.

Revan meletakkan tabletnya di atas meja, suaranya datar. “Sopir akan mengantarmu ke kantor pukul sembilan.”

Alina mengangguk pelan. “Sebenarnya aku bisa pergi sendiri, naik taksi online seperti biasa.”

Suaranya lembut, bukan menantang, hanya berharap sedikit kebebasan.

Revan tak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sedikit. “Kau adalah Nyonya Adhitama sekarang.”

Alina terdiam sejenak. Satu kalimat dari Revan itu sebenarnya membawa banyak arti tentang kebebasannya sekarang. Akhirnya, Alina mengangguk lagi, mencoba memahami.

Ia ingin protes, tapi… bukankah ia sudah cukup mendapat keuntungan? Ia sudah bebas dari hutang, firmanya terselamatkan dan semua berkat pernikahan ini.

“Aku mengerti. Maaf,” kata Alina akhirnya. “Aku hanya... butuh waktu membiasakan diri.”

Revan tak menjawab, hanya menatapnya sekilas, lalu kembali ke makanannya.

Alina menunduk, menatap piringnya. Ia sadar, ini bukan waktunya untuk terus berselisih soal hal-hal kecil. Pernikahan ini memang sandiwara, tetapi aturan main di dalamnya tidak bisa diabaikan begitu saja.

“Aku sudah mengurus gedung baru untuk firmamu,” kata Revan tiba-tiba.

Alina membelalakkan matanya. Bukankah ini agak berlebihan?

“Gedung baru?” ulang Alina tak percaya. “Tapi, untuk apa?”

Revan meletakkan sendoknya, lalu menatap Alina. “Media akan sering menyorotmu, menurutmu bagaimana jadinya jika istri keluarga Aditama hanya mengelola firma kecil di ruko seperti itu?”

Alina terdiam, hatinya sedikit terdesak oleh kenyataan yang belum sepenuhnya ia pahami. Ia tahu, pria seperti Revan ini tidak mungkin melakukan sesuatu tanpa alasan. Namun, tetap saja. Gedung baru itu bukan hal kecil.

“Revan …” ucap Alina pelan. “Firma itu peninggalan ayahku. Aku memang ingin menyelamatkannya dan membuatnya tetap berjalan. Perjanjian kita hanya sebatas kau membantuku melunasi hutang, dan aku menjadi istri kontrakmu. Kalau kau sampai memberi gedung baru untuk firmaku, bukankah itu berlebihan?”

Alina menatap Revan sedikit ragu, takut akan menyinggung pria itu.

Revan menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, menatap Alina lekat. “Aku tahu. Tapi, sekarang kau berada di lingkaran yang berbeda. Semua harus disesuaikan.”

Revan tidak menyebut banyak hal lagi, tetapi dari nada suaranya sudah cukup membuat Alina mengerti.

Reputasi, status, penampilan. Semua itu sangat penting bagi Revan.

Alina kembali menunduk, jari-jarinya meremas ujung serbet di pangkuannya. Ada perasaan tidak nyaman di hatinya saat memikirkan ini semua. 

Namun, bukankah ini memang bagian dari kesepakatan?

“Baiklah, sekali lagi terima kasih,” kata Alina akhirnya, ia mengangkat pandangannya. “Aku akan berusaha sebaik mungkin mengikuti kesepakatan kita sebelumnya.”

Hanya itu yang bisa Alina lakukan untuk membalas apa yang telah Revan berikan padanya.

Revan hanya mengangguk, lalu bersiap untuk bangkit dan pergi ke kantornya. Namun, belum sempat ia benar-benar berdiri, suara seorang lelaki justru lebih dulu terdengar.

“Revan, Alina, kalian sudah bersiap untuk pergi bekerja?” tanya Kakek Bramantyo yang tiba-tiba muncul dari arah ruang tamu.

Alina dan Revan mendadak terkejut. Namun, ekspresi Revan segera berubah menjadi lebih hangat.

“Kakek kenapa pagi-pagi sudah ke sini?” tanya Revan mengalihkan obrolan.

“Oh, kakek memang sengaja datang untuk menyapa cucu menantu kakek,” jawab Kakek Bramantyo yang segera berjalan mendekati Alina. “Kenapa kalian langsung bekerja? Seharusnya kalian pergi bulan madu saja.”

Alina yang sedang meneguk segelas air, mendadak tersedak. “Uhuk!”

“Eh, berhati-hatilah, Alina,” kata Kakek Bramantyo sambil mengusap punggung Alina.

“Maaf, Kakek. Aku tidak sengaja tersedak,” jawab Alina pelan.

Kakek Bramantyo masih terus mengusap punggung Alina, tetapi tatapannya telah beralih pada Revan yang duduk di seberangnya. “Jadi, kenapa kalian tidak bulan madu saja, Revan? Kenapa malah langsung bekerja?”

Revan tidak langsung menjawab. Ia menatap Alina sekilas. Sementara Alina hanya bisa menunduk.

“Aku masih ada beberapa pekerjaan yang harus segera diselesaikan, begitu juga Alina,” jawab Revan akhirnya, membuat Alina akhirnya berani mengangkat pandangannya.

“Benarkah itu, Alina?” tanya Kakek Bramantyo memastikan.

Alina mengangguk ragu, lalu menjawab, “I–iya, Kakek. Aku masih harus mengurus pemindahan gedung firmaku.”

Sekilas Alina melihat Revan mengangguk samar, seolah mengatakan bahwa itu adalah jawaban yang bagus.

Akhirnya, Kakek Bramantyo hanya mengangguk. “Ya sudah kalau begitu, tapi kalian harus tetap segera bulan madu. Habiskan waktu bersama sebanyak mungkin. Kakek ingin segera menimang cicit.”

Belum sempat Revan atau Alina menjawab, seorang pelayan tiba-tiba datang dan berkata, “Tuan, maaf mengganggu. Mobil untuk Nyonya Alina sudah siap.”

Setelah mendapat anggukan dari Revan, pelayan itu pergi.

“Kenapa hanya untuk Alina? Revan, kamu tidak mengantar istrimu?” tanya Kakek Bramantyo bingung.

Revan menutup matanya sejenak, kepalanya mendadak pening. Pun dengan Alina. Kedatangan Kakek Bramantyo pagi ini benar-benar membuatnya kembali merasakan senam jantung.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • BENANG MERAH TAKDIR ASMARA   BAB 4 : APA YANG TERJADI DENGANKU?

    Pada akhirnya, mau tidak mau, Alina dan Revan berangkat bersama, dan Revan sendiri yang mengendarai mobil mereka.Begitu tiba di kantor, beberapa pegawai Alina yang baru datang mendadak heboh melihat Alina turun dari mobil yang dikemudikan Revan. Namun, tak ada yang berani untuk langsung menyapa.Alina berusaha mengabaikan itu semua. Ia ingin kembali fokus pada pekerjaannya. Setelah melunasi hutang itu, ia benar-benar merasa lega dan bebas untuk bekerja. Ia bisa kembali fokus merancang, berdiskusi dengan timnya, dan membangun kembali Cipta Ruang Estetika. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa punya kendali atas dunianya sendiri."Pagi, Bu Alina," sapa Deni, arsitek juniornya, dengan senyum canggung. "Selamat... atas pernikahannya, Bu."Sinta, yang duduk di meja administrasi, ikut menimpali dengan suara pelan. "Iya, Bu. Kaget banget kami dengar beritanya. Tiba-tiba sekali."Alina hanya bisa tersenyum tipis. "Terima kasih. Memang semuanya serba mendadak." Ia tidak ingi

  • BENANG MERAH TAKDIR ASMARA   BAB 3: SOAL PEWARIS

    Udara di dalam mobil terasa menyesakkan. Permintaan soal pewaris yang dilontarkan Kakek masih berdengung di telinga Alina, menciptakan ketegangan yang nyaris tak tertahankan.Alina melirik Revan yang tetap fokus menyetir, wajahnya kaku diterpa cahaya lampu jalan.‘Dia pasti juga kaget,’ batin Alina. Namun, ia harus memastikan itu karena sandiwara ini sudah cukup rumit tanpa tambahan syarat absurd seperti itu.“Soal pewaris itu tidak ada di kontrak kita, kan?” tanya Alina hati-hati.“Aku tahu,” jawab Revan, singkat, tanpa menoleh.Alina mengernyitkan dahinya. Hanya itu jawabannya?Kenapa rasanya Revan justru sangat santai di sini?Alina menghela napas berat. Hingga akhirnya, mobil berbelok masuk gerbang rumah. Begitu berhenti, Revan mematikan mesin dan keluar tanpa berkata lagi. Alina menyusul, langkahnya cepat.“Revan, tunggu.” Alina berdiri di bawah tangga saat Revan berhenti di anak tangga pertama. Kali ini, untuk pertama kalinya, ia menyebut nama pria itu tanpa embel-embel 'Pak'.

  • BENANG MERAH TAKDIR ASMARA   BAB 2: MOMONGAN?

    Akhirnya hari itu tiba. Setelah kemarin pagi tim desainer datang untuk fitting kebaya yang sudah dipilihkan. Siangnya, berita pernikahannya meledak di media. Malamnya, ia menjalani makan malam perkenalan yang canggung dengan Kakek Bramantyo.Hari ini, akad nikah dilangsungkan di sebuah ruangan privat yang telah didekorasi dengan elegan. Alina duduk bersimpuh, tangannya yang dingin mencengkeram erat ujung kebayanya.Di hadapannya, Revan duduk dengan punggung tegak, wajahnya sedingin marmer.Prosesi ijab kabul berlangsung begitu cepat, seolah semua orang ingin segera menyelesaikan formalitas yang tidak nyaman ini.Sah.Satu kata itu menggema di ruangan, menghantam dada Alina dengan keras. Selesai sudah. Ia kini adalah istri Revan Adhitama.Sesuai skenario, setelah prosesi akad selesai, mereka langsung menuju mobil yang sudah menunggu untuk membawa mereka ke rumah baru.Keheningan di dalam mobil terasa begitu pekat, lebih menyesakkan daripada kebisingan lalu lintas Jakarta di luar. Alin

  • BENANG MERAH TAKDIR ASMARA   BAB 1 : PERJANJIAN 'KONTRAK' NIKAH

    “Kau butuh istri, dan aku butuh uang,” kata Alina lirih.Alina menatap pria yang duduk di seberangnya, Revan Adhitama, CEO Adhitama Corp.Sejujurnya, jantung Alina berdebar kencang. Ia masih tidak percaya bagaimana ia bisa berakhir di sini, duduk di hadapan salah satu pria paling berkuasa di Jakarta, mengajukan tawaran paling gila yang pernah ia dengar seumur hidupnya.Semua terjadi begitu cepat.Baru beberapa jam yang lalu, Alina masih merasakan secercah harapan setelah presentasi konsep arsitektur “Oasis Urban” miliknya berjalan mulus. Namun, euforia singkat itu hancur berkeping-keping oleh satu pesan singkat dari Bang Darto, si penagih hutang, yang terasa seperti vonis mati.[Seminggu dari sekarang, kalau hutang bapakmu nggak lunas juga, siap-siap kantormu itu saya segel!]Tujuh hari untuk melunasi hutang ratusan juta itu mustahil!Di puncak keputusasaan itulah, Alina panik mencari solusi dari berbagai pihak, termasuk internet. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah iklan samar yang

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status