Revan berdiri menjulang di hadapannya, tatapannya menuntut, tidak memberikan ruang untuk alasan.
"Tunjukkan padaku strategimu."
Udara di dalam suite mewah itu terasa menipis. Ini adalah momen penentuan. Momen di mana Alina harus membuktikan bahwa klausul yang ia perjuangkan mati-matian semalam bukan hanya gertakan sambal.
Alina menarik napas dalam-dalam.
Ia menatap tumpukan coretan dan diagram di buku sketsanya. Data, studi kasus, analisis kompetitor. Semua ada di sana. Ia bisa saja menyajikan argumen yang sangat teknis, sangat logis, sangat… Revan.
Tapi ia tahu, itu adalah permainan yang tidak akan pernah bisa ia menangkan. Melawan Revan dengan logika adalah seperti mencoba memadamkan api dengan bensin.
Maka, ia melakukan sesuatu yang tidak terduga.
Ia menutup buku sketsanya. Dengan satu gerakan pelan yang terasa begitu final.
Revan mengangkat sebelah alisnya. Sebuah gestur kecil yang menunjukkan ketertarikan.
Alina bangkit berdiri, menyejajarkan tatapan matanya dengan pria itu.
"Strategiku bukan tiga pilar, Revan," katanya, suaranya terdengar tenang dan jernih. "Strategiku hanya satu pertanyaan."
Keheningan menyelimuti mereka. Revan tidak memotong. Ia menunggu.
"Pertanyaannya adalah," lanjut Alina, "apa yang membuat seseorang mau membayar mahal untuk sebuah tempat?"
"Jawaban Leo, dan mungkin juga jawabanmu, adalah kemegahan, fasilitas bintang lima, efisiensi, dan angka keuntungan. Itu jawaban yang benar, tentu saja. Tapi itu jawaban yang membosankan. Itu jawaban yang tidak punya jiwa."
Alina mengambil satu langkah maju, tatapannya tidak goyah.
"Jawabanku adalah… kenangan."
Satu kata itu menggantung di udara.
"Aku tidak menjual kamar, Revan. Aku menjual tempat di mana orang akan melamar kekasihnya. Aku menjual dek kayu di mana seorang ayah akan mengajari anaknya melihat rasi bintang untuk pertama kalinya. Aku menjual sudut jendela yang cahayanya pas sekali untuk membaca buku sambil ditemani suara ombak."
Tangannya kini bergerak, seolah sedang melukis di udara. Gairahnya kembali menyala, bukan lagi karena tekanan, tapi karena keyakinan.
"Leo menjual bangunan. Aku menjual cerita. Desainku mungkin terlihat 'puitis' baginya, karena dia hanya melihat material dan biaya. Tapi aku melihatnya sebagai panggung. Panggung untuk momen-momen tak terlupakan yang akan membuat tamu kita kembali lagi dan lagi, bukan karena diskon, tapi karena mereka ingin merasakan kembali kenangan yang pernah mereka ciptakan di sana."
"Itu adalah Return on Investment yang tidak bisa diukur dengan angka, tapi bisa dirasakan di sini." Alina menunjuk ke arah hatinya.
"Itu strategiku. Aku akan menjual sebuah cerita, sebuah kenangan. Dan aku yakin, itu adalah kemewahan yang paling mahal dan paling dicari di dunia saat ini."
Setelah mengatakan itu, Alina terdiam. Ia sudah meletakkan semua kartunya di atas meja. Bukan kartu teknis, tapi kartu filosofis. Kartu yang paling jujur, yang datang dari inti jiwanya sebagai seorang arsitek.
Revan tidak langsung bereaksi.
Pria itu terdiam lama sekali.
Tatapan matanya yang biasanya tajam, kini terlihat berbeda. Ada sesuatu di sana yang tidak bisa Alina baca. Seolah argumen Alina tidak hanya masuk ke otaknya, tapi menembus sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang tersembunyi di balik lapisan esnya.
Sesuatu yang mungkin berhubungan dengan… kopi hitam.
Keheningan itu terasa lebih panjang dari semua perdebatan mereka sebelumnya.
Akhirnya, Revan menatap lurus ke mata Alina. Tatapannya bukan lagi tatapan seorang klien atau suami kontrak. Ini tatapan yang lain.
"Kau bermain dengan api, Alina," katanya pelan, suaranya terdengar serak. "Menjual sesuatu yang tidak bisa diukur itu sangat berbahaya dalam bisnis."
Ia berhenti sejenak, helaan napasnya nyaris tak terdengar.
"Tapi mungkin…"
"...itu juga yang membuatnya tak ternilai."
Dan dengan pengakuan yang ambigu itu, Revan seolah baru saja membuka sebuah pintu ke dalam labirin pikirannya.
Sebuah pintu yang tidak tahu akan membawa Alina ke mana.
Apakah ke dalam sebuah aliansi yang lebih dalam?
Atau ke dalam sebuah permainan yang jauh lebih rumit dan berbahaya?
Dan begitulah akhir dari drama babak pertama.Satu bantingan pintu yang keras.Setelah itu? Hening. Tapi ini bukan hening yang biasa. Ini adalah hening yang punya bobot, yang terasa menekan bahu, yang membuat udara di dalam suite mewah itu terasa sulit untuk dihirup.Alina masih berdiri mematung di balik pintu kamarnya, tangannya yang gemetar masih mencengkeram gagang pintu. Jantungnya berdebar begitu kencang, memompa campuran antara rasa takut dan adrenalin ke seluruh tubuhnya.Ia mendengar langkah kaki Revan yang menjauh dari pintu utama, lalu berhenti.Dengan napas yang tertahan, Alina memberanikan diri. Ia membuka pelan pintu kamarnya.Revan berdiri di tengah ruangan, memunggunginya. Bahunya terlihat tegang.Saat pria itu berbalik, tatapan mereka bertemu.Dan di sanalah Alina melihatnya. Wajahnya yang pucat, tangannya yang sedikit gemetar. Revan, yang seolah bisa membaca setiap detail kecil, pasti menyadari bahwa pertahanannya telah runtuh.Alina sudah siap untuk apa pun. Siap
Perjalanan kembali ke suite hotel di dalam lift terasa begitu berbeda.Jika tadi pagi lift ini terasa seperti sebuah kotak sempit yang menyesakkan, kini lift yang sama terasa seperti podium kemenangan yang sunyi.Alina tidak berkata apa-apa. Revan pun diam.Tapi keheningan di antara mereka tidak lagi canggung. Ada sebuah pemahaman baru yang menggantung di udara. Sebuah pengakuan tanpa kata bahwa mereka baru saja melewati sebuah pertempuran bersama.Dan mereka menang.Begitu pintu suite tertutup di belakang mereka, Alina akhirnya bisa bernapas dengan lega. Adrenalin yang sejak tadi membuatnya berdiri tegak kini mulai surut, meninggalkan perasaan lelah yang memuaskan.Ia melepaskan sepatunya yang berhak tinggi dan berjalan ke arah jendela, menatap lampu kota Singapura yang kini terasa lebih ramah."Kerja bagus," sebuah suara tiba-tiba memecah keheningan.Alina menoleh.Revan berdiri di
Boardroom itu terasa dingin, bukan hanya karena pendingin ruangan yang disetel rendah, tapi juga karena atmosfer di dalamnya.Di satu sisi meja panjang yang mengilap, duduklah Leo Santoso, dengan senyum percaya diri yang seolah sudah memenangkan pertempuran bahkan sebelum dimulai.Di sisi lain, duduklah Alina. Jantungnya berdebar kencang, tapi ia memaksakan punggungnya untuk tetap tegak. Di sampingnya, Revan duduk dengan tenang, wajahnya adalah topeng netralitas yang sempurna. Ia benar-benar memposisikan diri sebagai klien, sebagai juri.Selain mereka bertiga, ada dua orang lain di ruangan itu. Dua investor dari Singapura yang mewakili pihak penanam modal.Yang pertama adalah Mr. Chen, seorang pria paruh baya dengan pembawaan tenang dan tatapan mata yang bijak.Yang kedua adalah Ms. Yuo, seorang wanita muda yang terlihat sangat cerdas dan kritis, dengan kacamata berbingkai tipis dan tatapan yang seolah bisa memindai setiap kebohongan."Baik, terima kasih atas kehadirannya," Revan mem
Alina tidak bisa tidur nyenyak.Pikirannya terlalu pusing, terjebak di antara bayang-bayang Revan yang berbaring di sofa dan tulisan tangan di atas sticky note kuning itu.Pelajari musuhmu.Saat fajar pertama kali menyingsing di ufuk Singapura, Alina sudah duduk di sofa yang sama tempat Revan tidur semalam. Map tebal berwarna cokelat itu terbuka di atas pangkuannya.Ia membacanya.Bukan hanya membaca, tapi menelannya bulat-bulat.Ini bukan sekadar portofolio. Ini adalah sebuah pembedahan total terhadap Leo Santoso.Di dalamnya ada semua proyek yang pernah Leo tangani, lengkap dengan foto-foto indah, data bujet, dan daftar klien. Tapi bukan itu yang membuat Alina terpaku.Di antara data-data yang berkilauan itu, terselip analisis mendalam yang jelas-jelas bukan buatan Leo. Ada catatan-catatan kecil di pinggir halaman, ditulis dengan pulpen tinta hitam.Analisis tentang pilihan material Leo yang cenderung murah tapi dibungkus dengan fasad yang mewah. Analisis tentang bagaimana ia serin
Kalimat itu menggantung di udara, terasa penuh makna."...itu juga yang membuatnya tak ternilai."Setelah itu, keheningan mengambil alih. Tapi ini bukan keheningan yang dingin atau canggung. Ini adalah keheningan yang terasa rapuh, seolah sebuah gelas kristal baru saja diletakkan di tepian meja, dan keduanya menahan napas, takut jika satu gerakan yang salah akan membuatnya jatuh dan pecah berkeping-keping.Revan adalah orang pertama yang memecah kontak mata.Ia berdeham pelan, sebuah suara kecil yang terdengar begitu keras di tengah kesunyian. Lalu, ia berbalik dan berjalan ke arah jendela kaca yang besar, memunggungi Alina.Ia menatap kerlip lampu kota Singapura di bawah sana. Sebuah cara untuk membangun kembali dindingnya yang baru saja retak.Alina hanya bisa diam, mengamati punggung pria itu. Punggung yang selalu terlihat tegap dan kokoh, tapi entah kenapa, saat ini terlihat sedikit... berbeda.Apa aku sudah melangkah terlalu jauh?Pikiran itu melintas di benak Alina.Apa aku bar
Revan berdiri menjulang di hadapannya, tatapannya menuntut, tidak memberikan ruang untuk alasan."Tunjukkan padaku strategimu."Udara di dalam suite mewah itu terasa menipis. Ini adalah momen penentuan. Momen di mana Alina harus membuktikan bahwa klausul yang ia perjuangkan mati-matian semalam bukan hanya gertakan sambal.Alina menarik napas dalam-dalam.Ia menatap tumpukan coretan dan diagram di buku sketsanya. Data, studi kasus, analisis kompetitor. Semua ada di sana. Ia bisa saja menyajikan argumen yang sangat teknis, sangat logis, sangat… Revan.Tapi ia tahu, itu adalah permainan yang tidak akan pernah bisa ia menangkan. Melawan Revan dengan logika adalah seperti mencoba memadamkan api dengan bensin.Maka, ia melakukan sesuatu yang tidak terduga.Ia menutup buku sketsanya. Dengan satu gerakan pelan yang terasa begitu final.Revan mengangkat sebelah alisnya. Sebuah gestur kecil yang menunjukkan ketertarikan.Alina bangkit berdiri, menyejajarkan tatapan matanya dengan pria itu."Str