Home / Romansa / Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin / Bab 20 : Pagi-pagi sudah rancang taktik

Share

Bab 20 : Pagi-pagi sudah rancang taktik

Author: TenMaRuu
last update Huling Na-update: 2025-07-25 09:08:52

Alina terbangun karena seberkas cahaya matahari yang berhasil menyelinap masuk dari celah tirai tebal.

Untuk sesaat, ia lupa di mana ia berada.

Langit-langit yang tinggi, aroma asing dari pendingin ruangan, dan keheningan yang terasa berbeda butuh beberapa detik untuk menyadarkannya dari sisa-sisa mimpi.

Ah, benar. Singapura.

Hal pertama yang ia lakukan adalah menoleh ke arah sofa. Kosong.

Sofa itu sudah kembali rapi. Selimut terlipat dengan presisi militer yang kaku, bantalnya kembali ke posisi semula, seolah tidak pernah ada seorang pria bertubuh besar yang tidur di sana semalam. Seolah gencatan senjata yang aneh itu hanyalah imajinasinya, sebuah produk dari otaknya yang kelelahan.

Alina bangkit dari tempat tidur, persendiannya terasa sedikit kaku. Ia berjalan pelan menuju jendela kaca yang besar, merasa seperti hantu di dalam kamarnya sendiri yang mewah.

Dan di sana, di balkon, ia melihatnya.

Revan sudah rapi dengan kemeja biru laut yang disetrika sempurna dan celana bahan berwarna gelap. Punggungnya menghadap ke arah kamar, bahunya tegap, seolah menopang beban dunia tanpa sedikit pun kesulitan.

Ia duduk di sebuah kursi rotan, dengan laptop terbuka di atas meja kecil di hadapannya. Jari-jarinya bergerak cepat di atas papan ketik, sesekali berhenti untuk menyesap kopi dari cangkir putih porselen.

Pria itu sudah kembali ke habitat aslinya. Dunia angka, data, dan strategi. Momen lelah semalam seolah sudah terhapus bersih oleh datangnya pagi, tak meninggalkan jejak sedikit pun.

Tepat saat Alina sedang memperhatikannya, bel pintu kamar berbunyi pelan, nadanya sopan dan tidak mengganggu.

Seorang staf hotel yang masih muda, seorang pria Melayu dengan senyum ramah dan seragam yang rapi, mendorong sebuah troli sarapan masuk ke dalam kamar.

"Selamat pagi, Nyonya," sapanya dengan sopan. "Sarapan Anda."

Alina sedikit bingung. Ia tidak memesan apa-apa.

Staf itu, seolah mengerti kebingungan Alina, menjelaskan dengan cekatan, "Tuan Adhitama sudah memesankannya dari tadi pagi. Beliau meminta untuk disajikan di dalam, agar Nyonya bisa sarapan dengan tenang."

Staf itu dengan sigap menata hidangan di atas meja makan kecil yang ada di dalam suite. Ada dua piring yang ditutup dengan penutup saji dari perak yang berkilauan.

Saat penutup itu dibuka, aroma wangi yang khas dan familier langsung menguar, membelai indra penciuman Alina.

Nasi Lemak.

Lengkap dengan sambal ikan bilis yang terlihat pedas, irisan timun segar, telur rebus, dan beberapa potong ayam goreng berempah yang keemasan. Di sampingnya, ada dua cangkir kopi hitam pekat yang masih mengepulkan uap.

Sebuah detail kecil. Sebuah pilihan menu yang sangat spesifik.

Alina teringat, dulu sekali, saat Cipta Ruang Estetika baru punya satu proyek kecil, ia dan ayahnya sering sarapan nasi lemak di sebuah warung sederhana di dekat lokasi. Itu adalah ritual mereka untuk merayakan setiap kemajuan kecil.

Entah ini hanya kebetulan, atau Revan memang tahu sesuatu tentang sarapan favoritnya. Pikiran bahwa pria itu mungkin sudah menggali informasi hingga ke detail sekecil ini membuat Alina merasa sedikit tidak nyaman.

Setelah staf itu pergi, Revan akhirnya masuk dari balkon. Ia menutup pintu kaca di belakangnya, meredam suara bising kota di bawah sana.

Ia tidak membahas soal sofa atau kejadian semalam. Ia hanya melirik meja makan.

"Makanlah," katanya singkat. "Kita tidak punya banyak waktu."

Mereka sarapan dalam diam. Tapi ini bukan keheningan canggung seperti sebelumnya. Ini adalah keheningan yang punya tujuan.

Keheningan sebelum sebuah misi dimulai. Keheningan dua orang prajurit yang sedang mengisi amunisi.

Setelah beberapa suap, Revan meletakkan sendoknya. Ia menatap Alina lekat-lekat, mode "mentor kejam"-nya kini aktif sepenuhnya.

"Leo itu arogan, tapi dia tidak bodoh," Revan memulai, langsung ke inti permasalahan.

"Kelemahannya adalah dia terlalu fokus pada kemegahan dan angka. Dia akan mencoba membuat desainmu terlihat seperti dongeng yang tidak realistis. Dia akan menyerang dari sisi bujet dan efisiensi. Dia akan mempertanyakan pilihan materialmu, menyebutnya tidak cost-effective."

"Dia akan bilang konsepmu indah, tapi tidak menjual. Dia akan bilang visimu puitis, tapi tidak praktis."

Setiap kata yang diucapkan Revan terdengar seperti analisis intelijen yang tajam dan akurat.

"Itu celahmu," lanjutnya. "Kau harus bisa membuktikan bahwa idealismemu itu justru adalah nilai jual terbesar dari proyek ini. Buktikan bahwa keindahan itu bisa menghasilkan keuntungan, bahwa kepuitisan itu bisa diterjemahkan menjadi pengalaman tak terlupakan bagi tamu."

Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap.

"Aku mau lihat tiga argumen utama yang akan kau pakai untuk melawan konsepnya. Tiga pilar yang akan menopang seluruh presentasimu nanti. Aku tidak mau melihatmu diam dan hanya bereaksi seperti semalam."

Tantangan itu dilemparkan begitu saja di atas meja sarapan.

Sisa pagi itu dihabiskan dalam sebuah keheningan yang produktif.

Alina mengambil buku sketsanya dan duduk di sofa dekat jendela, membiarkan cahaya matahari membantunya berpikir.

Ia mulai mencoret-coret, menulis poin-poin penting, menggambar diagram-diagram kecil untuk memperkuat argumennya. Ia memikirkan data, studi kasus, dan contoh-contoh proyek lain yang berhasil.

Sementara Revan kembali ke singgasananya di balkon. Bekerja dalam dunianya sendiri. Suara ketukan jarinya di papan ketik sesekali terdengar, menjadi musik latar yang aneh bagi sesi kerja Alina.

Mereka seperti dua tentara di kamp yang sama. Tidak banyak bicara, tapi sama-sama sibuk mengasah pedang mereka sebelum maju ke medan perang yang sama.

Ada sebuah aliansi aneh yang terbentuk di antara mereka, sebuah kemitraan yang lahir dari kebutuhan, bukan keinginan.

Waktu berjalan tanpa terasa.

Tepat saat jam di dinding menunjukkan pukul dua belas siang, Revan menutup laptopnya dengan bunyi klik yang tegas.

Ia masuk ke dalam, suaranya memecah keheningan yang produktif itu.

Ia berjalan ke arah Alina, yang masih tenggelam dalam pikirannya, menatap tumpukan coretan di hadapannya.

"Waktunya habis," katanya.

Alina mengangkat wajahnya.

Revan berdiri menjulang di hadapannya, tatapannya menuntut, tidak memberikan ruang untuk alasan.

"Tunjukkan padaku strategimu."

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 26 : Pertolongan Pertama

    Dan begitulah akhir dari drama babak pertama.Satu bantingan pintu yang keras.Setelah itu? Hening. Tapi ini bukan hening yang biasa. Ini adalah hening yang punya bobot, yang terasa menekan bahu, yang membuat udara di dalam suite mewah itu terasa sulit untuk dihirup.Alina masih berdiri mematung di balik pintu kamarnya, tangannya yang gemetar masih mencengkeram gagang pintu. Jantungnya berdebar begitu kencang, memompa campuran antara rasa takut dan adrenalin ke seluruh tubuhnya.Ia mendengar langkah kaki Revan yang menjauh dari pintu utama, lalu berhenti.Dengan napas yang tertahan, Alina memberanikan diri. Ia membuka pelan pintu kamarnya.Revan berdiri di tengah ruangan, memunggunginya. Bahunya terlihat tegang.Saat pria itu berbalik, tatapan mereka bertemu.Dan di sanalah Alina melihatnya. Wajahnya yang pucat, tangannya yang sedikit gemetar. Revan, yang seolah bisa membaca setiap detail kecil, pasti menyadari bahwa pertahanannya telah runtuh.Alina sudah siap untuk apa pun. Siap

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 25 : Jangan Sentuh Dia

    Perjalanan kembali ke suite hotel di dalam lift terasa begitu berbeda.Jika tadi pagi lift ini terasa seperti sebuah kotak sempit yang menyesakkan, kini lift yang sama terasa seperti podium kemenangan yang sunyi.Alina tidak berkata apa-apa. Revan pun diam.Tapi keheningan di antara mereka tidak lagi canggung. Ada sebuah pemahaman baru yang menggantung di udara. Sebuah pengakuan tanpa kata bahwa mereka baru saja melewati sebuah pertempuran bersama.Dan mereka menang.Begitu pintu suite tertutup di belakang mereka, Alina akhirnya bisa bernapas dengan lega. Adrenalin yang sejak tadi membuatnya berdiri tegak kini mulai surut, meninggalkan perasaan lelah yang memuaskan.Ia melepaskan sepatunya yang berhak tinggi dan berjalan ke arah jendela, menatap lampu kota Singapura yang kini terasa lebih ramah."Kerja bagus," sebuah suara tiba-tiba memecah keheningan.Alina menoleh.Revan berdiri di

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 24 : Konsep yang Jujur

    Boardroom itu terasa dingin, bukan hanya karena pendingin ruangan yang disetel rendah, tapi juga karena atmosfer di dalamnya.Di satu sisi meja panjang yang mengilap, duduklah Leo Santoso, dengan senyum percaya diri yang seolah sudah memenangkan pertempuran bahkan sebelum dimulai.Di sisi lain, duduklah Alina. Jantungnya berdebar kencang, tapi ia memaksakan punggungnya untuk tetap tegak. Di sampingnya, Revan duduk dengan tenang, wajahnya adalah topeng netralitas yang sempurna. Ia benar-benar memposisikan diri sebagai klien, sebagai juri.Selain mereka bertiga, ada dua orang lain di ruangan itu. Dua investor dari Singapura yang mewakili pihak penanam modal.Yang pertama adalah Mr. Chen, seorang pria paruh baya dengan pembawaan tenang dan tatapan mata yang bijak.Yang kedua adalah Ms. Yuo, seorang wanita muda yang terlihat sangat cerdas dan kritis, dengan kacamata berbingkai tipis dan tatapan yang seolah bisa memindai setiap kebohongan."Baik, terima kasih atas kehadirannya," Revan mem

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 23 : Dua Jenderal

    Alina tidak bisa tidur nyenyak.Pikirannya terlalu pusing, terjebak di antara bayang-bayang Revan yang berbaring di sofa dan tulisan tangan di atas sticky note kuning itu.Pelajari musuhmu.Saat fajar pertama kali menyingsing di ufuk Singapura, Alina sudah duduk di sofa yang sama tempat Revan tidur semalam. Map tebal berwarna cokelat itu terbuka di atas pangkuannya.Ia membacanya.Bukan hanya membaca, tapi menelannya bulat-bulat.Ini bukan sekadar portofolio. Ini adalah sebuah pembedahan total terhadap Leo Santoso.Di dalamnya ada semua proyek yang pernah Leo tangani, lengkap dengan foto-foto indah, data bujet, dan daftar klien. Tapi bukan itu yang membuat Alina terpaku.Di antara data-data yang berkilauan itu, terselip analisis mendalam yang jelas-jelas bukan buatan Leo. Ada catatan-catatan kecil di pinggir halaman, ditulis dengan pulpen tinta hitam.Analisis tentang pilihan material Leo yang cenderung murah tapi dibungkus dengan fasad yang mewah. Analisis tentang bagaimana ia serin

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 22 : Pelajari Musuhmu

    Kalimat itu menggantung di udara, terasa penuh makna."...itu juga yang membuatnya tak ternilai."Setelah itu, keheningan mengambil alih. Tapi ini bukan keheningan yang dingin atau canggung. Ini adalah keheningan yang terasa rapuh, seolah sebuah gelas kristal baru saja diletakkan di tepian meja, dan keduanya menahan napas, takut jika satu gerakan yang salah akan membuatnya jatuh dan pecah berkeping-keping.Revan adalah orang pertama yang memecah kontak mata.Ia berdeham pelan, sebuah suara kecil yang terdengar begitu keras di tengah kesunyian. Lalu, ia berbalik dan berjalan ke arah jendela kaca yang besar, memunggungi Alina.Ia menatap kerlip lampu kota Singapura di bawah sana. Sebuah cara untuk membangun kembali dindingnya yang baru saja retak.Alina hanya bisa diam, mengamati punggung pria itu. Punggung yang selalu terlihat tegap dan kokoh, tapi entah kenapa, saat ini terlihat sedikit... berbeda.Apa aku sudah melangkah terlalu jauh?Pikiran itu melintas di benak Alina.Apa aku bar

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 21: Aku Menjual Cerita

    Revan berdiri menjulang di hadapannya, tatapannya menuntut, tidak memberikan ruang untuk alasan."Tunjukkan padaku strategimu."Udara di dalam suite mewah itu terasa menipis. Ini adalah momen penentuan. Momen di mana Alina harus membuktikan bahwa klausul yang ia perjuangkan mati-matian semalam bukan hanya gertakan sambal.Alina menarik napas dalam-dalam.Ia menatap tumpukan coretan dan diagram di buku sketsanya. Data, studi kasus, analisis kompetitor. Semua ada di sana. Ia bisa saja menyajikan argumen yang sangat teknis, sangat logis, sangat… Revan.Tapi ia tahu, itu adalah permainan yang tidak akan pernah bisa ia menangkan. Melawan Revan dengan logika adalah seperti mencoba memadamkan api dengan bensin.Maka, ia melakukan sesuatu yang tidak terduga.Ia menutup buku sketsanya. Dengan satu gerakan pelan yang terasa begitu final.Revan mengangkat sebelah alisnya. Sebuah gestur kecil yang menunjukkan ketertarikan.Alina bangkit berdiri, menyejajarkan tatapan matanya dengan pria itu."Str

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status