Share

BAB 2: Terbeban

Author: Andri Lestari
last update Last Updated: 2022-07-01 09:10:20

Aku terbangun agak telat pagi ini. Semalaman aku tidak tertidur, menghabiskan waktu membaca buku serta salat malam. Entah kenapa perkataan Hadi tadi malam begitu mengganggu pikiran. Seberapa persen lelaki itu serius untuk menikah lagi? Tahukah dia seperti apa resiko ke depan jika pernikahan tersebut tetap dilangsungkan.

Akan banyak pihak yang tersakiti, terutama orang tuanya serta orang tuaku juga. Umi pasti akan sangat terpukul melihat nasib anak perempuannya yang malang. Masih muda sudah menyandang status sebagai istri tua, itu pun jika aku sanggup bertahan dan melanjutkan status pernikahan kami, jika tidak tentu aku akan menjadi janda. Apa nanti kata orang-orang?

Sementara Hadi memintaku untuk menyembunyikan tentang rencana pernikahan mereka. Sampai kapan rahasia itu bisa ditutupi? Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya pasti jatuh juga. Namun, aku tidak boleh banyak bicara, biarkan saja ia menikahi Tiara, nanti dia sendiri yang akan menanggung segala resiko yang sedang menanti di depan.

Apa semua sudah dipikirkan? Bagaimana nanti jika ibunya atau Umiku datang bertamu? Siapa yang akan keluar menyambut? Istri pertama atau istri kedua. Seharusnya hal seperti itu tidak luput dari pantauannya. Aku tidak mau ibu mertua atau pun Umiku bertambah sakit hanya karena ulah Hadi.

"Sudah bangun, Nak Nadia?" tanya Mbok Mih sembari menyuguhkan segaris senyum hangat. Aku yang baru saja berada di dapur mengangguk dan membalas senyum Mbok Mih. Aku memang meminta wanita yang sudah tak lagi muda itu untuk memanggilku dengan sebutan 'nak'. Walau bagaimanapun usianya terpaut jauh denganku, layak untuk dihormati.

"Ia, Mbok. Telat. Untung aku sudah Shubuh sebelum terlelap pagi tadi." Kuraih gelas berisi teh manis di atas meja. Berbeda dengan Hadi, lelaki itu cukup meminum segelas jus jeruk buatan Mbok Mih saja dan menyantap sepotong roti sebagai pengganjal perut sebelum berangkat ke kantor.

Walau jarang bertemu dengan lelaki itu di pagi hari, tapi Mbok Mih sering menceritakan aktivitas Hadi di pagi hari padaku. Selama ini ia mengetahui dengan baik bagaimana nasib rumah tanggaku dan Hadi. Dia telah menjadi saksi hidup perjalanan rumah tangga kami yang masih seumur jagung.

Mbok Mih pernah mengungkapkan jika ia merasa kasihan padaku. Kenapa aku bisa terjebak di dalam sebuah pernikahan yang tidak sehat, begitu tanyanya dulu. Sebenarnya sebuah pernikahan itu tidaklah salah. Pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang harus dihormati dan dijaga, agar tidak layu dimakan usia. Namun, bisakah rumah tanggaku berbenah hingga menjadi lebih baik, sementara nahkodanya selama ini enggan berlayar? Begitu juga awak kapal yang enggan untuk berlabuh lebih jauh ke tengah samudera.

"Mbok ..."

"Ya, Nak Nadia," ujar perempuan berjilbab kurung berwarna kulit bawang itu pelan. Meski ia sedang kuajak bicara, akan tetapi tangannya tetap gesit membersihkan sayur dan buah-buahan di wastafel.

Wanita tua itu sangat baik padaku. Jika sudah tak tahan dengan perlakuan Hadi yang semena-mena, aku akan mengadu ke Mbok Mih, tidak mungkin ke Umi. Namun, kali ini aku tak boleh bicara. Kuurung niat untuk melanjutkan cerita. Biarlah nanti Mbok Mih melihat sendiri apa yang terjadi.

"Ngga jadi, Mbok. Eh, pagi ini Mbok bikin sarapan apa?" Aku sengaja mengalihkan pertanyaan. Wanita itu menghentikan aktivitas. Ia melihat ke arahku dengan senyum yang masih melekat di bibir pucatnya.

"Nak Nadia mau cerita apa? Mungkin ada yang bisa Mbok Mih bantu," ungkapnya sopan.

Aku sengaja meminum teh manis di dalam gelas hingga tandas dalam sekali teguk. Lalu berpura-pura ingin melanjutkan menulis kepada Mbok Mih.

"Mbok, aku permisi dulu. Tulisanku harus selesai, nanti siang tenggat waktu pengirimannya." Aku tidak memedulikan bagaimana reaksi Mbok Mih di belakangku. Sial! Perkataan Hadi tadi malam masih terngiang hingga detik ini di pikiran.

Pikiran terus berkecamuk memecah konsentrasi. Terpaksa kembali menunda menulis, novel yang sedang dalam tahap finishing teronggok pasrah di atas meja sudut kamar. Laptop yang telah kunyalakan, kembali kupadamkan. Ide menulis hilang seketika, mood pun ikut hancur berantakan.

Aku bergegas berganti pakaian. Terus-terusan mengendap di kamar pun tidak baik untukku. Paru-paru membutuhkan udara segar, pikiran juga butuh direhatkan. Ya, aku harus pergi melepas penat yang selama ini merongrong diri. Setelah memakai baju terusan panjang berwarna hijau lumut dengan perpaduan jilbab lebar berwarna senada, aku menarik kunci motor dan ponsel di atas atas meja.

"Assalamu'alaikum." Aku menyapa seseorang di seberang sana.

"Temani aku. Sedang butuh sandaran." Setelah salam terjawab, aku melanjutkan kalimat permohonan kepada orang tersebut.

"Oke, di tempat biasa, ya. Aku tunggu!" Aku pun memutuskan sambungan telepon. Hanin akan menemuiku satu jam lagi. Sekarang dia sedang menyelesaikan beberapa laporan perusahaan tempat ia bekerja.

Selain Mbok Mih, Hanin adalah orang yang sering kupinjam bahunya sebagai tempatku menyandarkan kepala. Meluapkan segala gundah dan masalah yang saban hari tak pernah henti menimpa. Terkadang ia ingin menemui Hadi untuk melampiaskan kekesalannya atas cerita-ceritaku. Namun, aku melarang. Aku adalah tipe orang yang malas untuk membuat keributan. Apalagi dengan Hadi. Lelaki yang makin ke sini makin membuatku menyesal untuk mengenalnya.

"Mbok, aku pergi dulu." Pamitku pada Mbok Mih.

"Ke mana, Nak Nadia?" tanya Mbok Mih sambil tergopoh menemuiku.

"Jumpa teman sebentar. Kalau nanti Hadi tanya, bilang saja tidak tau, ya, Mbok." jawabku sambil memakai kaos kaki. Kulirik Mbok Mih sekilas dan dia mengangguk ke arahku. Tanpa menunggu lama aku pun berangkat meninggalkan rumah besar milik Hadi yang telah kutinggali hampir beberapa bulan ini.

Tidak banyak kenangan indah yang terukir di sana. Karena aku dan tuannya tidak pernah bisa saling mencintai.

***

Setiba di sebuah mal, aku langsung menuju tempat makan yang sering kukunjungi bersama Hanin. Seperti janji tadi, aku harus menunggunya untuk satu jam ke depan. Tak mengapa, aku bisa menghabiskan waktu dengan menyantap beberapa pesanan makanan. Berhubung sudah hampir siang dan aku sama sekali belum makan sejak pagi tadi. Hanya segelas teh manis buatan MboK Mih yang mengisi perutku sejak pagi tadi.

Sembari menunggu makanan datang, aku berselancar di dunia maya, mengikuti berita-berita terupdate beberapa hari ini. Hingga kemudian seseorang menyapaku. Aku melihat ke arah suara. O, Tuhan, ternyata Tiara. Apa? Bukan dia sendiri, ternyata dia bersama Hadi dan mereka sekarang duduk di depanku.

"Ada apa?" tanyaku datar, walau sejujurnya aku kaget melihat mereka ada di sini.

"Kenapa keluar rumah tidak memberitahu?" Hadi balik bertanya.

"Penting? Bukannya kamu tidak pernah peduli?"

"Kamu tau statusmu sekarang? Kamu seorang istri. Wajib memberitahuku ke mana pun kau pergi!" Suara Hadi mulai meninggi.

Aku melihat sekeliling, rasa kesal mulai bergelayut di hati. Apa-apaan ini? Tidak pernah sebelumnya aku harus berpamitan atau memberitahu padanya apa saja yang kukerjakan. Dan itu adalah peraturan darinya. Bukan aku mencoba untuk menjadi istri durhaka. Hadi memintaku begitu, kami tidak perlu untuk melaksanakan tugas-tugas istri atau pun suami. Kenapa sekarang lain lagi?

"Apa? Istri? Jangan ngaco kamu! Kamu sedang tidak mengigau, 'kan?"

Aku menatap tajam ke arah Hadi. Tiara yang duduk di sampingnya hanya diam saja. Ia tidak menjawab separah kata pun. Wanita yang memiliki tubuh semampai itu juga ikut melihat ke arahku. Baru dua kali aku bertemu dengannya. Walau sudah saling berbicara, tapi sikap dinginnya masih terasa. Mungkin dia masih marah karena menganggapku sebagai perebut pacarnya dulu.

"Dengar, Nadia. Kamu itu sah kunikahi. Bagaimana pun juga rumah tangga kita, kamu harus memberitahuku saat keluar rumah. Karena jika orang tuaku atau orang tuamu berkunjung mendadak dan kamu tidak di rumah, aku harus jawab apa saat mereka bertanya? Kamu paham?"

Kemudian mereka pergi meninggalkanku. Mereka menghilang dalam kerumunan orang beberapa menit kemudian. Biarlah! Tidak terlalu penting juga memikirkan Hadi dan pacarnya itu. Seenaknya saja bersikap semena-mena. Dia pikir dia siapa? Meski kami telah sah menikah, tapi aku tidak terima atas sikapnya barusan. Hanya karena takut ketahuan orang tua, dia mendikteku semaunya. Lelaki tak punya nyali, jika memang tak suka, ceraikan! Itu lebih baik.

***

Lanjuuutttt!

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Tempe
ko tampar je la dia. takut apa.
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
istri sah g jelas maunya apa. kenapa juga bertahan dg alasan orangtua dan mertua. mengomel dan menggerutu dlm hati juga g akan menolong mu.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 60: EKSTRA PART 3

    Bukanlah kesabaran, jika masih mempunyai batas dan bukanlah keikhlasan jika masih merasakan sakit. (anonymous)***Aku bahagia atas pernikahan Azzam dan Hanin. Sebuah kelegaan hadir di dalam jiwa ketika melihat sahabatku bisa berjodoh dengan seorang lelaki baik. Begitu juga Azzam, aku bersyukur karena pada akhirnya dia menikah juga. Sehingga Hadi tak perlu lagi merasakan cemburu yang berlebihan."Kalau tau dia jadi calon suaminya Hanin, aku ngga mau kasih kado honeymoon untuk mereka. Mendingan kasih cangkir plastik," ujar Hadi dengan raut wajah ditekuk. Kami sudah berada di dalam mobil menuju rumah.Resepsi digelar minggu depan. Otomatis, rencana untuk berbulan madu ke Jepang ditunda dulu hingga acara selesai."Sayang. Kita batal saja ke Jepang, ya. Masih banyak negara lain yang lebih bagus, kok. Belanda misalnya." Hadi kembali mengeluarkan pendapatnya.Aku geleng-geleng kepala melihat tingkah suamiku tersebut. Hal apa yang membuat ia sangat tidak suka melihat Azzam?"Apa karena Azzam

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 59: EKSTRA PART 2

    "Gimana kalau kita ke Jepang juga? Barengan Hanin dan suaminya?" Hadi tersenyum di balik kemudi. Ia mengangguk, tapi tetap fokus ke jalan raya. Sebentar lagi kami akan tiba di masjid tempat akan nikah digelar. Belum terlambat.Mobil memasuki pelataran masjid menuju parkiran. Tampak banyak sekali mobil berjejer rapi di sini. Hadi mencari tempat kosong untuk memarkirkan mobil. Setelah selesai, kami turun dan memasuki masjid bersama.Setiba di dalam. Aku dan Hadi harus berpisah. Ia menuju tempat duduk para lelaki, sementara aku menuju barisan perempuan. Masjid telah dipenuhi oleh puluhan orang untuk menyaksikan ijab qabul Hanin dan suaminya.Tak susah mencari keberadaan Hanin. Ia duduk di barisan paling depan perempuan menghadap ke arah meja wali nikah.Aku mendekat sambil melihat-lihat yang mana calon Hanin? Belum jelas melihat, aku melihat Hanin menoleh ke arahku. Wanita itu tersenyum lebar dan memanggiku menggunakan tangannya."Kamu dampingin aku di sini," ucap Hanin setelah aku bers

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 58: EKSTRA PART 1

    Setahun berlalu setelah kepergian Tiara. Aku dan Hadi tinggal di rumah yang sama. Yaitu di rumahku yang diberikan olehnya. Sedangkan rumah milik Tiara masih dalam kondisi kosong tak berpenghuni. Namun, dalam waktu dekat rumah tersebut akan disewakan atau dijual oleh Hadi. "Untuk apa dipertahankan begitu. Mubazir," ujarnya kemarin.Aku memberikan pilihan terbaik padanya. Dan sikap dia yang terakhir aku pun menyetujuinya.Kehidupan rumah tanggaku dan Hadi selalu dipenuhi kebahagiaan. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir mengeluarkan air mata. Hadi sudah sangat banyak berubah. Ya, Tuhan telah memberikan hasil dari apa yang pernah kutuai sebelumnya. Rasa sakit yang pernah kualami di masa awal pernikahan, terbalas sudah. Tunai!Janji Allah itu pasti. Tidak selamanya langit mendung menyisakan kesuraman. Pernahkan kalian melihat kapan munculnya pelangi? Ya, setelah hujan. Demikian juga denganku, sabar itu pahit, tapi akan berbuah manis. Hujan air mata yang kerap terjadi di dalam biduk rumah

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 57: Ikhlas dan Adil (TAMAT)

    Bukan akhir seperti ini yang kuharapkan. Kematian Tiara sangat tiba-tiba. Sungguh janji Tuhan itu pasti. Kematian jaraknya sangat dekat dengan makhluk ciptaan-Nya.Hadi masih terpaku di depan gundukan tanah yang masih basah. Aroma khas menguar akibat percikan rintik hujan yang mulai menyapa. Abi, umi, ayah serta ibu telah terlebih dahulu meninggalkan pemakaman. Sementara orang tua Tiara yang berada du luar negeri tidak hadir di acara pemakaman sang anak.Aku bertahan di sini karena menanti Hadi. Mana mungkin aku beranjak, jika dia masih duduk termenung menatap nisan sang istri. Kelopak kembang warna-warni yang berserakan di atas gundukan tanah masih terlihat segar dan harum."Di. Pulang, yuk, "ajakku.Hadi tidak menjawab. Lelaki itu bergeming di tempatnya."Sayang. Mendungnya makin tebal. Mau hujan lebat. Kita pulang, ya."Masih seperti tadi. Dia mendiamkanku tanpa sepatah kata pun."Ikhlas, Di. Perlahan-lahan. Kematian akan menimpa semua orang.""Aku bersalah padanya." Akhirnya suara

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 56: Ujian

    Aku bergegas berjalan di koridor rumah sakit. Tas slempang yang kusampirkan di bahu ikut berayun ke depan dan ke belakang. Pikiranku dipenuhi oleh Tiara. Tadi sudah sadar? Sekarang pingsan lagi? Dia sakit apa sebenarnya? Atau ada sesuatu yang Hadi sembunyikan dariku? Dengan perasaan berkecamuk, aku menyusuri lantai keramik berwarna putih.Tiba di depan pintu ruangan tempat Tiara dirawat, aku berhenti mengatur napas. Keringat membasahi dahi serta punggungku. Aku benar-benar merasa lelah. Setelah merasa cukup, aku pun membuka pintu kamar tersebut dan menutupnya kembali. Ada Hadi di sana. Dia berbalik badan melihat ke arahku. Perlahan aku berjalan mendekat. Lelaki itu pun menyambut sambil memelukku kuat. Dapat kurasa tubuhnya bergetar. Lelaki ini pasti sangat sedih pikirku."Sayang. Tiara ... Tiara!" serunya sambil merenggangkan pelukannya. Hadi menyebut nama wanita yang terbaring itu sambil terisak. Matanya sembab dan kemerahan."Kenapa bisa tidak sadarkan diri lagi?" tanyaku pelan seka

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 55: Ikhlas itu: Mudah Diucapkan, Sulit Diterapkan

    "Jangan sampai ada keributan. Kumohon," ujarku sedikit memelas."Kita lihat nanti. Ada asap api!"Hadi menggamit lenganku menuju meja kosong di sudut kantin. Ruangan kantin tidak terlalu luas, memudahkan kita untuk memindai wajah siapa saja yang mengunjungi kantin.Kami duduk berselang beberapa meja dengan Azzam. Lelaki itu duduk sendiri, dia masih terlihat sibuk dengan ponselnya."Ganti posisi. Kamu duduk di sini." Hadi memerintah agar aku duduk di sisinya."Di sini aja. Susah di situ. Sempit." Aku beralasan."Sempit atau karena ingin melihat mantanmu itu dengan jelas?" Hadi berujar ketus.Aku serba salah. Kali ini Hadi memang berkata benar. Aku memang sedang mengintai Azzam. Bukan berarti meliriknya sesekali karena mencari perhatian, melainkan aku hanya ingin memastikan jika lelaki itu tidak menyadari kehadiran kami. Namun, seperti percuma memberi alasan pada Hadi. Rasa cemburunya tampak lebih besar."Di, bisa tidak kamu berpikiran positif untukku?" tanyaku menekan suara."Jadi kena

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status