Share

BAB 2: Terbeban

Aku terbangun agak telat pagi ini. Semalaman aku tidak tertidur, menghabiskan waktu membaca buku serta salat malam. Entah kenapa perkataan Hadi tadi malam begitu mengganggu pikiran. Seberapa persen lelaki itu serius untuk menikah lagi? Tahukah dia seperti apa resiko ke depan jika pernikahan tersebut tetap dilangsungkan.

Akan banyak pihak yang tersakiti, terutama orang tuanya serta orang tuaku juga. Umi pasti akan sangat terpukul melihat nasib anak perempuannya yang malang. Masih muda sudah menyandang status sebagai istri tua, itu pun jika aku sanggup bertahan dan melanjutkan status pernikahan kami, jika tidak tentu aku akan menjadi janda. Apa nanti kata orang-orang?

Sementara Hadi memintaku untuk menyembunyikan tentang rencana pernikahan mereka. Sampai kapan rahasia itu bisa ditutupi? Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya pasti jatuh juga. Namun, aku tidak boleh banyak bicara, biarkan saja ia menikahi Tiara, nanti dia sendiri yang akan menanggung segala resiko yang sedang menanti di depan.

Apa semua sudah dipikirkan? Bagaimana nanti jika ibunya atau Umiku datang bertamu? Siapa yang akan keluar menyambut? Istri pertama atau istri kedua. Seharusnya hal seperti itu tidak luput dari pantauannya. Aku tidak mau ibu mertua atau pun Umiku bertambah sakit hanya karena ulah Hadi.

"Sudah bangun, Nak Nadia?" tanya Mbok Mih sembari menyuguhkan segaris senyum hangat. Aku yang baru saja berada di dapur mengangguk dan membalas senyum Mbok Mih. Aku memang meminta wanita yang sudah tak lagi muda itu untuk memanggilku dengan sebutan 'nak'. Walau bagaimanapun usianya terpaut jauh denganku, layak untuk dihormati.

"Ia, Mbok. Telat. Untung aku sudah Shubuh sebelum terlelap pagi tadi." Kuraih gelas berisi teh manis di atas meja. Berbeda dengan Hadi, lelaki itu cukup meminum segelas jus jeruk buatan Mbok Mih saja dan menyantap sepotong roti sebagai pengganjal perut sebelum berangkat ke kantor.

Walau jarang bertemu dengan lelaki itu di pagi hari, tapi Mbok Mih sering menceritakan aktivitas Hadi di pagi hari padaku. Selama ini ia mengetahui dengan baik bagaimana nasib rumah tanggaku dan Hadi. Dia telah menjadi saksi hidup perjalanan rumah tangga kami yang masih seumur jagung.

Mbok Mih pernah mengungkapkan jika ia merasa kasihan padaku. Kenapa aku bisa terjebak di dalam sebuah pernikahan yang tidak sehat, begitu tanyanya dulu. Sebenarnya sebuah pernikahan itu tidaklah salah. Pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang harus dihormati dan dijaga, agar tidak layu dimakan usia. Namun, bisakah rumah tanggaku berbenah hingga menjadi lebih baik, sementara nahkodanya selama ini enggan berlayar? Begitu juga awak kapal yang enggan untuk berlabuh lebih jauh ke tengah samudera.

"Mbok ..."

"Ya, Nak Nadia," ujar perempuan berjilbab kurung berwarna kulit bawang itu pelan. Meski ia sedang kuajak bicara, akan tetapi tangannya tetap gesit membersihkan sayur dan buah-buahan di wastafel.

Wanita tua itu sangat baik padaku. Jika sudah tak tahan dengan perlakuan Hadi yang semena-mena, aku akan mengadu ke Mbok Mih, tidak mungkin ke Umi. Namun, kali ini aku tak boleh bicara. Kuurung niat untuk melanjutkan cerita. Biarlah nanti Mbok Mih melihat sendiri apa yang terjadi.

"Ngga jadi, Mbok. Eh, pagi ini Mbok bikin sarapan apa?" Aku sengaja mengalihkan pertanyaan. Wanita itu menghentikan aktivitas. Ia melihat ke arahku dengan senyum yang masih melekat di bibir pucatnya.

"Nak Nadia mau cerita apa? Mungkin ada yang bisa Mbok Mih bantu," ungkapnya sopan.

Aku sengaja meminum teh manis di dalam gelas hingga tandas dalam sekali teguk. Lalu berpura-pura ingin melanjutkan menulis kepada Mbok Mih.

"Mbok, aku permisi dulu. Tulisanku harus selesai, nanti siang tenggat waktu pengirimannya." Aku tidak memedulikan bagaimana reaksi Mbok Mih di belakangku. Sial! Perkataan Hadi tadi malam masih terngiang hingga detik ini di pikiran.

Pikiran terus berkecamuk memecah konsentrasi. Terpaksa kembali menunda menulis, novel yang sedang dalam tahap finishing teronggok pasrah di atas meja sudut kamar. Laptop yang telah kunyalakan, kembali kupadamkan. Ide menulis hilang seketika, mood pun ikut hancur berantakan.

Aku bergegas berganti pakaian. Terus-terusan mengendap di kamar pun tidak baik untukku. Paru-paru membutuhkan udara segar, pikiran juga butuh direhatkan. Ya, aku harus pergi melepas penat yang selama ini merongrong diri. Setelah memakai baju terusan panjang berwarna hijau lumut dengan perpaduan jilbab lebar berwarna senada, aku menarik kunci motor dan ponsel di atas atas meja.

"Assalamu'alaikum." Aku menyapa seseorang di seberang sana.

"Temani aku. Sedang butuh sandaran." Setelah salam terjawab, aku melanjutkan kalimat permohonan kepada orang tersebut.

"Oke, di tempat biasa, ya. Aku tunggu!" Aku pun memutuskan sambungan telepon. Hanin akan menemuiku satu jam lagi. Sekarang dia sedang menyelesaikan beberapa laporan perusahaan tempat ia bekerja.

Selain Mbok Mih, Hanin adalah orang yang sering kupinjam bahunya sebagai tempatku menyandarkan kepala. Meluapkan segala gundah dan masalah yang saban hari tak pernah henti menimpa. Terkadang ia ingin menemui Hadi untuk melampiaskan kekesalannya atas cerita-ceritaku. Namun, aku melarang. Aku adalah tipe orang yang malas untuk membuat keributan. Apalagi dengan Hadi. Lelaki yang makin ke sini makin membuatku menyesal untuk mengenalnya.

"Mbok, aku pergi dulu." Pamitku pada Mbok Mih.

"Ke mana, Nak Nadia?" tanya Mbok Mih sambil tergopoh menemuiku.

"Jumpa teman sebentar. Kalau nanti Hadi tanya, bilang saja tidak tau, ya, Mbok." jawabku sambil memakai kaos kaki. Kulirik Mbok Mih sekilas dan dia mengangguk ke arahku. Tanpa menunggu lama aku pun berangkat meninggalkan rumah besar milik Hadi yang telah kutinggali hampir beberapa bulan ini.

Tidak banyak kenangan indah yang terukir di sana. Karena aku dan tuannya tidak pernah bisa saling mencintai.

***

Setiba di sebuah mal, aku langsung menuju tempat makan yang sering kukunjungi bersama Hanin. Seperti janji tadi, aku harus menunggunya untuk satu jam ke depan. Tak mengapa, aku bisa menghabiskan waktu dengan menyantap beberapa pesanan makanan. Berhubung sudah hampir siang dan aku sama sekali belum makan sejak pagi tadi. Hanya segelas teh manis buatan MboK Mih yang mengisi perutku sejak pagi tadi.

Sembari menunggu makanan datang, aku berselancar di dunia maya, mengikuti berita-berita terupdate beberapa hari ini. Hingga kemudian seseorang menyapaku. Aku melihat ke arah suara. O, Tuhan, ternyata Tiara. Apa? Bukan dia sendiri, ternyata dia bersama Hadi dan mereka sekarang duduk di depanku.

"Ada apa?" tanyaku datar, walau sejujurnya aku kaget melihat mereka ada di sini.

"Kenapa keluar rumah tidak memberitahu?" Hadi balik bertanya.

"Penting? Bukannya kamu tidak pernah peduli?"

"Kamu tau statusmu sekarang? Kamu seorang istri. Wajib memberitahuku ke mana pun kau pergi!" Suara Hadi mulai meninggi.

Aku melihat sekeliling, rasa kesal mulai bergelayut di hati. Apa-apaan ini? Tidak pernah sebelumnya aku harus berpamitan atau memberitahu padanya apa saja yang kukerjakan. Dan itu adalah peraturan darinya. Bukan aku mencoba untuk menjadi istri durhaka. Hadi memintaku begitu, kami tidak perlu untuk melaksanakan tugas-tugas istri atau pun suami. Kenapa sekarang lain lagi?

"Apa? Istri? Jangan ngaco kamu! Kamu sedang tidak mengigau, 'kan?"

Aku menatap tajam ke arah Hadi. Tiara yang duduk di sampingnya hanya diam saja. Ia tidak menjawab separah kata pun. Wanita yang memiliki tubuh semampai itu juga ikut melihat ke arahku. Baru dua kali aku bertemu dengannya. Walau sudah saling berbicara, tapi sikap dinginnya masih terasa. Mungkin dia masih marah karena menganggapku sebagai perebut pacarnya dulu.

"Dengar, Nadia. Kamu itu sah kunikahi. Bagaimana pun juga rumah tangga kita, kamu harus memberitahuku saat keluar rumah. Karena jika orang tuaku atau orang tuamu berkunjung mendadak dan kamu tidak di rumah, aku harus jawab apa saat mereka bertanya? Kamu paham?"

Kemudian mereka pergi meninggalkanku. Mereka menghilang dalam kerumunan orang beberapa menit kemudian. Biarlah! Tidak terlalu penting juga memikirkan Hadi dan pacarnya itu. Seenaknya saja bersikap semena-mena. Dia pikir dia siapa? Meski kami telah sah menikah, tapi aku tidak terima atas sikapnya barusan. Hanya karena takut ketahuan orang tua, dia mendikteku semaunya. Lelaki tak punya nyali, jika memang tak suka, ceraikan! Itu lebih baik.

***

Lanjuuutttt!

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Tempe
ko tampar je la dia. takut apa.
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
istri sah g jelas maunya apa. kenapa juga bertahan dg alasan orangtua dan mertua. mengomel dan menggerutu dlm hati juga g akan menolong mu.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status