Home / Rumah Tangga / BERBAGI SUAMI (TAMAT) / BAB 3: Saran dari Sahabat

Share

BAB 3: Saran dari Sahabat

Author: Andri Lestari
last update Last Updated: 2022-07-01 09:11:05

Sudah satu jam lebih aku menunggu Hanin, akhirnya dia datang juga. Rasa kesalku sudah memuncak, mengingat perlakuan Hadi barusan. Jika saja tidak mengingat malu, sudah kuumpat lelaki itu kasar. Kulihat Hanin sedang menuju ke arah mejaku. Air mata sudah tergenang sejak tadi. Di depan Hadi aku berlagak kuat. Setetes air mata pun tak ingin kuperlihatkan di depannya. Sesakit apa pun kalimat yang ia keluarkan, aku tidak akan menangis di depan lelaki pengecut itu.

"Maaf, aku telatnya keterlaluan. Sengaja semua laporan kuselesaikan tadi, biar setengah hari ini bisa habiskan waktu sama kamu." Wanita yang masih setia melajang itu berkata sambil menjawit hidungku. Ah, mata sudah terlanjur berkabut, tak dapat kutahan, bulir bening itu luruh juga. Sontak saja Hanin terlihat kaget melihatku yang tiba-tiba menangis.

"Kamu kenapa? Aku minta Maaf! Kamu sudah menunggu lama!" seru gadis cantik itu lagi. Hanin adalah sahabatku sejak awal kuliah dulu. Banyak kenangan yang telah kami lalui bersama, suka maupun duka membuat kami semakin dekat hingga saat ini.

"Hadi ...." Suaraku tercekat. Masih terbayang bagaimana perlakuan Hadi serta tatapan dingin Tiara tadi. Kenapa lelaki itu membuatku sesakit ini? Aku tidak pernah mengemis untuk dicintai, aku hanya ingin dihargai. Setidaknya sebagai seorang wanita yang telah diikat dengan janji suci.

"Kenapa lagi, sih, dia?" tanya Hanin sambil membulatkan ke dua bola matanya. Gadis berjilbab casual itu memang tidak suka melihat Hadi. Mendengar segala curhatanku membuat Hanin ikut membenci lelaki yang berstatus sebagai suamiku itu.

Aku menceritakan pada Hanin segala resah yang sedang melanda. Tentang rencana pernikahan yang akan mereka gelar tidak lama lagi. Apa yang harus kulakukan? Memilih bertahan atau pergi?

"Dasar Hadi. Ke mana hati nuraninya? Rugi saja berpendidikan tinggi, lulusan terbaik, tapi perangainya tak ubah seperti seorang preman. Kerjanya hanya menyakiti." Hanin terlihat berapi-api. Gadis itu membenarkan letak kacamata tebal yang bertengger di hidung mancungnya.

"Jadi aku harus bagaimana?" tanyaku sambil meraup wajah.

"Bagaimana apanya? Tanyakan lagi ke hatimu. Kamu yang menjalani. Kamu yang merasakan. Dan kamu juga yang sakit. Jika bertahan, apa kamu sudah siap untuk hidup seatap dengan Tiara?"

Aku menatap Hanin lekat. Tak ingin menjawab apa-apa. Kenapa juga harus memusingkan tentang pernikahan mereka? Bukankah selama ini aku memang ingin berpisah dari Hadi?

"Hei! Come on! Kok melamun? Memangnya kamu mau berjuang sendiri sementara Hadi tidak sedikit pun berusaha untuk memberikan kesempatan pada hubungan rumah tangga kalian?"

Mendengar pertanyaan Hanin aku pun meraup wajah. Pipiku memanas, mataku kembali mengabut mengingat betapa menyedihkannya nasibku saat ini.

"Aku akan jujur pada Ibu dan Umi. Mereka semua harus tau. Aku tidak mungkin sanggup menghadapi ini seorang diri."

"What? Kamu yakin? Sedangkan kamu sangat tau kondisi mereka. Kamu nggak mau mereka kenapa-kenapa, 'kan?"

Pertanyaan Hanin ada benarnya juga. Aku tidak mau Ibu dan Umi sakit. Apalagi jika kabar yang kusampaikan nanti bisa berakibat fatal untuk mereka berdua. O, Tuhan, apa yang harus kulakukan?

"Jadi aku harus bagaimana?" tanyaku lagi. Aku lelah dan mencoba untuk pasrah.

"Kamu minta saranku, 'kan?" tanya Hanin sedang berusaha untuk meyakinkan.

"Iya. Kalau bukan kamu siapa lagi?" jawabku sambil menyeka air mata yang kembali merembes keluar.

"Yakin? Kamu siap menjalankan apa yang aku sarankan nanti?" Gadis itu kembali bertanya.

Aku mengangguk berulang kali. Aku berusaha untuk meyakinkan Hanin, jika pendapat nya saat ini sangat kubutuhkan.

"Saranku adalah bertahanlah! Demi orang-orang yang kamu cintai!"

"Apa? Kamu serius? Bukannya kamu selalu sangat tidak menyukai Hadi?" Aku menatap Hanin penuh keheranan.

"Ya, jika kamu ingin semuanya baik-baik saja. Kamu harus bertahan. Cobalah untuk memegang kendali semuanya. Mulai nanti bersikaplah layaknya seorang istri. Perlihatkan pada suami tololmu itu jika kamu selalu ada. Setidaknya kamu mencoba terlebih dahulu. Jika tidak dimulai, maka kita nggak akan pernah tau hasil akhirnya."

"Apa? Bersikap layaknya istri? Aku nggak mau!" Aku memajukan bibir beberapa senti. Sepertinya Hanin sedang tidak serius.

"Iya. Bersikap bagaimana seorang istri. Menyiapkan segala keperluannya. Sarapan, pakaian, dan lain-lain." Hanum berujar penuh penekanan.

Yang benar saja aku harus begitu? Mana mungkin. Aku dan Hadi sudah dipisahkan oleh jarak tak kasat mata. Meski satu rumah, tapi tidak mudah untuk menyatukan kami. Aku sibuk dengan duniaku sendiri demikian juga dia. Apalagi dia akan menikahi Tiara tidak lama lagi. Biarkan saja Tiara yang mengurus lelaki itu.

"Tidak! Tidak. Kamu jangan gila, deh, Nin," ujarku sambil menyeruput cappuccino latte yang tersisa sedikit lagi di dalam gelas.

"Dengar, Nadia Shanum! Rumah tangga kalian memang baru seumur jagung. Tapi apa kamu tidak ingin mempertahankannya? Demi umi, ibu mertuamu dan kamu sendiri. Ketuk pintu langit dengan doa-doamu. Jangan terperangkap dengan masa lalu. Lihat apa yang ada di depanmu sekarang. Ya, meski aku enggak suka melihat Hadi, tapi bagaimanapun juga dia adalah suamimu. Perjuangkan itu!"

Hanin mengepalkan tangannya di depan wajahku. Gadis berdarah Aceh-Jawa itu sedang berusaha untuk membuka mataku. Memang benar katanya, selama ini aku selalu membanding-bandingkan Hadi dengan Azzam. Berandai-andai yang terlalu berlebihan. Membayangkan andai saja aku menikah dengan Azzam pasti kehidupanku akan sempurna.

Sementara rumah tangga yang telah berjalan beberapa bulan ini kuanggap hanya sebuah beban besar dan harus segera disingkirkan. Berpisah dengan Hadi adalah kalimat yang selalu menari-nari di alam bawah sadarku. Tidak seorang pun dari kami yang mau mengalah. Sama-sama mempertahankan ego, sama-sama keras kepala.

"Kamu serius, Nin?" tanyaku memastikan.

"Of course, serius!"

"Apa aku bisa? Sementara dia mau menikah lagi? Buat apa? Jika nanti ujung-ujungnya aku semakin sakit."

"Di, Tuhan memang membolehkan perceraian. Tapi bukan semudah itu, kita disuruh usaha dulu, berjuang dulu, untuk mempertahankan pernikahan itu. Kalau misalnya semua usaha dan doa sudah dilakukan, tapi masih juga tidak berubah, aku setuju jika kamu memilih untuk bercerai."

Aku membenarkan perkataan Hanin. Perceraian memang dibolehkan, tapi bukan asal-asalan. Apa aku harus mengikuti saran Hanin? Mungkihkah berhasil?

"Tapi dia mau nikah, gimana?"

"Ya, terserah dia. Kamu tetap perjuangkan hak kamu. Rebut hatinya, itu tugasmu."

"Aku nggak mau dibilang perempuan perebut pacar orang." Aku menghela napas berat.

"Hei, Dear! Kamu bukan perebut pacar orang, lho. Melainkan wanita itu sekarang yang sedang menambah kerunyaman di dalam rumah tangga kalian. Seharusnya dia move on, dong. Seperti Azzam yang mencoba move on dari kamu."

"Ah, baiklah. Aku akan mencoba menjalankan saranmu itu." Aku menggenggam tangan Hanin erat.

"Karena aku menginginkan kebahagiaan dan kebaikan untukmu, Sayang." Hanin membalas genggamanku. Senyum tersungging di bibir tipis milik sahabatku itu.

Hanin adalah sahabat terbaik. Ia tidak pernah melihat masalah dari satu sisi. Itu adalah kelebihan yang ia miliki. Berbeda denganku, rasa egois masih merajai diri. Tidak bisa dikerasi. Jika Hadi berbicara kasar, maka aku pun juga akan membalas dengan hal yang sama.

Sebenarnya itu kulakukan untuk menutupi kesedihan dan kesendirianku selama hidup dengannya. Aku tidak mau terlihat lemah di depan Hadi. Ternyata, semakin ke sini aku semakin paham, jika kekerasan dibalas dengan kekerasan maka akan semakin menghadirkan jarak dan kebekuan yang entah kapan akan mencair.

Tak terasa entah telah berapa jam kami bersama. Hanin selalu asyik untuk diajak bicara, walaupun semenjak aku menikah, ia lebih sering mendengar keluh kesahku daripada aku menyimak ceritanya. Hanin tak mempermasalahkan itu.

Setelah bercerita banyak hal kepada gadis bermata lebar itu, kami pun berinisiatif untuk pulang. Saat hendak mengambil tas di atas meja, ponselku berdering nyaring. Segera kuraih benda pipih tersebut dari dalam tas yang berukuran kecil. Aku kaget saat membaca nama yang terpampang di layar ponsel. Ada apa lelaki itu meneleponku?

"Hadi!" seruku pada Hanin.

"Angkat! Ingat, jangan terpancing emosi."

Aku mengangguk ke arah Hanin. Sedikit gemetar jari telunjukku menyentuh layar yang menyala. Menyeret tanda telepon berwarna hijau ke atas. Panggilan pun tersambung, "Assalamu'alaikum." Perlahan aku mengucapkan salam.

***

Masih mau lanjutttt?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Izha Effendi
soksok an ngsih pendpat.dia blum ngrsain sich..uda lh,pisah aja.buat apa memperthankan laki2 yg gk mencintai kita.buang2 waktu dan tenaga..
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si nadia tukang mengeluh dan selalu merasa benar.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 60: EKSTRA PART 3

    Bukanlah kesabaran, jika masih mempunyai batas dan bukanlah keikhlasan jika masih merasakan sakit. (anonymous)***Aku bahagia atas pernikahan Azzam dan Hanin. Sebuah kelegaan hadir di dalam jiwa ketika melihat sahabatku bisa berjodoh dengan seorang lelaki baik. Begitu juga Azzam, aku bersyukur karena pada akhirnya dia menikah juga. Sehingga Hadi tak perlu lagi merasakan cemburu yang berlebihan."Kalau tau dia jadi calon suaminya Hanin, aku ngga mau kasih kado honeymoon untuk mereka. Mendingan kasih cangkir plastik," ujar Hadi dengan raut wajah ditekuk. Kami sudah berada di dalam mobil menuju rumah.Resepsi digelar minggu depan. Otomatis, rencana untuk berbulan madu ke Jepang ditunda dulu hingga acara selesai."Sayang. Kita batal saja ke Jepang, ya. Masih banyak negara lain yang lebih bagus, kok. Belanda misalnya." Hadi kembali mengeluarkan pendapatnya.Aku geleng-geleng kepala melihat tingkah suamiku tersebut. Hal apa yang membuat ia sangat tidak suka melihat Azzam?"Apa karena Azzam

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 59: EKSTRA PART 2

    "Gimana kalau kita ke Jepang juga? Barengan Hanin dan suaminya?" Hadi tersenyum di balik kemudi. Ia mengangguk, tapi tetap fokus ke jalan raya. Sebentar lagi kami akan tiba di masjid tempat akan nikah digelar. Belum terlambat.Mobil memasuki pelataran masjid menuju parkiran. Tampak banyak sekali mobil berjejer rapi di sini. Hadi mencari tempat kosong untuk memarkirkan mobil. Setelah selesai, kami turun dan memasuki masjid bersama.Setiba di dalam. Aku dan Hadi harus berpisah. Ia menuju tempat duduk para lelaki, sementara aku menuju barisan perempuan. Masjid telah dipenuhi oleh puluhan orang untuk menyaksikan ijab qabul Hanin dan suaminya.Tak susah mencari keberadaan Hanin. Ia duduk di barisan paling depan perempuan menghadap ke arah meja wali nikah.Aku mendekat sambil melihat-lihat yang mana calon Hanin? Belum jelas melihat, aku melihat Hanin menoleh ke arahku. Wanita itu tersenyum lebar dan memanggiku menggunakan tangannya."Kamu dampingin aku di sini," ucap Hanin setelah aku bers

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 58: EKSTRA PART 1

    Setahun berlalu setelah kepergian Tiara. Aku dan Hadi tinggal di rumah yang sama. Yaitu di rumahku yang diberikan olehnya. Sedangkan rumah milik Tiara masih dalam kondisi kosong tak berpenghuni. Namun, dalam waktu dekat rumah tersebut akan disewakan atau dijual oleh Hadi. "Untuk apa dipertahankan begitu. Mubazir," ujarnya kemarin.Aku memberikan pilihan terbaik padanya. Dan sikap dia yang terakhir aku pun menyetujuinya.Kehidupan rumah tanggaku dan Hadi selalu dipenuhi kebahagiaan. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir mengeluarkan air mata. Hadi sudah sangat banyak berubah. Ya, Tuhan telah memberikan hasil dari apa yang pernah kutuai sebelumnya. Rasa sakit yang pernah kualami di masa awal pernikahan, terbalas sudah. Tunai!Janji Allah itu pasti. Tidak selamanya langit mendung menyisakan kesuraman. Pernahkan kalian melihat kapan munculnya pelangi? Ya, setelah hujan. Demikian juga denganku, sabar itu pahit, tapi akan berbuah manis. Hujan air mata yang kerap terjadi di dalam biduk rumah

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 57: Ikhlas dan Adil (TAMAT)

    Bukan akhir seperti ini yang kuharapkan. Kematian Tiara sangat tiba-tiba. Sungguh janji Tuhan itu pasti. Kematian jaraknya sangat dekat dengan makhluk ciptaan-Nya.Hadi masih terpaku di depan gundukan tanah yang masih basah. Aroma khas menguar akibat percikan rintik hujan yang mulai menyapa. Abi, umi, ayah serta ibu telah terlebih dahulu meninggalkan pemakaman. Sementara orang tua Tiara yang berada du luar negeri tidak hadir di acara pemakaman sang anak.Aku bertahan di sini karena menanti Hadi. Mana mungkin aku beranjak, jika dia masih duduk termenung menatap nisan sang istri. Kelopak kembang warna-warni yang berserakan di atas gundukan tanah masih terlihat segar dan harum."Di. Pulang, yuk, "ajakku.Hadi tidak menjawab. Lelaki itu bergeming di tempatnya."Sayang. Mendungnya makin tebal. Mau hujan lebat. Kita pulang, ya."Masih seperti tadi. Dia mendiamkanku tanpa sepatah kata pun."Ikhlas, Di. Perlahan-lahan. Kematian akan menimpa semua orang.""Aku bersalah padanya." Akhirnya suara

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 56: Ujian

    Aku bergegas berjalan di koridor rumah sakit. Tas slempang yang kusampirkan di bahu ikut berayun ke depan dan ke belakang. Pikiranku dipenuhi oleh Tiara. Tadi sudah sadar? Sekarang pingsan lagi? Dia sakit apa sebenarnya? Atau ada sesuatu yang Hadi sembunyikan dariku? Dengan perasaan berkecamuk, aku menyusuri lantai keramik berwarna putih.Tiba di depan pintu ruangan tempat Tiara dirawat, aku berhenti mengatur napas. Keringat membasahi dahi serta punggungku. Aku benar-benar merasa lelah. Setelah merasa cukup, aku pun membuka pintu kamar tersebut dan menutupnya kembali. Ada Hadi di sana. Dia berbalik badan melihat ke arahku. Perlahan aku berjalan mendekat. Lelaki itu pun menyambut sambil memelukku kuat. Dapat kurasa tubuhnya bergetar. Lelaki ini pasti sangat sedih pikirku."Sayang. Tiara ... Tiara!" serunya sambil merenggangkan pelukannya. Hadi menyebut nama wanita yang terbaring itu sambil terisak. Matanya sembab dan kemerahan."Kenapa bisa tidak sadarkan diri lagi?" tanyaku pelan seka

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 55: Ikhlas itu: Mudah Diucapkan, Sulit Diterapkan

    "Jangan sampai ada keributan. Kumohon," ujarku sedikit memelas."Kita lihat nanti. Ada asap api!"Hadi menggamit lenganku menuju meja kosong di sudut kantin. Ruangan kantin tidak terlalu luas, memudahkan kita untuk memindai wajah siapa saja yang mengunjungi kantin.Kami duduk berselang beberapa meja dengan Azzam. Lelaki itu duduk sendiri, dia masih terlihat sibuk dengan ponselnya."Ganti posisi. Kamu duduk di sini." Hadi memerintah agar aku duduk di sisinya."Di sini aja. Susah di situ. Sempit." Aku beralasan."Sempit atau karena ingin melihat mantanmu itu dengan jelas?" Hadi berujar ketus.Aku serba salah. Kali ini Hadi memang berkata benar. Aku memang sedang mengintai Azzam. Bukan berarti meliriknya sesekali karena mencari perhatian, melainkan aku hanya ingin memastikan jika lelaki itu tidak menyadari kehadiran kami. Namun, seperti percuma memberi alasan pada Hadi. Rasa cemburunya tampak lebih besar."Di, bisa tidak kamu berpikiran positif untukku?" tanyaku menekan suara."Jadi kena

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status