Share

BAB 3: Saran dari Sahabat

Sudah satu jam lebih aku menunggu Hanin, akhirnya dia datang juga. Rasa kesalku sudah memuncak, mengingat perlakuan Hadi barusan. Jika saja tidak mengingat malu, sudah kuumpat lelaki itu kasar. Kulihat Hanin sedang menuju ke arah mejaku. Air mata sudah tergenang sejak tadi. Di depan Hadi aku berlagak kuat. Setetes air mata pun tak ingin kuperlihatkan di depannya. Sesakit apa pun kalimat yang ia keluarkan, aku tidak akan menangis di depan lelaki pengecut itu.

"Maaf, aku telatnya keterlaluan. Sengaja semua laporan kuselesaikan tadi, biar setengah hari ini bisa habiskan waktu sama kamu." Wanita yang masih setia melajang itu berkata sambil menjawit hidungku. Ah, mata sudah terlanjur berkabut, tak dapat kutahan, bulir bening itu luruh juga. Sontak saja Hanin terlihat kaget melihatku yang tiba-tiba menangis.

"Kamu kenapa? Aku minta Maaf! Kamu sudah menunggu lama!" seru gadis cantik itu lagi. Hanin adalah sahabatku sejak awal kuliah dulu. Banyak kenangan yang telah kami lalui bersama, suka maupun duka membuat kami semakin dekat hingga saat ini.

"Hadi ...." Suaraku tercekat. Masih terbayang bagaimana perlakuan Hadi serta tatapan dingin Tiara tadi. Kenapa lelaki itu membuatku sesakit ini? Aku tidak pernah mengemis untuk dicintai, aku hanya ingin dihargai. Setidaknya sebagai seorang wanita yang telah diikat dengan janji suci.

"Kenapa lagi, sih, dia?" tanya Hanin sambil membulatkan ke dua bola matanya. Gadis berjilbab casual itu memang tidak suka melihat Hadi. Mendengar segala curhatanku membuat Hanin ikut membenci lelaki yang berstatus sebagai suamiku itu.

Aku menceritakan pada Hanin segala resah yang sedang melanda. Tentang rencana pernikahan yang akan mereka gelar tidak lama lagi. Apa yang harus kulakukan? Memilih bertahan atau pergi?

"Dasar Hadi. Ke mana hati nuraninya? Rugi saja berpendidikan tinggi, lulusan terbaik, tapi perangainya tak ubah seperti seorang preman. Kerjanya hanya menyakiti." Hanin terlihat berapi-api. Gadis itu membenarkan letak kacamata tebal yang bertengger di hidung mancungnya.

"Jadi aku harus bagaimana?" tanyaku sambil meraup wajah.

"Bagaimana apanya? Tanyakan lagi ke hatimu. Kamu yang menjalani. Kamu yang merasakan. Dan kamu juga yang sakit. Jika bertahan, apa kamu sudah siap untuk hidup seatap dengan Tiara?"

Aku menatap Hanin lekat. Tak ingin menjawab apa-apa. Kenapa juga harus memusingkan tentang pernikahan mereka? Bukankah selama ini aku memang ingin berpisah dari Hadi?

"Hei! Come on! Kok melamun? Memangnya kamu mau berjuang sendiri sementara Hadi tidak sedikit pun berusaha untuk memberikan kesempatan pada hubungan rumah tangga kalian?"

Mendengar pertanyaan Hanin aku pun meraup wajah. Pipiku memanas, mataku kembali mengabut mengingat betapa menyedihkannya nasibku saat ini.

"Aku akan jujur pada Ibu dan Umi. Mereka semua harus tau. Aku tidak mungkin sanggup menghadapi ini seorang diri."

"What? Kamu yakin? Sedangkan kamu sangat tau kondisi mereka. Kamu nggak mau mereka kenapa-kenapa, 'kan?"

Pertanyaan Hanin ada benarnya juga. Aku tidak mau Ibu dan Umi sakit. Apalagi jika kabar yang kusampaikan nanti bisa berakibat fatal untuk mereka berdua. O, Tuhan, apa yang harus kulakukan?

"Jadi aku harus bagaimana?" tanyaku lagi. Aku lelah dan mencoba untuk pasrah.

"Kamu minta saranku, 'kan?" tanya Hanin sedang berusaha untuk meyakinkan.

"Iya. Kalau bukan kamu siapa lagi?" jawabku sambil menyeka air mata yang kembali merembes keluar.

"Yakin? Kamu siap menjalankan apa yang aku sarankan nanti?" Gadis itu kembali bertanya.

Aku mengangguk berulang kali. Aku berusaha untuk meyakinkan Hanin, jika pendapat nya saat ini sangat kubutuhkan.

"Saranku adalah bertahanlah! Demi orang-orang yang kamu cintai!"

"Apa? Kamu serius? Bukannya kamu selalu sangat tidak menyukai Hadi?" Aku menatap Hanin penuh keheranan.

"Ya, jika kamu ingin semuanya baik-baik saja. Kamu harus bertahan. Cobalah untuk memegang kendali semuanya. Mulai nanti bersikaplah layaknya seorang istri. Perlihatkan pada suami tololmu itu jika kamu selalu ada. Setidaknya kamu mencoba terlebih dahulu. Jika tidak dimulai, maka kita nggak akan pernah tau hasil akhirnya."

"Apa? Bersikap layaknya istri? Aku nggak mau!" Aku memajukan bibir beberapa senti. Sepertinya Hanin sedang tidak serius.

"Iya. Bersikap bagaimana seorang istri. Menyiapkan segala keperluannya. Sarapan, pakaian, dan lain-lain." Hanum berujar penuh penekanan.

Yang benar saja aku harus begitu? Mana mungkin. Aku dan Hadi sudah dipisahkan oleh jarak tak kasat mata. Meski satu rumah, tapi tidak mudah untuk menyatukan kami. Aku sibuk dengan duniaku sendiri demikian juga dia. Apalagi dia akan menikahi Tiara tidak lama lagi. Biarkan saja Tiara yang mengurus lelaki itu.

"Tidak! Tidak. Kamu jangan gila, deh, Nin," ujarku sambil menyeruput cappuccino latte yang tersisa sedikit lagi di dalam gelas.

"Dengar, Nadia Shanum! Rumah tangga kalian memang baru seumur jagung. Tapi apa kamu tidak ingin mempertahankannya? Demi umi, ibu mertuamu dan kamu sendiri. Ketuk pintu langit dengan doa-doamu. Jangan terperangkap dengan masa lalu. Lihat apa yang ada di depanmu sekarang. Ya, meski aku enggak suka melihat Hadi, tapi bagaimanapun juga dia adalah suamimu. Perjuangkan itu!"

Hanin mengepalkan tangannya di depan wajahku. Gadis berdarah Aceh-Jawa itu sedang berusaha untuk membuka mataku. Memang benar katanya, selama ini aku selalu membanding-bandingkan Hadi dengan Azzam. Berandai-andai yang terlalu berlebihan. Membayangkan andai saja aku menikah dengan Azzam pasti kehidupanku akan sempurna.

Sementara rumah tangga yang telah berjalan beberapa bulan ini kuanggap hanya sebuah beban besar dan harus segera disingkirkan. Berpisah dengan Hadi adalah kalimat yang selalu menari-nari di alam bawah sadarku. Tidak seorang pun dari kami yang mau mengalah. Sama-sama mempertahankan ego, sama-sama keras kepala.

"Kamu serius, Nin?" tanyaku memastikan.

"Of course, serius!"

"Apa aku bisa? Sementara dia mau menikah lagi? Buat apa? Jika nanti ujung-ujungnya aku semakin sakit."

"Di, Tuhan memang membolehkan perceraian. Tapi bukan semudah itu, kita disuruh usaha dulu, berjuang dulu, untuk mempertahankan pernikahan itu. Kalau misalnya semua usaha dan doa sudah dilakukan, tapi masih juga tidak berubah, aku setuju jika kamu memilih untuk bercerai."

Aku membenarkan perkataan Hanin. Perceraian memang dibolehkan, tapi bukan asal-asalan. Apa aku harus mengikuti saran Hanin? Mungkihkah berhasil?

"Tapi dia mau nikah, gimana?"

"Ya, terserah dia. Kamu tetap perjuangkan hak kamu. Rebut hatinya, itu tugasmu."

"Aku nggak mau dibilang perempuan perebut pacar orang." Aku menghela napas berat.

"Hei, Dear! Kamu bukan perebut pacar orang, lho. Melainkan wanita itu sekarang yang sedang menambah kerunyaman di dalam rumah tangga kalian. Seharusnya dia move on, dong. Seperti Azzam yang mencoba move on dari kamu."

"Ah, baiklah. Aku akan mencoba menjalankan saranmu itu." Aku menggenggam tangan Hanin erat.

"Karena aku menginginkan kebahagiaan dan kebaikan untukmu, Sayang." Hanin membalas genggamanku. Senyum tersungging di bibir tipis milik sahabatku itu.

Hanin adalah sahabat terbaik. Ia tidak pernah melihat masalah dari satu sisi. Itu adalah kelebihan yang ia miliki. Berbeda denganku, rasa egois masih merajai diri. Tidak bisa dikerasi. Jika Hadi berbicara kasar, maka aku pun juga akan membalas dengan hal yang sama.

Sebenarnya itu kulakukan untuk menutupi kesedihan dan kesendirianku selama hidup dengannya. Aku tidak mau terlihat lemah di depan Hadi. Ternyata, semakin ke sini aku semakin paham, jika kekerasan dibalas dengan kekerasan maka akan semakin menghadirkan jarak dan kebekuan yang entah kapan akan mencair.

Tak terasa entah telah berapa jam kami bersama. Hanin selalu asyik untuk diajak bicara, walaupun semenjak aku menikah, ia lebih sering mendengar keluh kesahku daripada aku menyimak ceritanya. Hanin tak mempermasalahkan itu.

Setelah bercerita banyak hal kepada gadis bermata lebar itu, kami pun berinisiatif untuk pulang. Saat hendak mengambil tas di atas meja, ponselku berdering nyaring. Segera kuraih benda pipih tersebut dari dalam tas yang berukuran kecil. Aku kaget saat membaca nama yang terpampang di layar ponsel. Ada apa lelaki itu meneleponku?

"Hadi!" seruku pada Hanin.

"Angkat! Ingat, jangan terpancing emosi."

Aku mengangguk ke arah Hanin. Sedikit gemetar jari telunjukku menyentuh layar yang menyala. Menyeret tanda telepon berwarna hijau ke atas. Panggilan pun tersambung, "Assalamu'alaikum." Perlahan aku mengucapkan salam.

***

Masih mau lanjutttt?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Izha Effendi
soksok an ngsih pendpat.dia blum ngrsain sich..uda lh,pisah aja.buat apa memperthankan laki2 yg gk mencintai kita.buang2 waktu dan tenaga..
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si nadia tukang mengeluh dan selalu merasa benar.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status