“Tuh lihat, manusia kejam yang tega menghancurkan hidup keluarganya sendiri, dulu adiknya sekarang ibunya. Dasar manusia serakah dan tak tau diri. Perempuan seperti itu tak pantas dianggap keluarga,” ujar tetangga Sita yang sedang belanja di tukang sayur keliling di dekat rumahnya. Intonasi suaranya sengaja dia buat tinggi agar Sita mendengar. Yah, sudah menjadi rahasia umum perlakuan Sita pada bu Nurma. Mereka yang awalnya mengira Sita anak yang berbakti karena mau merawat bu Nurma yang lumpuh nyatanya hanya tipu daya belaka. Sita justru mengeksploitasi ibunya sendiri. Miris ….
“Kemarin kalau gak salah si Bayu sam Amel pulang bawa si Nurma kan? Pantas dia tinggal sendirian sekarang. Memang dia itu anak durhaka. seperti yang kita tahu kalau selama ini si Nurma kan lebih cenderung sayang ke dia. Eh bukannya balas budi malah menyiksa orang tuanya sendiri, kalau aku sih amit-amit punya anak kayak gitu. Setidaknya kalau belum bisa membahagiakan orang tua ya jangan menyus“Pagi, Sita, kamu mau ke mana?” tanya Reni. Kebetulan hari itu Reni dan keluarganya mau pergi jalan-jalan. Biasanya tak.jauh dari rumahnya tepat di stadion Joyo Kusumo kalau setiap hari minggu selalu ramai. Jadi mumpung hari libur, pagi-pagi sekali mereka sudah siap-siap untuk berangkat.“Iya pagi!” jawab Sita ketus. Akan tetapi, Reni mengabaikan jawaban dari Sita. pasalnya dia sudah tau bagaimana karakter Sita. Mereka bertetangga, tetapi tidak dengan hati mereka. Ya begitu lah Sita, hanya mementingkan dirinya sendiri. Sita juga masih kesal pada tetangganya itu. Pasalnya dulu dia pernah meminjam sejumlah uang yang cukup besar pada tetangganya itu, tetapi tidak didapatkannya. Dan akhirnya Sita kesal lalu membenci Reni. Sita menganggap yang tidak satu frekuensi dengannya adalah musuh bagi dirinya. Seperti yang sudah direncanakan, Sita akan menjemput anaknya di rumah mantan mertuanya. Dengan menggunakan motor yang dia beli bebe
Hari pertama Rifki bersama Ibunya sangat membuatnya senang dan gembira, yang biasa dirasakan di kalangan anak-anak se usianya pada umumnya. Tidak heran, karena anak laki-laki akan cenderung lebih dekat dengan sang Ibu. kerinduannya pun terobati, wajah ceria terpancar dari wajah anak itu.Pagi itu Rifki dibangunkan Sita serta diberi sarapan, tidak seperti biasanya yang dialaminya sewaktu tinggal bersama ayah dan neneknya. Bangun siang adalah hal yang lumrah bagi mereka sebab sang anak masih sangat dini untuk dimintai bangun pagi. Namun, sang anak tentu belum bisa berpikir seperti orang dewasa. baginya dekat dengan sang Ibu adalah kebahagiaan yang selalu ingin dia rasakan. begitu juga dengan Rafa. Hanya saja Sita cuma ingin salah satu dari mereka. “Bu, aku pengen sekolah dong. Aku juga mau kayak teman-teman sekolah dan bisa main sama mereka. Aku juga ingin jajan, Bu.” Ucapan itu membuat Sita yang sedang menyuapi Rifki menghentikan gerakan ta
“Gimana kabarnya Amel, Bu? Sudah lama aku gak dengar suaranya. Aku merindukannya, Bu. Ponselnya Amel juga gak bisa dihubungi. Kira-kira dia ke mana ya?” tanyaku pada Ibu. Saat ini aku sedang berbicara dengan keluargaku melalui sambungan telepon“Amel baik-baik saja, Bayu,dia tidak bisa dihubungi karena ponselnya rusak gara-gara kena susunya Arka,” jawab Ibu yang menjelaskan kenapa ponsel istriku tidak bisa dihubungi. “Lalu kenapa Ibu gak kasih tau Bayu kalau ponsel Amel rusak? Bayu kan jadi khawatir?”“Ya Ibu gak mau kamu jadi kepikiran. Makanya ibu gak hubungi kamu sebab takut ganggu kerjaan kamu di sana.”“Iya, Bayu, kita ini nggak mau ganggu kerja kamu. Makanya kita diam saja. Nanti kalau kita mengadu ini dan itu takutnya bakal mengganggu konsentrasi kerjaan kamu. Makanya kita nunggu kamu telpon duluan aja.” Mbak Sita menimpali. Ia kakakku yang tinggal bersama Ibu dan kedua anaknya sedangkan suaminya juga sama sepertiku merantau ke luar pulau. Hanya saja, kami berdua berbeda pul
Astaga Amel, benarkah itu istriku? Kenapa bisa? Bukankah Ibu dan Mbak Sita mengatakan kalau Amel sedang berada di rumah orang tuanya? Lantas, mengapa dia di sana dan memulung? Aku tertegun sejenak, sebab orak ini masih berpikir tentang apa yang sebenarnya terjadi. Apakah ini artinya kalau keluargaku yang berbohong? Karena dilanda rasa penasaran yang tinggi, akhirnya aku langsung berinisiatif menghubungi pemilik akun Netizen Konoha itu melalui pesan pribadi. [Selamat malam, maaf sebelumnya kalau saya mengganggu. Saya mau tanya tentang kebenaran video seorang perempuan dan anaknya yang pemulung dan si anak sedang sakit TB. Apakah semua itu benar?]Sedikit resah, sebab aku sangat penasaran menunggu jawaban si pemilik akun. Mataku mungkin berbinar sebab mendengar notifikasi pesan di ponselku berbunyi. Bergegas aku mengambil kembali ponsel yang tadi sempat aku letakkan di atas nakas. [Selamat malam juga. Iya video yang saya up itu memang benar]Tidak menunggu lama, aku kembali membalas
Pada akhirnya aku pun pulang ke tanah kelahiranku di pulau jawa. tidak sabar rasanya ingin langsung mengecek sendiri kebenarannya tentang anak dan istriku.Namun, mbak Wati bilang kalau di jam siang Amel dan Arka masih keliling cari barang bekas. Jadi, sebaiknya langsung kutunggu saja di rumah kontrakannya baru sorenya ke jalan Ahmad Yani.Hatiku resah tidak karuan saat berada di dalam pesawat. Pikiranku berkecamuk, bagaimana bisa kepergianku merantau untuk menafkahi keluarga justru membuat anak dan istriku menderita.Akan tetapi, kenapa Amel diam saja? Dia tidak mau menceritakan semua yang dialaminya, bukankah aku ini suaminya? Apa amel sengaja agar tidak mengganggu pekerjaanku agar bisa fokus pada pekerjaan? Namun, kalau seperti ini kan aku jadi merasa bersalah. Aku jadi merasa tidak becus sebagai seorang suami dan ayah. Lamunanku buyar setelah salah mendengar suara yang menginformasikan kalau pesawat sudah tiba di bandara Soekarno Hatta, bergegas aku bersiap untuk transit ke band
Sesaat aku mendengar ada yang berteriak memanggil nama Amel berulang kali. Siapa kira-kira yang datang? Kenapa dia sampai marah-marah begitu?Karena rasa penasaran yang tinggi akhirnya aku langsung bergegas keluar rumah untuk mencari tahu sumber suara itu. Saat di depan pintu ternyata ada seorang perempuan paruh baya yang kini berdiri tegak di hadapanku yang ternyata dia adalah Ibu Endang, pemilik kontrakan yang kami tempati ini. “Maaf, Bu, Ibu kok teriak-teriak di depan rumah? Ada apa?” tanyaku pada Bu Endang, tampak sekali ia memandangku dengan tatapan sinis.“Oh ternyata kamu sudah pulang toh. Saya pikir kamu sudah lupa dengan anak istrimu, tapi baguslah kebetulan sekali kalau kamu pulang. Ayo buruan kamu bayar kontrakan ini. Sudah nunggak tiga bulan tau! Ke mana aja kamu, sampai istrimu nggak sanggup bayar! Saya butuh uang, kalau nggak sanggup bayar lebih baik keluar saja dari rumah ini. Masih banyak yang mau tinggal di sini tau gak! Saya heran deh, kamu kan kerja di kalimantan
Berbekal alamat yang diberikan oleh mbak wati padaku. Di mana tempat para pemulung menyetorkan barang bekas untuk ditimbang lali mendapatkan uang. Sembari menahan sesak di dada aku terus saja berjalan menuju tempat pengepul tersebut. Jaraknya memang tidak jauh dari rumah kontrakan kami. Hanya sekitar 2 km saja. Namun, meski hanya 2 km tetap saja kalau berjalan kaki ya lelah juga. Padahal sewaktu lebaran tahun kemarin aku sudah membeli motor dengan niat agar istriku ke mana-mana tidak perlu lagi kecapekan. Namun, sekarang ini barang itu juga tidak ada di rumah ini. Padahal aku membelinya secara kredit dan hingga sekarang kreditannya juga masih aku bayar. Aku tidak bisa membayangkan betapa lelahnya Amel yang setiap harinya harus melakukan ini sambil menggendong anak kami. Aku yang jalan seorang diri saja cukup lelah dan kepanasan apalagi istriku. Sesekali aku berhenti sebab kaki terasa lelah sembari menghela napas karena kesedihan yang kurasakan saat ini.Sesampainya di sana ternyata
“Gak, Mas! Untuk apa? Untuk aku dihina lagi sama ibu dan kakakmu? Gak, Mas! Gak mau lagi aku ke sana kalau hanya untuk dihina. Sudah cukup selama ini aku menahannya.” Kutatap wajah Amel dengan matanya yang sudah berkaca-kaca. Oh Tuhan … separah itukah keluargaku berbuat pada istri dan anakku? Seandainya aku tidak mau percaya pun sudah banyak yang mengatakan tentang kelakuan mereka pada istriku. “Tapi, Mel, kita harus tau apa tujuan mereka melakukan ini semua pada keluarga kecil kita,” ucapku dengan suara sedikit lirih sebab semakin banyak pasang mata yang melihat ke arah kami. Terpaksa aku menarik tangan Amel untuk sedikit menjauh dari tempat ini. Awalnya Amel menolak, tetapi tenagaku jelas lebih kuat dibanding dirinya hingga akhirnya Amel tidak menolak untuk kubawa sedikit menyingkir dari tempat semula. “Mel please, ikut aku ke rumah ibu dan Mbak Sita. Biar kita tau apa maksud mereka melakukan ini semua.”“Apa lagi? Jelas mereka melakukan ini semua karena ketidaksukaan mereka pada