Share

Bab 7

last update Last Updated: 2022-08-18 23:45:29

Ingin rasanya aku menangis mendengar suara Mas Bayu mengucapkan lafaz itu. Sungguh aku tak percaya telah mendengarnya.

Ada penyesalan. Seandainya aku tidak melihatnya, bukannya aku tidak menjadi sesakit ini? 

Aku berjanji dalam hati, tak akan membuka aplikasi biru milik Mas Bayu lagi.

Segera kututup aplikasi itu dan mematikan laptop. Sesak rasanya rongga dadaku. 

Aku memilih segera memasukkan laptop ke dalam tas. Hingga, tak sadar panggilan keberangkatan nomor penerbanganku sudah terdengar. Penumpang dengan pelayanan member eksekutif sudah bersiap.

Masih ada beberapa menit untuk melakukan panggilan dengan Mas Bayu. Aku harus berhasil mendapatkan izinnya untuk pergi. Aku berdoa dalam hati agar panggilan ini segera diangkat.

Namun, hasilnya nihil! Hingga akhirnya semua penumpang regular diminta berbaris.

Aku memilih berbaris di belakang karena tanganku masih sibuk menekan panggilan ke nomor Mas Bayu. 

“Mas, aku pamit ya,” ujarku saat terdengar nada panggil yang entah keberapa telah terhubung. 

Anehnya, tak ada sahutan sama sekali. Aku tak tahu ini tidak sengaja kepencet atau orang lain yang memencetnya. 

Ah, aku tak perduli. Yang jelas aku sudah mengucapkan kata pamit. 

Tak lama, panggilan pun terputus tepat aku berada di depan petugas yang memeriksa paspor dan tiketku. 

Aku berjalan santai dengan tas di punggung menuju badan pesawat. Udara dingin mulai terasa di pesawat yang berukuran besar ini. 

Sambil mengikuti antrian di lorong, mataku memindai mencari nomor tempat duduk sesuai dengan tiket. Yaitu, barisan kursi yang ada di lajur tengah berderet empat.

Kenapa aku tidak memilih dekat jendela untuk menikmati panorama luar? Karena ini penerbangan malam, dan aku akan tiba di Belanda juga masih pagi. Jadi, hanya gulita yang akan terlihat dari jendela. 

Selain itu, deretan kursi tengah ini sering kosong, sehingga kalau tidak ada penumpang lain, kita bisa tidur berbaring di sepanjang kursi ini. 

Baru aku meletakkan tas punggung berisi laptop di bawah kursi. Tiba-tiba aku teringat harus mengirim pesan singkat ke Mas Bayu, andaikata tadi telponku tidak terdengar olehnya. 

[Mas, aku pamit ya. Mohon maaf lahir dan batin]

Hanya itu yang aku tulis. Biarlah dia menginterpretasikan sendiri pesan itu. Yang jelas, beberapa menit kedepan aku akan mematikan ponsel ini dan setibanya di Belanda aku akan mengganti nomor baru. 

--

Setelah penerbangan selama 14 jam, aku harus meregangkan otot kaki dan tanganku. 

Usai melewati imigrasi dan mengambil bagasi, kini aku sudah bersiap meninggalkan Bandara Schipol. 

Tidak terlalu sulit menentukan arah aku harus kemana setelah ini. 

Aku sendiri sudah memesan kamar di student housing di dalam kampus. Selain itu, rute dari bandara ke tempat tinggalku pun sudah aku pelajari melalui channel yout*be. Semuanya terasa mudah, bukan? 

Setiba di kamar, aku memilih segera merapikan bawaanku dan bersih-bersih. Setelah ini, aku berencana browsing mencari supermarket untuk berbelanja. 

Semua tentang Belanda dan kota ini sudah aku pelajari sebelum aku berangkat. Dan setelah ini aku akan keluar sekaligus mencari nomor baru untuk ponselku. 

Aku bersyukur mendapat kamar yang sudah lengkap dengan kamar mandi dan juga dapur kecil didalamnya. Tak lupa semua perabot dasar seperti tempat tidur, lemari dan meja belajar pun ada. Berada disini membuat pikiranku sedikit lebih fresh. 

--

Setelah tiga tahun lulus dari bangku S1 ternyata lumayan berat juga memulai studi S2. Namun, aku beruntung di kampus tempat aku menimba ilmu, banyak juga mahasiswa Indonesia, meskipun di program studiku hanya aku seorang diri. 

Aku sudah tak memperdulikan lagi kabar tentang Mas Bayu. Bukan aku abai. Bagaimanapun aku masih istrinya. Tapi, aku hanya bisa mengirimkan doaku setiap habis sholat. Aku berharap yang terbaik dari takdirku. Dalam hati kecilku, aku selalu berharap cinta Mas Bayu untukku. 

Tetapi, mungkinkah? Sedangkan faktanya bukannya dia sudah mendua? Mungkin juga dia sudah tak ada waktu memikirkanku lagi. 

Saat aku menelpon ayah dan ibu mengabarkan aku baik-baik saja dan sehat, Ayah dan ibu tak sedikitpun menyinggung namanya. Bisa jadi, memang dia tak mencariku. Ataupun, tak menanyakan keberadaanku ke ayah dan ibu. 

Aku sangat menikmati hari-hari pertamaku kuliah sambil sesekali mengikuti kegiatan mahasiswa Indonesia. Rata-rata memang anak master dari Indonesia seusiaku atau lebih muda dariku. Tapi aku tidak masalah. Ada juga yang sudah berkeluarga. 

Apakah kuliahnya berat? Tentu saja. Banyak tugas-tugasnya yang rata-rata dikerjakan kelompok. Sejatinya tidak begitu berat jika kita konsisten dan punya komitmen. Hanya saja sebagai anak Indonesia kadang perlu adaptasi untuk menyesuaikan ritme belajar dengan mahasiswa internasional lainnya. 

“Fa, kamu minat nggak kerja part time?” tanya Mayang, salah satu pelajar Indonesia yang kamar kosannya satu lantai denganku. 

Ohya, teman di sini banyak yang memanggilku dengan Fa, dibanding dengan Ra. Namun, aku suka. Ini seperti benar-benar aku lahir kembali!

“Di mana?” tanyaku antusias. Aku pikir jika aku kerja part time aku bisa punya tabungan lebih. Jadi aku bisa jalan-jalan jika libur nanti. Atau aku bisa cari sekolah lagi dengan uang tabungan jika aku tak dapat beasiswa. 

Beasiswaku kan hanya setahun. Pengen sepertinya lebih lama di sini. Udaranya enak. Kotanya rapi. Dan masyarakatnya juga tidak reseh. 

“Ada nih, punya orang Indonesia. Tapi sore aja. Jam 5 sore sampai jam 10 malam. Gajinya per jam 7 euro. Lumayan, 'kan?” ujar Mayang. 

“Waktunya fleksibel. Asal kasih tahu dulu sebelumnya kalau kita lagi mau off,” tambah Mayang lagi. 

Tentu saja aku sangat tertarik. Daripada aku banyak melamun di kosan atau sekedar browsing saat jenuh belajar. Bukannya lebih baik aku bekerja part time? 

“Tapi aku kan tidak bisa Bahasa Belanda, May?” tanyaku ragu. 

“Tenang. Tugas kita cuma di belakang sama bersih-bersih. Cuci piring, nyiapin makanan yang mau disajikan, sama beresin meja pas customer-nya sudah pergi. Ohya, kadang juga nganter yang delivery,” terang Mayang.

--

Pekerjaan di warung itu sebenarnya tidak berat. Mencuci piring pun menggunakan dishwasher. Aku juga membantu memotong sayuran,  bumbu-bumbu, dan bahan masakan lainnya. Hanya saja memang saat bekerja kita banyak berdiri sehingga memang capeknya sangat terasa. 

Tenang! Ini baru awal. Batinku menghibur diri. 

“Fa, kamu sakit?” Tiba-tiba Mbak Nadine, pemilik warung itu menanyakanku. 

“Nggak, Mbak.” Aku menggeleng. 

Iyalah. Ini hanya capek saja karena aku tidak pernah bekerja fisik begini. Jadi, masih penyesuaian. 

“Tapi, wajahmu pucat. Istirahat dulu,” ujar Mbak Nadine lagi. 

Aku bersyukur punya pemilik warung yang baik hati dan super perhatian seperti Mbak Nadine ini. 

Lagi pula, kalau wajah ini pucat, tentu karena ini baru pertama kali bekerja seperti ini. Besok pasti aku bisa beradaptasi. 

Belum juga aku melangkah ke kursi untuk duduk, tiba-tiba..

BRUGGGG.…

Tak lama, aku merasa semuanya gelap.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (23)
goodnovel comment avatar
Yuni Lestari
duh, Fahira. gejala hamil yaa?
goodnovel comment avatar
Jejen Jaenudin094
bagus banget
goodnovel comment avatar
Maryam
pnasaran kelanjutannya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • BIARKAN AKU PERGI KETIKA DIRIMU MENDUA   BAB 48 E

    EPILOG Setelah beberapa bulan ikut bekerja di tempat Pak Ahmad, Bayu akhirnya memberanikan diri membuka sendiri usaha pencucian motor di dekat kampus tempat Fahira bekerja. Bayu terlebih dahulu meminta izin pada mantan atasannya itu. Dia juga melakukan pengembangan dengan ide-ide yang dimilikinya. Beruntung, Pak Ahmad tidak keberatan. Malah dia merasa bangga ada anak buahnya berhasil mengembangkan idenya. Bahkan Pak Ahmad mengijinkan tanpa harus memberi bagi hasil apapun terkait ide bisnis tersebut. Bayu menyewa tempat di dekat kampus Fahira. Dia pun merekrut para mahasiswa yang memang merupakan ide awal bisnisnya. Dia ingin membantu para mahasiswa yang membutuhkan uang tambahan dengan memberi kesempatan sistem part time. Bayu memberi kelulasaan waktu bekerja meskipun ada jadwal dan insentif khusus, yang membuat bisnisnya tetap berjalan, tanpa terganggu dengan sistem yang dia bangun. Pada awalnya memang sepi. Bayu harus memutar otak untuk memberikan promo-promo di awal pembukaan

  • BIARKAN AKU PERGI KETIKA DIRIMU MENDUA   BAB 48 D

    "Mas Bayu! Mas! Bangun, Mas!" pekikku saat kulihat dia tergeletak di karpet. Sementara tangan kanannya mengenggam erat sebuah buket bunga. Segera kuletakkan Nayla di atas karpet. Kulepas juga kain gendongan Nayla dari tubuhku.Kutepuk-tepuk pipi Mas Bayu. Aku langsung meraba nadinya. Nafasnya masih teratur. Hanya wajahnya pucat sekali. Aku teringat dengan kejadian di Belanda saat itu. Segera jendela ruang depan ini aku buka lebar agar udara segar masuk. Lalu kuambil minyak angin. Bantal kuletakkan untuk menyangga kepala Mas Bayu. Tak lama matanya dia mulai mengerjap. “Ra…”panggilnya. Alhamdulillah, tak henti-hentinya aku bersyukur. Mas Bayu sudah sadar. “Minum, Mas…” Aku sudah menyiapkan segelas air putih di dekat Mas Bayu. Kulihat dia langsung menegak habis minum itu setelah aku membantunya untuk duduk. “Aku lupa alamat rumah ini. Aku kemarin habis kerja, beli ini.” Mas Bayu menunjukkan buket bunga dan memberikannya padaku.Seketika aku terharu. Buket bunga yang cantik. Entah

  • BIARKAN AKU PERGI KETIKA DIRIMU MENDUA   BAB 48C

    Aku terduduk di depan depot yang masih tertutup itu sambil menggendong Nayla. Untungnya, Nayla tidak rewel. Wajah imutnya dan damai, membuatku makin teriris saat memandanginya. Maafkan Mamamu ini, Nak. Yang tak mampu menjaga papamu untuk terus bersamamu, gumanku. Sudut mataku tak sadar mengeluarkan air mata. Hatiku makin nelangsa. Namun, aku segera tersadar. Aku nggak boleh lemah. Jika iya, Nayla pun akan turut menjadi lemah. Dia harus tumbuh menjadi anak yang kuat. Biasanya, akhir pekan aku pulang ke rumah orangtuaku. Awalnya, aku pun berencana ke sana jika Mas Bayu sudah pulang. Pasti Ayah dan Ibu akan senang jika tahu Mas Bayu kini sudah bekerja. Meski bekerja apa saja, aku rasa, orang tuaku tak akan pernah mempermasalahkan. Tapi, justru kini ia kembali menghilang.Ada apa denganmu, Mas? Gumanku. Kembali ponselku bergetar. [Ndhuk, kamu nggak ke sini?] Rupanya pesan singkat dari Ibu.Aku tahu, ibu pasti cemas karena aku sama sekali tidak memberinya kabar kalau tidak ke sana. [N

  • BIARKAN AKU PERGI KETIKA DIRIMU MENDUA   BAB 48 B

    “Di minum, Mbak…” ujar si ibu penjual es kelapa.Aku mengangguk. Pandanganku tetap tak lepas pada lelaki itu.“Bu, saya nitip sebentar,” ujarku.Tanpa menunggu persetujuannya, aku menyeberang mendekat ke depot cucian motor itu. Sayangnya, belum sempat aku mendekat. Pria yang hendak kudekati menyadari kehadiranku. Diletakkannya alat pembersih yang ada di tangannya. Lalu dia berlari ke dalam. Aku hanya diam mematung di depan depot itu, hingga seorang pria berusia empat puluhan dengan perawakan tambun mendekat ke arahku. “Mencari siapa, Mbak?” sapa pria itu menyentakkan lamunanku. “Mas…ee…Mas tadi yang lagi nyuci…yang masuk ke dalam…” ujarku sedikit gelagapan. Pria itu tersenyum simpul, lalu bertanya penuh selidik.“Mbak saudaranya?”Aku menghela nafas. Ada degup jantung penuh harap dengan pertanyaan pria itu. Aku berharap dia betul Mas Bayu. “Apakah dia bernama Bayu?” Aku mencoba meyakinkan sebelum menjawab pertanyaannya. Pria itu mengangguk, lalu mengajakku menjauh dari depotnya,

  • BIARKAN AKU PERGI KETIKA DIRIMU MENDUA   BAB 48A

    Kutanyakan ke tetangga sebelah dan depan rumah, adakah yang melihat Mas Bayu. Semua menggeleng. Meskipun Mas Bayu hanya di rumah, setiap sholat lima waktu selalu ke masjid. Tentu saja tetangga banyak yang tidak asing dengannya. Aku pun bertanya pada marbot masjid, katanya sejak sholat dhuhur sudah tidak ke masjid. Deg! Kemana Mas Bayu? Kususuri jalanan di sekitar perumahan tempat kami tinggal hingga sekitar kampus di mana aku mengajar. Tiga bulan lamanya kami tinggal di kota ini, aku jarang mengajak Mas Bayu jalan-jalan. Sesekali setiap akhir pekan aku hanya mengajak Mas Bayu dan Nayla pulang ke rumah orang tuaku. Jadi, mustahil Mas Bayu kenal baik daerah sini. Apalagi, dia tak punya teman di sini. Pikiranku menjadi kalut. Kemana Mas Bayu pergi? Kalau dia tidak tahu jalan, bagaimana? Karena Mas Bayu sekarang bukanlah Mas Bayu yang dulu. Mas Bayu yang baik-baik saja. Belakangan, setelah kepergian Mama Mertua, Mas Bayu hanya banyak diam dan melamun. Tak bisa disebut normal jik

  • BIARKAN AKU PERGI KETIKA DIRIMU MENDUA   BAB 47 B

    “Mas, kamu sudah sadar?” Fahira mendekatkan wajahnya ke wajah Bayu saat mendengar lenguhan suara suaminya itu. Orang tua Fahira beserta kakaknya langsung pulang. Hanya Fahira yang berjaga. Baju milik Fahira dan Bayu sudah dibawakan saat mereka datang membezuk. Sementara Nayla diasuh oleh Wulan di rumah Bayu. Terlalu kecil untuk di bawa ke rumah sakit. Bayu membuka matanya. Raut wajahnya menunjukkan penolakan atas kehadiran Fahira. Matanya mencari-cari kalau-kalau ada kakaknya di sana “Mas, hanya aku yang di sini. Aku yang akan merawatmu. Bukan Mbak Wulan,” ujar Fahira seolah tahu isi pikiran Bayu. Fahira menggenggam tangan Bayu. Punggung tangannya terbalut verban. Bayu menatap Fahira. Matanya berkaca-kaca. Lalu ia berkata, “Ra, kamu tidak seharusnya di sini. Aku tak pantas buatmu.” Suara itu terdengar lirih dan putus asa. Fahira menggeleng. “Siapa bilang kamu tak pantas. Justru, seharusnya akulah yang mengurusmu. Bukan Mbak Wulan. Aku berhutang banyak pada Mbak Wulan. Mbak Wulan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status