Ingin rasanya aku menangis mendengar suara Mas Bayu mengucapkan lafaz itu. Sungguh aku tak percaya telah mendengarnya.
Ada penyesalan. Seandainya aku tidak melihatnya, bukannya aku tidak menjadi sesakit ini?
Aku berjanji dalam hati, tak akan membuka aplikasi biru milik Mas Bayu lagi.
Segera kututup aplikasi itu dan mematikan laptop. Sesak rasanya rongga dadaku.
Aku memilih segera memasukkan laptop ke dalam tas. Hingga, tak sadar panggilan keberangkatan nomor penerbanganku sudah terdengar. Penumpang dengan pelayanan member eksekutif sudah bersiap.
Masih ada beberapa menit untuk melakukan panggilan dengan Mas Bayu. Aku harus berhasil mendapatkan izinnya untuk pergi. Aku berdoa dalam hati agar panggilan ini segera diangkat.
Namun, hasilnya nihil! Hingga akhirnya semua penumpang regular diminta berbaris.
Aku memilih berbaris di belakang karena tanganku masih sibuk menekan panggilan ke nomor Mas Bayu.
“Mas, aku pamit ya,” ujarku saat terdengar nada panggil yang entah keberapa telah terhubung.
Anehnya, tak ada sahutan sama sekali. Aku tak tahu ini tidak sengaja kepencet atau orang lain yang memencetnya.
Ah, aku tak perduli. Yang jelas aku sudah mengucapkan kata pamit.
Tak lama, panggilan pun terputus tepat aku berada di depan petugas yang memeriksa paspor dan tiketku.
Aku berjalan santai dengan tas di punggung menuju badan pesawat. Udara dingin mulai terasa di pesawat yang berukuran besar ini.
Sambil mengikuti antrian di lorong, mataku memindai mencari nomor tempat duduk sesuai dengan tiket. Yaitu, barisan kursi yang ada di lajur tengah berderet empat.
Kenapa aku tidak memilih dekat jendela untuk menikmati panorama luar? Karena ini penerbangan malam, dan aku akan tiba di Belanda juga masih pagi. Jadi, hanya gulita yang akan terlihat dari jendela.
Selain itu, deretan kursi tengah ini sering kosong, sehingga kalau tidak ada penumpang lain, kita bisa tidur berbaring di sepanjang kursi ini.
Baru aku meletakkan tas punggung berisi laptop di bawah kursi. Tiba-tiba aku teringat harus mengirim pesan singkat ke Mas Bayu, andaikata tadi telponku tidak terdengar olehnya.
[Mas, aku pamit ya. Mohon maaf lahir dan batin]
Hanya itu yang aku tulis. Biarlah dia menginterpretasikan sendiri pesan itu. Yang jelas, beberapa menit kedepan aku akan mematikan ponsel ini dan setibanya di Belanda aku akan mengganti nomor baru.
--
Setelah penerbangan selama 14 jam, aku harus meregangkan otot kaki dan tanganku.
Usai melewati imigrasi dan mengambil bagasi, kini aku sudah bersiap meninggalkan Bandara Schipol.
Tidak terlalu sulit menentukan arah aku harus kemana setelah ini.
Aku sendiri sudah memesan kamar di student housing di dalam kampus. Selain itu, rute dari bandara ke tempat tinggalku pun sudah aku pelajari melalui channel yout*be. Semuanya terasa mudah, bukan?
Setiba di kamar, aku memilih segera merapikan bawaanku dan bersih-bersih. Setelah ini, aku berencana browsing mencari supermarket untuk berbelanja.
Semua tentang Belanda dan kota ini sudah aku pelajari sebelum aku berangkat. Dan setelah ini aku akan keluar sekaligus mencari nomor baru untuk ponselku.
Aku bersyukur mendapat kamar yang sudah lengkap dengan kamar mandi dan juga dapur kecil didalamnya. Tak lupa semua perabot dasar seperti tempat tidur, lemari dan meja belajar pun ada. Berada disini membuat pikiranku sedikit lebih fresh.
--
Setelah tiga tahun lulus dari bangku S1 ternyata lumayan berat juga memulai studi S2. Namun, aku beruntung di kampus tempat aku menimba ilmu, banyak juga mahasiswa Indonesia, meskipun di program studiku hanya aku seorang diri.
Aku sudah tak memperdulikan lagi kabar tentang Mas Bayu. Bukan aku abai. Bagaimanapun aku masih istrinya. Tapi, aku hanya bisa mengirimkan doaku setiap habis sholat. Aku berharap yang terbaik dari takdirku. Dalam hati kecilku, aku selalu berharap cinta Mas Bayu untukku.
Tetapi, mungkinkah? Sedangkan faktanya bukannya dia sudah mendua? Mungkin juga dia sudah tak ada waktu memikirkanku lagi.
Saat aku menelpon ayah dan ibu mengabarkan aku baik-baik saja dan sehat, Ayah dan ibu tak sedikitpun menyinggung namanya. Bisa jadi, memang dia tak mencariku. Ataupun, tak menanyakan keberadaanku ke ayah dan ibu.
Aku sangat menikmati hari-hari pertamaku kuliah sambil sesekali mengikuti kegiatan mahasiswa Indonesia. Rata-rata memang anak master dari Indonesia seusiaku atau lebih muda dariku. Tapi aku tidak masalah. Ada juga yang sudah berkeluarga.
Apakah kuliahnya berat? Tentu saja. Banyak tugas-tugasnya yang rata-rata dikerjakan kelompok. Sejatinya tidak begitu berat jika kita konsisten dan punya komitmen. Hanya saja sebagai anak Indonesia kadang perlu adaptasi untuk menyesuaikan ritme belajar dengan mahasiswa internasional lainnya.
“Fa, kamu minat nggak kerja part time?” tanya Mayang, salah satu pelajar Indonesia yang kamar kosannya satu lantai denganku.
Ohya, teman di sini banyak yang memanggilku dengan Fa, dibanding dengan Ra. Namun, aku suka. Ini seperti benar-benar aku lahir kembali!
“Di mana?” tanyaku antusias. Aku pikir jika aku kerja part time aku bisa punya tabungan lebih. Jadi aku bisa jalan-jalan jika libur nanti. Atau aku bisa cari sekolah lagi dengan uang tabungan jika aku tak dapat beasiswa.
Beasiswaku kan hanya setahun. Pengen sepertinya lebih lama di sini. Udaranya enak. Kotanya rapi. Dan masyarakatnya juga tidak reseh.
“Ada nih, punya orang Indonesia. Tapi sore aja. Jam 5 sore sampai jam 10 malam. Gajinya per jam 7 euro. Lumayan, 'kan?” ujar Mayang.
“Waktunya fleksibel. Asal kasih tahu dulu sebelumnya kalau kita lagi mau off,” tambah Mayang lagi.
Tentu saja aku sangat tertarik. Daripada aku banyak melamun di kosan atau sekedar browsing saat jenuh belajar. Bukannya lebih baik aku bekerja part time?
“Tapi aku kan tidak bisa Bahasa Belanda, May?” tanyaku ragu.
“Tenang. Tugas kita cuma di belakang sama bersih-bersih. Cuci piring, nyiapin makanan yang mau disajikan, sama beresin meja pas customer-nya sudah pergi. Ohya, kadang juga nganter yang delivery,” terang Mayang.
--
Pekerjaan di warung itu sebenarnya tidak berat. Mencuci piring pun menggunakan dishwasher. Aku juga membantu memotong sayuran, bumbu-bumbu, dan bahan masakan lainnya. Hanya saja memang saat bekerja kita banyak berdiri sehingga memang capeknya sangat terasa.
Tenang! Ini baru awal. Batinku menghibur diri.
“Fa, kamu sakit?” Tiba-tiba Mbak Nadine, pemilik warung itu menanyakanku.
“Nggak, Mbak.” Aku menggeleng.
Iyalah. Ini hanya capek saja karena aku tidak pernah bekerja fisik begini. Jadi, masih penyesuaian.
“Tapi, wajahmu pucat. Istirahat dulu,” ujar Mbak Nadine lagi.
Aku bersyukur punya pemilik warung yang baik hati dan super perhatian seperti Mbak Nadine ini.
Lagi pula, kalau wajah ini pucat, tentu karena ini baru pertama kali bekerja seperti ini. Besok pasti aku bisa beradaptasi.
Belum juga aku melangkah ke kursi untuk duduk, tiba-tiba..
BRUGGGG.…
Tak lama, aku merasa semuanya gelap.
Aku pulang diantar oleh Mbak Nadine, sedangkan sepedaku masih ditinggal di warung makan. Mayang masih menemani di kamar meski aku sudah menyuruhnya pulang. “Kamu istirahat aja, Fa. Kata Mbak Nadine, besok kamu tidak usah kerja dulu,” ujar Mayang. Aku menatapnya lekat. Jangan-jangan gara-gara insiden ini, Mbak Nadine memecatku?Padahal, aku baru mulai bekerja di tempatnya. Dan aku suka kesibukan yang seperti itu. Membuat hariku berjalan lebih cepat. “Kalau kamu udah sehat betul, baru kasih tahu ke Mbak Nadine aja,” tambah Mayang seolah paham apa yang ada dalam pikiranku. “Tapi aku merasa sehat, May,” ujarku. Aku sejatinya takut kehilangan kesempatan bekerja di warung milik Mbak Nadine. Bagiku, ini adalah kesempatan berharga dapat pengalaman bekerja di sini. “Sudah, jangan dipaksa. Kalau kamu pingsan lagi, yang repot ngga hanya kamu. Tapi, Mbak Nadine juga bisa kena masalah, memperkerjakan kamu,” jelas Mayang. Aku heran, Mayang tahu banyak hal di sini. Mungkin karena dia supel da
-Pov Author- Supermarket berada di luar area kampus. Jaraknya hanya sekitar sepuluh menit bersepeda menuju pusat kota. Mayang hanya membeli barang-barang yang diperlukan saja. Kebetulan, dia sudah terbiasa merencanakan apa yang hendak di beli. Jadi tak perlu memakan waktu lama. Antrian kasir juga tidak panjang. Pada jam-jam tertentu, jumlah kasir disesuaikan dengan jumlah pengunjung supermarket untuk mengurangi kepadatan di lajur antrian. Untuk membeli titipan Fahira, Mayang hanya cukup pindah ke toko di sebelah supermarket. Di sana ada toko khusus kosmetik dan obat-obatan. Kalau enggan mencari-cari, tinggal bilang ke petugas untuk ditunjukkan rak display-nya. Yang paling disukai di toko obat dan kosmetik ini, mereka juga menjual pernak-pernik. Kadang-kadang Mayang menghabiskan berjam-jam untuk melihat barang-barang lucu itu. Namun, hati ini tidak, dia harus bergegas karena sahabatnya menunggu obat sakit kepala. Tak sampai satu jam, dia sudah tiba kembali ke apartemen dengan se
-Pov Fahira-Meski aku tak jadi masuk kelas karena sakit, aku tetap memaksakan diri untuk belajar mandiri. Aku tak mau tertinggal. Senangnya, materi kuliah bisa dengan mudah diakses. Hanya bedanya, kalau tidak masuk kelas, kita nggak bisa mendengar langsung penjelasan dosen. Kalaupun tidak paham, tak bisa langsung bertanya. Enaknya lagi, di sini, dosen terbuka. Jika ada yang kurang paham, kita bisa kirim email. Kadang, beliau memberi waktu dan mengijinkan kita datang ke ruangannya, untuk minta dijelaskan hal yang kurang paham.Kalau bicara tentang sistem pendidikan tinggi, aku yakin cara dosen mengajar dan sistem perkuliahan di sini sudah banyak diadopsi oleh kampus ternama di Indonesia. Fasilitas kampus yang ditawarkan pun sebenarnya sudah mulai banyak ditawarkan di kampus-kampus top di Indonesia. Sayangnya, memang pendidikan di Indonesia masih kurang merata. Misalnya kampus yang berada di kota besar dan masuk top kampus, akan berbeda kualitasnya dengan kampus daerah dan belum masu
POV Bayu Namaku Bayu. Dalam hal percintaan aku tipenya setia. Bahkan, aku berpacaran dengan Nabila selama 8 tahun, meski akhirnya hubungan kami harus putus. Nabila menerima perjodohan dari orang tuanya. Aku mengerti mengapa Nabila memilih calon yang ditawarkan oleh orang tuanya dibandingkan aku. Calon dari orang tuanya usianya lima tahun di atasku dan secara ekonomi, ia sudah mapan. Beda dengan kondisiku yang saat orang tua Nabila menghendaki kekasihku itu segera menikah, aku masih tertatih dengan masa depanku. Ditinggalkan Nabila bukanlah hal yang mudah bagiku. Delapan tahun bersamanya, tentu saja tiba-tiba aku mengalami kekosongan jiwa. Meskipun kami pacarannya tidak melakukan hubungan terlarang, tetap saja aku merasa kehilangan. Rasa kehilanganku sering kuluapkan dengan emosi pada orang terdekat, yaitu mama dan papa. Di rumah aku sering marah-marah tanpa alasan. Hingga akhirnya mama dan papa memutuskan menikahkanku dengan anak teman baiknya dengan harapan aku segera move on
Suatu hari Nabila tiba-tiba datang kepadaku. Matanya sembab bekas tangisan. "Bay, aku sudah pisah dari suamiku. Dia kasar dan suka memukul," ungkapnya saat menceritakan alasannya bercerai. Aku yang selama ini hidup tanpa masalah dengan Fahira, sangat iba dibuatnya. Awalnya, dia hanya minta dibantu mencari pekerjaan, karena selama menikah dia berhenti kerja. Lama-lama bertemu dengannya menjadi mirip seperti kebutuhan. Mirip jaman aku masih menjadi kekasihnya. Padahal aku sudah punya Fahira. Rasanya, bertemu dengan Nabila menimbulkan sensasi dan getaran tersendiri. Sedangkan dengan Fahira memang rasanya biasa saja. Mungkin karena aku awali hidup dengan Fahira tanpa cinta, sehingga kehadiran Nabila hanya membuat Fahira tak terlalu berarti lagi. Aku tahu, Fahira sangat mencintaiku. Tapi, aku juga mencintai Nabila. Meskipun begitu aku tak mau melepaskan Fahira. Dia adalah pelengkap hidupku. Aku memang serakah. Siapa yang mau melepaskan gadis sebaik Fahira. Gadis yang menerimaku apa ada
Akhirnya, saat yang ditunggu pun tiba. Aku sudah mengajukan cuti ke kantor jauh-jauh hari agar persiapan pernikahan keduaku tidak terganggu. Aku bilang ke Fahira kalau aku akan keluar kota. Biasanya dia akan percaya saja dan tidak banyak bertanya. Herannya, di saat yang sama dia merengek mengajakku mengunjungi orang tuanya.Memang kuakui, kami sudah lama tidak mengunjunginya. Mungkin lebaran terakhir kami ke sana. Dan setiap ke sana pertanyaannya sama dengan pertanyaan mama, kapan Fahira hamil. Padahal, aku memang belum menghendakinya. Akhirnya aku mengijinkan Fahira pergi sendiri ke rumah orang tuanya karena aku sudah terlanjur menyusun acaraku selama seminggu di luar kota. Selama aku pergi, aku memang tak menanyakan kabar apapun tentang Fahira. Itu juga sudah menjadi kebiasaan kami berdua. Kami saling percaya. Jika tidak ada yang teramat mendesak, kami tidak saling menghubungi.Dia hanya sekali menghubungi saat berada di Yogya. Aku yang memintanya agar aku dapat menelpon ayah me
“Jawab, Nabila!” Aku mengulangi pertanyaan dengan suara yang meninggi, seolah aku ingin meluapkan emosiku dalam beberapa hari terakhir. Iya, aku memang kesal dengan Nabila, tapi aku tidak bisa mengungkapkannya. Dan kini aku seperti punya kesempatan itu. Nabila membalas tatapanku dengan nyalang. Dia seperti tidak menduga aku bisa sekasar ini. Biasanya aku sangat lembut dan penyabar terhadapnya, mengimbangi sifatnya yang meledak-ledak. Dahulu aku menyukai semua sifatnya itu. Tapi, tidak untuk sekarang! Aku benar-benar tidak dapat mengontrol emosi saat melihat tatapan mata Nabila. Aku tak pernah melihat tatapan menantang seperti itu dari Fahira. Egoku menjadi tersulut. Aku memilih mengemasi semua barang-barang pribadiku, memasukkannya ke koper dan mengambil kunci mobil. Malam itu juga kutinggalkan rumah Nabila. Aku tak peduli dengan tatapan penuh tanya dari orang tua Nabila. Kewarasanku mendadak lenyap. Aku khawatir terjadi sesuatu pada Fahira. Sebelum menstater mobil, kubuka
“Ma, apa Mama bilang ke Fahira kalau aku menikah dengan Nabila?” tanyaku ke mama melalui sambungan telepon. Pagi ini aku menumpang taksi menuju bandara. Aku ingin memastikan apakah Fahira ke Yogya hanya ingin bertemu orang tuanya saja, atau karena sebab lain. Aku sangat cemas dengan keputusan Fahira yang pergi begitu saja dan meninggalkan pesan yang sangat singkat. Bahkan, sampai pagi ini nomor Fahira pun tidak aktif. “Tidak. Mama tidak tahu. Kenapa?” balas mama dengan nada cemas. “Fahira tidak ada di rumah, Ma. Semalam dia pamit melalui pesan singkat. Tapi, nomornya tidak bisa aku hubungi lagi. Saat ini aku menuju Yogya,” ujarku sambil menutup sambungan teleponku ke mama. Entah apa yang akan dilakukan mama dan papaku kemudian, karena mereka sejatinya adalah teman orang tua Fahira. Sepanjang jalan, pikiranku berkelana. Bahkan panggilan dari Nabila tidak aku hiraukan. Hanya Fahira yang ada dalam otakku. Bayangan ayah dan ibu Fahira akan marah pun menghantuiku. Bagaimanapun