Share

05. Lelaki tampan

"Iya Alana iya, besok gue udah masuk kerja lagi kok."

"Gue nggak mau tahu ya, besok lo harus kerja! Gue sendirian disini huhuhu .... "

Ava terkikik pelan mendengar rengekan Alana dari seberang telepon. "Gue juga udah bosan dirumah terus,"

"Terus lo ngambil libur buat apa?? Gue kan udah saranin lo buat senang-senang, bukan malah dirumah aja selama satu minggu. Gila, gue bisa setres kalau jadi lo."

"Gue gak tahu mau ngapain. Ke taman, kafe, perpustakaan, terus rebahan. Gue rasa itu udah cukup buat have fun." Ava tersenyum kecil. "Bahagia gue sesederhana itu, La."

Terdengar helaan napas dari seberang telepon. "Ya, ya, ya. Selera orang memang beda-beda, tapi hidup nggak harus semonoton itu. Lo ngelakuin hal berulang-ulang selama satu minggu?! Hellawww .... "

"Gue juga nggak tahu kenapa hidup gue kayak gini, tapi gue bersyukur kok. Sekalipun gue cuma punya lo sama Azkar, itu udah cukup buat gue. Kalau dapatin Pak Han itu bonus dari Tuhan."

"Pak Han juga gak mau kali sama lo," cibir Alana dari seberang telepon.

"Hehe .... " Ava menyengir kuda. "La, udah dulu ya. Gue mau turun dari bus, udah sampai."

"Oke, besok jangan lupa kerja!"

"Iya,-iya, dadah Alana."

"Sipp, bye Ava."

Tuttt ... Tuttt ... Tuttt

Suara panggilan telepon terdengar diakhiri.

Ava memasukkan ponselnya ke dalam tas selempang kecil yang ia sampirkan di bahu kanan.

Ava turun dari busway. Ia baru pulang dari perpustakan kota, menghilangkan penat disana.

Ava melangkahkan kaki dari halte menuju rumah tempatnya tinggal yang berada sedikit jauh dari sana.

Ava memasang headset di kedua telinga dan mendengarkan musik penyanyi Jorja Smith yang terhubung dari ponsel.

Angin malam membelai tubuh Ava. Ava mengenakan tudung hoodie kebesarannya dan memeluk dirinya sendiri.

Ava memandang kosong jalanan di depannya. Benar kata Alana, hidup Ava terlalu monoton. Tidak ada hal menantang yang membuat Ava bersemangat, tidak ada hal menarik dalam hidupnya. Semua terlalu membosankan.

Dan Ava berharap, seseorang datang kepadanya dan memberikan warna-warni kehidupan di hidup Ava yang membosankan. 

Di persimpangan jalan menuju rumahnya, Ava mengerjap dan menghentikan langkah. Ia melepas kaca matanya dan mengusap-ngusap pelan matanya. Lalu memasang kembali kaca mata bulatnya.

Benar, mobil yang terpakir di tepi jalan dekat warung mie ayam adalah mobil mahal yang pernah Ava tumpangi.

Tapi dimana sang pemilik mobil itu?

Ava melanjutkan langkah kakinya. Ia berjalan memasuki warung mie ayam yang masih buka dipukul 22.00 WIB malam, dan mencari seseorang disana.

Ava terbelalak kaget. "Pa-Pak Han?"

Han yang sedang mengunyah mie ayam di mulutnya tersedak pelan.

Ava segera mendekat dan memberikan Han minum yang langsung di teguk oleh lelaki itu.

Han masih terbatuk kecil. Ia berdeham-deham pelan, dan menatap Ava yang masih kaget. "Kenapa?"

Ava tersenyum tipis. "Engggak kenapa-kenapa, Pak." sahutnya dan duduk di depan Han. "Mbak, mie ayamnya satu ya!" seru Ava kepada penjual.

"Siap Mbak Ava!" sahut sang penjual.

Han kembali menyendokkan mie ayam ke dalam mulutnya. "Gimana dengan liburan kamu? Sudah lebih baik?" tanya nya dan menatap lamat gadis bertudung hoodie itu.

Ava mengangguk semangat. "Jauh lebih baik sekarang." sahutnya riang. "Pak Han datang jauh-jauh kesini buat makan mie ayam?" tanya Ava yang membuat Han diam-diam menghela napas.

Han sedang menghindari pertanyaan itu. "Selain karena mie ayam disini enak seperti yang kamu katakan, saya juga ingin bertemu dengan kamu."

Pesanan Ava datang, "makasih mbak." ucapnya kepada sang penjual yang disahut ramah.

"Kenapa Pak Han pengin ketemu saya?" tanya Ava, diam-diam menyembunyikan kegugupannya.

Han menaruh kedua sendoknya. "Saya ingin tahu apa kamu bekerja besok atau tidak. Siapa tahu kamu mau tambah hari libur lagi," ucapnya dan meneguk es teh miliknya.

Ava mengaduk mie ayamnya yang sudah tercampur kecap dan sambal. "Saya pikir ... karena Pak Han nggak ngehubungi saya." jawab Ava pelan.

"Ya, mungkin itu juga. Karena saya sudah berjanji akan meneleponmu, tapi banyak pekerjaan yang harus saya lakukan. Jadi saya tidak memiliki waktu luang untuk menghubungimu."

"Ah ... Gitu ternyata, " Ava mengangguk paham. "Besok saya sudah mulai bekerja kok, Pak."

"Baguslah," jawab Han terdengar lega.

Ava hanya diam dan mengunyah mie ayam miliknya tanpa menghiraukan Han yang terus memandanginya.

Karena Ava tidak terlalu tahu bagaimana caranya salah tingkah. Ia hanya bisa diam menunduk tanpa mengatakan apapun.

Han melonggarkan ikatan pada dasinya, ia menopang dagu. Memandangi Ava yang tampak biasa-biasa saja menikmati mie ayam miliknya. "Kamu berminat untuk menjadi sekretaris?"

Ava tersedak makanan di dalam mulutnya saat itu juga. Han dengan panik memberikan minum, menatap khawatir gadis itu yang sedang terbatuk kecil.

Ava mengusap area mulutnya dengan tissue. Ia mengangguk ragu, "i-iya Pak."

Han tersenyum puas. "Oh ... " gumamnya dan terkekeh pelan. "Lanjutkan saja makannya,"

Ava menurut dan melanjutkan makannya. Ia tidak tahu mengapa Han terlihat antusias atas jawaban yang Ava berikan, tetapi Ava juga ikut merasakan sebuah keantusiasan jika bersama Han.

Ava meneguk air putih miliknya. "Saya bayar dulu ya Pak,"

"Tidak perlu, biar saya saja." ucap Han dan bangkit dari duduknya. Menyerahkan lembaran uang kepada sang penjual dan mengikhlaskan kembaliaannya.

Han berjalan mendekat kepada Ava. "Ayo saya antar pulang,"

Ava melotot kecil. "Ta-tapi, mobil Pak Han nggak bisa masuk."

"Tidak apa-apa, jalan kaki saja. Saya masih punya kaki kan? Ayo,"

Ava dan Han berjalan keluar dari ruangan itu.

"Mbak Ava, rajin-rajin bawa pacarnya makan disini ya!" seru sang penjual yang membuat Ava terkekeh kecil.

Ava mendongak, menatap Han yang berjalan disampingnya. "Pak Han tinggi banget ya,"

Han menunduk, "hm, kenapa?"

Ava mengeratkan pegangannya pada tas selempang hitamnya. "Nggak papa,"

Mereka berdua berjalan di kegelapan malam yang hanya diterangi bulan dan bintang. Cahaya yang minim membuat Han mengernyit, "kamu tidak takut malam-malam jalan sendirian disini?"

Ava menggelengkan kepala. "Enggak, kenapa harus takut? Disini gak ada orang jahat, warganya baik-baik."

"Kamu tinggal dengan siapa?"

"Sendirian, Pak." Ava memaksakan senyum. "Jadi saya gak pernah takut jalan sendirian, karena saya sudah terbiasa sendiri."

"Bagaimanapun, kamu harus tetap hati-hati. Bisa saja ada orang jahat yang mengintaimu, kamu hanya gadis polos yang tidak tahu apa-apa."

Ava menghentikan langkah.

Han ikut menghentikan langkah. "Kenapa?"

"Sudah sampai Pak," Ava menunjuk rumah minimalis dihadapannnya. "Ini rumah saya,"

Han memandangi rumah beton itu, ia menatap kagum wanita dihadapannya. "Kamu wanita yang sederhana Ava, dan itu membuatmu terlihat menarik dimata saya."

Ava mengerjap. "Ya, Pak?"

"Mungkin ... Saya sedang menyukaimu."

Apakah Ava sedang bermimpi?

Jika ini benar-benar mimpi, tolong jangan bangunkan Ava. Ava masih ingin berlama-lama menatap kagum seseorang yang sedang menatapnya dalam.

Saat ini, Ava benar-benar jatuh cinta.

**

Ava berlari sekencang-kencangnya. Ia tersenyum lebar setiap kali orang-orang di trotoar jalan menatapnya aneh.

Ava berlari dengan perasaan senang. Kali ini ia berlari bukan karena terlambat bangun lagi, tetapi ia terlalu bersemangat ingin cepat-cepat sampai di kantor.

Satu hal yang membuat Ava tersenyum cerah pagi ini. Fakta bahwa kemarin malam bukanlah sebuah mimpi, bahwa Han benar-benar menyatakan sesuatu yang membuat Ava berdebar-debar bahkan setiap kali mengingat hal itu.

"Hah ... Hah ... Hah ... " Ava terengah, ia sudah sampai di halte.

Ava membungkukkan badan, kedua tangannya bersangga kepada lutut kakinya.

Ava menegakkan tubuh, bibirnya masih membentuk lengkungan yang indah.

Ia menoleh, melihat bus yang sudah tidak jauh sedang melaju ke arah halte.

Sebuah mobil hitam yang berkilat, mewah dan yang pastinya mahal berada tidak jauh dari busway itu dan sedang melaju kencang.

Ava masih tersenyum, menunggu tidak sabar bus itu.

Gyurrrrr

Ava mengerjap.

"J-jus?" tanya nya tidak percaya menatap bajunya yang kini tersiram sebuah cairan yang lengket, bahkan kaca mata Ava serta rambutnya ikut tersiram cairan itu.

"I'm sorry girl,"

Ava melepas kaca matanya dan menatap mobil mewah dihadapannya dan sosok lelaki di dalam mobil itu yang sedang tersenyum miring dengan mata menyipit.

"Pa-Pak?!" panggil Ava berteriak, namun lelaki yang berada di dalam mobil itu menutup kaca jendela mobil dan melaju kencang meninggalkan Ava yang ternganga tidak percaya.

Ava mengusap kaca matanya dengan tissue di dalam tas selempang hitamnya yang selalu ia bawa kemana-mana. Ava bisa melihat orang-orang di halte sedang menatapnya antara jijik dan kasihan.

Ava rasanya ingin menangis saja.

Ia baru saja merasakan arti sebuah kebahagiaan, tetapi seseorang yang bahkan tidak Ava kenal memberinya penderitaan.

Mengapa dunia begitu kejam? Tidak bisakah Ava merasa bahagia tanpa ada penderitaan sekali saja?

Bagamaina mungkin Ava bekerja dengan penampilan seperti ini di hari pertamanya setelah satu minggu libur. Yang ada Han akan berpikir bahwa Ava semakin kacau.

Bus sudah berhenti di halte.

Jika Ava tidak berangkat saat ini, ia bisa telat dan Han akan berpikir bahwa Ava tidak bekerja.

Ava hanya memikirkan bagaimana pemikiran Han tentangnya nanti.

Ava berlari kecil masuk ke dalam bus. Setelah pertimbangan yang ia lakukan, Ava memilih untuk bekerja dengan keadaan seperti ini daripada membiarkan Han mengkhawatirkan dirinya.

Orang-orang di dalam bus menutup hidung dan menatap Ava jijik.

Ava menunduk malu. Baginya, setiap kali menaik bus saat pergi bekerja adalah perjalanan menuju neraka.

Dan Ava hanya bisa diam tak bisa melakukan apa-apa.

**

"Astaga dia gembel darimana?"

"Bauu banget, dia baru keluar dari tong sampah?"

"Itu apa yang dirambutnya? Parfum jus?"

Ava bisa mendengar suara tawa yang mengejek.

Ava menunduk, matanya sudah memanas. Ia tidak ingin bertemu Han, Ava ingin pulang saja. Mungkin saja Han tidak menyukainya lagi jika Ava bertemu Han dengan penampilan seperti ini.

"Dia karyawan disini kan? Tapi kenapa lusuh banget?"

"Cupu!"

"Hueek, jauh-jauh gih."

"EH ITU SIAPA?"

Teriakan itu membuat perhatian orang-orang dilobi teralih dari Ava. Dan kini mereka sedang memperhatikan sebuah mobil mewah yang berhenti tepat di depan lobi.

Ava mengerjap, mobil itu terasa tidak asing dimatanya.

Pintu mobil itu terbuka.

Sosok lelaki jangkung keluar dari mobil itu dan menyugar rambutnya kebelakang. Lelaki itu mengenakan pakaian kemeja hitam, lalu ia memasang jasnya yang diberikan oleh sang sopir yang membuat wanita-wanita di lobi berteriak kegirangan.

"Damage nya gak ada obat!"

"Ganteng banget, kayak oppa-oppa!"

"Ituu siapaaa?"

"Pokoknya harus jadi suami gue!"

Lelaki jangkung itu melangkahkan kaki ke dalam lobi sembari memasang kaca mata hitamnya di pangkal hidung.

Ketukan langkah kaki lelaki itu di ubin lantai lobi terdengar di tengah wanita-wanita yang menggerubungi dan menatap kagum lelaki itu.

Seperti seorang Raja, orang-orang langsung menepi dan memberi jalan kepada lelaki itu untuk lewat.

"Pa-Pak?!"

Lelaki tampan itu menghentikan langkah. Ia menoleh pada sosok gadis yang sedang memanggilnnya dengan sebutan 'Pak?'

Ava memberanikan diri melangkah mendekati lelaki tampan itu.

Lelaki tampan itu memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Ia menatap gadis di dihadapannya.

"Pak---"

"Stop calling me 'Pak', gadis jelek." ucap lelaki tampan itu tak suka.

Ava meneguk ludah, kini ia dan lelaki tampan itu sudah menjadi pusat perhatian. "Tetapi kamu yang menyiram saya dengan jus di tepi ja-jalan," ucap Ava takut. Ia tidak pernah memarahi seseorang, dan ini baru pertama kalinya Ava berani buka suara setelah disakiti.

Ava mendengar orang-orang sedang menertawakannya.

"Lo memang pantas di siram jus!"

"Cocoknya di siram air toilet!"

"Dasar perempuan jorok!"

"Berani banget marahin orang ganteng!"

Ava menatap takut orang-orang disekitarnya. Seharusnya Ava bersikap seperti biasanya, tidak melawan orang-orang yang menyakitinya.

Lelaki tampan itu melepas kaca mata hitamnya dan pangkal hidung. Ia terkekeh pelan. "Bersyukurlah karena saya hanya menyiram mu dengan jus, gadis jelek."

"Ta-tapi, sa-saya salah apa dengan anda?"

Lelaki tampan itu menaikkan kedua alis, ia sedikit membungkukkan badan dan mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan Ava.

Ava menatap takut lelaki itu dengan linangan air matanya yang sudah mengalir membasahi pipi.

"Ka-re-na ka-mu je-lek." ucap lelaki tampan itu sembari mengetuk-ngetuk dahi gadis dihadapannya yang menatapnya takut.

Lelaki tampan itu menegakkan tubuh, lalu kembali memasang kaca mata hitamnya. "Jauh-jauh dari saya, kamu hanya virus." ucap lelaki tampan itu dan berjalan meninggalkan Ava.

Ava menangis, ia memandang punggung lelaki itu yang menjauh dan sedang mengusap jari telunjuknya dengan tissue karena baru menyentuh Ava.

"Dasar bodoh!"

"Kontrol dirimu girl,"

"Gila, cewek gak tahu malu."

Ava memandangi orang-orang disekitarnya dengan mata yang berembun.

Lagi, Ava hanya bisa diam, menatap orang-orang yang menghinanya dan memendam amarahnya sendirian.

Ava tidak bisa melakukan apa-apa.

Dan, dari sekian banyak caci maki yang pernah Ava terima. Hanya ucapan lelaki tampan itu yang paling menyakitkan dan mempermalukannya di depan umum.

Ava sangat membenci lelaki tampan itu. Ava teramat sangat membencinya, hingga Ava memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dalam hal apapun dengan lelaki tampan itu. 

"Pakai jas ini, baju mu akan segera datang."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status