Share

8. Isi Hati

Sebuah keajaiban terjadi hari ini. Keajaiban yang tidak menyenangkan sama sekali..., karena, mengapa Gerald ikut menemaninya mengantar Clarissa ke bandara?

Bianca merasa, semangatnya yang 100 persen, terpangkas 20 persen begitu Gerald berada di sisinya. Bianca tau kalau Gerald tidak mau menemaninya ke bandara dan itu sangat terbaca dari ekspresi muak pria itu yang kentara. Bianca tau Gerald tidak mungkin akan menjadi pria baik hati yang mengantar istrinya bepergian, jadi, siapa yang sudah usil di sini?

Apa Melisa?

"Kgh," Bianca mau mengacak rambutnya habis-habisan karena frustasi, tapi melakukan itu hanya akan membuat rambutnya berantakan. Junie akan membunuhnya kalau dia melakukan itu.

Bianca masuk ke mobil Gerald dan menghela napas panjang-panjang. Gerald yang berada di sisinya seketika melemparkan tatapan penghakiman. Mengapa gadis itu bersikap seperti berada bersama Gerald adalah hukuman? Apa dia tidak tau seberapa banyaknya wanita di muka bumi ini yang menginginkan posisinya sekarang? Dasar wanita tidak tau bersyukur!

"Apa kita ke rumahmu terlebih dahulu atau langsung ke bandara?" tanya Gerald, ia menahan amarahnya karena mengingat nasihat panjang Melisa kalau dia harus 'membuat Bianca merasa nyaman'.

Memuakkan!

"Kau bisa menurunkanku di depan, aku akan naik taksi dari sana." Bianca menjawab sambil mengutak-atik ponselnya, ia tidak menyadari sama sekali kalau sekarang Gerald mendelik ke arahnya.

"Apa katamu?"

"Apa kurang jelas? Aku sudah memesan taksi online di depan." Bianca memasukkan ponselnya ke tas dan menoleh ke arah Gerald, dan oh Tuhan, mengapa pria itu menatapnya tajam? "A-apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?"

"Apa kau sadar dengan kata-katamu barusan?"

"Aku..., kenapa denganku?" Apa lagi yang salah kali ini? Bianca menghela napas lagi. "Aku harus mengantar adikku, jangan mencari masalah sekarang."

"Yang mencari masalah adalah kau, idiot."

"Aku?"

Bianca sama sekali tidak menyadari kesalahannya dan itu membuat Gerald terpana. Gadis itu benar-benar tidak peka. "Sekali lagi," ulang Gerald, mencoba bersabar. "Bandara atau rumah?"

"Bandara tapi..., hei, kau tidak serius akan mengikutiku sampai bandara, kan?"

Gerald mengendikkan bahu. "Kenapa kau begitu terkejut, bukankah itu tugasku sebagai suamimu?"

"Waaaah..., itu baru. Apa yang Ibu pakai mengancammu sampai kau mengatakan hal bijaksana seperti itu?"

"Kau sepertinya begitu memandang remeh keberadaanku. Meskipun hubungan kita bermula dari perjodohan, aku cukup paham pada hal-hal yang perlu kulakukan tanpa siapa pun mengancamku."

"Yups..., seratus persen. Seseorang sudah mengancammu, jika bukan Ibu, itu sudah pasti Ayah." Bianca menolak percaya kepada ucapan Gerald yang terdengar seperti lelucon baginya. Kalau Gerald memang tau apa yang harus dia lakukan, hubungan mereka tidak akan seburuk sekarang. Mereka tidak akan bertikai kalau Gerald tau cara untuk menghormatinya. Mengatakan dia paham sekarang sudah seperti omong kosong di telinga. Bianca tidak akan percaya.

"Mengapa kau senang sekali mencari masalah kepadaku? Apa kau pikir berdebat denganku bisa membuatku menyukaimu?"

"Haaaa?" Bianca tergelak. "Bagaimana bisa kau menarik kesimpulan sejauh itu? Apa kau narsis?"

"Itu tidak jauh sama sekali. Aku sudah terbiasa dengan berbagai macam trik wanita yang mencoba mendekatiku."

"Ahahaha...,waaaah, ini sama sekali tidak bisa dipercaya." Bianca geleng-geleng kepala. "Bagaimana kalau berpikir dengan normal terlebih dahulu, kau tau..., seperti 'Oh! Mungkin Bianca terus bertengkar denganku karena aku adalah bajingan menjengkelkan berkepala batu!', begitu?"

Gerald mendengar penuturan Bianca dan entah mengapa, alih-alih marah, ia malah tertawa. Gerald yang dingin dan selalu menatapnya penuh permusuhan, kini tertawa. Kening Bianca mengerut seketika.

Apa yang salah dari otak Gerald?

Tidak, apa yang salah dari otak Bianca? Mengapa pria itu tiba-tiba mempesona?

'Benar juga, ini pertama kalinya aku melihat Gerald tertawa.'

Pria itu memang tampan dan memiliki paras yang mampu membuat siapa pun mimisan. Namun, ketika dia tertawa, dia terlihat lebih sempurna. Seperti ada cahaya cerah mengorbit di atas kepalanya. Seperti..., malaikat?

Haaa! Omong kosong!

'Apa yang aku pikirkan?' Bianca segera menatap lurus ke jalan dan menampar pipinya.

"Sepertinya rumor itu benar."

"Rumor apa?"

Gerald melirik Bianca dari sudut matanya, menatap jejak merah yang merekah di wajah pucat Bianca. "Kau dirumorkan nyaris gila."

"Apa-apaan? Mana ada rumor seperti itu! Bilang saja kau mengataiku gila!"

***

Bertemu Clarissa kembali adalah kebahagiaan terbesar bagi Bianca, tapi itu juga menjadi sumber nelangsanya. Kendati ia memamerkan cengiran lebar kepada adiknya, memberikan dekapan hangat yang terlampau erat--, kendati ia menumpahkan afeksinya dengan sikap manja yang kekanakan dan menyebalkan, hatinya seperti menerima tikaman tajam yang menyakitkan. Ia tidak siap melepaskan Clarissa pergi jauh darinya, tapi ia harus melakukan itu demi masa depan Clarissa sendiri.

"Pokoknya, apa pun yang terjadi, kau harus menghubungiku setiap hari. Aku tidak mau tau alasan apa pun, kau harus memastikan kau baik-baik saja." Bianca masih merangkul Clarissa erat di dalam dekapannya, tidak peduli kalau sekarang Gerald dan ayahnya berdiri berdampingan menatap mereka dengan kejemuan.

"Kau bersikap seperti kau tidak akan pernah melihat adikmu lagi, Bianca." Warren menegur sambil menggelengkan kepala. "Dia sudah 18 tahun, hal yang perlu kau pesankan padanya adalah agar dia belajar dengan fokus di sana dan tidak mencemari nama baik keluarga kita!"

Bianca menoleh ke arah Warren, tapi tidak begitu peduli pada ucapan pria itu. Tidak, karena yang terpenting sekarang adalah Clarissa. "Aku percaya Clary akan melakukan yang terbaik menyangkut pendidikannya, yang lebih kucemaskan adalah keamanannya."

"Tenang saja, Bia. Aku akan menjaga diriku dengan baik."

"Kau bicara seperti itu, tapi kau tidak tau dunia perkotaan..., orang-orang di luar sana tidak ada yang bisa dipercaya, terutama pria. Jangan pernah percaya pada pria mana pun! Jangan pernah membiarkan pria asing memberikanmu minuman, jangan makan sembarangan, jangan terpedaya dengan wajah tampan."

"Ahahaha, apa-apaan?" Clarissa tertawa. "Apa Richmond bukan kota besar bagimu?"

Warren yang menyimak perbincangan kedua puterinya yang terlampau berlebihan, menoleh ke arah Gerald yang sejak tadi tidak bersuara sama sekali. Si bungsu Lagrave yang sekarang adalah menantunya tersebut berdiri cukup tenang dengan ekspresi yang insignifikan.

"Gerald," panggil Warren, "Apa kau bosan?"

"Huh? Tidak sama sekali, Sir."

"Sir?" Warren meninggikan sebelah alisnya. "Kau adalah bagian keluarga Dawson sekarang, kau tidak perlu menunjukkan formalitas yang berlebihan."

"Hmm?"

"Ayah, kau sebaiknya mulai memanggilku Ayah. Kau adalah menantuku sekarang, kalau kau lupa. Aku sudah menyerahkan puteriku padamu supaya kau menjaganya dengan aman."

"Aku mengerti," Gerald menganggukkan kepala, menahan kekesalan yang menyeruak di kepalanya.

Bagaimana mungkin ia memanggil Warren dengan sebutan Ayah? Pria keparat itu adalah sosok yang sudah merebut kebebasannya. Mengapa ia menginginkan Gerald sebagai menantunya ketika Olliver jelas-jelas ada dan lebih bijaksana? Pertanyaan itu menggentayangi benak Gerald begitu ia bersitatap dengan Warren.

"Bagaimana hubunganmu dengan Bianca belakangan ini?" Warren kembali berucap, dan ucapannya memancing kekesalan Gerald memuncak. "Aku tidak tau tentang preferensimu, tapi Bianca adalah gadis yang sangat brilian. Aku percaya dia pasti bisa memuaskanmu."

"..." Apa yang pria gila ini katakan menyangkut puterinya sendiri?

"Aku sudah mengatakan pada Bianca untuk memperlakukanmu seperti raja, tapi..., mengingat itu kembali, aku merasa pesan itu akan adil kalau kau juga memperlakukannya dengan cara yang sama. Bagaimana menurutmu?"

"Ayah tidak perlu mencemaskan caraku memperlakukan Bianca, Dia adalah istriku, dia akan diperlakukan dengan layak." jawaban Gerald berbaur dengan kemurkaan. Gerald murka terhadap sikap Warren yang arogan.

Tidak hanya pria itu sudah merebut kebebasannya, sekarang pria itu juga ingin mengontrol caranya bersikap?

Terserah bagaimana Gerald akan memperlakukan Bianca, itu tidak ada kaitannya dengan Warren karena pria itu sudah mendapatkan keuntungannya sendiri dari kerja sama ini. Dia tidak di posisi untuk berhak bicara di sini!

"Aku adalah seorang Ayah, meskipun aku melepaskannya untuk menikahimu, bukan berarti aku akan berhenti memikirkannya." Warren merangkul pundak Gerald dan terkekeh samar. "Pastikan saja dia tidak terluka, oke?"

"Aku tidak dapat menjanjikan apa pun, tapi aku akan berusaha menjadi suami yang bertanggung jawab."

'Aku akan berusaha keras, untuk tidak...' tatapan Gerald tertuju kepada Bianca, kepada istrinya yang kini menangis terisak di lengan adiknya.

'Menghancurkannya.'

Orang yang Gerald benci setengah mati adalah Warren Dawson. Pria itu sudah merebut kebebasannya, membelenggu kakinya di dalam pernikahan yang membuatnya terpaksa merelakan cinta pertamanya. Orang yang paling Gerald benci adalah Warren, tapi..., begitu ia berhadap-hadapan dengan Bianca sendirian, segala kebenciannya menyebar kepada gadis itu. Meskipun ini tidak adil sama sekali untuk Bianca, Gerald sama sekali tidak mampu bersimpati padanya.

Bagaimana bisa ia memperlakukan Bianca dengan baik ketika wanita itu adalah perwujudan dari sangkar yang melingkupinya? Bagaimana bisa ia mencintai sumber nestapanya? Gadis itu adalah kutukan di hidupnya. Gerald membencinya, sangat-sangat membencinya. Kebencian itu membakar kepalanya.

'Satu-satunya kebebasan yang kumiliki sekarang adalah kebebasan dalam mengendalikan hati dan perasaanku. Karena itu, Bianca Dawson, aku tidak akan pernah mencintaimu.'

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status