Habis sudah akalnya untuk merayu Laisa. Perempuan itu bersikeras mengulang-ulang jawaban yang sama. Sepatah alasan paling tidak logis yang pernah disampaikan Laisa sepanjang sejarah.Sambil sesekali memijat pelipisnya, Reina yang bersindekap dada itu membuang napas berat, "Sejak kapan kau percaya intuisi?""Aku tidak bisa, Rei," tukas Laisa menggeleng gigih."Kau hanya terbawa perasaan, Laisa. Situasinya terlalu mendukung, kau bertemu dengan dia pada titik terlemahmu, itu saja."Barangkali justru karena itu.Ia semakin sulit mengabaikan sosok Gazza yang begitu ramah dan lembut. Murah dalam tersenyum. Juga manis dalam bertutur.Segala komponen dalam diri Gazza berhasil memikat hati Laisa. Meski tanpa kepastian, walau dia sendiri tidak yakin kapan takdir mau mempertemukan, Laisa yakin keputusannya tepat. Ia tidak akan menikahi Avram."Mencintainya?" senyum memincing Reina mengembang, "Omong kosong, Laisa. Kau hanya kesepian dan dia ramah ke semua orang!""Apa yang membuatmu begitu marah
Belum sampai Laisa mengambil keputusan, kabar pernikahan Avram lebih dulu tersebar di penjuru Nusantara. Satu perempuan misterius yang identitasnya dijaga dengan ketat. Ia mendapat mobil jemputan beberapa menit kemudian. Persis seperti tahanan, Laisa diringkus tanpa sempat mengelak. Ucapan Kim Sarang soal 'berhak menolak' rupanya hanya omong kosong semata. Pernikahan itu memang telah disusun secara mutlak sejak pengumaman pencarian calon pengantin wanita resmi dibuat. Dan seolah sudah sepakat, Reina hanya memandangnya dari kejauhan. Tanpa melambaikan tangan perpisahan, atau kalimat lain yang mengakhiri perjumpaan mereka. Laisa hanya bisa terduduk pasrah. Meratapi jalan hidupnya yang kian kacau berantakan. Usai bangkrut, menghadapi kematian kedua orang tua, serta terlilit hutang hingga bertahun-tahun lamanya. Tinggal selangkah lagi menuju kebebasan. Kurang satu tahap untuk menjemput cinta sejatinya. Ia terjerumus dalam pernikahan paksa yang dirancang oleh orang-orang kaya. Entah ke
"Apa yang kau lakukan?" Dingin suara Avram mencengkeram nuansa pekat pada seisi ruangan. Lelaki itu berdiri di ambang pintu menatap punggung letih Laisa yang berbaring membelakanginya. Tiga per empat malam pesta itu dihabiskan olehnya sendiri di atas pelaminan. "Jawab, Laisa," tandas Avram penuh penekanan. Lelaki itu sudah mengepalkan dua telapan tangan erat-erat. Menahan amarahnya yang sudah sampai di puncak kepala. Kalau saja Laisa tidak menunjukkan pergerakan, entah bagaimana kalut Avram akan menghabisinya. "Kau melihatnya, Avram, jangan pura-pura buta," komentar Laisa tanpa menoleh. Matanya sudah sembab, habis untuk menangisi sosok Gazza. Tapi dia memanfaatkan masalah yang lebih masuk akal, yang juga ia pakai beralibi pada sang ibu mertua. "Lihat aku jika bicara." "Aku hanya ingin istirahat dengan tenang, bisakah..." "Lihat aku, Laisa!" gelegar suara Avram menyambar seisi kamar. Lelaki itu melempar salah satu perabot yang berada dalam jangkauannya hingga pecah belah. Membuat
Denting sendok yang beradu dengan piring terhenti. Suasana ruang makan membeku begitu sosok Avram berdiri di ambang pintu masuk. Hanya Nada yang tersenyum, bocah yang menempel pada Laisa itu melambaikan tangannya sebagai isyarat agar sang ayah ikut bergabung. "Berangkat sekarang, Nada, Daddy ada rapat sebelum jam delapan," ujarnya lembut meski tanpa senyuman. "Rapat?" Kim Sarang meletakkan alat makannya kesal, "Menikah baru kemarin sudah mau rapat? Nada tidak sekolah, jadi aku harap kalian menghabiskan waktu bertiga." Dengan sigap, Gazza yang duduk di samping kanan wanita itu menggenggam punggung tangannya. Ia berusaha meredahkan amarah. Sementara Laisa yang duduk di seberang Kim Sarang menyibukkan diri pada Nada. Ia tidak tertarik melirik Avram. "Itu bukan urusan Anda, Nyonya Kim," sahut Avram seraya mendekat. Membuat Nada yang semula duduk tenang terpaksa harus bersiap memenuhi panggilan. Akan tetapi, Gazza bangkit dari duduknya, "Nada denganku saja. Sepertinya kalian bertiga
Mudah saja bagi Laisa untuk memesan taksi dan kembali ke kediaman Salomon. Namun, ia memilih berjalan kaki tanpa tujuan. Menikmati nyerinya tapak demi tapak langkah yang ia jejak. Kamar kos yang ia sewa, sudah bersih dari barang pribadinya. Orang suruhan Salomon dengan sigap menyeleksi barang yang layak digunakan dan tidak. Mereka membuang apapun yang dirasa tidak lagi berguna. Oleh karena itu, Laisa tidak bisa pulang ke sana. Reina? Ah, tentu saja. Perempuan itu bahkan tidak menghubungi Laisa lagi selepas pesta pernikahan. Apalagi soal Leon. Laisa bahkan tidak tahu harus membicarakan kepada siapa masalah itu. Mana mungkin Reina percaya? Bahwa Leon menggoda dirinya. Perempuan itu mungkin akan berasumsi bahwa Laisa masih bersikeras memisahkan hubungan seperti sebelum-sebelumnya. Dan yah... memang apalagi yang Laisa harapkan dari persahabatan mereka? Tidak ada. Persahabatan mereka sudah hancur sejak Reina memilih untuk menyeret Laisa dalam perjodohan keluarga Salomon tanpa sepengat
"Hei, Honey." Perempuan itu semringah. Berjoget mengikuti dentum musik diskotik yang diputar dengan volume maksimal. Ia mengenakan dress hitam dengan punggung belakang yang terbuka. Sengaja menunjukkan kemolekan dirinya di hadapan Avram Ranendra Salomon. "Ikut aku, Karina. Kita tidak bisa bicara di tempat seperti ini," datar Avram menanggapi. "Oh, ayolah, Honey... berusahalah untuk beradaptasi. Mau sampai kapan kau kaku dan terlalu formal seperti ini? Nikmati saja, dan... awhh..." Avram yang tidak mau berbasa-basi menyeret lengan Karina. Perempuan itu tentu kesulitan memberontak. Cengkraman Avram yang begitu kuat membuatnya terpaksa patuh jika tidak mau jatuh di tengah keramaian. Ia baru melepaskan Karina begitu sampai di ruangan khusus yang kedap suara. Avram sudah menyewa tempat untuk menemui perempuan itu jauh dari sorot publik dan kamera. Ada hal penting yang harus mereka selesaikan. "Sakit, Honey. Tempramenmu sepertinya semakin buruk setelah aku tinggal pergi," gerutu Karin
Sosok yang paling mengkhawatirkan kepergiannya adalah Kim Sarang. Wanita itu banyak bertanya pada Laisa mengenai kronologi kejadian. Bahkan ia sampai menyampaikan ribuan maaf atas tindak tanduk putranya. Seakan-akan dia adalah segala penyebab dari kebiadapan Avram. Akan tetapi, tragedi bengis yang Laisa sampaikan tak membuat Kim Sarang melunak. Ia menolak mentah-mentah keinginan Laisa untuk pisah kamar. Baginya, pernikahan tetaplah pernikahan. Apapun yang terjadi di dalamnya, mereka tetaplah sepasang. Tentu Laisa akan menyanggah kalau saja Gazza tidak menahannya. Lelaki itu mengaku tidak keberatan. Sekalipun hubungan mereka telah menjadi spesial, bagaimanapun Laisa tetap berstatus sebagai istri sah Avram. Lagipula, Gazza tidak ingin membantah titah sang ibunda. Laisa terpaksa menelan keputusan itu bulat-bulat. Tinggal berdua dengan Avram sepanjang malam. Berharap ia bisa tidur tiga kali lebih nyenyak sampai tak menyadari keberadaan lelaki itu di sisinya. Sekaligus berdoa agar kejad
Tiada nafsu bagi Laisa untuk menyentuh makanan. Ia enggan beranjak dari pembaringan. Mengabaikan ketukan demi ketukan pintu yang tak ada hentinya. Sampai belasan panggilan tidak terjawab dari Gazza. Sekalipun sesekali suara Kim Sarang muncul diikuti teriakan Nada. Laisa tidak tergugah. Dunia Laisa terasa runtuh tiap kali mengingat kejadian semalam. Ya. Aktifitas yang ia lakukan sepanjang hari hanyalah berendam. Menggosok tanda kemerahan yang Avram tinggalkan di sebujur tubuhnya kemudian kembali terisak. Dia semakin merasa kotor dan tidak berharga. Rasa jijik Laisa terhadap dirinya jauh lebih besar dibanding kedinginan. Ia tidak peduli meski ujung-ujung jarinya keriput memucat. Bahkan ia cenderung ikhlas jika Tuhan merenggut nyawanya detik itu juga. Lambat laun, Laisa mulai rindu pada kehidupan lamanya. Mengurus toko dan pelanggan. Mungkin sesekali ia akan mendapat kritik pedas dari Tuan Lesmana. Tapi sungguh itu bukan masalah, ia lebih rela menghabiskan sisa hidupnya dikerjar rent