Mahda menatap dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Maaf, Bu. Keya positif." Waktu seolah berhenti. Melihat wajah tetangganya yang langsung berubah gelap, Bu Mahda, bidan itu, memilih pamit dengan cepat. Ia tak ingin menjadi saksi dari badai yang siap meledak. Neyna dan Chandra menatap anak gadisnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—campuran marah, kecewa, dan sedih yang berkelindan menjadi satu. "Key!" "Ada apa ini? Bisa jelaskan ke kami?" Suara Chandra tenang, tapi dinginnya menampar lebih keras dari teriakan. Keya berdiri terpaku. Keringat dingin kembali mengalir dari pelipisnya, matanya mengembun. Tangannya gemetar, ia meremas ujung bajunya sambil menunduk. "Aku... aku dan Nabil ,.." ucapnya lirih. "Nabil?" suara Chandra meninggi. "Jadi dia pelakunya?Dia yang memperkosamu?" "Dia nggak maksa aku, Pi. Tapi... tapi aku juga nggak pernah mau ini terjadi. Kami dijebak. Seseorang—entah siapa—menyusun semuanya. Aku... aku bahkan nggak ingat semua detailnya." "Bisa-bisanya, kalian, dua anak teladan sekolah di mana tempat Mami mengajar, berbuat hina seperti itu!" Nada suara Neyna penuh kemarahan. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, wajahnya memerah, dan sorot matanya menusuk. "Mi... Pi... dengarkan aku. Mungkin ini dirancang anak lain. Kami sama-sama korban," bisik Keya. Suaranya nyaris tak terdengar, seolah sepotong dedaunan yang hancur dihempas badai. "Kamu jangan menutupi kesalahan kalian, Key, dengan menuduh orang lain. Apa untungnya mereka menjebak kalian?" "Itu yang justru Key mau tanya, apa yang mereka mau dengan menghancurkan kami seperti ini?" Keya sudah tak dapat menahan isaknya. Chandra menghela napas panjang. Matanya menatap langit-langit, seakan berharap semua ini mimpi. "Cari anak itu! Bagaimanapun caranya, Papi tak mau tau. Kamu harus menemukannya!" bentak Chandra tiba-tiba. "Jangan pernah kembali ke rumah ini sebelum dia mengawinimu!" Keya tersentak. Dunia seakan berhenti. Hatinya serasa pecah. Chandra keluar dari kamar, langkahnya berat dan kasar. Tak satu pun pandangan ia berikan pada putrinya. Bagi Chandra, kebanggaan bahwa anak gadisnya berhasil menembus Fakultas Kedokteran seketika lenyap seperti debu yang ditiup angin. Saat dia tau Keya diterima di fakultas kedokteran UNAIR, dia telah cerita banyak ke teman sekantornya. Dia amat bangga. Namun dengan apa yang terjadi sekarang, hatinya teramat hancur. Sampai dia melupakan bagaimana perasaan Keya yang lebih hancur. Keya berdiri kaku. Napasnya tercekat. Matanya merah. Ia menoleh ke Neyna, berharap ada secercah harapan di sana. Tapi wajah Maminya keras. Pucat dan penuh luka batin. "Mi, aku mohon,..Aku butuh Mami. Aku butuh dukungan Mami sekarang,.." Suara Keya serak. Ia mencoba mendekat, tapi tubuh Neyna mundur satu langkah. Sebagai guru BP di sekolah, Neyna tahu, ini akan menjadi skandal besar. Ia, yang biasa menangani anak-anak bermasalah, kini anaknya sendiri adalah pusat gunjingan yang tak terhindarkan. Seluruh reputasinya akan dipertaruhkan. "Kamu tahu apa yang sudah kamu lakukan ke hidup Mami? Ke nama baik Mami? Kamu tahu apa yang akan orang-orang katakan di sekolah? Teman-teman guru yang selama ini hormat padaku?" suaranya bergetar. "Apa kamu pikir mereka akan percaya bahwa putri guru BP yang selalu ceramah soal moral, justru jadi bahan tertawaan mereka sekarang?" "Mami..." lirih Keya. Ia melangkah maju, tapi Neyna mundur lagi. "Kamu dengar apa yang dikatakan Papi tadi kan?" tanyanya datar. Tanpa menunggu jawaban, Neyna berbalik dan melangkah menaiki tangga ke lantai atas, meninggalkan Keya yang nyaris ambruk. Keya berdiri sendiri di kamar yang tiba-tiba terasa asing. Tubuhnya limbung. Ia melangkah keluar, ke ruang tamu. Di sana, Bi Ira yang sedari tadi menunggu, langsung menyambutnya. Tatapan perempuan paruh baya itu menyimpan ribuan tanya dan kekhawatiran. "Non,.." suara Bi Ira lembut, nyaris seperti desahan angin. Keya tak menjawab. Ia hanya menunduk, lalu terjatuh dalam pelukan wanita tua itu. Tangisnya pecah. Tubuhnya bergetar hebat. "Aku nggak jahat, Bi. Aku nggak nakal. Aku tidak menginginkan ini terjadi,.." isaknya. "Aku cuma... aku nggak tahu harus gimana... semua ini... bukan aku yang mau..." Bi Ira mengusap kepala Keya perlahan, seperti saat gadis kecil itu demam waktu kecil. Tapi sekarang bukan demam biasa. Ini luka yang jauh lebih dalam. Setelah beberapa saat, Keya menghapus air matanya. Wajahnya terlihat lebih tenang, tapi matanya tetap sembab. Ia berdiri perlahan, melangkah ke kamarnya. Bi Ira mengikutinya, tapi tak berkata apa-apa. Di kamar, Keya membuka lemari dan mengeluarkan ransel biru tua miliknya. Ia memasukkan beberapa potong pakaian, dompet, ponsel, charger, dan satu buku catatan kecil ke dalam tas. Tangannya berhenti sejenak pada foto keluarganya yang tertempel di sisi meja. Ia menatapnya lama—senyuman Papi, pelukan hangat Mami, kakaknya, dan dirinya yang tampak bahagia di antara mereka. Ia lepas foto itu, tapi tak dimasukkan ke dalam tas. Ia hanya membiarkannya tergeletak di meja. Ia kembali menutup ransel dan memanggulnya. Saat ia melangkah keluar kamar, Bi Ira menunggu di ambang pintu. "Non, mau ke mana?" Keya tidak menjawab."Non,.."
Ia hanya tersenyum samar pada orang yang telah mengasuhnya dengan penuh kasih itu, lalu membuka pintu depan. Dan pergi bersama motor maticnya. Langit sore mulai gelap. Angin berembus pelan, seolah tahu bahwa langkah itu adalah langkah menuju dunia yang sama sekali baru. Langkah yang akan mengubah segalanya."Sheryn, kamu udah bangun?" tanya Nabil pelan, nyaris berbisik. Subuh baru saja usai, azan masih menggema samar dari surau desa.Dari seberang, suara mengantuk gadis kecil itu terdengar. "Bangun, Ayah. Anak ayah kan pintar.""Jadi seneng nih Ayah.""Hari ini yang jemput aku sekolah Akung. Bunda sama Ayah Liam ke Surabaya.""Memangnya ada apa?""Mau bikinkan aku adik yang banyak," bisik Sheryn lalu terkikik.Nabil tersenyum kecil, matanya masih menatap jendela rumah kayu yang berembun. "Sholat lalu berdoa ya, semoga mereka pulang bawa kabar gembira. Syukurlah kalau mereka mau mencoba lagi."Sheryn menguap. "Ayah Nabil juga doakan, ya.""InsyaAllah," Nabil menegakkan tubuhnya. "Ayah doakan semoga terkabul. Kamu jangan manja kalau Akung yang jemput, ya. Kalau kamu manja nani ngak jadi-jadi adiknya.""Benar begitu, Yah?" guman Sheryn. "Apa karena aku masih manja sama Ayah Liam, hinggah aku belum punya adik, padahal aku sekarang sudah hampir setinggi Bunda.""Sheryn, ayo bangun, ditunggu A
“Assalamualaikum,” suara lembut itu meluncur begitu pintu SUV terbuka.Warga serentak berdiri, wajah-wajah sumringah menatap gadis yang turun anggun dengan gamis pastel. “Waalaikum salam, Mbak Ranying… sehat?” sapa seorang ibu, menundukkan kepala hormat.Pak Kades Pangin, yang sejak tadi menunggu, langsung meraih tangan putrinya, mencium keningnya penuh bangga. “Alhamdulillah, anak Uda pulang juga.”Istri Pak Kades, Bu Inggai menepuk lengan Ranying, mata berkaca-kaca. “Umak rindu, Nak. Kuliahmu bagaimana?”Ranying tersenyum, menyalami kedua orang tuanya dan mencium punggung tangannya. “Baik, Umak. Alhamdulillah lancar.”Suasana berubah hangat. Warga berdesakan ingin menyalami, ada yang bahkan membungkuk penuh hormat. Ranying menyambutnya lalu mengatupkan kedua tangannya di dada untuk yang pria.Nabil berdiri agak belakang, matanya tak berkedip. Tubuh mungil Alya bagai boneka barby hidup. Gerak lembut, wajah bersih, senyumnya sederhana tapi menawan. Dalam benaknya terlintas bayangan Ke
“Dengar baik-baik,” suara Kompol Harun menggema di ruang briefing . Peta besar menempel di dinding, dengan lingkaran merah yang jelas menunjuk ke pedalaman Pontianak. “Desa Sungai Permai". Kami mencurigai sindikat penyelundupan narkoba beroperasi di sana, menyamar sebagai kelompok tani, atau mungkin juga karang taruna. Tugas kalian: gali informasi, temukan bukti. Kalau misi ini berhasil, catat baik-baik—pangkat kalian bisa naik lebih cepat.”Nabil menyilangkan tangan di dada, wajahnya santai, tapi sorot matanya fokus. “Berarti kami masuk sebagai tim KKN seperti renana awal?”Harun mengangguk. “Benar. Kalian akan menyatu dengan mahasiswa. Jangan sampai identitas terbongkar. Ingat, ini wilayah asing, penuh mata yang mengawasi.”Saka, yang duduk di samping Nabil, menunduk singkat. “Siap, Komandan.”Mereka bergabung dengan mahasiswa yang akan menuju desa itu di sebuah kecamatan."Kenalkan, ini Haris, mahasiswa ayng memimpin rombongan kalian," ucap Pak Nardi, dosen yang mengantar."Saya Ip
"Aku nggak salah lihat, kan? Kalian jadian?" Suara berat Saka terdengar jelas, membuat Nabil dan Rere serentak menoleh.Edward sudah menepuk punggung lebar Nabil. Serentak senyum tergambar jelas dari wajah para polisi muda itu. "Edward!" Nabil mendesis, menggeram pelan.Bersama Edward dan Saka, ada Ara, dan Jaya. Mereka masuk sambil cekikikan, jelas menikmati momen aneh yang baru saja mereka saksikan.Saka langsung menunjuk sendok yang masih tergeletak di piring Rere. "Lho, sampai jatuh sendoknya. Berarti beneran serius nih, Bil karena cewek yang biasanya galak ini, malah jadi gemetar begini.""Saka,..!"Saka menghindar dari tindu Rere.Ara terkekeh, matanya melirik Nabil nakal. "Nabil, kamu pakai baju rapi gini, ternyata bukan buat briefing. Pantesan dari tadi misterius."Jaya malah sudah duduk tanpa izin, mencomot choi pan dari piring. "Wih, enak banget. Eh, santai aja, Bil. Kalau beneran kamu mau lamar Rere, kenapa harus takut?"Nabil mendengus, wajahnya merah padam. "Kalian ini,
"Aku mau tanya sesuatu," ucap Nabil. Suaranya memecah sunyi parkiran, pelan tapi jelas.Rere menghentikan langkah, menoleh sekilas. "Apa lagi?""Ada waktu? Nanti malam kita ketemu di warung makan," ucap Nabil, sorot matanya menunggu jawaban.Alis Rere terangkat. "Kenapa? Kamu masih mau protes soal pembagian tim?""Bukan," Nabil menggeleng cepat. "Pokoknya aku tunggu. Kamu datang, ya." Nabil memaksa. Dai tahu Rere akan masih mendebatnya.Tapi ternyata, Rere diam, walau cuma sebentar, jemarinya masih menggenggam ponsel. Napasnya terdengar berat. "Aku pikir duluh ya. Kalau sempat aku pasti datang. Kalau lagi malas, jangan marah kalau kamu menunggu dan pulang.""Aku anggap itu iya. Aku pasti akan tunggu sampai kamu datang." Nabil berusaha tersenyum, meski dadanya berdebar tak karuan karena jawaban cuek Rere.Rere melangkah pergi, tak menoleh lagi.Malam turun dengan pelan. Lampu jalan menyala redup, menyingkap deretan kendaraan yang melintas. Mengenakan kemeja rapi dengan celana bahan a
Keya sedang menatap suaminya yang kelelahan hinggah sulit dibangunkan lagi. Rasa sesak membuat wanita itu mencium keningnya. "Kak, kamu tak pernah berhenti kerja. Jika aku tak bisa memberimu anak, sepertinya aku belum menjadi istri yang sempurna untukmu," bathinnya lirih sambil memijit suaminya. Liam mengerjap. "Ey, kamu kenapa?"Keya yang tidak menyangka Liam terbangun, segera mengusap air matanya."Sayang,.." Liam merengkuhnya. Dan membiarkan Keya menangis sesenggukan. "Kak, aku ingin coba lagi," ucap Keya mendongak,menatap Liam. Masih berbaring dengan tubuh lelah, Liam mencium kening istrinya. Dia tahu apa maksud Keya. "Kamu tahu rasanya setiap kali jarum itu mendekat? Kamu selalu pucat, tanganmu gemetar. Aku tidak mau lihat itu lagi.""Aku takut, iya. Tapi aku lebih takut kehilangan kesempatan. Kamu tahu betapa aku ingin memberimu seorang anak." Keya menggenggam jemari Liam, hangat dan bergetar. "Tolong... jangan hentikan aku."Liam menatap langit-langit kamar, menahan napas