"Ayo bergerak! Jangan kasih celah!" Suara komandan meledak dari balik handy talkie.Lampu-lampu senter menyorot ke segala arah, suara teriakan bercampur dentuman sepatu yang menghantam tanah. Malam itu, hutan di pinggiran sungai berubah jadi lautan suara—anjing pelacak menggonggong, ranting patah diinjak, udara tegang menyesakkan dada.Tanaka yang sedang mengomandoi anak buahnya mengangkut barang ke kapal besar, kaget bukan main. Sekilas yang diingatnya hanyalah Ranying hinggah ia segera lari ke dalam, matanya menatap ke arah Ranying yang main game di handphone-nya di dalam ruang pribadi Tanaka."Ranyng, cepat, ayo kita pergi lewat jalur yang aku tunjukkan padamu kapan hari. Tak banyak yang tahu tempat ini. Cepatlah.""Tanaka! Apa yang terjadi?" tanya Ranying , tubuhnya mundur setapak."Jangan banyak tanya duluh. Ayo!"Ranying segera mengikuti Tanaka. Tangan Tanaka erat memegangnya, seolah ia takut apapun yang bisa memisahkan mereka.Tanaka kemudian menyibak bawah tempat tidurnya, lal
Ranying terisak pelan. Kata-kata Tanaka bergaung lagi, menusuk di antara pikirannya."Bantu aku berubah, Ranying. Hanya kamu yang bisa buat aku percaya cinta. Selama ini aku telah larut dalam alkohol dan judi, tapi wanita,.. melihatmu aku baru bisa merasakan ada yang lain dalam diriku yang selama ini tidak pernah aku rasakan pada wanita manapun"Ranying menekuk lutut, memeluk dirinya sendiri. Nafasnya berat Setetes air mata tba-tiba telah luruh di pipi lembutnya."Kenapa harus aku, Tanaka? Kenapa bukan orang lain?" bisiknya. "Ranying..." suara ibunya memecah lamunannya. "Nak, ayo makan. Dari tadi kamu di kamar saja."Ranying cepat-cepat menyeka pipinya. "Iya, Bu." Suaranya bergetar, tapi ia berusaha tenang.Pintu berderit. Wajah lembut ibunya muncul, membawa tatapan penuh tanya. "Kamu baik-baik saja?""Aku tidak apa-apa, Mak.""Tapi kenapa akhir-akhir ini wajahmu sering murung?" Bu Inggai mendekat, menelisik wajah Ranying."Mamak terlalu khawatir." "Pekerjaan kamu gimana? Sudah ada
"Kamu siap?" tanya Nabil.Ara mengangguk.Malam itu, udara sungai terasa dingin dan lengket. Nabil dan Ara mendayung perahu kecil dengan hati-hati, suara kayu beradu dengan air nyaris tak terdengar. Sengaja mereka tak menghidupkan mesin agar tidak terdengar. Dari kejauhan, lampu-lampu samar terlihat berkedip di balik pepohonan rimbun.“Pulau kecil itu, kan?” bisik Ara sambil menunjuk ke arah bayangan tanah yang dipenuhi rumpun bambu dan pohon kelapa.Nabil mengangguk, wajahnya tegang. “Ya. Tempat itu yang secara nggak langsung pernah dibahas Ranying. Kita harus hati-hati. Kamera ini jangan sampai mati.”Perahu mereka menepi pelan di celah sempit, terlindung akar bakau. Nabil turun lebih dulu, menahan perahu supaya Ara bisa melompat tanpa suara. Mereka merunduk, berjalan meniti tanah lembek, lalu mendaki sedikit ke arah cahaya.Begitu melewati semak, pemandangan terbuka. Di tengah pulau kecil itu berdiri bangunan semi permanen dari kayu dan seng, bercampur tenda besar. Lampu sorot menya
"Ya Allah, jaga dia untukku. Rasanya baru saja aku bisa mendapatkan hatinya. Dan aku igin kami bisa hidup lama bersama. Jangan kamu ambil dia dariku. aku ikhlas selamanya tak memiliki anak sendiri, asal dia masih bersamaku." Liam menghabus air matanya yang tak pernah berhenti menetes sejak dia menggelar sajadah di akhir di tengah malam.Dia memang tak dapat tidur, bayangan ucapan dokter di rumah sakit masih melekat di ingatannya. Saat itu,..Dokter Sinta hanya menghela napas pelan. "Kita tunggu perkembangan dulu. Tapi kalian harus siap untuk kemungkinan yang tidak sesuai harapan."Hening merambat di ruangan itu. Keya menatap Liam dengan mata berkaca, sementara Liam menahan napas panjang, hatinya semakin dipenuhi kecemasan.Dokter Sinta menarik napas panjang. "Bukan soal bayinya... tapi kondisi tubuh Ibu Keya sendiri. Ada tanda yang membuat saya harus waspada. Kita tidak boleh anggap enteng ini."Ruangan seketika hening. Liam merasakan jantungnya berdegup kencang, wajahnya menegang. K
Suara detak jam dinding di ruang praktik terdengar teratur, seolah menambah ketegangan suasana. Keya duduk di kursi pasien, tangannya terus meremas jari Liam yang duduk di sampingnya. Wajahnya tampak lebih segar daripada kunjungan pertama, meski masih ada sedikit pucat karena mual yang mulai sering datang."Jadi, ini pemeriksaan lanjutan ya, Bu Keya," ujar Dokter Sinta sambil menyiapkan alat USG. "Usia kehamilan sekitar enam minggu lebih sedikit. Biasanya, di tahap ini, sudah bisa terlihat kantung janin, bahkan detak jantung."Keya menoleh cepat pada Liam, matanya berbinar. "Dengar nggak, Kak? Detak jantung. Aku pengin banget denger itu."Liam tersenyum tipis, meski jelas terlihat ada kecemasan di wajahnya. "Iya, Ey. Semoga semuanya lancar."Keya membalas senyumnya. "Aku yakin, Kak. Bayi kita kuat. Dua jagoan kecil kita pasti sehat."Liam menghela napas dalam, tangannya semakin erat menggenggam. "Kamu masih yakin mau dua cowok, Ey?""Udah bulat tekadku," jawab Keya mantap, meski suara
“Mau aku bawa kamu lagi ke pasar besok?” tanya Ranying sambil melirik Nabil yang duduk termenung di serambi rumah kepala desa.Nabil menoleh pelan. “Pasar lagi?”Ranying mengangguk, wajahnya ceria. “Iya. Kamu kan belum puas kemarin. Sungai itu selalu hidup. Ada saja yang bisa dilihat.”Nabil menimbang. “Kamu seperti hafal betul.”“Tentu. Aku besar di sini.” Suara Ranying ringan, tapi tatapannya menusuk sekejap. “Aku tahu alur mana yang ramai, mana yang sepi.”Nabil menelan ludah. “Sepi? Maksudnya?”“Ah, maksudku jalur tenang. Perahu jarang lewat. Cocok kalau mau lihat burung-burung air.” Ranying tersenyum samar, lalu berbalik masuk.Nabil terdiam. Kata-kata itu berputar di kepalanya. Jalur sepi. Perahu jarang lewat.Keesokan harinya, kabut pagi kembali menggantung. Perahu mereka mengayun pelan. Ranying duduk di depan, matanya hidup penuh antusias.“Lihat sana,” katanya menunjuk sebuah perahu kecil. “Itu yang jual sayur segar dari ladang. Murah, kan?”Nabil tersenyum tipis. “Iya.” Panda