ホーム / Rumah Tangga / BUKAN MENANTU KAMPUNGAN / Bab 2. Uang Bulanan Ibu Mertua

共有

Bab 2. Uang Bulanan Ibu Mertua

作者: Jielmom
last update 最終更新日: 2024-12-24 13:24:57

Kedua orang tuaku dan kakakku, Leo datang ke Jakarta atas undangan ibu Aminah. Mereka menginap hotel karena tempat kostku kecil. Di hotel, aku ceritakan semuanya kepada mereka, perihal mas Farhan yang mau melamarku.

“Alea, apa kamu yakin mau menikah dengan Farhan?” tanya ayahku yang tampak ragu-ragu melepaskan aku kepada mas Farhan.

“Mas Farhan, orangnya baik, Yah. Walau ibunya terlalu mengatur hidup mas Farhan.”

“Yah, kalau Alea mau menikah dengan Farhan, jangan beritahu kalau Ayah itu yang bangun restoran Homy Private Dining. Jangan sampai, mereka manfaatin keluarga kita,” ucap Leo, yang ikut jengkel mendengarku bercerita.

“Dengar, nak. Menikah itu perpaduan antara suami dan istri. Sebisa mungkin, hindari pihak ketiga, walaupun itu mertuamu sendiri,” nasihat ibuku.

“Aku menikah dengan mas Farhan, bukan dengan keluarganya, Bu.”

“Benar apa kata Leo, Alea, ayah hanya berharap kalau Farhan orang yang baik, yang sanggup membahagiakan anak perempuan ayah ini. Kalau kamu menikah, ayah restui, tapi jika suamimu tidak lagi membahagiakanmu, pulanglah, ada kami disini.”

Aku sangat terharu dengan keluargaku. Mereka rela melepaskanku ke mas Farhan karena melihat mas Farhan baik terhadapku.

“Aku akan membahagiakan Alea,” jawab mas Farhan ketika hari dimana kami akan ijab kabul.

“Pegang kata-katamu, Farhan. Jangan sampai putri kami tidak bahagia,” ucap ayahku.

Kini, pernikahanku menginjak tahun kedua. Setahun kulewati penuh dengan drama. Aku tinggal di kontrakan bersama mas Farhan karena lebih murah daripada KPR. Aku benar-benar tidak memberitahukan sama sekali keadaan rumah tanggaku kepada ayah dan ibu karena aku tidak ingin mereka khawatir. Asal aku baik-baik saja, itu sudah cukup membuat mereka senang.

“Hei! Diajak ngomong kok melamun!” ujar ibu mertua mengagetkan aku.

“Eh, maaf Bu!”

“Itu, tolong gorengkan ayam. Ibu mau sarapan juga disini,” perintahnya.

Aku hanya mengangguk, dan menggorengkan dua potong ayam, untukku dan ibu mertuaku sarapan.

“Han, bisa ibu minta uang bulanan ibu?” tanya ibu kepada mas Farhan yang sedang bersiap kerja.

“Sudah aku titipkan pada Alea yah, Bu. Aku pamit kerja dulu. Alea, mas kerja dulu, yah!” ucap mas Farhan pamit padaku.

“Hati-hati, yah mas!” jawabku sambil mencium tangannya dengan takzim.

“Assalamualaikum,” pamit mas Farhan masuk ke dalam mobil.

Setelah mobil mas Farhan hilang dari pandangan, baru aku kembali ke meja makan dimana, ibu mertuaku sudah setengah jalan makan ayam yang aku goreng.

“Alea, sisanya ini tolong bungkuskan untuk Ratih!” perintahnya.

Aku tidak mau berdebat, aku bungkuskan ayam yang baru saja aku goreng itu untuk dibawakan ibu untuk adik mas Farhan, Ratih, yang sudah kuliah di semester lima.

“Bu, ini uang bulanan ibu.” Aku memberikan amplop yang sudah aku pisah-pisahkan ketika mas Farhan gajian. Kebutuhan pengeluaran rumah tangga seperti cicilan mobil, listrik, air, gas, sampah dan lain-lain, dalam satu amplop. Untuk tabungan, kebutuhan pribadiku, ibu mertua dan sedikit tabungan untuk kebutuhan Ratih ketika dia akan bayar uang semesteran.

Sebagai seorang manager, sebenarnya gaji mas Farhan tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan penghasilanku membuka restoran Homy Private Dining. Tim yang aku kelola hanya 10 orang saja, waktu kerja kami kebanyakan weekend, walau kadang ada juga yang mengadakan pesta di weekday. Sekali booking, untuk private party, rata-rata 10 juta untuk 10 orang, sudah termasuk tempat, dekorasi, soundsystem dan pelayanan ekslusif untuk durasi 3 sampai 4 jam, dan rata-rata pendapatan restoranku, perbulan mencapai omset seratus juta. Namun aku salut dengan mas Farhan yang bekerja keras untuk keluarga kecil ini.

Ibu mertuaku membuka amplopnya dan menghitung uang yang ada di dalamnya. “Hanya dua juta, Alea?” tanyanya dengan rasa kecewa.

“Bukankah memang setiap bulan, uang bulanan ibu segitu?”

“Sebelumnya, ibu sudah memberitahu Farhan, kalau ibu minta tambahan uang bulanan ibu, karena ibu sudah terlanjur ikut arisan bu Marlan, dan itu lima ratus ribu. Kalau ibu ambil dari uang bulanan Farhan, nanti gak cukup buat kebutuhan lainnya. Apalagi Ratih sebentar lagi mau bayar uang semester, kan?”

“Mas Farhan gak titip omongan sama Alea, kalau ibu mau ambil arisan.”

“Kalau ibu pinjam kamu dulu gimana? Nanti kalau Farhan pulang, kamu ngomong kalau ibu minta tambahan lima ratus ribu karena ibu ikut arisan bu Marlan. Toh, kalau pas dapat, duitnya juga bakal dipake Ratih buat bayar semesterannya,” ucap ibu sambil tersenyum, berusaha untuk meyakinkan aku untuk memberikan uang kepadanya.

“Nanti kalau mas Farhan pulang, Alea akan beritahu mas Farhan kalau ibu mau pinjam uangku.”

“Ng, maksud ibu, kalau Farhan setuju, ibu tidak pinjam, Alea, tapi karena memang jatah ibu jadi naik.”

Siapa yang bisa menolak keinginan ibu? Dalam sebulan, ibu sudah minta uang diluar uang bulanan, yang kalau dihitung totalnya sudah empat juta. Jauh lebih besar daripada mas Farhan yang jatah bulanan aku yang hanya sebesar dua juta. Dan sekarang ibu mertuaku hendak minta tambahan lagi.

“Akan aku sampaikan ke mas Farhan, Bu.”

“Tolong ya, Alea. Bu Marlan mau nagih siang ini. Gak enak kalau baru cicilan sekali ini gak lancar.”

“Lagian sih Bu, kenapa ikutan arisan-arisan seperti itu, kalau kebutuhan ibu belum tercukupi.”

“Apa kamu gak mau kasih pinjam uang ke ibu, Alea?” kecamnya.

“Bukannya gak mau kasih pinjam Bu, tapi–.”

“Terima kasih, Sayang. Yuk cepat. Ibu mau segera pulang, Ratih juga mau kuliah,” ucapnya sambil bersiap akan kembali pulang.

Dengan terpaksa, aku mengambil kembali uang untuk diberikan kepada ibu mertua.

Setelah ibu mertua pulang, aku menghitung kembali anggaran belanja bulananku yang diberikan mas Farhan untuk aku kelola. Pada awal-awal pernikahan, uang tabungan kami bisa mencapai 5 juta yang bisa aku sisihkan, karena mas Farhan ingin menabung untuk membeli rumah sendiri. Namun lambat laun, ibu atau Ratih kerap kali datang ke rumah untuk meminta uang dan akhir-akhir ini semakin sering. Kuhitung tabungan yang bisa aku sisihkan hanya dua juta saja. “Mudah-mudahan cukup sampai akhir bulan.”

Baru saja aku tutup catatanku, sebuah notifikasi pesan muncul di layar ponselku. Kubuka isi pesan dari Evan, marketing restoran, sekaligus sepupuku. “Mbak, ini jadwal booking untuk bulan ini.”

Aku melihat jadwal sebulan ini yang hampir full orang booking tempat di restoranku. “Alhamdulillah.” Kubalas pesan dari Evan.

Segera aku bereskan dapur, mandi dan sarapan. Kini saatnya aku bekerja menyusun menu sesuai dengan budget dari klien, jumlah orang yang aku sinkronkan dengan modal yang harus dikeluarkan untuk setiap bookingan, sampai tiba-tiba, pintu rumah diketuk seseorang, dan aku harus menutup catatanku ini.

Aku segera membuka pintu dan tampak Ratih, sudah berdiri di depan pintu rumah. “Ratih?”

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 116. Akhir Sebuah Kisah

    Aku duduk di ruanganku di restoran sambil menggulir layar ponsel. Berita tentang penangkapan Joko Supriono terus muncul di berbagai platform berita online. Ini menjadi pembicaraan hangat di media sosial, dan aku bisa membayangkan betapa kacaunya situasi di pihak Erika dan keluarganya saat ini. Evan baru saja kembali dari honeymoon-nya di Bali. Begitu masuk ke restoran, dia tampak lebih segar dengan senyum santainya yang khas. Aku melihatnya melangkah ke arahku sambil melepaskan kacamata hitam yang masih menggantung di wajahnya. "Hei, bos! Aku kembali," katanya dengan nada riang. "Kau merindukanku?" Aku tersenyum kecil dan mengangkat alis. "Kau hanya pergi seminggu, Evan." "Tapi tetap saja, restoran tanpa aku pasti terasa sepi, kan?" Dia tertawa, lalu menarik kursi di depanku. Namun, senyumnya sedikit memudar saat melihat aku masih sibuk menatap layar ponsel. "Kau kenapa sih? Dari tadi main ponsel terus," tany

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 115 Kisah Yang Berulang

    Aku menggeleng, mencoba tetap tenang. “Tunggu sebentar, Ratih. Maksudmu, Mas Calvin sudah tahu semua ini sejak awal?” Ratih menatapku dengan ekspresi datar, tapi aku bisa melihat ada sedikit ketegangan di sana. “Aku tidak tahu sejak kapan tepatnya. Tapi beberapa waktu lalu, suamimu menemui Mas Farhan dan menunjukkan bukti bahwa perusahaan yang dikelola mbak Erika sebenarnya mendapat suntikan dana dari seseorang yang mencurigakan. Mas Farhan tidak percaya pada awalnya, tapi setelah diselidiki lebih jauh, ternyata perusahaan Erika hampir bangkrut dan di saat itulah nama mas Joko muncul.” Aku menahan napas. “Jadi, Joko yang menyelamatkan perusahaan Erika?” Ratih mengangguk. “Iya. Dan Mbak tahu sendiri siapa mas Joko, bukan?” Tubuhku membeku. Joko bukan orang baik. Aku tahu itu. Tapi yang lebih mengejutkan adalah keterlibatan Mas Calvin dalam semua ini. Kenapa dia menyelidikinya? “Mbak Alea,” panggil Ratih pelan,

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 114. Hilangnya Joko Supriono

    Aku menghela napas sebelum mengangkatnya."Ada apa?" tanyaku datar."Apa yang kamu lakukan kepada Erika, Alea?!" suara Farhan terdengar penuh amarah di seberang sana.Aku mengernyit. "Apa maksud Mas Farhan?""Erika masuk rumah sakit! Dia tiba-tiba stres dan pingsan! Dia bilang ini semua gara-gara kamu!"Aku menggeleng tak percaya. "Dengar, Mas. Aku bahkan tidak bertemu Erika hari ini. Kalau dia merasa bersalah atau tertekan, itu urusannya, bukan salahku.""Jangan pura-pura tidak tahu! Kamu selalu iri dengan kebahagiaan kami, kan?! Makanya kamu sengaja membuat kekacauan!"Aku tertawa sinis. "Kebahagiaan? Mas serius? Dari awal, aku tidak pernah peduli dengan hubungan kalian. Aku sudah lama melupakan semuanya. Jadi kalau Erika merasa bersalah atau takut rahasianya terbongkar, itu bukan urusanku!""Kamu keterlaluan, Alea!" bentaknya lagi.Aku mendengus. "Mas, aku sudah cukup lelah dengan drama kalian. Kalau

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 113. Gara-Gara Joko

    Setelah pertemuan tak terduga dengan Ibu Aminah, aku menghela napas panjang, mencoba mengabaikan semua yang baru saja terjadi. Aku tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang tidak penting bagiku lagi. Fokus utamaku saat ini adalah restoran. Aku segera melanjutkan keperluanku di pasar, bertemu dengan beberapa supplier yang selama ini bekerja sama dengan restoranku. Karena Evan sedang cuti menikah, akulah yang harus memastikan semua bahan baku tetap tersedia dengan kualitas terbaik. “Bu Ningsih, seperti biasa, saya pesan ayam fillet dan daging sapi kualitas premium, ya. Kirim ke restoran sore ini.” Bu Ningsih, seorang pemasok daging yang sudah lama bekerja sama denganku, mengangguk sambil mencatat pesananku. “Siap, Mbak Alea. Stok lagi bagus, jadi tenang saja.” Aku melanjutkan ke lapak sayuran, memastikan semua bahan segar yang aku butuhkan tersedia. Setelah semua pesanan sudah diatur, aku mengec

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 112. Di Pasar

    Aku mengerutkan kening dan menatap karyawan yang berbisik padaku. “Tamu?” tanyaku, memastikan aku tidak salah dengar.Karyawan itu mengangguk. “Ya, seorang pria bernama Joko Supriono. Dia bilang ingin bertemu dengan Mbak Alea secara langsung.”Jantungku berdegup lebih cepat. Nama itu bukanlah nama yang ingin kudengar di malam spesial ini. Dengan perasaan waspada, aku melangkah ke arah pintu masuk restoran.Begitu aku keluar, di sana dia berdiri. Joko Supriono, pria paruh baya dengan perut buncit dan senyum yang selalu terasa menjijikkan di mataku. Dia mengenakan kemeja mewah yang sedikit terbuka di bagian atas, seolah ingin menunjukkan kepercayaan dirinya yang berlebihan.“Lama tidak bertemu, Alea,” ucapnya dengan nada yang terdengar akrab, seolah kami adalah teman lama.Aku mengatur napas dan berusaha tetap tenang. “Pak Joko, ada keperluan apa malam-malam begini?” tanyaku dengan nada datar.Dia terkekeh kecil, melirik ke sekelil

  • BUKAN MENANTU KAMPUNGAN   Bab 111. Lamaran Jadi Nikahan

    Semua orang masih larut dalam kebahagiaan setelah Nadine menerima lamaran Evan. Aku tersenyum puas melihat mereka saling menggenggam tangan dengan mata berbinar. Tapi, kejutan sesungguhnya baru akan dimulai.Aku melirik ke arah mas Calvin yang duduk di sebelahku sambil memangku Shasha. Dia mengangguk kecil, tanda bahwa semuanya sudah siap. Aku pun berdiri dan mengambil mikrofon.“Terima kasih untuk semua yang sudah datang dan menyaksikan lamaran Evan dan Nadine malam ini,” ujarku dengan suara mantap. “Tapi, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan.”Semua mata kini tertuju padaku, termasuk Evan yang menatapku dengan alis berkerut. Aku menarik napas dan melanjutkan, “Setelah berdiskusi dengan keluarga Nadine dan Evan, kami memutuskan untuk mengubah acara malam ini… dari sekadar lamaran menjadi akad nikah.”Ruangan mendadak hening. Aku bisa melihat wajah Evan langsung menegang, matanya melebar karena terkejut. Sementara Nadine, meski tampak terkejut, ti

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status