Share

Pulang

Penulis: Fatimah
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-25 19:30:50

Kususuri jalanan sambil berpikir kemana aku harus pulang. Bisa saja pulang ke Bandung, ke rumah orangtuaku. Tapi Ammah sama Appa pasti curiga. Karena selama empat tahun menikah, aku tak pernah pulang seorang diri. Selalunya pulang dengan Mas Hasan. Mereka pasti bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dan aku tak mau membebani pikiran mereka. 

 

 

“Teteh ... mau ke mana?“ tanya Uwak Piah.

 

Saking fokusnya berpikir, aku sampai lupa kalau ternyata sedang melewati rumah Uwak Piah. Uwak Piah menghampiriku, mengajakku masuk ke rumahnya. 

 

“Uwak Ayi mana, Wak?“ tanyaku saat duduk di bangku dapurnya. Uwak Ayi itu suaminya yang juga kakak kedua Mamah, uwaknya Mas Hasan.

 

 

“Lagi ke pasir, Teh. Kan udah mulai panen cengkeh,“ jawabnya sambil memberiku secangkir susu jahe. Aku hanya membulatkan bibir.

 

 

“Ayo Teh, diminum. Ini jahenya baru dipanen  kemarin. Seger,“ katanya.

 

 

“Iya, Wak. Hatur nuhun,“ ucapku.

 

 

Uwak menatap penampilanku sejenak. Lalu menatap Khalid yang kini tertidur di gendongan.

 

 

“Ada apa, Teh? Teh Aas bikin masalah lagi?“ tanyanya lembut. Aku mengangguk pelan.

 

 

“Sekarang apalagi, Teh?“ tanyanya dengan tak sabar.

 

 

Aku menunduk, lalu menceritakan semuanya. Mulai dari keinginannya menikahkan Mas Hasan dan Yanti juga kejadian tadi pagi saat merendahkanku di depan keluarga.

 

 

“Astagfirullahal adzim ... Emang bener-bener keterlaluan mertuamu itu.“ Uwak Piah terlihat begitu geram. Matanya melotot dan rahangnya mengeras.

 

 

 

“Terus gimana reaksi Hasan?“ 

 

Aku mengendikkan bahu, “Hanna juga bingung, Wak. Mas Hasan nggak ngelarang, nggak juga menahan. Katanya mau beresin kesalah pahaman.“

 

 

“Kesalah pahaman apa? Sudah-sudah ini kesengajaan. Bapak mertuamu itu, Hanna ... Emang semenjak stroke, sikapnya jadi beda. Mungkin dia merasa rendah diri atau gimana, Uwak nggak tau. Tapi semenjak stroke, dia memang jarang bicara. Manut banget sama Teh Aas. Padahal yang ngurusin dia waktu stroke kan Dedeh, adiknya yang perempuan itu,“ kata Uwak. 

 

Ya, aku tahu itu karena saat rewang beberapa hari lalu, Bibi Dedeh sendiri yang menceritakannya padaku.

 

“Terus sekarang Teteh mau pulang?“ tanyanya.

 

“Iya, Wak.“

 

“Ke mana? Ke Bogor apa ke Bandung?“

 

 

“Ke Bogor, Wak. Kalau ke Bandung takutnya jadi beban pikiran Ammah sama Appa.“ 

 

 

Uwak Piah mengangguk. Kami bergeming sejenak. 

 

 

“Kalau mau ke Bogor mah, biar Uwak anterin sampai pasar Cipanas. Gimana?“ 

 

 

Aku membulatkan mata. Kaget dengan penawarannya.

 

 

“Uwak udah pinter bawa motor, kok. Eh tapi mending naik mobil aja. Bentar ya biar Uwak WA  dulu si Aydin. Biar dia yang nganterin,“ katanya sambil beranjak berdiri. Aku segera menahannya.

 

 

“Jangan, Wak. Takut jadi fitnah. Hanna naik grabcar saja,“ kataku. 

 

 

 

Aydin itu adik bungsu Uwak Piah. Dia seorang duda tanpa anak. Bisa gawat kalau Mamah tahu. Bisa-bisa Mamah meracuni otak Mas Hasan supaya menceraikanku. Walau Mamah jauh dari sosok mertua idaman, tapi Mas Hasan anaknya, sosok suami idaman. Selama empat tahun menjadi istrinya, Mas Hasan tak pernah berbuat kasar. Dia juga menerimaku apa adanya. Tak banyak menuntut dan selalu mencoba memahami keinginanku. Aku tak mau pisah dengannya.

 

 

 

 Uwak Piah mengerucutkan bibirnya lalu duduk kembali. Dia bergeming sejenak.

 

 

“Nggak bakalan jadi fitnah. Uwak ikut nganter kamu,“ katanya. 

 

 

“Tapi Wak ...“

 

 

“Nggak ada tapi-tapi!“ serunya membuatku memutar bola mata.

 

 

***

 

Uwak Piah dan Aydin mengantar sampai depan rumah. Selain mengantar, Uwak juga memberiku buah tangan dan uang jajan untuk Khalid. Hal yang tak pernah dilakukan mertuaku sendiri.

 

 

 Aku begitu terharu dengan segala perhatiannya. Kupeluk erat Uwak Piah seraya mengucapkan banyak-banyak terimakasih. Uwak Piah menolak mampir, karena Uwak Ayi tak mengizinkannya lama-lama.

 

“Sekali lagi hatur nuhun, Wa, Kang Aydin,“ ucapku saat mereka sudah naik kembali ke mobil.

 

“Sama-sama. Kami pamit ya. Assalamualaikum,“ ucap Wak Piah seraya melambaikan tangan.

 

“Waalaikumussalam,“ balasku. Kututup gerbang lalu segera masuk ke rumah.

 

Kutidurkan Khalid dengan pelan-pelan. Sepanjang jalan tadi, Khalid tak henti mengoceh. Uwak Piah terus mengajaknya mengobrol. Begitupun dengan Aydin. Setelah menidurkan Khalid, aku bergegas ke dapur. Membuka dus besar pemberian Uwak Piah. Air mata menetes seketika saat melihat isinya. Selain beras, ada hasil kebun, buah mangga, bumbu-bumbu dapur,  daging semur, kentang mustofa dan berbagai macam cemilan Khalid.

 

Aku tersenyum. Jadi yang sebenarnya hajatan itu siapa? Kenapa jadi Uwak Piah yang memberiku oleh-oleh? 

 

 

 

 

Semburat jingga mulai memudar. Kurebahkan tubuh di samping Khalid sembari menunggu adzan magrib. Khalid tak sedikitpun beranjak dari tempatnya. Dia anteng nonton si duo kembar dari Negeri jiran. 

 

Sampai detik ini belum ada tanda-tanda kepulangan Mas Hasan. Kuhela napas dalam-dalam. Apa jangan-jangan dia tergoda si janda menor lalu langsung menikahinya? 

 

Iseng, kumainkan WA. Membuka satu-persatu pembaruan status terkini keluarga Mas Hasan. Mulai dari Uwak Piah yang mengunggah belasan karung cengkeh kemudian status Ningrum adik iparku. Fotonya sedang memotong kue pengantin. Semua yang ada di sana tersenyum lebar, termasuk Mas Hasan. Lalu di status Nuri ada foto Mas Hasan berdiri di depan lemari dan tak jauh darinya ada Yanti menatapnya penuh cinta.

 

[Calon ipar baru]

 

 

Begitu caption yang Nuri tulis. Aku tersenyum kecut. Benar-benar ngajakin perang. Kusimpan statusnya itu, siapa tahu nanti kubutuhkan.

 

 

**

 

Udara dingin mulai mengepung ruangan. Kubalur seluruh tubuh Khalid dengan minyak kayu putih, lalu mengajaknya tidur. Khalid menanyakan keberadaan Abbanya, tapi segera kualihkan dengan membacakannya kisah sahabat Nabi kesukaannya, Khalid bin Walid. Tak sampai sepuluh menit, Khalid tertidur.

 

 

Setelah itu kulangkahkan kaki ke dapur. Mencuci piring dan menutup sisa-sisa makanan. Kebiasaan yang sudah kulakukan sejak dulu. Selain menjaga kebersihan, ini juga salah satu sunnah Rasulullah. 

 

Saat hendak memejamkan mata, ponselku berdering. Mas Hasan menelepon. Kubiarkan saja. Setelah melihat status Ningrum dan Nuri, rasa kesalku padanya jadi bertambah. Kumatikan daya ponsel lalu memasukannya ke lemari laci Khalid.

Fatimah

Mohon supportnya ya, teman-teman. Untuk author amatir ini. Terimakasih❣

| Sukai
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • BUKAN MENANTU KAYA   Bertemu lagi

    BMK 67Semenjak kehadiran Zayn, aku jadi sering dihantui ketakutan. Bayangan-bayangan yang seharusnya tak kuingat lagi, mendadak bermunculan. Mengganggu aktifitas serta tidur nyenyakku.”Mas perhatikan akhir-akhir ini Adek sering melamun. Adek ada masalah?” tanya Mas Hasan sambil menatapku lekat-lekat. Aku yang tengah menikmati mie ayam pun untuk sesaat berhenti mengunyah. Sibuk mengolah alasan yang tepat. Tak mungkin kan kukatakan kalau aku ... Ah, sudahlah.”Aku lagi pusing aja, Mas,” jawabku yang pada akhirnya langsung kusesali. Kenapa menjawab seperti itu? Nanti bisa saja Mas Hasan pasti bertanya lagi kan?”Pusing kenapa, Dek?”Tuh kan benar? Aku tersenyum kaku. Sebelum akhirnya bergelayut di lengannya.”Nggak tau, Mas. Mungkin efek beradaptasi punya bayi kembar,” jawabku sekena. Mas Hasan membulatkan bibir. Ah, semoga saja dia mempercayai jawabanku.”Mau jalan-jalan?”Penawarannya membuatku cukup tersentak. Tapi tak membuatku begitu tertarik. Aku tertawa garing. lalu menggeleng

  • BUKAN MENANTU KAYA   Zayn

    ”A-aku nggak tau, Mas.” Aku menjawab sejujurnya, dan memang baru sadar juga. Kenapa Zayn bisa mengenaliku setelah cukup lama kami tak bertemu. ”Oh mungkin dari Ustazah Halimah ya, Dek?” ujar Mas Hasan. Aku langsung memalingkan wajah. ”Iya mungkin,” jawabku, ”sudahlah, kok jadi mikirin dia sih? Mending tidur lagi, yuk! Ngantuk banget nih.” ”Ayo, Dek.” Mas Hasan menyahut sambil menempelkan tubuh kami. Namun belum sempat mata ini terpejam, terdengar suara tangisan si kembar yang memekakan telinga. ”Astagfirullahal adziim ...” Aku meraup wajah dengan kasar, dan hendak turun. Namun Mas Hasan menahanku. ”Biarin Mas saja. Adek tidur saja,” katanya. ”Tapi, Mas—” ”Tidur, ya! Kamu pasti capek banget,” potongnya cepat. Aku pun mendengkus pelan, dan menurut. Karena memang kepala terasa berat. Aku terbangun saat mendengar suara Mas Hasan yang bersahutan entah dengan siapa. Setelah membersihkan diri dari hadats besar, aku pun lantas keluar untuk menghampiri si kembar. Tapi mendadak langkah

  • BUKAN MENANTU KAYA   Mertua Idaman

    Aku mengernyit saat mendengar deru mobil Mas Hasan. Setelah merebahkan si Kembar, aku buru-buru melangkah ke luar dan mendapati Mas Hasan juga Mamah berdiri di teras dengan senyuman lebar.”Mas, kok sudah pulang?” tanyaku. Mengingat baru tiga jam mereka pergi. Seharusnya mereka baru sampai di Cianjur. Mas Hasan tak menjawab. Dia hanya tersenyum dan menghampiriku. Lalu merangkul bahuku.”Masuk, yuk!” ajaknya. Aku diam, tapi tak menolak saat tubuhku digiring masuk.”Mas ...” ucapku saat dia mendudukanku. Tapi terhenti karena Mas Hasan menaruh telunjuknya di bibirku.”Tunggu Mamah dulu,” katanya. Aku mengangguk walau hati rasanya kebat-kebit. Pikiranku sibuk menerka apa kiranya yang membuat Mas Hasan dan Mamah tak jadi ke Cianjur.”Assalamualaikum,” ucap Mamah yang baru masuk. Entah apa yang dilakukannya hingga tak langsung keluar dari mobil.”Waalaikumussalam.” Aku dan Mas Hasan menjawab serempak. Lalu beliau pun duduk di samping Mas Hasan, berhadapan denganku.”Kenapa nggak jadi, Mas,

  • BUKAN MENANTU KAYA   Sebuah Janji

    “Hanna ... Maafkan Mamah, Nak.“Aku hanya bergeming mendengar permintaan lemah dari bibir Mamah. Cukup lama terdiam, hingga akhirnya kepala ini pun mengangguk pelan tapi bibir seakan terkunci.“Mamah janji, akan berubah. Takkan termakan lagi omongan Ningrum. Kamu terbaik, Hanna. Mantu terbaik Mamah dan istri yang luar biasa untuk Hasan,“ sambungnya.Aku hanya tersenyum tipis. Lalu mengusap pelan punggung tangan Mamah.“Mamah istirahat, ya. Aku mau ke luar dulu nemuin Ustadzah Halimah sama yang nganter kita ke sini,“ balasku.“Iya, Nak. Maafkan Mamah, ya.““Sudah aku maafkan, Mah.“Dengan langkah panjang, aku menghampiri Ustadzah Halimah dan lelaki yang tadi bersamanya. Ustadzah Halimah langsung berdiri begitu melihatku berjalan ke arahnya.“Gimana keadaan Bu Aas, Neng?“ tanyanya.“Alhamdulillah sudah siuman, Ustadzah,“ jawabku.“Boleh Ustadzah tengok?“ “Boleh, Silahkan,“ jawabku.Ustadzah Halimah mengangguk. Lalu menoleh pada lelaki yang sedari tadi hanya bergeming.“Zayn, Ummi mau k

  • BUKAN MENANTU KAYA   Mamah jatuh

    Genap satu bulan usia si kembar, dan hubunganku dengan Mamah, masih membeku. Aku hanya memanggilnya untuk makan atau pas ada paket untuknya saja. Selebihnya Mamah hanya berkomunikasi dengan Mas Hasan atau Bi Irah.Mas Hasan tak banyak menuntutku memperbaiki hubungan dengan Mamah. Tapi dia memintaku untuk tetap bertahan sekalipun Mamah menentang.Pagi ini, diantar Bi Irah, aku membawa si kembar ke klinik—untuk imunisasi. Sementara Mas Hasan, pergi meninjau lokasi cabang baru martabak kami bersama Khalid.Mamah sendiri, tak kutawari ikut ke klinik, dan menolak saat Mas Hasan mengajaknya. Katanya ingin istirahat saja. Aku tak banyak bertanya, terserah apa maunya beliau. Namun sepulang pulang dari klinik, aku mengernyit saat keadaan rumah begitu sepi. Mamah yang biasanya nonton TV di ruang tengah pun, kini tak ada. Ke mana, Mamah?“Sebentar, Neng, biar Bibi lihat dulu sandalnya,“ kata Bi Irah sambil berjalan tergopoh ke luar rumah.Tak lama, Bi Irah kembali dengan wajah mengernyit, “Sand

  • BUKAN MENANTU KAYA   Menjaga hati

    Acara aqiqah dan tasyakuran berjalan dengan lancar. Setelah dipotong rambutnya, si Kembar—Syafiya dan Shazia—langsung terlelap. Aku yang mengantuk pun, ikut membaringkan diri di samping mereka. Tak lama, Mas Hasan masuk sambil menggendong Khalid. Aku pun urung memejamkan mata dan beranjak duduk sambil bersandar pada dinding.“Yang lain udah pada tidur, Mas?“ tanyaku.“Udah, Dek. Oh iya, Mas mau bicarain tentang Mamah,“ katanya. Aku menatapnya antusias.“Nanti kalau di rumah sudah tidak ada siapa-siapa selain kita, rencananya Mas mau gertak Mamah. Mas mau tau Mamah lebih berpihak sama kita apa sama Ningrum,“ sambungnya sambil terdiam sejenak.“Kalau mihak sama kita gimana? Kalau mihak sama Ningrum gimana?“ tanyaku.Mas Hasan menarik napas dalam-dalam.“Kalau mihak sama kita, ya Mamah tinggal tetap tinggal di sini. Tapi kalau ...““Kalau apa?“ tanyaku tak sabar.“Kalau mihak sama Ningrum, terpaksa ... Mas pulangkan Mamah ke Cianjur.“Bola mataku sontak terbelalak mendengarnya. Aku meng

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status