Share

Pulang

Kususuri jalanan sambil berpikir kemana aku harus pulang. Bisa saja pulang ke Bandung, ke rumah orangtuaku. Tapi Ammah sama Appa pasti curiga. Karena selama empat tahun menikah, aku tak pernah pulang seorang diri. Selalunya pulang dengan Mas Hasan. Mereka pasti bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dan aku tak mau membebani pikiran mereka. 

 

 

“Teteh ... mau ke mana?“ tanya Uwak Piah.

 

Saking fokusnya berpikir, aku sampai lupa kalau ternyata sedang melewati rumah Uwak Piah. Uwak Piah menghampiriku, mengajakku masuk ke rumahnya. 

 

“Uwak Ayi mana, Wak?“ tanyaku saat duduk di bangku dapurnya. Uwak Ayi itu suaminya yang juga kakak kedua Mamah, uwaknya Mas Hasan.

 

 

“Lagi ke pasir, Teh. Kan udah mulai panen cengkeh,“ jawabnya sambil memberiku secangkir susu jahe. Aku hanya membulatkan bibir.

 

 

“Ayo Teh, diminum. Ini jahenya baru dipanen  kemarin. Seger,“ katanya.

 

 

“Iya, Wak. Hatur nuhun,“ ucapku.

 

 

Uwak menatap penampilanku sejenak. Lalu menatap Khalid yang kini tertidur di gendongan.

 

 

“Ada apa, Teh? Teh Aas bikin masalah lagi?“ tanyanya lembut. Aku mengangguk pelan.

 

 

“Sekarang apalagi, Teh?“ tanyanya dengan tak sabar.

 

 

Aku menunduk, lalu menceritakan semuanya. Mulai dari keinginannya menikahkan Mas Hasan dan Yanti juga kejadian tadi pagi saat merendahkanku di depan keluarga.

 

 

“Astagfirullahal adzim ... Emang bener-bener keterlaluan mertuamu itu.“ Uwak Piah terlihat begitu geram. Matanya melotot dan rahangnya mengeras.

 

 

 

“Terus gimana reaksi Hasan?“ 

 

Aku mengendikkan bahu, “Hanna juga bingung, Wak. Mas Hasan nggak ngelarang, nggak juga menahan. Katanya mau beresin kesalah pahaman.“

 

 

“Kesalah pahaman apa? Sudah-sudah ini kesengajaan. Bapak mertuamu itu, Hanna ... Emang semenjak stroke, sikapnya jadi beda. Mungkin dia merasa rendah diri atau gimana, Uwak nggak tau. Tapi semenjak stroke, dia memang jarang bicara. Manut banget sama Teh Aas. Padahal yang ngurusin dia waktu stroke kan Dedeh, adiknya yang perempuan itu,“ kata Uwak. 

 

Ya, aku tahu itu karena saat rewang beberapa hari lalu, Bibi Dedeh sendiri yang menceritakannya padaku.

 

“Terus sekarang Teteh mau pulang?“ tanyanya.

 

“Iya, Wak.“

 

“Ke mana? Ke Bogor apa ke Bandung?“

 

 

“Ke Bogor, Wak. Kalau ke Bandung takutnya jadi beban pikiran Ammah sama Appa.“ 

 

 

Uwak Piah mengangguk. Kami bergeming sejenak. 

 

 

“Kalau mau ke Bogor mah, biar Uwak anterin sampai pasar Cipanas. Gimana?“ 

 

 

Aku membulatkan mata. Kaget dengan penawarannya.

 

 

“Uwak udah pinter bawa motor, kok. Eh tapi mending naik mobil aja. Bentar ya biar Uwak WA  dulu si Aydin. Biar dia yang nganterin,“ katanya sambil beranjak berdiri. Aku segera menahannya.

 

 

“Jangan, Wak. Takut jadi fitnah. Hanna naik grabcar saja,“ kataku. 

 

 

 

Aydin itu adik bungsu Uwak Piah. Dia seorang duda tanpa anak. Bisa gawat kalau Mamah tahu. Bisa-bisa Mamah meracuni otak Mas Hasan supaya menceraikanku. Walau Mamah jauh dari sosok mertua idaman, tapi Mas Hasan anaknya, sosok suami idaman. Selama empat tahun menjadi istrinya, Mas Hasan tak pernah berbuat kasar. Dia juga menerimaku apa adanya. Tak banyak menuntut dan selalu mencoba memahami keinginanku. Aku tak mau pisah dengannya.

 

 

 

 Uwak Piah mengerucutkan bibirnya lalu duduk kembali. Dia bergeming sejenak.

 

 

“Nggak bakalan jadi fitnah. Uwak ikut nganter kamu,“ katanya. 

 

 

“Tapi Wak ...“

 

 

“Nggak ada tapi-tapi!“ serunya membuatku memutar bola mata.

 

 

***

 

Uwak Piah dan Aydin mengantar sampai depan rumah. Selain mengantar, Uwak juga memberiku buah tangan dan uang jajan untuk Khalid. Hal yang tak pernah dilakukan mertuaku sendiri.

 

 

 Aku begitu terharu dengan segala perhatiannya. Kupeluk erat Uwak Piah seraya mengucapkan banyak-banyak terimakasih. Uwak Piah menolak mampir, karena Uwak Ayi tak mengizinkannya lama-lama.

 

“Sekali lagi hatur nuhun, Wa, Kang Aydin,“ ucapku saat mereka sudah naik kembali ke mobil.

 

“Sama-sama. Kami pamit ya. Assalamualaikum,“ ucap Wak Piah seraya melambaikan tangan.

 

“Waalaikumussalam,“ balasku. Kututup gerbang lalu segera masuk ke rumah.

 

Kutidurkan Khalid dengan pelan-pelan. Sepanjang jalan tadi, Khalid tak henti mengoceh. Uwak Piah terus mengajaknya mengobrol. Begitupun dengan Aydin. Setelah menidurkan Khalid, aku bergegas ke dapur. Membuka dus besar pemberian Uwak Piah. Air mata menetes seketika saat melihat isinya. Selain beras, ada hasil kebun, buah mangga, bumbu-bumbu dapur,  daging semur, kentang mustofa dan berbagai macam cemilan Khalid.

 

Aku tersenyum. Jadi yang sebenarnya hajatan itu siapa? Kenapa jadi Uwak Piah yang memberiku oleh-oleh? 

 

 

 

 

Semburat jingga mulai memudar. Kurebahkan tubuh di samping Khalid sembari menunggu adzan magrib. Khalid tak sedikitpun beranjak dari tempatnya. Dia anteng nonton si duo kembar dari Negeri jiran. 

 

Sampai detik ini belum ada tanda-tanda kepulangan Mas Hasan. Kuhela napas dalam-dalam. Apa jangan-jangan dia tergoda si janda menor lalu langsung menikahinya? 

 

Iseng, kumainkan WA. Membuka satu-persatu pembaruan status terkini keluarga Mas Hasan. Mulai dari Uwak Piah yang mengunggah belasan karung cengkeh kemudian status Ningrum adik iparku. Fotonya sedang memotong kue pengantin. Semua yang ada di sana tersenyum lebar, termasuk Mas Hasan. Lalu di status Nuri ada foto Mas Hasan berdiri di depan lemari dan tak jauh darinya ada Yanti menatapnya penuh cinta.

 

[Calon ipar baru]

 

 

Begitu caption yang Nuri tulis. Aku tersenyum kecut. Benar-benar ngajakin perang. Kusimpan statusnya itu, siapa tahu nanti kubutuhkan.

 

 

**

 

Udara dingin mulai mengepung ruangan. Kubalur seluruh tubuh Khalid dengan minyak kayu putih, lalu mengajaknya tidur. Khalid menanyakan keberadaan Abbanya, tapi segera kualihkan dengan membacakannya kisah sahabat Nabi kesukaannya, Khalid bin Walid. Tak sampai sepuluh menit, Khalid tertidur.

 

 

Setelah itu kulangkahkan kaki ke dapur. Mencuci piring dan menutup sisa-sisa makanan. Kebiasaan yang sudah kulakukan sejak dulu. Selain menjaga kebersihan, ini juga salah satu sunnah Rasulullah. 

 

Saat hendak memejamkan mata, ponselku berdering. Mas Hasan menelepon. Kubiarkan saja. Setelah melihat status Ningrum dan Nuri, rasa kesalku padanya jadi bertambah. Kumatikan daya ponsel lalu memasukannya ke lemari laci Khalid.

Fatimah

Mohon supportnya ya, teman-teman. Untuk author amatir ini. Terimakasih❣

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status