Share

BUKAN PEMBAWA SIAL!
BUKAN PEMBAWA SIAL!
Penulis: Mithavic Himura

KITA, CERAI!

"Kita cerai!"

Shelin yang baru saja masuk ke dalam kamar sempit mereka terkejut ketika mendengar sang suami yang baru saja pulang dari usahanya untuk mencari pekerjaan bicara demikian.

Wanita cantik itu melangkah menghampiri sang suami, berharap itu semua karena ia salah mendengar, namun Pram, sang suami justru memintanya untuk tidak maju seolah Shelin sesuatu yang kotor yang wajib dijauhi olehnya.

"Jangan menyentuh dan mendekatiku! Cukup sudah. Sekarang aku tahu, kenapa selama kita menikah, hidup kita selalu tidak beruntung! Kamu penyebabnya! Kamu pembawa sial untuk aku, Shelin! Kita tidak seharusnya bersatu, karena itu akan membuat kehidupanku hancur dan ternyata benar, kau lihat sekarang? Aku sudah tidak punya apa-apa lagi! Aku miskin! Banyak hutang, dan selalu ditagih oleh rentenir karena hutang!"

Shelin tergugu di tempatnya. Sebuah kalimat yang tidak pernah ia kira bisa didengar dari seorang pria yang ia cintai dan mencintainya kini ia dengar dan sungguh Shelin terluka menerima itu semua.

Terluka dibandingkan dengan kalimat, aku tidak cinta denganmu lagi. Kenapa harus pembawa sial?

"Aku tahu, selama kita menikah, kita banyak menerima ujian, tapi tahukah kamu, ujian itu bukan cuma sebuah kesenangan, Pram, tapi juga penderitaan."

"Sudah berapa kali kamu bicara begitu? Sudah berulang kali aku mencoba menerimanya, tapi ternyata sekian hari, bukannya membaik justru keadaan kita semakin terpuruk, aku lelah, Shelin! Aku tidak biasa hidup miskin seperti sekarang! Itu sebabnya aku berusaha untuk berbisnis, bisnisku maju pesat sebelum menikahimu! Sekarang, lihat! Kita saja tinggal di rumah seperti korek api begini!!"

Nada suara Pram meninggi hingga membuat Sheila berlari ke arah kamar mereka dan bocah berusia 3 tahun itu tengadah menatap wajah kedua orang tuanya yang bertengkar seolah ingin mengatakan, jangan bertengkar papa dan mama.

"Tahan emosi kamu, Pa! Ada anak kecil, mentalnya akan terluka kalau melihat kita bertengkar."

Meskipun terluka dengan kalimat yang dilontarkan oleh Pram tentang dirinya yang pembawa sial, Shelin masih memikirkan Sheila sang anak yang tidak mengerti mengapa mereka bertengkar.

Berbeda dengan Pram, pria itu sudah terlanjur lelah dengan kondisi yang membelitnya hingga ia tidak menyesali apa yang sudah ia katakan di hadapan sang istri.

Bahkan, kehadiran putri kecilnya tidak juga membuat Pram tersentuh dan merubah pikirannya yang ingin menceraikan sang istri.

Pram, tetap pada pendiriannya. Hari itu, adalah hari terakhirnya berada di rumah sempit mereka.

Dengan perasaan yang sangat kesal luar biasa, pria itu benar-benar menceraikan Shelin sang isteri tanpa mempedulikan permintaan sang istri untuk berpikir ulang tentang keputusannya, dan setelah itu Pram pergi tanpa mau peduli dengan Shelin yang meminta dirinya untuk jangan pergi.

Kepergian Pram diiringi teriakan Sheila yang bertanya ia akan pergi ke mana. Namun, Pram yang sudah diselimuti perasaan kesal, lelah dan marah, tidak peduli dengan teriakan kecil itu hingga tetap keluar dari kontrakan sempit mereka tanpa banyak berpikir lagi.

Shelin berusaha untuk menahan tangis dan perasaan sesaknya.

Ada Sheila yang membuat ia tidak bisa melakukan itu untuk melampiaskan segalanya.

Sheila masih terlalu kecil untuk memahami semuanya. Hingga Shelin tidak mau anak semata wayangnya tahu, apa yang sebenarnya sudah terjadi pada ayah dan juga ibunya.

Ia berjongkok ketika sang anak memeluk kakinya seolah ingin tahu ke mana ayahnya pergi?

"Sheila jangan menangis, ya? Papa pergi cari kerja, papa Sheila cuma sedang lelah makanya marah-marah."

"Cela tatut...."

Bocah itu bicara dengan gaya bicaranya yang belum terlalu lancar berbicara dengan mengucapkan kata bahwa dirinya takut.

"Tidak usah takut, ada Mama, Mama tidak akan meninggalkan Sheila, Sheila harus percaya sama Mama, papa cuma pergi sebentar, nanti kembali lagi kalau sudah selesai kerja."

Shelin masih berusaha untuk membujuk sang anak, agar sang anak tidak tahu apa yang sedang terjadi antara dirinya dengan sang suami.

"Tapi papa balu puyang, tenapa pelgi lagi?" tanya bocah itu yang mengatakan, 'tapi papa baru pulang, kenapa pergi lagi.

"Itu karena pekerjaan papa masih banyak, jadi papa pergi lagi."

"Dadi, tapan papa puyang, Ma?" tanya sang anak, yang mengatakan, jadi kapan papa pulang, Ma? Dan, Shelin lagi-lagi harus mengatakan sejumlah kebohongan untuk menutupi semuanya agar sang anak tidak membenci ayahnya sendiri, meskipun kenyataannya, Pram justru tidak peduli lagi dengan sang anak karena terlalu marah.

Akhirnya, Sheila bisa tenang sekarang, tidak banyak bertanya lagi tentang ayahnya dan ketika Shelin meminta sang anak untuk bermain saja seperti sebelum ia dan Pram bertengkar, tiba-tiba saja ibu pemilik kontrakan sudah berdiri di hadapannya entah sejak kapan.

"Ah, Ibu. Sejak kapan di situ? Maaf, saya tadi tidak melihat."

Shelin buru-buru bicara sambil mempersilahkan sang pemilik kontrakan untuk masuk.

Namun, wanita itu tidak bergeming dari tempatnya, justru geleng-geleng kepala, seolah ada hal yang membuat dirinya tidak paham dengan apa yang baru saja dilihatnya tadi.

"Di sini saja. Saya sudah sejak tadi berdiri di sini saat suami kamu itu keluar, apa saya bilang, menikah terlalu cepat itu tidak akan membuat mental seorang pasangan itu siap, ada masalah sedikit cerai, anak masih kecil, lalu bagaimana dengan uang kontrakan yang belum dibayar? Apakah suami kamu bicara soal keuangan sama kamu?"

Mendadak, Shelin menjadi kelu untuk bicara ketika mendengar apa yang diucapkan oleh wanita pemilik di mana ia menyewa kontrakan tersebut.

Memang, mereka belum membayar uang kontrakan, sudah menunggak beberapa bulan lantaran suaminya tidak kunjung mendapatkan pekerjaan. Shelin bukannya tidak mau membantu mencari uang, meskipun tidak bisa bekerja di luar, karena ada anak kecil, namun wanita itu berusaha untuk menjual gorengan di depan rumah namun itu tidak bisa digunakan untuk menutupi kebutuhan, karena berdagang juga tidak selalu laku.

"Maaf, Bu. Bisa berikan sedikit waktu lagi untuk itu? Saya akan mencoba untuk mencari uang agar bisa membayar, tapi Ibu berikan saya waktu dulu, ya?"

"Waktu? Kemarin juga kamu bicara demikian, suami kamu pergi tiap hari apakah tidak memberimu uang? Setidaknya meskipun bercerai, dia masih harus menafkahi anak kamu!"

"Dia, benar-benar tidak memiliki uang, Bu, dan saya berharap kami tidak bercerai, saya berharap dia tadi hanya emosi, nanti dia pasti akan kembali."

"Saya tidak mau tahu tentang drama rumah tangga kalian, kamu gunakan anak kamu itu untuk minta uang sama suami kamu itu, pintar sedikit jadi wanita, jangan tahunya pasrah saja! Kalau begini terus, bagaimana bisa kamu membayar lunas semua tunggakan?"

Suara wanita pemilik kontrakan itu memicu tetangga Shelin ikut menguping pembicaraan mereka. Shelin benar-benar merasa malu, tapi apa daya, resiko.

Sudah beberapa bulan ia memang tidak membayar sewa, mau memberikan alasan apapun, tetap saja pemilik kontrakan juga tidak bisa terus bersabar karena penghasilannya hanya bergantung pada rumah yang ia sewakan beberapa kamar untuk penyewa yang sudah berkeluarga tersebut.

Yang lain lancar dalam pembayaran, sedangkan Shelin dan Pram semenjak pertama kali menyewa, sudah kerap telat membayar karena tidak ada uang.

Uang yang ada hanya cukup untuk makan sehari-hari, itu juga sangat seadanya, berbanding terbalik dengan dahulu awal ia dan Pram menikah, sangat berkecukupan dengan tinggal di rumah yang besar.

Setelah setahun menikah, kehidupan mewah mereka merosot sampai akhirnya mereka benar-benar tidak punya apa-apa dan terpaksa tinggal di rumah kontrakan satu kamar tidur di lingkungan yang tidak bisa dikata lingkungan yang sehat karena sedikit kumuh.

Apakah benar, ia wanita pembawa sial bagi Pram?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status