LOGINNafas Revan terengah-engah hampir menyelesaikan permainan ranjangnya. Randa yang masih di bawah tubuhnya juga mengalami hal yang sama. Tubuh mereka bergerak semakin cepat mengikuti irama yang diciptakan oleh Revan.
Tak berapa lama mereka mengerang bersamaan. Tubuhnya saling bergetar menikmati puncak nafsu yang baru saja berhasil diraih. Mereka mengeratkan pelukan. Keringat yang menyatu membuat tubuh polos mereka terasa lengket satu sama lain. Tapi mereka tersenyum puas. Revan menciumi Randa dengan lembut lalu menjatuhkan bobot tubuhnya di samping wanita itu. Mereka memejamkan mata dan mengatur nafas masing-masing. Randa beringsut mendekati Revan. Kepalanya disandarkan di dada laki-laki itu dan jemari lentiknya menari-nari di atas dada bidang milik Revan. Hatinya sangat bahagia. "Jadi kamu yakin Ayra juga selingkuh?" Randa mulai membuka obrolan sambil meraba-raba dagu Revan yang kasar karena bulu-bulu halus yang akan tumbuh disana. Dia menyukai itu. "Kamu bilang dia gak menarik lagi. Jadi siapa laki-laki bodoh yang mau sama ibu-ibu anak dua seperti dia?" Randa terus berbicara karena Revan hanya diam saja tidak menanggapinya. "Aku juga gak yakin. Lagipula Ayra bukan tipe wanita seperti itu. Dia terlalu mencintaiku." Revan akhirnya merespon sambil tetap memejamkan matanya. Tangannya membalas pelukan Randa. Randa mengerucutkan bibirnya mendengar kata-kata Revan yang sebenarnya memuji Ayra sebagai wanita yang setia. Dia ingin Revan menjadi miliknya seutuhnya. Ayra sudah merebut Revan darinya. Wanita itu juga memisahkan dirinya dari kekasihnya itu. "Lalu apa rencanamu selanjutnya? Kamu yakin Ayra akan mencari kamu?" "Pasti. Sudah kubilang dia itu terlalu mencintaiku. Dia gak akan bisa aku tinggal lama, apalagi Arzha dan Zetha juga kubawa." Revan mengatakan itu dengan penuh percaya diri. Tak berapa lama, terdengar ponsel Randa berdering. Randa segera mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas dan melihat nama papanya disana. Randa langsung meletakkan jari telunjuknya di bibir mengisyaratkan Revan untuk tidak berisik. Lalu menjawab panggilan papanya. "Halo, Pa." "Kamu dimana? Cepat pulang. Temani anakmu, Papa sama Mama mau ada urusan di luar." Terdengar suara ketus Pak Gunawan dari ponsel. "Randa lagi reuni sama temen-temen lama, Pa. Iya, Pa. Randa pulang sekarang." "Cepat!" Pak Gunawan langsung mengakhiri panggilan tanpa menunggu jawaban lagi. Rasa sayang kepada putri satu-satunya itu kini berkurang semenjak kasus penggerebekan kemarin. Dia sudah menghabiskan banyak uang demi menutup dan membungkam orang-orang yang ikut dalam penggerebekan itu. Membayar untuk menghilangkan semua foto dan video yang berhasil diambil saat kejadian itu tanpa ada yang tersisa. Dia tidak mau nama keluarganya tercoreng hanya karena skandal memalukan putrinya tersebut. Randa segera beranjak dan memungut satu persatu pakaiannya yang tergeletak di lantai. Dia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sedangkan Revan masih diam menikmati posisinya di ranjang kamar hotel yang empuk. Melihat Randa yang sudah selesai memakai pakaiannya dan bersiap pergi, Revan meminta uang untuk membeli rokok. Randa pun membuka dompetnya dan menyerahkan lima lembar uang pecahan seratus ribu padanya. Mereka masih sempat berpelukan dan berciuman sesaat sebelum berpisah. Lalu Randa pun meninggalkan kamar hotel itu menyisakan Revan sendirian. Revan tersenyum bangga memikirkan kehebatan dirinya yang berhasil membuat dua putri orang kaya di kota Lumia bertekuk lutut padanya. Dia tidak perlu capek bekerja tapi semua kebutuhan dan apa yang dia inginkan selalu bisa didapatkannya. Revan masih belum mau beranjak dari posisinya. Dia ingin tidur sebentar sebelum kembali ke rumah ibunya. Tapi suara dering ponsel membuatnya membatalkan keinginannya untuk tidur. Dia meraih ponselnya dengan malas. Melihat nama Ayra di layar, matanya langsung berbinar. Dia yakin Ayra pasti menghubunginya untuk minta maaf dan memohon dia kembali. Dengan senyum lebar dia menggeser tombol hijau pada layar dan menempelkan ponsel di telinganya. "Hmm." Revan berpura-pura cuek. "Kamu dimana? Nanti malam bawa anak-anak pulang. Kita makan malam bareng." Ayra mengutarakan tujuannya menghubungi Revan. "Kamu udah sadar salahmu?" Revan masih mengungkit hal itu. Dia tidak mau terlihat luluh hanya karena ajakan makan malam Ayra. Ayra memutar bola matanya malas dan menghembuskan napasnya. Tapi dia harus bisa menahan semua rasa kesalnya demi melanjutkan rencananya. "Iya aku tau aku salah. Maaf untuk itu. Sudah ya, nanti malam kita makan malam bareng sama anak-anak." Ayra akhirnya terpaksa menjawab dengan menekan rasa kesalnya dalam-dalam. Tangannya mengepal kuat serasa ingin meninju Revan. "Oke. Aku ajak anak-anak pulang." Revan langsung mematikan telepon dan tersenyum lebar menunjukkan kemenangannya. Revan langsung bergegas mandi dan segera pulang. Hatinya sungguh berbunga-bunga hari ini. Setelah bersenang-senang dengan Randa, malam ini dia juga akan bersenang-senang dengan Ayra. Sepanjang perjalanan, senyum tak pernah hilang dari bibirnya. Saat malam, Revan dan kedua anaknya pulang ke rumah sesuai permintaan Ayra. Ayra menyambut kedua anaknya dengan pelukan hangat. Dia sungguh bahagia berkumpul kembali dengan anak-anaknya. Ayra mencium takzim tangan Revan seperti biasa. Lalu mengajak mereka untuk makan malam. Dia sudah memasak beberapa menu khusus malam ini. Dia melayani Revan dan kedua anaknya seolah tidak pernah terjadi apapun sebelumnya. Mereka pun makan malam dengan hangat. Zetha tak henti berceloteh menceritakan kegiatan di sekolahnya hari ini. Arzha hanya menimpali cerita adiknya sesekali. Ayra sangat bahagia melihat keceriaan di wajah kedua anaknya. Ayra melirik ke arah Revan. Suaminya itu hanya diam dan makan dengan tenang. Dia menyipitkan mata melihat tanda merah yang samar di bawah telinga Revan. Emosinya naik ingin meluap. Tapi lagi-lagi Ayra hanya bisa menahannya kuat-kuat. 'Ternyata belum kapok dia sama penggerebekan kemarin.' Setelah makan malam, Ayra menemani kedua anaknya belajar dan mengobrol di kamar Arzha. Hatinya menghangat menikmati suasana ini dan tidak ingin berjauhan dengan mereka lagi. Ayra berjanji akan segera menyelesaikan rencananya dan mengusir Revan pergi jauh-jauh dari hidupnya dan kedua anaknya. Laki-laki itu sangat tidak pantas menjadi sosok ayah dan suami. Setelah lelah belajar dan bermain, Arzha dan Zetha pun langsung tertidur. Ayra memastikan mereka aman lalu pergi untuk masuk ke kamarnya sendiri. Di sana, Ayra melihat Revan baru saja selesai bicara di telepon. Revan yang melihatnya juga langsung meletakkan ponselnya dan beralih menatap ke arahnya. Ayra seperti tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi bersyukur dia sudah menyiapkan alasan untuk itu. Ayra tetap diam dan berjalan ke arah ranjang. Dia mengambil selimut lalu segera berbaring di sisi ranjang lainnya. Benar seperti dugaannya, Revan mendekat dan mengelus tangannya. Ayra yang merasa jijik langsung menghentikan tangan Revan yang seperti ingin memeluknya. "Maaf, Mas, tadi sore aku tiba-tiba haid." Revan langsung mengecek dengan meraba. Benar saja, Ayra sedang memakai pembalutnya. Revan merasa kesal karena gagal lagi mendapat haknya. Ayra sendiri meremas selimut menahan rasa jijik yang berlebihan pada Revan. Dia teringat tanda merah di bawah telinga Revan yang tak sengaja dia lihat tadi. 'Tunggu saja. Kita baru mulai, Mas.'Abrar telah pulang sekitar setengah jam yang lalu. Ayra juga baru saja selesai menemani Arzha dan Zetha tidur. Kini tinggal dirinya sendiri yang masih terjaga. Waktu menunjukkan masih pukul sepuluh. Karena belum merasakan kantuk sama sekali, Ayra bingung hendak melakukan apa. Hingga akhirnya dia berpikir untuk memakai lulur badan dan masker wajah saja. Dia mengambil baju ganti dan masuk ke kamar mandi. Ayra melumuri dan memijat lembut seluruh badannya dengan lulur beraroma bunga sakura. Dia juga memasang masker pada wajahnya yang sudah dia bersihkan dengan air hangat sebelumnya. Ayra mengambil buku bacaan dan mulai fokus membaca sambil menunggu lulur dan maskernya meresap. Dia selalu menikmati momen quality time untuk dirinya sendiri seperti ini. Rutinitas harian yang melelahkan dan pekerjaan yang menyita pikiran, memang membutuhkan hal-hal yang bisa membuat rileks agar tidur menjadi lebih nyaman dan nyenyak. Tak terasa dua puluh menit berlalu. Ayra beranjak dan melepas maskernya
Ayra memberi Abrar tatapan yang sangat tajam dan penuh kecurigaan. Dia cukup familiar dengan suara gadis yang didengarnya barusan. Apalagi posisi gadis tersebut sedang berada di rumah Abrar bersama dengan Nenek Wanda. "Aku tau apa yang sedang kamu pikirin. Dan aku bisa pastiin ini semua nggak seperti yang ada di dalam pikiranmu." Abrar terlebih dahulu berkata dengan sangat hati-hati. "Emang apa yang aku pikirin?" mata Ayra semakin tajam. "A-aku beneran nggak tau ataupun sama sekali nggak janjian sama mereka. Beberapa hari ini mereka berkali-kali datang ke kantor tapi emang sengaja aku tolak. Aku sama sekali nggak pernah ketemu lagi sama cewek itu sejak aku pergi keluar negeri lima tahun lalu."Sorot mata Abrar terlihat jujur namun was-was. Nada suaranya juga pelan dan penuh kehati-hatian. "Terus?" Ayra sengaja terus menekan. Dalam hatinya banyak rasa berkecamuk. Ada curiga, percaya, cemburu, takut namun juga senang. Dia tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya dia rasakan. "Ya b
Hari ini akhirnya Zetha diperbolehkan pulang oleh dokter. Ayra sedang mengemas barang-barang mereka setelah mempersiapkan Zetha. Gadis cilik itu sudah terlihat segar setelah cuci muka dan berganti baju. Abrar yang selalu setia menemani Ayra menginap di rumah sakit, kini sedang mengurus administrasi. Tidak ada Willi yang bisa dia perintah untuk hal ini. Asistennya tersebut sedang menetap di kantor untuk mewakilinya. Ayra dan Abrar saat ini terlihat jauh lebih kompak dan serasi. Mereka selalu bekerja sama dan saling mengisi untuk merawat dan memenuhi kebutuhan Zetha selama di rumah sakit.Ayra juga merasa sangat terbantu dengan kehadiran Abrar. Bahkan Pak Surya dan Bu Yasmin juga menjadi lebih tenang jika harus meninggalkan Ayra di rumah sakit. Kedua orang tua itu sedang sibuk mengurus keperluan keberangkatan mereka untuk perjalanan umroh dan beberapa negara lainnya. "Sudah diberesin semua?" Abrar yang baru saja masuk langsung bertanya dengan lembut kepada Ayra. "Sudah." Ayra mengan
"Mami sama papi lama banget sih. Adek mau minum, haus." Zetha langsung protes. "Iya sayang, maaf ya. Bentar mami ambilkan minumnya dulu." Ayra merasa bersalah. Dia mengambil air mineral dalam botol kemasan yang tersedia di atas nakas. Abrar juga bergerak membantu Zetha untuk duduk. Dia menarik bantal agar menjadi sandaran yang nyaman untuk bocah yang masih terlihat lemah itu. Setelah membuka tutup botolnya, Ayra segera membantu Zetha untuk minum secara perlahan. Abrar juga tetap pada posisinya menjaga tubuh Zetha di sisi yang lain. Mereka terlihat seperti keluarga kecil yang bahagia. Saling perhatian dan penuh kasih sayang. "Mau apa lagi sayang? Mau makan roti nggak?" Ayra menawarkan sesuatu untuk Zetha sambil merapikan anak rambut putrinya tersebut. "Mau, tapi dikit aja ya, Mi." Zetha mengangguk. "Oke. Mami suapin ya." Ayra tersenyum lalu meraih roti sobek di atas nakas. Dia mengambil secukupnya dan mulai menyuapi Zetha. Sesekali dia memberi minum agar roti tersebut denga
Abrar dan Ayra saling berpandangan untuk beberapa saat. Mereka sama-sama tertegun dengan perkataan masing-masing. Sama-sama masih mencerna apa yang baru saja didengar. "Aku tanya lagi, siapa yang udah menikah? Istri siapa yang kamu maksud tadi?" akhirnya Abrar yang pertama memecah keheningan diantara mereka. Mulut Ayra terbuka hendak menjawab namun langsung terhenti karena bingung dengan jawaban yang kini tidak dia yakini lagi kebenarannya. Ayra berpikir sejenak, lalu menjawab saat dia telah menemukan kata-kata yang tepat. "Bukannya kamu udah menikah? Bukannya dulu nenek yang jodohin kamu sama Leana? Bukannya itu berarti kalian udah menikah sekarang?" Ayra memberikan jawaban berupa pertanyaan. Dahi Abrar semakin berkerut mendengar prasangka Ayra. Pertanyaan itu seperti menyindir namun sepenuhnya salah. Dia harus segera meluruskannya. "Kamu dapat kabar dari mana?" Abrar bertanya dengan lembut kepada Ayra. Ayra semakin bingung. Pertanyaan Abrar kali ini seperti memberi membenarka
"Makanannya biar aku yang pesankan. Nanti kalau udah datang kita ajak Arzha makan juga. Kasian dia." Abrar kembali berbicara karena melihat Ayra hanya diam menatapnya. "Kenapa kamu nggak pergi?" Ayra tidak menanggapi ucapan Abrar namun justru menanyakan soal hal lain. "Aku mau temani kamu disini." Abrar menjawab tulus. "Aku baik-baik aja. Aku bisa sendiri. Kamu pergi aja." tatapan Ayra berubah menjadi dingin. Bagaimanapun, Abrar telah menikah. Sangat tidak baik jika Abrar terus disini menemaninya. Itu akan menimbulkan masalah besar. Mengingat sifat Leana, wanita itu tidak akan tinggal diam jika tau tentang hal ini. Lima tahun ini hidup Ayra sudah cukup tenang. Dia tidak ingin merusak ketenangan itu. Dia tidak ingin memancing masalah yang sebenarnya tidak penting dan sangat bisa dihindari."Kenapa kamu suruh aku pergi?" kening Abrar berkerut karena perubahan sikap Ayra. Dia merasa tadi tidak ada masalah lagi diantara mereka. Semuanya baik-baik saja sampai sekarang akhirnya mereka







