LOGINSudah sekitar tiga hari Ayra fokus bekerja di kantor barunya. Dan selama ini juga hubungannya dengan Revan semakin datar dan dingin. Tetapi Ayra tetap menjalankan tugasnya di rumah seperti biasa.
Revan juga tetap dengan kebiasaannya yang bermalas-malasan di rumah seharian. Dia bahkan tidak tau bahwa Ayra sudah berpindah tempat kerja. Tidak pernah ada obrolan serius diantara mereka setelah kembalinya Revan. Mereka layaknya orang asing yang hidup serumah. Pagi ini seperti biasa, Ayra mengantar kedua anaknya ke sekolah sebelum berangkat bekerja. Dan saat sudah berada kantor, dia langsung larut dan fokus pada pekerjaannya. Semua karyawan akhirnya tau bahwa dia putri pemilik perusahaan ini. Ayra tidak mengelak soal itu tapi merasa semua orang jadi menghormatinya bukan sebagai teman kerja, namun karena papanya. Tapi Ayra tidak peduli, tujuannya disana hanya untuk bekerja mencari uang sebanyak-banyaknya. Ayra diminta menghandle pengerjaan kontrak kerja sama dengan perusahaan Bimantara. Padahal itu jelas bukan bidangnya. Tapi Ayra belajar dengan cepat, dia bisa membuat kontraknya sesuai dengan arahan yang diberikan oleh manager divisi hukum dan manager divisi pengadaan. Sebenarnya ini adalah permintaan Pak Surya. Dia ingin kedua anaknya banyak belajar dan cepat berkembang. Bagaimanapun, kelak Ayra dan adiknya, Diego, yang akan meneruskan semua bisnisnya. Siang ini Ayra sudah melakukan janji temu dengan perwakilan perusahaan Bimantara. Mereka akan membicarakan beberapa poin rencana kontrak kerjasama yang akan dilakukan. Ayra sedang sibuk menyiapkan beberapa dokumen saat melihat notifikasi pesan masuk di ponselnya. "Selamat pagi, Bu Ayra. Kita bertemu di Resto Bahari setengah jam lagi." "Baik." Ayra langsung membalas pesan tersebut. Resto Bahari berjarak tidak terlalu jauh dari kantor. Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk kesana. Ayra masih punya waktu untuk memeriksa kembali dokumen-dokumen yang harus dibawa. Sepuluh menit kemudian Ayra berangkat ke tempat perjanjian yang sudah ditentukan. Dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Masih ada banyak waktu, tapi dia tidak ingin terlambat. Apalagi pertemuan membahas kontrak kerjasama seperti ini adalah pengalaman pertama baginya. Tibalah dia di Resto Bahari. Selesai memarkirkan mobil, dia pun berjalan masuk. Ayra mengatakan tujuannya pada pelayan di pintu masuk, lalu seorang pelayan mengantarkannya ke salah satu ruang VIP. Begitu masuk, di ruangan itu Ayra hanya melihat Abrar yang duduk seorang diri. Dia sedikit terkejut. Tidak menyangka pertemuan bisnis ini dihandle langsung oleh Abrar. Tatapan mereka bertemu dalam beberapa detik. Abrar yang sadar lebih dulu, langsung menunjuk kursi di sebelahnya mempersilahkan Ayra duduk. Ayra berjalan mendekat dan duduk dengan patuh. Tak sengaja sudut bibir Abrar terangkat. "Kita mulai saja pembahasannya." Abrar memulai. "Oh, iya baik." Ayra tersadar dan segera mengeluarkan beberapa dokumen yang dipersiapkannya. Lalu mereka pun larut dalam pembahasan yang serius. Tiga puluh menit kemudian pintu dibuka dan dua orang pelayan masuk sambil mendorong troli makanan. Di atasnya terlihat berbagai macam hidangan laut yang menggugah selera. Ayra menelan air liur mencium aroma masakan yang menyeruak di ruangan. "Aku sudah pesankan semua menu seafood favorit kamu." Abrar berkata sambil menatap mata Ayra yang berbinar. "Kamu tau?" Ayra menoleh. "Bukan. Aku ingat." Abrar menjawab dengan tegas. Mata Ayra melebar mendengar itu. Mereka memang berteman sejak kecil meski umur Ayra lebih tua tiga tahun dari Abrar. Mereka sering bertemu karena orang tua mereka sering terlibat dalam urusan bisnis bersama. Dan setiap acara makan bersama, Ayra selalu memesan jenis-jenis makanan laut di menu. Tapi itu sudah lebih dari lima belas tahun yang lalu. Dan Abrar masih ingat hal kecil ini? Apakah artinya, Abrar selalu memperhatikan dirinya sampai hal sedetail ini? Tidak, Ayra tidak ingin besar kepala. Bahkan setelah menikah selama sepuluh tahun, Ayra tidak ingat lagi ataupun peduli dengan apapun kesukaannya. Dia hanya memprioritaskan suami dan anak-anaknya. Revan juga tidak pernah seperhatian ini padanya. Mendapat perlakuan ini, Ayra jelas terharu. Dia mengucapkan terima kasih dengan tulus. "Makanlah sepuasnya. Kita bisa pesan lagi kalau kurang. Anggap saja ini permintaan maaf untuk kecelakaan waktu itu." Abrar mengambilkan seekor udang asam manis berukuran besar dan menaruhnya di piring Ayra. "Kamu berlebihan. Aku baik-baik aja." "Sudah, jangan cerewet. Ayo kita makan." "Terima kasih." Ayra begitu antusias melihat semua makanan lezat di hadapannya. Benar, ini semua adalah menu favoritnya. Dia bahkan sudah lupa kapan terakhir kali dia menikmati semua makanan ini. Abrar tersenyum melihat kebahagiaan Ayra menyantap dengan lahap semua hidangan di atas meja. Sesederhana itu. Setelah urusan rancangan kontrak selesai, Ayra juga sudah kenyang menghabiskan sebagian besar hidangan. Mereka pun keluar dari resto untuk kembali ke kantor masing-masing. Ayra berulang kali mengucapkan terima kasih. Tak disangka ada yang memperhatikan dan memotret kebersamaan mereka. Wajah Ayra yang nampak bahagia dan Abrar yang selalu menatapnya, membuat keduanya terlihat sangat dekat. Orang tersebut tersenyum melihat hasil bidikan kamera layar ponselnya. Sore hari, Ayra telah selesai dengan pekerjaannya. Dia membereskan meja kerja dan bersiap untuk pulang. Suasana hatinya sangat baik hari ini. Dia berencana membeli beberapa keperluan dapur dan stok makanan untuk Arzha dan Zetha terlebih dahulu. Ayra masuk ke mobilnya dan bersiap menghidupkan mesin. Tapi tiba-tiba saja ada rasa tidak nyaman di hatinya. Entah perintah darimana, tangan Ayra tiba-tiba membuka aplikasi cctv di ponselnya. Ayra melihat saat ini Revan sedang berdiri di depan pagar melihat ke arah jalan. Dia seperti sedang menunggu sesuatu. Ayra lanjut menyetel rekaman ke satu jam sebelumnya. Deg Di rekaman kamera yang ada di dalam kamarnya, Ayra melihat Revan sedang berdua dengan seseorang perempuan yang asing baginya. Mereka terlihat sangat menikmati kegiatan hubungan intim di kamarnya. Adegannya terlihat sangat jelas. Ayra mencengkeram setir dengan kuat. Dia marah. Bukan karena sekali lagi melihat langsung suaminya berselingkuh, tapi melihat mereka berani melampiaskan nafsu setannya di rumahnya. Di kamar pribadinya. Bahkan disaat dirinya sedang sibuk bekerja. Kurang ajar. Ayra memejamkan mata dan menghembuskan nafas dengan kuat. Dia mengatur gejolak emosinya yang akan meledak. "Gak boleh nangis. Gak boleh nangis. Aku kuat. Aku kuat. Astaghfirullah." Ayra mengelus dadanya menguatkan dirinya sendiri. Setelah lebih tenang, Ayra menyimpan rekaman tersebut di folder yang aman. Dia juga mengirimkan file tersebut ke Nesya untuk salinan dan jaga-jaga. Ayra puas telah mendapatkan bukti kuat sesuai keinginannya. Selanjutnya, gugatan perceraian yang sudah dia siapkan akan langsung diserahkan ke pengadilan agama oleh Nesya selaku pengacaranya. Sekarang Ayra akan pulang dan membereskan Revan. Dia sudah punya alasan untuk mengusir lelaki benalu tak tau diri itu dari rumahnya. Setelah ini, dia bisa menjalani hidup dengan tenang. Fokus membahagiakan kedua anaknya.Abrar telah pulang sekitar setengah jam yang lalu. Ayra juga baru saja selesai menemani Arzha dan Zetha tidur. Kini tinggal dirinya sendiri yang masih terjaga. Waktu menunjukkan masih pukul sepuluh. Karena belum merasakan kantuk sama sekali, Ayra bingung hendak melakukan apa. Hingga akhirnya dia berpikir untuk memakai lulur badan dan masker wajah saja. Dia mengambil baju ganti dan masuk ke kamar mandi. Ayra melumuri dan memijat lembut seluruh badannya dengan lulur beraroma bunga sakura. Dia juga memasang masker pada wajahnya yang sudah dia bersihkan dengan air hangat sebelumnya. Ayra mengambil buku bacaan dan mulai fokus membaca sambil menunggu lulur dan maskernya meresap. Dia selalu menikmati momen quality time untuk dirinya sendiri seperti ini. Rutinitas harian yang melelahkan dan pekerjaan yang menyita pikiran, memang membutuhkan hal-hal yang bisa membuat rileks agar tidur menjadi lebih nyaman dan nyenyak. Tak terasa dua puluh menit berlalu. Ayra beranjak dan melepas maskernya
Ayra memberi Abrar tatapan yang sangat tajam dan penuh kecurigaan. Dia cukup familiar dengan suara gadis yang didengarnya barusan. Apalagi posisi gadis tersebut sedang berada di rumah Abrar bersama dengan Nenek Wanda. "Aku tau apa yang sedang kamu pikirin. Dan aku bisa pastiin ini semua nggak seperti yang ada di dalam pikiranmu." Abrar terlebih dahulu berkata dengan sangat hati-hati. "Emang apa yang aku pikirin?" mata Ayra semakin tajam. "A-aku beneran nggak tau ataupun sama sekali nggak janjian sama mereka. Beberapa hari ini mereka berkali-kali datang ke kantor tapi emang sengaja aku tolak. Aku sama sekali nggak pernah ketemu lagi sama cewek itu sejak aku pergi keluar negeri lima tahun lalu."Sorot mata Abrar terlihat jujur namun was-was. Nada suaranya juga pelan dan penuh kehati-hatian. "Terus?" Ayra sengaja terus menekan. Dalam hatinya banyak rasa berkecamuk. Ada curiga, percaya, cemburu, takut namun juga senang. Dia tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya dia rasakan. "Ya b
Hari ini akhirnya Zetha diperbolehkan pulang oleh dokter. Ayra sedang mengemas barang-barang mereka setelah mempersiapkan Zetha. Gadis cilik itu sudah terlihat segar setelah cuci muka dan berganti baju. Abrar yang selalu setia menemani Ayra menginap di rumah sakit, kini sedang mengurus administrasi. Tidak ada Willi yang bisa dia perintah untuk hal ini. Asistennya tersebut sedang menetap di kantor untuk mewakilinya. Ayra dan Abrar saat ini terlihat jauh lebih kompak dan serasi. Mereka selalu bekerja sama dan saling mengisi untuk merawat dan memenuhi kebutuhan Zetha selama di rumah sakit.Ayra juga merasa sangat terbantu dengan kehadiran Abrar. Bahkan Pak Surya dan Bu Yasmin juga menjadi lebih tenang jika harus meninggalkan Ayra di rumah sakit. Kedua orang tua itu sedang sibuk mengurus keperluan keberangkatan mereka untuk perjalanan umroh dan beberapa negara lainnya. "Sudah diberesin semua?" Abrar yang baru saja masuk langsung bertanya dengan lembut kepada Ayra. "Sudah." Ayra mengan
"Mami sama papi lama banget sih. Adek mau minum, haus." Zetha langsung protes. "Iya sayang, maaf ya. Bentar mami ambilkan minumnya dulu." Ayra merasa bersalah. Dia mengambil air mineral dalam botol kemasan yang tersedia di atas nakas. Abrar juga bergerak membantu Zetha untuk duduk. Dia menarik bantal agar menjadi sandaran yang nyaman untuk bocah yang masih terlihat lemah itu. Setelah membuka tutup botolnya, Ayra segera membantu Zetha untuk minum secara perlahan. Abrar juga tetap pada posisinya menjaga tubuh Zetha di sisi yang lain. Mereka terlihat seperti keluarga kecil yang bahagia. Saling perhatian dan penuh kasih sayang. "Mau apa lagi sayang? Mau makan roti nggak?" Ayra menawarkan sesuatu untuk Zetha sambil merapikan anak rambut putrinya tersebut. "Mau, tapi dikit aja ya, Mi." Zetha mengangguk. "Oke. Mami suapin ya." Ayra tersenyum lalu meraih roti sobek di atas nakas. Dia mengambil secukupnya dan mulai menyuapi Zetha. Sesekali dia memberi minum agar roti tersebut denga
Abrar dan Ayra saling berpandangan untuk beberapa saat. Mereka sama-sama tertegun dengan perkataan masing-masing. Sama-sama masih mencerna apa yang baru saja didengar. "Aku tanya lagi, siapa yang udah menikah? Istri siapa yang kamu maksud tadi?" akhirnya Abrar yang pertama memecah keheningan diantara mereka. Mulut Ayra terbuka hendak menjawab namun langsung terhenti karena bingung dengan jawaban yang kini tidak dia yakini lagi kebenarannya. Ayra berpikir sejenak, lalu menjawab saat dia telah menemukan kata-kata yang tepat. "Bukannya kamu udah menikah? Bukannya dulu nenek yang jodohin kamu sama Leana? Bukannya itu berarti kalian udah menikah sekarang?" Ayra memberikan jawaban berupa pertanyaan. Dahi Abrar semakin berkerut mendengar prasangka Ayra. Pertanyaan itu seperti menyindir namun sepenuhnya salah. Dia harus segera meluruskannya. "Kamu dapat kabar dari mana?" Abrar bertanya dengan lembut kepada Ayra. Ayra semakin bingung. Pertanyaan Abrar kali ini seperti memberi membenarka
"Makanannya biar aku yang pesankan. Nanti kalau udah datang kita ajak Arzha makan juga. Kasian dia." Abrar kembali berbicara karena melihat Ayra hanya diam menatapnya. "Kenapa kamu nggak pergi?" Ayra tidak menanggapi ucapan Abrar namun justru menanyakan soal hal lain. "Aku mau temani kamu disini." Abrar menjawab tulus. "Aku baik-baik aja. Aku bisa sendiri. Kamu pergi aja." tatapan Ayra berubah menjadi dingin. Bagaimanapun, Abrar telah menikah. Sangat tidak baik jika Abrar terus disini menemaninya. Itu akan menimbulkan masalah besar. Mengingat sifat Leana, wanita itu tidak akan tinggal diam jika tau tentang hal ini. Lima tahun ini hidup Ayra sudah cukup tenang. Dia tidak ingin merusak ketenangan itu. Dia tidak ingin memancing masalah yang sebenarnya tidak penting dan sangat bisa dihindari."Kenapa kamu suruh aku pergi?" kening Abrar berkerut karena perubahan sikap Ayra. Dia merasa tadi tidak ada masalah lagi diantara mereka. Semuanya baik-baik saja sampai sekarang akhirnya mereka







