LOGIN
"Sayang, aku kangen. Jadi ketemu kan hari ini?" sebuah pesan dari kontak bernama RD.
Ayra membaca sekali lagi notifikasi pesan di layar ponsel yang masih terkunci milik Revan, suaminya. Tubuhnya menegang, dia tak memegang benda pipih itu, hanya tak sengaja melihat layar yang tiba-tiba menyala karena sebuah notifikasi saat dirinya membersihkan barang-barang yang berserakan. Layar menggelap bersamaan dengan khawatir yang dirasakan Ayra. Rasa penasaran mulai menyelimuti pikirannya. Tapi dia tidak akan bertanya dengan blak-blakan pada suaminya. Beberapa detik kemudian, Revan muncul dari balik pintu kamar dengan rambut yang basah. Handuk menyelimuti tubuh bagian bawahnya. Wajahnya terlihat segar khas orang baru selesai mandi. Ayra langsung bersikap biasa saja dan melanjutkan kesibukannya. Revan mengambil ponselnya dan duduk di tepi ranjang. Dia mulai sibuk mengetik sesuatu di sana. Ayra mengamati ekspresi suaminya dengan seksama, dan dia tahu ada senyum sangat samar disana. "Mana bajuku? Aku mau keluar, lagi ada urusan," tanya Revan sambil meletakkan ponselnya kembali ke atas ranjang. "Mau kemana mas? Ada yang nawarin kerja?" tanya Ayra sambil berjalan ke arah lemari mengambil baju yang diminta oleh Revan. Sudah 3 tahun terakhir Revan memang tidak bekerja setelah PT tempatnya bekerja tutup dengan alasan pailit. Dan selama itu Revan hanya di rumah, bermalas-malasan dan mengandalkan gaji Ayra yang bekerja sebagai accounting officer di sebuah hotel ternama di kota Lumia. "Bukan. Urusan sama temen lama. Eh, minta uang bensin sama kopi ya." Revan langsung memakai baju yang diberikan oleh Ayra. "Jangan nongkrong-nongkrong gak jelas mas. Mending nyari info kerjaan." "Ah berisik. Gak usah kamu suruh aku juga udah nanya sana-sini, tapi ya emang belum nemu aja. Aku juga bosen dirumah terus, kamu kan lagi libur, giliran lah aku yang refreshing, kamu yang jaga rumah sama anak-anak." "Tapi tiap hari aku pergi keluar juga bukan seneng-seneng mas, aku kerja." "Trus kenapa? Kamu mau bilang kamu kerja aku enggak? Kamu yang nyari uang sedang aku di rumah aja? Kamu capek aku enggak? Gimana pun aku ini suamimu ya, mau setinggi apapun jabatan sama gaji kamu, kamu tetep harus tunduk sama aku. Paham?" Revan menunjuk tepat di depan muka Ayra. "Iya, paham, Mas." Ayra tidak mau melanjutkan debat, dia sudah sangat hafal dengan watak suaminya. Lebih baik diam untuk menghindari pertengkaran yang panjang. Pernah Ayra membantu mencarikan pekerjaan, tetapi Revan menolak dengan alasan tidak cocok dengan bidangnya. Pernah juga Ayra mendaftarkan di sebuah aplikasi ojek online, tapi setelah resmi diterima, Revan hanya mengaktifkan aplikasinya selama 2 hari. Selanjutnya aplikasi itu tidak pernah dipakainya lagi. "Sudah, aku mau berangkat. Mana uangnya?" Revan benar-benar meminta uang. "Berapa mas?" "500 ribu. Cepat!" Revan mengibas-ngibaskan tangannya di depan muka Ayra dengan tidak sabar. "Hah? Banyak banget mas." Ayra kaget mendengar jumlah uang yang diminta oleh Revan. "Ya buat makan, bensin, rokok sama jajan yang lain juga. Namanya juga nongkrong sama temen." "Gak ada, Mas. Aku cuma megang 200 ribu. Itu juga mau buat belanja keperluan dapur sebentar lagi." Ayra mencoba membuka dompetnya perlahan. Dengan gesit Revan merebutnya dan mengeluarkan isinya dengan tergesa. Dia mengambil semua uang yang ada di dalamnya tanpa tersisa lalu melemparkan dompet kosong itu ke wajah Ayra. "Jangan diambil semua, Mas. Mungkin anak-anak juga minta beli sesuatu." Ayra memungut dompet yang sudah terjatuh di lantai sambil mengelus hidungnya yang sedikit nyeri. "Banyak omong." Revan berlalu meninggalkan kamar dan segera mengambil kunci motor dan helm. Dia langsung keluar dan menggas motornya melesat pergi dari rumah. Ayra mengambil ponselnya dengan segera lalu membuka sebuah aplikasi yang terhubung dengan ponsel Revan. Dia melacak kemana suaminya pergi. Aplikasi ini sudah lama dia simpan di ponselnya, tapi sangat jarang dipakai. Sambil terus menghidupkan aplikasi, Ayra mengambil makan untuk kedua anaknya dan menyuapi mereka. Matanya sesekali melirik ke arah ponselnya yang menunjukkan sebuah titik merah yang terus bergerak. Titik itu adalah lokasi akurat dari suaminya saat ini. Sekitar 15 menit kemudian titik merah itu berhenti bersamaan dengan kegiatan Ayra menyuapi kedua anaknya. Ayra menyipitkan mata membaca area lokasinya. Sebuah komplek perumahan. Dia memperbesar layar menggunakan dua jarinya. Blok L. ----- Ayra mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia sudah memasuki gerbang perumahan dimana Revan berada. Sambil terus melirik ke arah ponselnya untuk mengikuti titik lokasi suaminya, dia memperhatikan dengan seksama area perumahan yang dilewatinya. Perumahan biasa, tidak tergolong elit menurutnya. Tadi selesai menyuapi kedua anaknya, Ayra langsung bergegas pergi karena rasa penasaran atas apa yang sedang dilakukan Revan. Dia tidak pernah senekat ini sampai tadi membaca sendiri pesan mencurigakan di ponsel suaminya. Dia harus melihat dan membuktikan sendiri untuk melegakan hatinya. Kedua anaknya diajak serta karena dia tidak punya pilihan mau dititipkan kemana. Sampailah Ayra di area blok L. Titik lokasi Revan juga semakin dekat. Ayra semakin memelankan laju mobilnya sambil terus menoleh ke kanan kiri mencari keberadaan motor suaminya. Dan akhirnya dia melihat motor milik Revan sedang terparkir di garasi sebuah rumah berlantai dua dengan cat tembok warna biru muda. Rumah nomor L20. Ayra mencari tempat yang aman untuk memarkirkan mobilnya. Berjarak 2 rumah setelahnya ada sebuah lapangan bulu tangkis yang sedang kosong. Ayra menepikan mobilnya di sana dan menasehati kedua anaknya untuk menunggu sebentar di dalam mobil. Ayra segera turun dari mobil dan melangkah cepat ke arah rumah biru muda tersebut. Sesampainya di depan pagar, Ayra memperlambat jalannya. Mengamati rumah tersebut cukup bagus dan besar meski tidak sebesar rumah orang tuanya. Dia masuk dengan sangat perlahan dan sengaja tidak mengucap salam. Dia terus melangkah masuk hingga ke teras dan melihat alas kaki suaminya di depan pintu. Pintu terbuka setengah dan terdengar sayup-sayup orang sedang mengobrol. Ayra terus mendekat dan mulai mendengarkan obrolan orang-orang di dalam. Ayra tidak tahu ada berapa orang di ruang tamu rumah tersebut, tapi mendengar suara laki-laki dan perempuan. "Kita dulu pacaran sampai 7 tahun, aku juga udah pernah hamil sama kamu. Tapi kenapa sih kamu malah nikah sama Ayra itu." Deg. Ayra siapa yang sedang dibicarakan? "Keluargaku kan gak ada yang setuju sama hubungan kita. Waktu pacaran sama Ayra, keluargaku langsung suka. Apalagi tau keluarga Ayra itu kaya raya. Dia juga pinter ngambil hati orang tuaku." Itu suara Revan. Ayra sangat mengenali suara laki-laki yang sudah hidup bersamanya selama 10 tahun itu. "Jadi dia lebih baik dari aku?" "Enggak, Sayang. Kamu lebih cantik dan seksi. Meski sudah lama menikah sama Ayra, begitu kamu datang lagi, duniaku langsung beralih ke kamu lagi. Aku langsung ingat kenangan-kenangan kita dulu." "Kamu kangen sama aku?" "Kangen dong, Sayang. Buktinya sekarang aku datang nemuin kamu. Ayok ah kita kangen-kangenan. Udah gak sabar aku daritadi lihat badan kamu yang makin seksi ini." "Sayang, kita udah 4 bulan balikan. Kamu cepat ceraikan saja Ayra itu. Aku capek nunggu. Capek sembunyi-sembunyi kayak gini." "Iya, Sayang, aku cari alasan dulu buat cerai sama dia. Biar kita bisa sama-sama lagi. Sekarang ayok kita senang-senang dulu." Deg. Ayra memegangi dadanya yang berdegup kencang. Kepalanya serasa dipukul godam besar. Setelahnya dia mendengar suara jeritan manja dari perempuan itu. Dia berjalan menjauh dari pintu karena merasa jijik dengan apa yang didengarnya. Sambil tetap memegangi dadanya, Ayra terus mengucap istighfar, berkali-kali menghirup dan menghembuskan nafas dengan cepat. Paru-parunya butuh oksigen lebih banyak agar otaknya bisa berpikir dengan jernih.Abrar telah pulang sekitar setengah jam yang lalu. Ayra juga baru saja selesai menemani Arzha dan Zetha tidur. Kini tinggal dirinya sendiri yang masih terjaga. Waktu menunjukkan masih pukul sepuluh. Karena belum merasakan kantuk sama sekali, Ayra bingung hendak melakukan apa. Hingga akhirnya dia berpikir untuk memakai lulur badan dan masker wajah saja. Dia mengambil baju ganti dan masuk ke kamar mandi. Ayra melumuri dan memijat lembut seluruh badannya dengan lulur beraroma bunga sakura. Dia juga memasang masker pada wajahnya yang sudah dia bersihkan dengan air hangat sebelumnya. Ayra mengambil buku bacaan dan mulai fokus membaca sambil menunggu lulur dan maskernya meresap. Dia selalu menikmati momen quality time untuk dirinya sendiri seperti ini. Rutinitas harian yang melelahkan dan pekerjaan yang menyita pikiran, memang membutuhkan hal-hal yang bisa membuat rileks agar tidur menjadi lebih nyaman dan nyenyak. Tak terasa dua puluh menit berlalu. Ayra beranjak dan melepas maskernya
Ayra memberi Abrar tatapan yang sangat tajam dan penuh kecurigaan. Dia cukup familiar dengan suara gadis yang didengarnya barusan. Apalagi posisi gadis tersebut sedang berada di rumah Abrar bersama dengan Nenek Wanda. "Aku tau apa yang sedang kamu pikirin. Dan aku bisa pastiin ini semua nggak seperti yang ada di dalam pikiranmu." Abrar terlebih dahulu berkata dengan sangat hati-hati. "Emang apa yang aku pikirin?" mata Ayra semakin tajam. "A-aku beneran nggak tau ataupun sama sekali nggak janjian sama mereka. Beberapa hari ini mereka berkali-kali datang ke kantor tapi emang sengaja aku tolak. Aku sama sekali nggak pernah ketemu lagi sama cewek itu sejak aku pergi keluar negeri lima tahun lalu."Sorot mata Abrar terlihat jujur namun was-was. Nada suaranya juga pelan dan penuh kehati-hatian. "Terus?" Ayra sengaja terus menekan. Dalam hatinya banyak rasa berkecamuk. Ada curiga, percaya, cemburu, takut namun juga senang. Dia tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya dia rasakan. "Ya b
Hari ini akhirnya Zetha diperbolehkan pulang oleh dokter. Ayra sedang mengemas barang-barang mereka setelah mempersiapkan Zetha. Gadis cilik itu sudah terlihat segar setelah cuci muka dan berganti baju. Abrar yang selalu setia menemani Ayra menginap di rumah sakit, kini sedang mengurus administrasi. Tidak ada Willi yang bisa dia perintah untuk hal ini. Asistennya tersebut sedang menetap di kantor untuk mewakilinya. Ayra dan Abrar saat ini terlihat jauh lebih kompak dan serasi. Mereka selalu bekerja sama dan saling mengisi untuk merawat dan memenuhi kebutuhan Zetha selama di rumah sakit.Ayra juga merasa sangat terbantu dengan kehadiran Abrar. Bahkan Pak Surya dan Bu Yasmin juga menjadi lebih tenang jika harus meninggalkan Ayra di rumah sakit. Kedua orang tua itu sedang sibuk mengurus keperluan keberangkatan mereka untuk perjalanan umroh dan beberapa negara lainnya. "Sudah diberesin semua?" Abrar yang baru saja masuk langsung bertanya dengan lembut kepada Ayra. "Sudah." Ayra mengan
"Mami sama papi lama banget sih. Adek mau minum, haus." Zetha langsung protes. "Iya sayang, maaf ya. Bentar mami ambilkan minumnya dulu." Ayra merasa bersalah. Dia mengambil air mineral dalam botol kemasan yang tersedia di atas nakas. Abrar juga bergerak membantu Zetha untuk duduk. Dia menarik bantal agar menjadi sandaran yang nyaman untuk bocah yang masih terlihat lemah itu. Setelah membuka tutup botolnya, Ayra segera membantu Zetha untuk minum secara perlahan. Abrar juga tetap pada posisinya menjaga tubuh Zetha di sisi yang lain. Mereka terlihat seperti keluarga kecil yang bahagia. Saling perhatian dan penuh kasih sayang. "Mau apa lagi sayang? Mau makan roti nggak?" Ayra menawarkan sesuatu untuk Zetha sambil merapikan anak rambut putrinya tersebut. "Mau, tapi dikit aja ya, Mi." Zetha mengangguk. "Oke. Mami suapin ya." Ayra tersenyum lalu meraih roti sobek di atas nakas. Dia mengambil secukupnya dan mulai menyuapi Zetha. Sesekali dia memberi minum agar roti tersebut denga
Abrar dan Ayra saling berpandangan untuk beberapa saat. Mereka sama-sama tertegun dengan perkataan masing-masing. Sama-sama masih mencerna apa yang baru saja didengar. "Aku tanya lagi, siapa yang udah menikah? Istri siapa yang kamu maksud tadi?" akhirnya Abrar yang pertama memecah keheningan diantara mereka. Mulut Ayra terbuka hendak menjawab namun langsung terhenti karena bingung dengan jawaban yang kini tidak dia yakini lagi kebenarannya. Ayra berpikir sejenak, lalu menjawab saat dia telah menemukan kata-kata yang tepat. "Bukannya kamu udah menikah? Bukannya dulu nenek yang jodohin kamu sama Leana? Bukannya itu berarti kalian udah menikah sekarang?" Ayra memberikan jawaban berupa pertanyaan. Dahi Abrar semakin berkerut mendengar prasangka Ayra. Pertanyaan itu seperti menyindir namun sepenuhnya salah. Dia harus segera meluruskannya. "Kamu dapat kabar dari mana?" Abrar bertanya dengan lembut kepada Ayra. Ayra semakin bingung. Pertanyaan Abrar kali ini seperti memberi membenarka
"Makanannya biar aku yang pesankan. Nanti kalau udah datang kita ajak Arzha makan juga. Kasian dia." Abrar kembali berbicara karena melihat Ayra hanya diam menatapnya. "Kenapa kamu nggak pergi?" Ayra tidak menanggapi ucapan Abrar namun justru menanyakan soal hal lain. "Aku mau temani kamu disini." Abrar menjawab tulus. "Aku baik-baik aja. Aku bisa sendiri. Kamu pergi aja." tatapan Ayra berubah menjadi dingin. Bagaimanapun, Abrar telah menikah. Sangat tidak baik jika Abrar terus disini menemaninya. Itu akan menimbulkan masalah besar. Mengingat sifat Leana, wanita itu tidak akan tinggal diam jika tau tentang hal ini. Lima tahun ini hidup Ayra sudah cukup tenang. Dia tidak ingin merusak ketenangan itu. Dia tidak ingin memancing masalah yang sebenarnya tidak penting dan sangat bisa dihindari."Kenapa kamu suruh aku pergi?" kening Abrar berkerut karena perubahan sikap Ayra. Dia merasa tadi tidak ada masalah lagi diantara mereka. Semuanya baik-baik saja sampai sekarang akhirnya mereka







