Saya ingatkan kembali. Bagi yang ingin lebih paham alur cerita ini dan menikmatinya, silahkan baca terlebih dahulu karya saya yang berjudul
"Brondong Standar Lima Setengah"Nitizen Anton mana suaranya?????đŸ˜‚đŸ˜‚
Selamat membaca.
Matahari semakin tinggi, semua penghuni rumah sudah melangkahkan kedua kaki mereka ke tempat yang memang setiap hari harus mereka datangi, guna mengais rezeki. Hanya tertinggal seorang lelaki dewasa yang kini tengah meringkuk di atas ranjangnya. Menahan pusing dan mual.
Ia baru saja memuntahkan sarapan bubur yang dibuatkan oleh pembantunya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan bubur ayam yang disuguhi untuk keluarga Anton. Hanya saja, pada bagian mangkuk Anton, bibik menambahkan garam yang cukup banyak. Sengaja.
Bubur tersebut hanya mampu masuk satu sendok ke dalam mulutnya. Ia memuntahkan beserta teh hangat yang ikut disuguhi bibik. Bibik masuk ke dalam kamar, bermaksud membereskan mangkuk sarapan An
Lelaki dengan helm hitam serta masker yang menutupi wajahnya itu, menarik paksa Parmi masuk ke dalam rumah. Ia masih membekap mulut Parmi dengan tangannya. Seketika perut Parmi menjadi mual, tangan perampok tersebut sangat bau amis, tepatnya amis ikan asin dicabein pake rokok. Parmi berusaha menahan mualnya serta mencoba mengatur nafasnya agar tidak sesak, akibat dari sekapan mulut yang ia terima. Satu orang lagi, sibuk membuka satu persatu kamar yang ada di dalam rumah dokter Alan."Di mana kamar manjikan kamu?!"Sentak lelaki yang membekap Parmi."Eeemmm ... eeemmmm.""Bicara yang benar, di mana?" Bentaknya lagi."Eeehhhmmm....eeehhmmmmm...""Eh, bisu ya nih pembantu!" Lelaki tersebut semakin terlihat marah.Temannya yang masih celingak-celinguk memeriksa keadaan di luar, khawatir ada yang datang menoleh kepada temannya yang sedang membekap Parmi."Bego lu, San! Mana bisa ngomong dia, mulutnya lu tutup gitu!
Semilir angin menerpa dinginnya pagi di perkampungan. Cicit burung saling sahut dan saling sapa antar penduduk desa menghiasi pagi yang begitu indah. Kepulan awan beriak, menaungi langit yang begitu tampak memesona saat kedua mata kita melihat ke langit. Satu dua wanita beserta para lelaki paruh baya tengah bersiap melangkahkan kakinya menuju sawah, tempat dimana mereka bekerja mencari rezeki.Di sawah mereka bisa berceloteh riang, sekedar membicarakan harga gabah yang selalu naik tapi tidak pernah turun. Menikmati hari di tengah sawah mampu menenangkan hati mereka, apalagi memandang jauh di hamparan padi yang hampir menguning. Tanda panen raya akan segera tiba."Mbak Parti, tadi saya lewat depan rumahnya. Ada tukang pos datang," ucap salah seorang tetangga bu Parti memberi tahu bu Parti."Terima kasih, Bu," sahut bu Parti sambil tersenyum. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya di sawah. Meskipun bukan sawah miliknya, namun Bu Parti sangat senang menjalankan
Kendaraan roda dua yang dinaiki Anton melaju dengan kecepatan tinggi, sesuai dengan perintah Anton. Beberapa kali supir ojek online tersebut mengerem mendadak, sehingga mau tidak mau tubuh Anton berbenturan dengan punggung ojol tersebut."Pelan, Bang!" seru Anton saat ojol kembali mengerem dadakan."Lha, kata Mas, saya disuruh ngebut. Sekarang saya udah ngebut, disuruh pelan, bingung aku tuh, Mas." Masih dengan suara mendayu-dayu.Anton menggertakkan giginya. Sumpah, ia sudah sangat kesal dengan ojol yang kegenitan ini. Namun ia juga harus segera sampai di pasar yang disebutkan bibik tadi. Agar bisa segera menemukan Parmi.Cckiiitt!Ojol itu kembali mengerem mendadak. Namun kali ini, Anton memegang kuat jok belakang motor dan menjauhkan tubuhnya. Sehingga saat mengerem dadakan, tubuhnya tidak harus berbenturan."Takut ya, Mas. Tadikan saya bilang peluk saya, ga papa, Mas. Saya jomblo kok." Dibalik helemnya ojol itu tersenyum malu malu-malu.
Alamat rumah yang diberikan Parmi ternyata tidak terlalu jauh lokasinya dari pasar. Cukup sepuluh menit naik ojek online, Parmi sudah sampai di depan pintu gerbang besar itu. Ia turun dengan cukup kesusahan, karena memegang belanjaan sekaligus dengan perut cukup besar."Hati-hati, Mbak." Lelaki itu mengingatkan Parmi agar turun hati-hati."Iya, ini juga hati-hati. Cerewet!" Parmi mendadak sewot. Membuat ojol tersebut melongo mendengar ucapan ketus Parmi."Sabar, bawaan orok!" Pikir ojol tersebut."Berapa, Mbak? Eh ... salah lagi deh tuh. Berapa, Mas?" Parmi menyeringai, mengeluarkan dompet dari dalam tas selempang kecil miliknya."Lima belas ribu aja, Mbak, soalnya deket kok," sahutnya sambil tersenyum."Sepuluh dong. Saya gak dikasih helm, jadi diskon ya!""Itu, tadi gebetan saya yang pake helm saya, Mbak." Ojol kembali tersipu malu, mengingat wajah Anton."Apa? Gerekan?"Ojol tersebut menggaruk kepalanya ya
Suara deru motor berhenti di depan pagar rumah Anton. Sedu sedan Anton seketika ia hentikan. Ia menyeka air matanya dengan punggung tangan."Assalamualaikum," suara wanita di seberang sana. Kelihatan hanya ujung rambutnya yang menyembul dari atas pagar."Wa'alaykumussalam," sahut bibik dan Bu Rasti bersamaan. Keduanya saling pandang. Bu Rasti meminta bibik untuk melihat siapa tamunya. Sedangkan Anton sudah berjalan masuk ke dalam rumah. Diikuti oleh bu Rasti. Mungkin minta sumbangan. Bu Rasti bermonolog, membawa kakinya masuk ke dalam kamar."Cari siapa Mbak?" tanya bibik sambil memperhatikan wanita di depannya dari ujung kaki sampai ujung rambut."Betul ini rumah pak guru Anton Yasin?""Iya betul, Mbak siapa ya?""Mmm ... saya teman dekat Mas Anton!" Dengan suara pelan mendayu malu dan wajah bersemu merah sambil menunduk, Susi memperkenalkan diri sebagai teman dekat Anton.Tentu saja hal itu membuat mata bibik melot
****Pagi-pagi sekali, Anton tengah bersiap di kamarnya. Setelah sholat shubuh, ia membuat dua lapis roti dan segelas susu. Setelahnya, ia juga minum multivitamin, agar tubuh, hati dan pikirannya, mampu menghadapi segala kemungkinan yang terjadi setelah ia sampai di kampung Parmi nanti. Alhamdulillah, Iqbal setuju untuk mengantarnya hari ini. Sehingga bisa menambah kekuatan dan semangatnya untuk menghadapi keluarga Parmi, nanti. Anton menyisir rambutnya yang sudah gondrong lalu mengolesi minyak tawon di pangkal hidung, keningnya yang setiap hari tertempel koyo juga ia olesin. Serta tengkuknya yang selalu saja terasa kesemutan.Jangan lupa, bahwa ia masih mengalami mual muntah ya. Sehingga ia juga memasukkan satu pack kantong plastik hitam ke dalam tasnya, sebagai antisipasi jika ia mabuk dan muntah di jalan nanti. Ia juga membawa antimo, tolak angin cair, balsam dan juga minyak kayu putih.(Cem nenek-nenek mau piknik ya,rempongđŸ¤£đŸ¤£đŸ¤£)
Iqbal memijat kepalanya dengan keras. Ini sudah pemberhentian kesepuluh yang ia lakukan, karena Anton sepupunya, benar-benar kepayahan dalam mengontrol rasa mual muntahnya. Perjalanan Jakarta-Sleman yang harusnya memakan waktu kurang lebih delapan jam.Tampaknya akan lebih panjang. Karena setiap satu jam sekali Anton meminta Iqbal menepikan mobil di rest area atau di pom bensin atau dimana saja, yang penting harus berhenti sesaat. Sepanjang jalan Anton menahan mulutnya agar tidak muntah, tubuhnya juga terlihat sudah sangat lemas.Iqbal menyarankan agar mereka kembali saja ke Jakarta, jika Anton telah pulih, maka Iqbal berjanji akan menemani Anton kembali ke kampung Parmi. Namun, Anton tetap bersikeras melanjutkan perjalanan sampai di kampung Parmi.Ia harus segera menemukan Parmi. Bayang-bayang Parmi dengan perut buncitnya, selalu hadir dalam mimpinya. Wajah sang istri terlihat sendu meskipun tampak sesekali tertawa. Tidak, ia harus segera menemukan Parmi.
Langit mulai gelap, suara jangkrik menemani suasana magrib yang kian syahdu di perkampungan Parmi. Suara gemericik air dari kamar mandi yang berada di belakang rumah, tak membuat seorang pria dewasa sadar dari pingsannya. Bahkan ini sudah lebih dari tiga jam.Seorang wanita paruh baya keluar dari kamar mandi yang hanya ditutupi pintu yang terbuat dari seng. Wajahnya sudah lebih segar dan tenang. Ia memakai kaus kebesaran berwarna hitam, di pinggangnya terlilit kain batik yang sudah memudar warnanya. Ia berjalan melewati Iqbal yang sedang menunggui Anton yang masih belum sadar, sehabis pingsan tadi. Kepalanya yang dengan keras di keplak oleh mertuanya, membuat ia roboh seketika."Baru pake tangan dikeplak udah pingsan tiga jam, gimana kalau saya keplak pake arit saya? Mana baru diasah pula. Saya jamin, saudara kamu ini langsung almarhum," ucap sinis Bu Parti yang melirik ke arah Anton dan Iqbal. Lelaki yang sedari tadi menunggui Anton, hanya bisa menel