“Get the fuck out of here!”
Langkah Edeline seketika terhenti oleh bentakan memekik yang mengundang perhatian. Dia berhenti penuh kepedulian terhadap seorang wanita yang didorong hingga terjatuh oleh si pengumpat kejam di ambang pintu.
Edeline Johnson—gadis cantik berusia 22 tahun itu baru saja tiba di Manchester akibat pekerjaan. Dia mendapatkan fasilitas sebuah kamar dari hotel mewah di hari pertama kedatangannya—di mana dirinya tidak sengaja menjadi penonton dadakan atas sebuah kekerasan.
Awalnya, Edeline hanya ingin menuju kamarnya. Tetapi, dia dihadang oleh seorang wanita yang didorong kasar hingga terjatuh. Tatapan gadis cantik itu melihat adegan yang membuatnya kesal.
“Kenapa kau kasar sekali? Aku ini bukan orang asing bagimu!”
“Don’t play dumb! Kau sangat tahu aku menganggapmu itu apa?!” pria tampan itu membalas kejam dengan tatapan dingin yang tak berhati.
Wanita cantik yang masih terduduk sakit di lantai itu sudah menangis dihujani kalimat sarkasme yang menegaskan ketidaksukaan. Tatapannya menatap lirih pria tampan yang memprilakukannya dengan sangat kasar.
Edeline berdecak atas tontonan tidak mengenakkan di depan mata. Dia tidak bisa menutup mata—lalu pergi. Sebab, situasi kejam di depan mata bagaikan dejavu nyata yang menyakiti jiwa Edeline.
Mata cantiknya memindai wanita itu. Emosi gadis berambut cokelat terang itu memuncak ke ubun-ubun ketika mendengar rintihan kesakitan serta luka di telapak tangan wanita yang terluka itu.
“Kau terlalu sempurna untuk pria sampah itu.” Bibir mungil Edeline dengan sadar mengeluarkan penghinaan yang membela.
Gadis berpakaian casual itu menghampiri wanita yang menoleh ke arahnya. Dia berlutut lalu memapah wanita yang terjatuh itu untuk berdiri tegak—tanpa peduli pada sorot tajam dari pria di ambang pintu.
“Kau tidak pantas menangis dan merendahkan diri pada pria sampah dan bodoh sepertinya.” Edeline mengulas senyuman manis pada wanita yang bingung menatapnya.
“Stay away!”
Edeline menolehkan pandangan pada pria yang menghardik sinis itu. Sorot matanya menajam ketika memindai pria itu. “Mulut sampahmu menjatuhkan nilai wajah tampanmu,” ucapnya berani menghina.
Edeline langsung memalingkan pandangan. Dia tidak peduli pada ekspresi pria itu. Bagi gadis cantik itu, menghibur wanita di dekatnya adalah pilihan yang baik.
Untuk sejenak, Edeline teralihkan ketika tangan merogoh ke dalam tas miliknya yang bertengger di bahu kiri. Perhatiannya kembali fokus pada wanita itu saat sebuah alcohol swab dikeluarkan dari dalam tas—yang kemudian digunakan untuk membersihkan luka di telapak tangan wanita itu.
“Jika seorang pria tidak bisa mengontrol emosi, berkata dan bersikap kasar, menjatuhkan dan menginjak harga dirimu ...” Edeline terhenti sejenak saat samar-samar menghela napas sembari menutupi luka di telapak itu dengan sebuah plester.
“Please ... stop! Berhenti mendapatkan balasan dari pria bodoh dan tak bermoral seperti itu. Perasaanmu dan harga dirimu lebih penting dari apa pun,” lanjut Edeline menasihati yang penuh dengan sindiran sinis.Tidak perlu dijelaskan kepada siapa sindiran sinis itu ditujukan. Edeline pun tidak menghiraukan bagaimana perasaan dari seseorang itu. Ujung bibir itu tertarik—yang membuat bibir mungilnya menipis oleh senyuman manis yang mengembang. Wajah cantiknya pun berseri—menunjukkan ketulusan pada wanita di depannya yang kaku tidak percaya diri.
“Tadi kau terjatuh sangat keras. Sebaiknya segera memeriksakan diri. Atau ...” Edeline memalingkan wajah—yang bersamaan senyuman ramahnya berubah sinis ketika menatap pria di ambang pintu. “Lakukan visum dan laporkan pria ini. Aku bersedia menjadi saksi jika kau membutuhkan.”
Pria tampan itu terkekeh kesal sembari menahan emosi yang telah bergejolak di dalam jiwa. Sementara itu matanya telah tajam membidik Edeline—gadis aneh yang berani ikut campur akan urusannya. “Kau ini masih kecil, tapi sungguh berani ikut campur urusan orang lain. Apa orang tuamu tidak mengajarimu sopan-santun?”
Mata Edeline mendelik mendapatkan kata-kata tajam pada pria tampan itu. “Aku tahu bersikap sopan dan menghargai dibandingkan orang dewasa yang tidak punya akal!” Edeline tidak mau kalah.
What the fuck? Anak kecil? Apakah tubuhnya terlalu mungil sampai dibilang anak kecil? Ingin rasanya Edeline memaki pria tampan di hadapannya itu. Memang dia akui bahwa pria berperawakan tampan itu pasti sudah berusia matang. Menurut tafsirannya pria tampan itu sudah berusia di atas 30 tahun. Tentu jika dibandingkan dengannya, dia pasti akan seperti anak kecil.
Pria tampan itu menipiskan bibir—mengukir seringai sinis. “Bercermin dahulu sebelum membuat cermin untuk orang lain. Selain itu, tanyakan pada wanita yang kau bela itu! Apa yang dia lakukan sehingga aku mengusirnya dengan kasar?!”
Alih-alih mencari tahu, Edeline malah mengulas seringai sinis yang mengejek. “Yang dilihat oleh mata lebih nyata dibandingkan—”
“Wanita yang kau bela itu memaksa masuk ke dalam kamar seorang pria. Di dalam kamarku, dia membuka pakaiannya—entah itu untuk menggoda atau apa pun itu, aku benci wanita murahan seperti itu!” sela pria tampan itu bernada lugas dan tanpa jeda.
Edeline membisu dengan perasaan yang berkecamuk, antara malu dan tidak percaya diri. Namun, logikanya berusaha menghibur wanita cantik itu yang kemudian menasihati akalnya untuk mencari tahu.
Edeline menatap wanita itu. Dan ... ah, sial! Wanita itu merunduk guna menyembunyikan wajahnya yang memucat takut. Itu menandakan bahwa memang orang yang dia bela adalah orang yang bersalah.
Astaga! Memalukan! Edeline bahkan membela orang yang bersalah. Maksud hati ingin membela orang yang lemah, tapi apa-apaan ini? Dia sangat malu! Jika seperti ini, rasanya dia ingin masuk saja ke dalam jurang.
“Apa kau diajak bekerja sama dengannya?”
Suara tenang pria itu itu mengusik perhatian Edeline, membuat gadis cantik itu kembali menoleh ke arahnya.
“Aku tidak mengenalnya.”
Pria terkekeh mengejek bantahan Edeline. “Benarkah? Mengingat betapa liciknya wanita yang kau bela itu, aku tidak percaya. Berapa kau menerima uang dari dia? Sehingga kau bisa memainkan akting sempurna seperti tadi.”
Gigi Edeline menggertak akibat api emosi yang membara. Pria tampan yang di depannya itu sungguh cerdik mempermainkan emosinya. Dia bisa saja meledakkan amarah dan membela diri agar tak terkalahkan dari pria yang berusia jauh dari dirinya.
Akan tetapi, kenyataan di depan mata telah menyadarkan Edeline tak akan bisa menang dari pria itu. Selain itu, wanita yang takut dan tidak percaya diri di sampingnya turut menyadarkan Edeline untuk mengibarkan bendera putih tanda mengalah.
“Enyahlah dari hadapanku! Aku tidak akan memperpanjang masalah ini. Tujuanku datang ke sini untuk tidur dengan nyaman! Jangan ganggu aku!”
Seolah tahu maksud jelas pernyataan pria itu, wanita cantik di samping Edeline seketika pergi tanpa berpamitan. Tidak ada sederet kalimat penjelasan apalagi sepatah kata pamit kepada Edeline.
Dalam sedetik, keheningan menguasai di sekitar Edeline. Gadis cantik itu juga disapa oleh rasa canggung yang tidak nyaman untuk lama-lama diresapi. Namun sekejap kemudian, perasaan itu lenyap oleh suara tenang dari pria itu yang merendahkan keberadaan Edeline.
“Kau tidak ikut dengannya? Atau kau masih mau meneruskan aktingmu?” pria itu memasang senyuman menghina dan menjengkelkan.
Tangan Edeline mengepal kuat menatap tajam pria itu. Dia memalingkan tatapan kesal. Lebih baik memilih mundur dan menjernihkan pikiran dari pria menyebalkan itu.
Sayangnya, keberuntungan belum memihak Edeline. Ketika dia terburu-buru untuk pergi, roda dari koper yang ditariknya menyangkut pada karpet tebal yang menyelimuti lantai koridor kamar. Pun di saat bersamaan langkah Edeline ikut tak terkendali sehingga Edeline jatuh di hadapan pria itu.
Edeline mengeluh kesal di dalam hati. Isi dari tas yang ikut jatuh telah berantakan. Cepat-cepat Edeline mengutip dan memasukkan pernak-pernik isi di dalam tasnya itu. Tetapi, Edeline membeku ketika pria itu dengan lancang mengutip id card milik Edeline.
“Edeline Johnson?” pria itu bersuara tenang, namun tidak menutupi rasa penasaran yang mengundang.
“Kembalikan milikku!” Edeline mendikte tegas sembari berdiri tegak.
“Ah, rupanya kau seorang dokter? Dokter magang di Omega Hospital, huh?” setelah membaca id card itu, ekspresi pria itu menajam seolah menakuti Edeline untuk tidak membantah. “Kau baru datang ke Manchester?” lanjutnya penasaran.
Pria tampan itu menarik ujung bibirnya membentuk seringai tipis, di kala melihat id card milik Edeline. Tatapan mengejek dan mencemooh. Dia sama sekali tak mengira kalau gadis yang ingin menjadi pahlawan merupakan dokter magang di Omega Hospital.
“Bukan urusanmu!” Edeline membentak, pun dia berhasil merampas benda berharga itu dari pria menyebalkan itu.
“Perhatikan tingkahmu. Jangan seperti gadis liar yang tidak tahu aturan.” Pria tampan itu berkata sarkas. “Kau sangat tidak tahu arti sopan santun.”
Edeline melayangkan tatapan bermusuhan yang lantang pada pria itu. Seujung kuku pun nyali Edeline tidak ciut oleh mata tajam pria itu yang berpadu ke matanya. “Lalu bagaimana denganmu? Apa kau memiliki kesopanan setelah merampas dan membaca identitas orang tanpa permisi?”
Bibir pria itu menguraikan senyuman kejam. “Minta maaf padaku!” ucapnya menuntut.
“Harusnya aku yang berkata seperti itu! Kau yang harus minta maaf padaku!” Edeline bersikeras tidak mau disalahkan.
“Minta maaf padaku sekarang atau kau menyesal, Dokter Edeline Johnson!” Nada bicara pria tampan itu menajam, seolah memberikan ancaman yang tak main-main.
Edeline tertegun. Seketika keterkejutan tanpa bisa dikontrol telah merayapi tubuh, merusak kenyamanan di jiwa sampai merasuki pikiran pada senyar ketakutan.
Perubahan emosional itu bukan karena bentakan bengis pria yang egois itu. Melainkan pergelangan tangan kurus Edeline dicengkram kencang—tubuh rampingnya telah dihimpit ke dinding oleh pria yang memiliki tubuh gagah.
“Cepat! Minta maaf padaku,” pria itu berdesis rendah di depan wajah Edeline yang memucat.
“L-le-lepaskan ... lepaskan aku.” Bibir mungil Edeline gemetaran berkata-kata.
Tubuh gadis cantik itu gemetaran diserang situasi dejavu yang menggiring pikiran pada hal-hal menakutkan dan menjijikkan. Keringat dingin telah menetes di balik rambut yang menutupi dahi.
“L-lepaskan aku. A-aku katakan ... lepaskan aku!”
Edeline memberontak sekuat tenaga setelah mengumpulkan keberanian. Tangannya yang satu memukul tangan pria itu—sampai Edeline tidak menyadari kukunya telah melukai sesuatu yang mencoreng kesempurnaan di wajah.
Koper yang tadi terlepas telah dipungut oleh Edeline. Gadis muda itu berlari sambil melirik-lirik ke pintu-pintu kamar. Setelah menemukan kamar tujuannya, Edeline masuk dan menenggelamkan diri di kamar itu tanpa ingin keluar sedetik pun.
Sementara itu, pria kejam yang Edeline tinggalkan masih berdiri tegak sembari melayangkan tatapan tajam ke arah pintu kamar Edeline. Dia mengerang kesal, kemudian jemari kanannya menyentuh sisi wajah yang terluka akibat kekejaman kuku Edeline.
“Sialan!” gumamnya kesal dengan ekspresi penuh dendam.
~ Enam tahun kemudian ~Pandangan mata Edeline teralihkan pada bocah tampan berusia empat tahun. Edeline yang semula fokus di meja kerjanya telah beranjak menghampiri bocah tampan itu.“Hello, Dwayne.” Edeline berjongkok di depannya.“Apa Dokter akan menyuntikku lagi?” tanya bocah itu takut.Edeline tertawa lemah. “Aku tidak menyuntikmu. Aku hanya memberikan vitamin agar kau kuat seperti Superman!”“Aku mau kuat seperti Hulk, Dokter!” seru Dwayne—pasien Edeline sangat antusias.“Oke! Kalau begitu aku akan berikan vitamin agar kau kuat seperti Hulk!” sahut Edeline tak kalah antusias dari Dwayne.Dia adalah Edeline—dokter spesialis anak yang banyak disayangi oleh pasiennya. Edeline selalu bersikap sama kepada anak-anak yang datang kepadanya. Dia menganggap semua pasiennya seperti anaknya sendiri.Dokter cantik itu akan memberikan hadiah, entah itu berupa mainan atau permen kepada pasiennya. Hal itu dilakukan sebagai bentuk rasa bersalah dan perhatian Edeline. Bersama Lina—yang menjadi p
~ Beberapa bulan kemudian ~Aktivitas Edeline menjadi terbatas sejak memasuki usia kehamilan matang. Wanita cantik itu tidak bebas bergerak karena mengalami keluhan dari kehamilan mengandung anak kembar. Kakinya membengkak sejak memasuki usia 30 minggu. Kondisi itu semakin memprihatinkan saat kini—kehamilan Edeline telah memasuki usia 37 minggu.Bukan hanya keluhan itu dirasakan oleh Edeline. Setiap malam Edeline cukup tersiksa pada betisnya yang kram. Sebuah pijatan di kedua betisnya menjadi penghibur terbaik yang Edeline terima. Pinggangnya sering sakit, seperti akan patah.Ritme pernapasan pun ikut terganggu karena kondisi perut Edeline yang membesar karena mengandung dua anak-anaknya yang tumbuh baik dan sempurna. Tidak usah ditanya bagaimana kualitas tidur Edeline. Wanita cantik itu sudah tak lagi bisa tidur nyenyak sejak usia kehamilan 28 minggu.Namun, semua keluhan itu tidak mengurangi antusias Edeline menyambut kelahiran kedua anaknya. Wajah cantiknya selalu berseri-seri, au
Setibanya di apartemen, Alex langsung menidurkan Asha yang sudah lelap dalam dunia mimpi. Seperti biasa—tanpa canggung Alex mengganti pakaian putri kecilnya itu dengan piyama yang menghangatkan.Sikap sigap Alex sangat membantu Sarah. Sejak Asha hadir di hidup mereka, keduanya kompak bekerjasama dalam kehidupan rumah tangga maupun pekerjaan. Seperti yang sudah terjadi, Alex tak sungkan mengambil peran Sarah. Dengan senang hati Alex memperhatikan putri mereka ketika Sarah membersihkan diri dan mengganti pakaian.Sarah sendiri sudah tulus menatap Alex. Hatinya masih diselimuti perasaan yang sama, bahkan saat itu perasaan cinta semakin memenuhi jiwa. Batinnya tak henti-henti merasa bersyukur memiliki pria yang sangat peduli itu. Alex selalu menomorsatukan Sarah dan Asha. Kebahagiaan dan kenyamanan keduanya merupakan prioritas utama.Samar-samar Sarah berpikir, jika saja waktu itu takdir tidak mendorongnya pada Alex entah bagaimana Sarah saat ini.“Biar aku yang berganti memindahkan Asha
Hunian mewah di depan mata ditatap tak berkedip oleh Edeline. Dia benar-benar tidak menyangka Elvis akan membawanya dan Shopia ke hunian mewah yang akan menjadi tempat tinggal baru mereka.Hunian mewah itu terlihat berbeda dari rumah Elvis. Lebih tepatnya itu adalah mansion mewah berlantai dua yang berdiri di tengah-tengah lahan luas, berdiri di tengah-tengah halaman yang dilengkapi tanaman beserta pepohonan hijau menyejukkan.“Ini hadiah pernikahan dari diriku,” Elvis berbisik lembut.Edeline tersentak dari rasa takjubnya, kemudian menoleh pada Elvis. “Kapan kau menyiapkan ini? Aku sampai tidak tahu!”“Saat sibuk menyiapkan pernikahan kita, aku sudah membeli mansion ini. Aku langsung minta merenovasi beberapa sudut dan baru selesai bulan lalu. Furniture dan yang lainnya sudah tersedia sehingga kita bisa pindah ke sini secepatnya.”Sungguh, Edeline tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya pada Elvis. Suaminya itu selalu memiliki cara membuat Edeline terkejut bahagia. Sayangnya, ada kek
Setelah selesai menjalani pemeriksaan USG, Edeline beranjak turun dari ranjang dengan dibantu oleh Elvis. Dia dirangkul mesra oleh Elvis saat bersama duduk pada kursi kosong di depan dokter wanita itu.“Syukurlah tidak ada keluhan atau kondisi yang mengkhawatirkan pada kehamilan Edeline. Baik Edeline dan kedua anak kalian tumbuh dengan sehat.” Leyla—dokter wanita itu menyampaikan hasil pemeriksaan pada Elvis dan Edeline. “Aku akan meresepkan beberapa vitamin dan obat untuk Edeline. Jangan lupa untuk rutin mengkonsumsi susu ibu hamil,” sambungnya yang tertuju hanya pada Elvis.Elvis berdecih ringan. “Aku adalah dokter! Sudah pasti aku tahu apa pun yang baik dikonsumsi untuk istriku.”“Kalau kau memang dokter, kau harusnya tahu apapun yang baik untuk tubuhmu! Bukan meminum alkohol dengan perut kosong! Bergadang semalaman hanya demi hal yang tidak penting,” balas Leyla dengan ekspresi mencela nyata.Edeline tampak kebingungan melihat Elvis dan Leyla yang bereaksi akrab seperti sudah lama
Edeline telah bergoyang di atas Elvis. Wajahnya yang merona merah terlihat seksi, sangat erotis seperti pinggulnya yang bergoyang-goyang mengocok kejantanan Elvis yang terbenam sempurna di surgawinya.Posisi itu sangat sempurna, membuat Edeline kelimpungan dalam kenikmatan yang memanjakan nafsu. Jemarinya pun tidak dibuat menganggur. Edeline sudah meremas dada bidang Elvis sembari berpegangan di sana.Elvis sendiri sudah berkali-kali memuji Edeline yang memiliki perkembangan dalam bercinta. Pria itu terpesona menatap Edeline yang telah bergerak naik-turun menimbulkan dan menenggelamkan kejantanan Elvis di lubang intimnya. Dalam benaknya Elvis benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan kebahagiaan erotis seperti itu.“Nikmat, Sayang. Nikmat sekali,” erangnya memuji sembari meremas gemas pinggul Edeline.Elvis benar-benar sudah tidak tahan. Dia sudah sedikit frustrasi oleh birahi terdorong dalam puncak klimaks. Akan tetapi, Elvis belum mau cepat-cepat menyudahi kenikmatan itu. Tidak a