Share

Bab 3 Badut di Lampu Merah Itu Ternyata Istriku

BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU

POV NING

Sebenarnya dari semalam aku ingin bicara sama Mas Heru, ingin periksa kandungan ke dokter. Selama hamil, aku belum pernah USG dan hanya periksa ke bidan di desa sebelah. Itu pun Mas Heru sering uring-uringan saat aku meminta uang untuk periksa.

"Mas, mumpung kamu libur kerja, anterin aku periksa ke dokter, ya. Aku pingin USG, biar tahu perkembangan bayi kita di dalam kandungan." Akhirnya aku pun memberanikan diri untuk bicara.

Mas Heru tidak menggubris ucapanku, dia terlalu asyik dengan ponsel di tangannya.

"Mas …," panggilku lagi.

"Kamu pikir periksa ke dokter ngga bayar? Ngga usah USG juga ngga pa-pa 'kan. Asal kamu bisa jaga baik-baik kandunganmu, bayinya pasti sehat."

Aku merasa, semakin hari sikap Mas Heru semakin cuek padaku. Tidak ada perhatiannya sama sekali.

"Mas … sekali ini saja. Aku cuma pengen tahu kondisi bayi kita," rengekku.

Mas Heru berdiri dari duduknya dan mendekat ke arahku. Kini dia berdiri persis di depanku. "Kamu pengen USG? Bayar sendiri," ucapnya dan berlalu begitu saja.

"Dulu kamu sendiri yang menyuruhku untuk berhenti kerja. Sekarang saat aku sudah tidak kerja, kamu selalu marah setiap aku meminta uang. Bukannya sudah menjadi tanggung jawab kamu menafkahi istri, Mas," terangku mengikuti langkah Mas Heru.

Sebelumnya aku bekerja di sebuah pabrik tekstil. Tapi Mas Heru selalu protes saat aku pulang larut malam karena lembur. Seharusnya dia paham seperti apa kerja di pabrik, karena dia sendiri pun karyawan pabrik.

Tidak ingin bertengkar karena pekerjaan, akhirnya aku mengalah dan menuruti permintaan Mas Heru untuk berhenti kerja. Aku yang terbiasa memenuhi kebutuhan sendiri, sekarang mau tidak mau harus bergantung padanya.

"Ngga usah ngungkit hal itu. Sudah benar aku menyuruh kamu berhenti kerja. Karena seorang istri memang lebih baik di rumah. Ngurus pekerjaan rumah, ngurus suami."

"Aku ikhlas, Mas, kalau kamu menginginkan aku menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Tapi kamu juga harus paham dengan tanggung jawabmu sebagai suami. Apalagi sekarang aku tidak punya penghasilan sendiri."

"Kamu itu memang tidak pernah bersyukur, ya, Ning. Setiap minggu sudah aku kasih uang. Masih saja protes."

Aku hanya bisa menarik napas panjang sembari mengulas senyum kecut. "Kamu bilang aku tidak bersyukur, Mas? Sebisa mungkin aku mengatur uang tujuh puluh ribu pemberian kamu untuk satu minggu. Bahkan kamu tidak pernah menanyakan apa uang tersebut cukup. Kamu tidak pernah menanyakan, apa ada kebutuhan lain yang mesti dipenuhi di luar uang tujuh puluh ribu tersebut. Kita hidup bermasyarakat, ada kalanya guyup rukun. Apa kamu tidak berpikir sejauh itu, Mas? Bahkan aku mengabaikan kebutuhan pribadiku karena tidak ingin menambah beban. Sampai ponsel saja aku jual."

Sakit sekali rasanya ketika aku berharap Mas Heru akan memahami ucapanku, tapi dia justru mengabaikan begitu saja dan pergi entah ke mana.

Dari awal menikah, aku tidak pernah menuntut berapapun Mas Heru memberi nafkah, karena aku masih bisa memenuhi semua dari hasil kerjaku. Tapi sekarang semua berbeda.

Sepertinya aku tidak boleh berdiam diri saja. Mengandalkan uang pemberian dari Mas Heru tujuh puluh ribu per minggu sangat jauh dari kata cukup. Meminta lebih pun yang ada akan jadi ribut.

***

Aku terus berjalan menyusuri pinggiran toko. Menanyakan lowongan kerja dari toko satu ke toko lainnya. Semua hasilnya nihil. Ada beberapa toko yang memang sedang membutuhkan tambahan karyawan, tapi bukan untuk perempuan yang sedang hamil. Mencari pekerjaan dalam kondisi hamil memang tidak mudah.

Kata-kata Mas Heru terus terngiang di setiap langkah kaki ini. Bagaimana bisa dia mengatakan aku tidak bersyukur. Sedangkan uang pemberiannya susah payah aku cukup-cukupkan.

Sebenarnya kakiku terasa nyeri, tapi rasa sakit ini tak sebanding dengan rasa sakit atas ucapan dan sikap Mas Heru yang semakin keterlaluan.

Apa seperti ini namanya berumah tangga?

Aku memutuskan untuk istirahat dan duduk di bawah pohon yang ada di pinggir jalan. Bingung harus ke mana lagi kaki ini melangkah.

Sampai akhirnya pandanganku tertuju pada badut yang duduk tak jauh dariku. Aku terus menatapnya, dia mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dan uang koin dari sakunya. Badut tersebut tengah sibuk menghitung penghasilan dari menghibur para pengendara yang berhenti saat lampu merah.

Tidak berapa lama badut tersebut membuka rambut dan hidung palsunya. Aku sedikit terkejut, karena ternyata dia seorang ibu paruh baya.

Ibu tersebut menoleh ke arahku dan mendekat. "Mau?" Tiba-tiba dia menawarkan sebuah roti.

"Tidak, Bu. Terima kasih," ucapku. Tidak bermaksud menolak rezeki. Tapi tak sampai hati membiarkan ibu tersebut membagi satu buah roti denganku.

Sejenak kami ngobrol, sampai akhirnya dia menawari aku pekerjaan menjadi badut.

"Itu juga kalau mbaknya mau. Apalagi lagi mbaknya sedang hamil, memang harus dipikir ulang."

"Mau. Saya mau, Bu," jawabku tanpa pikir panjang. Aku memang harus mencari uang sendiri

"Mbaknya tidak usah sewa kostum badut, nanti saya pinjami. Kebetulan saya punya dua."

"Panggil saya Ning, Bu. Nama saya Ningrum, tapi biasa dipanggil Ning. Terima kasih karena sudah memberikan saya pekerjaan."

"Bukan memberikan pekerjaan, Ning. Karena saya bukan seorang bos. Tapi kita sama-sama mencari rezeki dengan jalan ini. Jadi perempuan harus kuat. Besok kita ketemu di sini lagi, akan saya bawakan kostum badutnya."

Aku menganggukkan kepala dengan penuh semangat.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status