BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU
POV NINGSebenarnya dari semalam aku ingin bicara sama Mas Heru, ingin periksa kandungan ke dokter. Selama hamil, aku belum pernah USG dan hanya periksa ke bidan di desa sebelah. Itu pun Mas Heru sering uring-uringan saat aku meminta uang untuk periksa."Mas, mumpung kamu libur kerja, anterin aku periksa ke dokter, ya. Aku pingin USG, biar tahu perkembangan bayi kita di dalam kandungan." Akhirnya aku pun memberanikan diri untuk bicara.Mas Heru tidak menggubris ucapanku, dia terlalu asyik dengan ponsel di tangannya."Mas …," panggilku lagi."Kamu pikir periksa ke dokter ngga bayar? Ngga usah USG juga ngga pa-pa 'kan. Asal kamu bisa jaga baik-baik kandunganmu, bayinya pasti sehat."Aku merasa, semakin hari sikap Mas Heru semakin cuek padaku. Tidak ada perhatiannya sama sekali."Mas … sekali ini saja. Aku cuma pengen tahu kondisi bayi kita," rengekku.Mas Heru berdiri dari duduknya dan mendekat ke arahku. Kini dia berdiri persis di depanku. "Kamu pengen USG? Bayar sendiri," ucapnya dan berlalu begitu saja."Dulu kamu sendiri yang menyuruhku untuk berhenti kerja. Sekarang saat aku sudah tidak kerja, kamu selalu marah setiap aku meminta uang. Bukannya sudah menjadi tanggung jawab kamu menafkahi istri, Mas," terangku mengikuti langkah Mas Heru.Sebelumnya aku bekerja di sebuah pabrik tekstil. Tapi Mas Heru selalu protes saat aku pulang larut malam karena lembur. Seharusnya dia paham seperti apa kerja di pabrik, karena dia sendiri pun karyawan pabrik.Tidak ingin bertengkar karena pekerjaan, akhirnya aku mengalah dan menuruti permintaan Mas Heru untuk berhenti kerja. Aku yang terbiasa memenuhi kebutuhan sendiri, sekarang mau tidak mau harus bergantung padanya."Ngga usah ngungkit hal itu. Sudah benar aku menyuruh kamu berhenti kerja. Karena seorang istri memang lebih baik di rumah. Ngurus pekerjaan rumah, ngurus suami.""Aku ikhlas, Mas, kalau kamu menginginkan aku menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Tapi kamu juga harus paham dengan tanggung jawabmu sebagai suami. Apalagi sekarang aku tidak punya penghasilan sendiri.""Kamu itu memang tidak pernah bersyukur, ya, Ning. Setiap minggu sudah aku kasih uang. Masih saja protes."Aku hanya bisa menarik napas panjang sembari mengulas senyum kecut. "Kamu bilang aku tidak bersyukur, Mas? Sebisa mungkin aku mengatur uang tujuh puluh ribu pemberian kamu untuk satu minggu. Bahkan kamu tidak pernah menanyakan apa uang tersebut cukup. Kamu tidak pernah menanyakan, apa ada kebutuhan lain yang mesti dipenuhi di luar uang tujuh puluh ribu tersebut. Kita hidup bermasyarakat, ada kalanya guyup rukun. Apa kamu tidak berpikir sejauh itu, Mas? Bahkan aku mengabaikan kebutuhan pribadiku karena tidak ingin menambah beban. Sampai ponsel saja aku jual."Sakit sekali rasanya ketika aku berharap Mas Heru akan memahami ucapanku, tapi dia justru mengabaikan begitu saja dan pergi entah ke mana.Dari awal menikah, aku tidak pernah menuntut berapapun Mas Heru memberi nafkah, karena aku masih bisa memenuhi semua dari hasil kerjaku. Tapi sekarang semua berbeda.Sepertinya aku tidak boleh berdiam diri saja. Mengandalkan uang pemberian dari Mas Heru tujuh puluh ribu per minggu sangat jauh dari kata cukup. Meminta lebih pun yang ada akan jadi ribut.***Aku terus berjalan menyusuri pinggiran toko. Menanyakan lowongan kerja dari toko satu ke toko lainnya. Semua hasilnya nihil. Ada beberapa toko yang memang sedang membutuhkan tambahan karyawan, tapi bukan untuk perempuan yang sedang hamil. Mencari pekerjaan dalam kondisi hamil memang tidak mudah.Kata-kata Mas Heru terus terngiang di setiap langkah kaki ini. Bagaimana bisa dia mengatakan aku tidak bersyukur. Sedangkan uang pemberiannya susah payah aku cukup-cukupkan.Sebenarnya kakiku terasa nyeri, tapi rasa sakit ini tak sebanding dengan rasa sakit atas ucapan dan sikap Mas Heru yang semakin keterlaluan.Apa seperti ini namanya berumah tangga?Aku memutuskan untuk istirahat dan duduk di bawah pohon yang ada di pinggir jalan. Bingung harus ke mana lagi kaki ini melangkah.Sampai akhirnya pandanganku tertuju pada badut yang duduk tak jauh dariku. Aku terus menatapnya, dia mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dan uang koin dari sakunya. Badut tersebut tengah sibuk menghitung penghasilan dari menghibur para pengendara yang berhenti saat lampu merah.Tidak berapa lama badut tersebut membuka rambut dan hidung palsunya. Aku sedikit terkejut, karena ternyata dia seorang ibu paruh baya.Ibu tersebut menoleh ke arahku dan mendekat. "Mau?" Tiba-tiba dia menawarkan sebuah roti."Tidak, Bu. Terima kasih," ucapku. Tidak bermaksud menolak rezeki. Tapi tak sampai hati membiarkan ibu tersebut membagi satu buah roti denganku.Sejenak kami ngobrol, sampai akhirnya dia menawari aku pekerjaan menjadi badut."Itu juga kalau mbaknya mau. Apalagi lagi mbaknya sedang hamil, memang harus dipikir ulang.""Mau. Saya mau, Bu," jawabku tanpa pikir panjang. Aku memang harus mencari uang sendiri"Mbaknya tidak usah sewa kostum badut, nanti saya pinjami. Kebetulan saya punya dua.""Panggil saya Ning, Bu. Nama saya Ningrum, tapi biasa dipanggil Ning. Terima kasih karena sudah memberikan saya pekerjaan.""Bukan memberikan pekerjaan, Ning. Karena saya bukan seorang bos. Tapi kita sama-sama mencari rezeki dengan jalan ini. Jadi perempuan harus kuat. Besok kita ketemu di sini lagi, akan saya bawakan kostum badutnya."Aku menganggukkan kepala dengan penuh semangat.BersambungBADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Ning … Ning," teriakku. Setelah berdebat tadi, aku memang meninggalkan dia untuk keluar jalan-jalan, tentunya bersama Ida. Setidaknya pusing di kepala ini langsung hilang ketika melihat senyum manisnya. "Ke mana, sih, perempuan ini? Selalu saja bikin aku emosi.""Assalamu'alaikum." Tidak berapa lama Ning datang."Astaga, suami pulang bukannya di rumah malah kelayapan."Ning hanya diam saja, sama sekali tidak menjawab ucapanku. Dia langsung pergi ke belakang mengambil segelas air putih untukku, dan masih tetap diam.Sok-sok'an ngambek segala. Memangnya aku peduli. Harusnya 'kan aku yang marah.Coba saja Ida yang menyambutku saat pulang ke rumah, pasti rasa lelahku langsung hilang. Tidak seperti sekarang, aku merasa tidak nyaman berada di rumah.***Pagi yang kunanti telah tiba. Waktu yang selalu membuat semangat karena akan bertemu dengan pujaan hati. Ida Indriyani … sedetikpun rasanya enggan untuk menghilangkan bayangannya dari pikiranku.
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"M-Mas Heru …. Aku tidak salah lihat 'kan? Barusan benar-benar Mas Heru. Istri? Dia menyebut perempuan yang dibonceng dengan sebutan istri. Lantas aku ini?"Aku yang baru saja turun ke jalan menghibur pengendara yang berhenti di lampu merah mendapat kejutan yang membuat hati ini tercabik, teriris. Begitu sakit.Menangis? Tidak, bahkan aku tidak mampu menangis. Aku menepuk dada ini berkali-kali untuk menghilangkan rasa sesak yang tak mampu kubendung. "Ning, kamu kenapa? Sakit?" tanya Bu Wati–ibu badut yang memberiku pekerjaan."Sa-sakit? Saya tidak apa-apa, Bu. Cuma sedikit nyeri saja perutnya, mungkin karena barusan bayi di dalam perut nendang." Aku berusaha tersenyum, meski hatiku menangis dan hancur."Benar? Kalau memang sedang tidak enak badan, jangan dipaksain. Kamu bisa mulai jadi badut kapan saja, yang penting kesehatanmu, Ning."Aku tidak boleh lemah, aku tidak boleh cengeng, aku perempuan kuat. Aku berusaha melupakan apa yang kulihat
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Ada apa dengan Ning? Sikapnya tiba-tiba berubah. Apa dia kesurupan karena seharian kelayapan?" ucapku sendiri sambil berusaha menghidupkan kayu bakar untuk masak air. Berkali-kali berusaha, tapi tetap saja tidak bisa. Sampai-sampai mataku perih. Hah … d*s*r istri tidak tahu diri. Disuruh menyiapkan air panas tidak mau, disuruh masak enak malah ngasih kertas. Apa, sih, mau dia?Coba sedang tidak hamil, sudah ku'tinggalkan saat ini juga. Hampir lima belas menit, masih saja aku tidak bisa menghidupkan apinya. Emosiku sudah sampai di ubun-ubun. Capek pulang kerja bukannya dilayani, malah disuruh masak air sendiri. Aku segera melempar kayu yang ada di depanku dan beranjak masuk untuk menyuruh Ning yang masak air. Karena itu sudah menjadi tugasnya.Ning yang baru saja keluar dari kamar mandi terlihat sangat santai, sama sekali tidak merasa bersalah telah menyuruhku mengerjakan tugas yang sudah menjadi tugasnya. Aku menarik tangan Ning mengajak
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGSelama menikah, baru kali ini aku keluar rumah tanpa izin pada suami. Aku tahu ini salah, tapi aku juga punya batas kesabaran. Mengatur napas untuk melegakan sesak di dada, rasanya seperti terhimpit batu besar. Aku tidak pernah menyangka, pria yang pernah berjanji akan selalu menjaga dan menyayangiku di hadapan bapak dan emak tega mengingkari. Seandainya kedua orang tuaku masih ada, pasti mereka tidak akan membiarkan Mas Heru menyakiti aku seperti ini. "Ning, dari kemarin Ibu lihat kamu banyak melamun. Ada yang sedang kamu pikirkan?"Aku menoleh ke arah Bu Wati yang sedang menatapku. Seperti biasa, aku mengumbar senyum mengembang. "Ning baik-baik saja, Bu. Biasa, Ibu hamil bawaannya ngga menentu.""Ya sudah … kalau memang belum siap terbuka sama Ibu. Tapi kalau kamu memang sudah tidak kuat, Ibu siap menjadi pendengar segala keluh kesahmu, Ning. Apalagi orang hamil tidak boleh banyak pikiran, nanti berpengaruh pada bayinya," ucap Bu
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Terus ini gimana, Mas? Masa' iya aku ikut dorong motor sampai tempat kerja, yang ada kakiku gempor," protes Ida. "Lagian istrimu itu ngapain pakai ngambil kunci motor segala?" sambungnya lagi.Ning memang keterlaluan, aku tidak habis pikir dia menjadi badut jalanan seperti itu, memalukan. "Kamu naik angkutan saja, ya. Biar Mas dorong sendiri motornya."Ida menyembulkan napas, "ya sudah, Mas Heru cariin aku taksi. Kalau naik jalur ngga bisa turun sampai depan pabrik."Aku pun segera mencarikan Ida taksi biar dia tidak telat masuk kerjanya. "Aku duluan, ya, Mas," pamit Ida ketika taksinya sudah datang. Si*lan, gara-gara Ning aku harus dorong motor. Berduaan dengan Ida pun gagal. Ternyata dua hari ini Ning tidak ada di rumah karena menjadi badut? Berarti badut yang kemarin itu dia juga? Astaga … kok bisa aku sampai tidak mengenalinya. Sekarang Ning sudah tahu kalau aku memiliki perempuan lain di belakang dia. Pantas saja sikapnya sangat ane
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NING"Ternyata perempuan itu lebih berarti daripada aku dan anak kita, Mas. Kamu lebih memilih pergi meninggalkan kami," ucapku tanpa beranjak dari tempat duduk setelah Mas Heru benar-benar meninggalkan rumah.Laki-laki yang pernah mengucap janji suci, berjanji di depan bapak telah mengingkari ucapannya sendiri. Tidak ada maksud menjadi istri pembangkang, membantah dan berani menantang suami. Tapi Mas Heru sudah sangat keterlaluan. Bukan kata maaf yang terucap atas perbuatan yang dia lakukan, melainkan masih saja menyalahkanku. "Kita pasti mampu menghadapi semua ini, Nak. Ibu akan selalu menjagamu. Maafin Ibu belum bisa memberikan yang terbaik." ***Waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Aku segera beranjak dari tempat tidur dan berwudhu untuk menjalankan salat sunah tahajud. Hanya dengan mengadu dan berkeluh kesah pada Rabb'ku hati ini menjadi tenang. Menguntai sebuah doa dan harapan, memohon ampun atas segala kesalahan. Aku pasrahkan hidu
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Da, Ida …," panggilku sambil mengetuk pintu berkali-kali. Pagi-pagi buta aku sudah menyambangi kontrakannya. Tidak berapa lama Ida pun membuka pintu, wajahnya masih terlihat ngantuk. "Astaga, Mas Heru. Ngapain pagi begini sudah ke sini. Aku juga belum mandi, baru bangun tidur.""Boleh aku masuk dulu. Ngga enak kalau dilihatin orang." Aku celingak celinguk mengamati sekitar kontrakan Ida. "Cepetan!"Aku pun segera memasukkan barang-barangku.Semalam terpaksa aku tidur di pos ronda tak jauh dari kontrakan Ida, karena bingung mesti ke mana. "Da, aku nitip mandi, ya.""Hem … malah repot sendiri 'kan sekarang. Harusnya Mas Heru tidak usah pakai acara pergi dari rumah segala. Mestinya badut itu yang keluar. Sekarang dia malah enak-enakkan tinggal di rumah kamu.""Ngga pa-pa, Da. Ini juga untuk sementara saja. Besok setelah Ning melahirkan, aku akan ceraikan dia. Dan rumah itu akan aku minta." Terpaksa berbohong, padahal rumah tersebut memang mi
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGSebenarnya aku malu harus meladeni kekonyolanmu itu, Mas. Tapi ucapan demi ucapan yang kamu lontarkan selalu menyakitkan. Memberi sedikit pelajaran memang harus aku lakukan. "Cepat kamu ambil kunci motorku!" Mas Heru menarik kasar baju badutku dari belakang. Untung saja aku bisa mengimbangi badan sehingga tidak terjengkang."Jangan kasar sama perempuan, apalagi dia sedang hamil," balas Bu Wati yang tiba-tiba datang mem*k*l keras kepala Mas Heru."Tidak usah ikut campur perempuan tua. Ini urusanku dengan badut g*la itu," ucap Mas Heru seraya menunjukku.PLAKKKPLAKKKDua tamparan keras membuat pipi Mas Heru seketika memerah. "Badut gil*? Lagi-lagi kamu mengucapkan kata-kata itu. Bukannya kamu yang tidak w*ras? Aku, yang kamu sebut g*la tak lain Ibu dari darah dagingmu." Mas Heru memegang pipinya dengan wajah penuh amarah. "Aku tidak yakin itu anakku, bisa saja 'kan selama ini kamu juga memiliki selingkuhan. Aku 'kan jarang di rumah.