Home / Rumah Tangga / Badut di Lampu Merah Itu Ternyata Istriku / Bab 3 Badut di Lampu Merah Itu Ternyata Istriku

Share

Bab 3 Badut di Lampu Merah Itu Ternyata Istriku

last update Last Updated: 2023-03-30 11:27:41

BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU

POV NING

Sebenarnya dari semalam aku ingin bicara sama Mas Heru, ingin periksa kandungan ke dokter. Selama hamil, aku belum pernah USG dan hanya periksa ke bidan di desa sebelah. Itu pun Mas Heru sering uring-uringan saat aku meminta uang untuk periksa.

"Mas, mumpung kamu libur kerja, anterin aku periksa ke dokter, ya. Aku pingin USG, biar tahu perkembangan bayi kita di dalam kandungan." Akhirnya aku pun memberanikan diri untuk bicara.

Mas Heru tidak menggubris ucapanku, dia terlalu asyik dengan ponsel di tangannya.

"Mas …," panggilku lagi.

"Kamu pikir periksa ke dokter ngga bayar? Ngga usah USG juga ngga pa-pa 'kan. Asal kamu bisa jaga baik-baik kandunganmu, bayinya pasti sehat."

Aku merasa, semakin hari sikap Mas Heru semakin cuek padaku. Tidak ada perhatiannya sama sekali.

"Mas … sekali ini saja. Aku cuma pengen tahu kondisi bayi kita," rengekku.

Mas Heru berdiri dari duduknya dan mendekat ke arahku. Kini dia berdiri persis di depanku. "Kamu pengen USG? Bayar sendiri," ucapnya dan berlalu begitu saja.

"Dulu kamu sendiri yang menyuruhku untuk berhenti kerja. Sekarang saat aku sudah tidak kerja, kamu selalu marah setiap aku meminta uang. Bukannya sudah menjadi tanggung jawab kamu menafkahi istri, Mas," terangku mengikuti langkah Mas Heru.

Sebelumnya aku bekerja di sebuah pabrik tekstil. Tapi Mas Heru selalu protes saat aku pulang larut malam karena lembur. Seharusnya dia paham seperti apa kerja di pabrik, karena dia sendiri pun karyawan pabrik.

Tidak ingin bertengkar karena pekerjaan, akhirnya aku mengalah dan menuruti permintaan Mas Heru untuk berhenti kerja. Aku yang terbiasa memenuhi kebutuhan sendiri, sekarang mau tidak mau harus bergantung padanya.

"Ngga usah ngungkit hal itu. Sudah benar aku menyuruh kamu berhenti kerja. Karena seorang istri memang lebih baik di rumah. Ngurus pekerjaan rumah, ngurus suami."

"Aku ikhlas, Mas, kalau kamu menginginkan aku menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Tapi kamu juga harus paham dengan tanggung jawabmu sebagai suami. Apalagi sekarang aku tidak punya penghasilan sendiri."

"Kamu itu memang tidak pernah bersyukur, ya, Ning. Setiap minggu sudah aku kasih uang. Masih saja protes."

Aku hanya bisa menarik napas panjang sembari mengulas senyum kecut. "Kamu bilang aku tidak bersyukur, Mas? Sebisa mungkin aku mengatur uang tujuh puluh ribu pemberian kamu untuk satu minggu. Bahkan kamu tidak pernah menanyakan apa uang tersebut cukup. Kamu tidak pernah menanyakan, apa ada kebutuhan lain yang mesti dipenuhi di luar uang tujuh puluh ribu tersebut. Kita hidup bermasyarakat, ada kalanya guyup rukun. Apa kamu tidak berpikir sejauh itu, Mas? Bahkan aku mengabaikan kebutuhan pribadiku karena tidak ingin menambah beban. Sampai ponsel saja aku jual."

Sakit sekali rasanya ketika aku berharap Mas Heru akan memahami ucapanku, tapi dia justru mengabaikan begitu saja dan pergi entah ke mana.

Dari awal menikah, aku tidak pernah menuntut berapapun Mas Heru memberi nafkah, karena aku masih bisa memenuhi semua dari hasil kerjaku. Tapi sekarang semua berbeda.

Sepertinya aku tidak boleh berdiam diri saja. Mengandalkan uang pemberian dari Mas Heru tujuh puluh ribu per minggu sangat jauh dari kata cukup. Meminta lebih pun yang ada akan jadi ribut.

***

Aku terus berjalan menyusuri pinggiran toko. Menanyakan lowongan kerja dari toko satu ke toko lainnya. Semua hasilnya nihil. Ada beberapa toko yang memang sedang membutuhkan tambahan karyawan, tapi bukan untuk perempuan yang sedang hamil. Mencari pekerjaan dalam kondisi hamil memang tidak mudah.

Kata-kata Mas Heru terus terngiang di setiap langkah kaki ini. Bagaimana bisa dia mengatakan aku tidak bersyukur. Sedangkan uang pemberiannya susah payah aku cukup-cukupkan.

Sebenarnya kakiku terasa nyeri, tapi rasa sakit ini tak sebanding dengan rasa sakit atas ucapan dan sikap Mas Heru yang semakin keterlaluan.

Apa seperti ini namanya berumah tangga?

Aku memutuskan untuk istirahat dan duduk di bawah pohon yang ada di pinggir jalan. Bingung harus ke mana lagi kaki ini melangkah.

Sampai akhirnya pandanganku tertuju pada badut yang duduk tak jauh dariku. Aku terus menatapnya, dia mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dan uang koin dari sakunya. Badut tersebut tengah sibuk menghitung penghasilan dari menghibur para pengendara yang berhenti saat lampu merah.

Tidak berapa lama badut tersebut membuka rambut dan hidung palsunya. Aku sedikit terkejut, karena ternyata dia seorang ibu paruh baya.

Ibu tersebut menoleh ke arahku dan mendekat. "Mau?" Tiba-tiba dia menawarkan sebuah roti.

"Tidak, Bu. Terima kasih," ucapku. Tidak bermaksud menolak rezeki. Tapi tak sampai hati membiarkan ibu tersebut membagi satu buah roti denganku.

Sejenak kami ngobrol, sampai akhirnya dia menawari aku pekerjaan menjadi badut.

"Itu juga kalau mbaknya mau. Apalagi lagi mbaknya sedang hamil, memang harus dipikir ulang."

"Mau. Saya mau, Bu," jawabku tanpa pikir panjang. Aku memang harus mencari uang sendiri

"Mbaknya tidak usah sewa kostum badut, nanti saya pinjami. Kebetulan saya punya dua."

"Panggil saya Ning, Bu. Nama saya Ningrum, tapi biasa dipanggil Ning. Terima kasih karena sudah memberikan saya pekerjaan."

"Bukan memberikan pekerjaan, Ning. Karena saya bukan seorang bos. Tapi kita sama-sama mencari rezeki dengan jalan ini. Jadi perempuan harus kuat. Besok kita ketemu di sini lagi, akan saya bawakan kostum badutnya."

Aku menganggukkan kepala dengan penuh semangat.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
utk ukuran seorang yg pernah bekerja dan mandiri, si ning terkesan sangat bodoh
goodnovel comment avatar
nurdianis
sedih dalam hamil harus nyari uang dengan jadi badut
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Badut di Lampu Merah Itu Ternyata Istriku   Bab 38 Badut di Lampu Merah Itu Ternyata Istriku (TAMAT)

    BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUFull PartBerkali-kali aku mengamati sebuah undangan cantik berwarna cokelat yang terpampang sebuah foto, tertera nama Ningrum Anniyah dan Ilham Ramadhan. Ning memberikan langsung undangan tersebut saat aku datang menemui Fathan. "Mas, jika berkenan, aku harap kamu datang di acara pernikahanku. Aku juga minta doanya semoga lancar sampai hari H." Ucapan tersebut terus terngiang di telinga. Perempuan yang dulu kupilih menjadi pendamping dan telah kuceraikan, kini sudah ada pria lain yang meminang.—------------Mondar-mandir dengan perasaan tak menentu. Hari ini hari pernikahan Ning dengan Pak Ilham. Aku bingung, harus datang atau tidak. Bukan tidak suka Ning menikah lagi, aku bahagia untuk itu. Tapi … entah kenapa, aku justru teringat kembali dengan pernikahan kami. Apa ini rasa penyesalan karena telah meninggalkan dia? Atau sebenarnya rasa yang dulu pernah ada tumbuh kembali? Tidak … itu tidak boleh terjadi. Sekarang Ning sudah menemukan pr

  • Badut di Lampu Merah Itu Ternyata Istriku   Bab 37 Badut di Lampu Merah Itu Ternyata Istriku

    BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGSetelah ada kesepakatan, akhirnya kedua belah pihak keluarga memutuskan kalau pernikahanku dengan Mas Ilham akan dilaksanakan lebih dulu satu bulan dari pernikahan Faiz dan Raras. Aku juga sudah bicara pada keluarga kalau menginginkan pernikahan sederhana saja, sama seperti waktu lamaran. Selain ini pernikahan kedua untuk aku dan Mas Ilham. Aku juga menjaga perasaan pihak keluarga mama'nya Fahira yang masih sangat berhubungan baik dengan keluarga Mas Ilham, bahkan mereka juga begitu baik padaku. Faiz dan Raras pun tidak keberatan sama sekali kalau kami mendahului mereka. Bahkan mereka sangat antusias sekali menyambut rencana pernikahanku dengan Mas Ilham yang akan dilaksanakan dua bulan lagi.Di acara pernikahan nanti, aku ingin kedua orang tua Mas Heru datang. Pun dengan Mas Heru sendiri. —------------"Kamu mau menikah, Ning?" jawab emaknya Mas Heru ketika aku memberitahu soal pernikahan dan meminta doa restu melalui sambungan te

  • Badut di Lampu Merah Itu Ternyata Istriku   Bab 36 Badut di Lampu Merah Itu Ternyata Istriku

    BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUFathan … seketika kehadiranmu telah merubah ayah. Memberikan kebahagiaan yang selama ini belum pernah ayah rasakan. Rasa bersalahku semakin tak terbendung, ketika, Ning, perempuan yang sudah aku sia-siakan sama sekali tidak menyimpan dendam, dia telah memaafkan'ku. —-----------Terlihat ada keributan tak jauh dari toko pakaian tempat aku membelikan setelan baju untuk Fathan. Aku pun sedikit mendekat untuk memastikan ada apa."Dasar ulat bulu. Sudah tahu suami orang, masih saja kamu dekati." Terdengar ucapan dari seorang perempuan sambil menjambak rambut perempuan di depannya. "Jangan, Mbak, kasihan. Nanti rambutnya rontok," ucap pria yang mencoba menghalangi. Aku masih belum melihat dengan jelas. "Kasihan? Kamu kasihan sama pelakor ini. Sedangkan kamu tidak kasihan dengan istri yang sedang hamil besar di rumah." Suaranya begitu lantang dengan ucapan yang sangat jelas Aku semakin mendekat jadi satu dengan orang-orang yang berkerumun.Kedua

  • Badut di Lampu Merah Itu Ternyata Istriku   Bab 35 Badut di Lampu Merah Itu Ternyata Istriku

    BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGMas Heru … bukannya aku tidak ingin kamu mendekati Fathan. Sebenarnya perasaanku lega kalau hatimu benar-benar sudah terbuka. Karena memang yang aku harapkan selama ini.Tetapi … sepertinya aku masih butuh waktu mengizinkan Fathan untuk mengenalmu sebagai ayahnya, selama masih ada kebimbangan dalam diri kamu. —-------------Hari ini adalah hari di mana aku akan memberi jawaban pada Mas Ilham. Genap satu bulan aku meminta waktu untuk berpikir matang-matang dan memohon petunjuk pada Allah sebelum akhirnya mengambil sebuah keputusan besar. Semua orang sudah kumpul di ruang tamu. Raras juga datang bersama Mas Ilham. Kini semua pandangan terarah padaku. Sepertinya mereka sudah tidak sabar ingin mendengar jawaban yang akan aku sampaikan. "Bismillah, hari ini saya akan memberi jawaban atas niat Mas Ilham satu bulan lalu." Aku menghentikan ucapan yang membuat semua orang terlihat tegang. "Mas Ilham sudah tahu bagaimana masa lalu saya. Ma

  • Badut di Lampu Merah Itu Ternyata Istriku   Bab 34 Badut di Lampu Merah Itu Ternyata Istriku

    BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUKenapa sekarang aku lemah di depan Ning? Kenapa bibir ini tak mampu mengucap sebuah pembelaan seperti yang biasa aku lakukan setiap bertemu dengannya Mungkin memang sudah waktunya aku diam. Ya … akan aku dengar dan aku terima apapun yang ingin kamu katakan, Ning. Menatap Ning yang buru-buru pergi. Aku mengingat kembali atas ucapan yang pernah aku lontarkan padanya waktu dulu dia menjadi badut. Sebuah pekerjaan yang aku pandang sebelah mata, ternyata sekarang menjadi profesiku sehari-hari. —----------------Semakin hari rasa ingin bertemu dengan Fathan semakin kuat. Tersiksa. Hati ini merasa ada yang mengganjal ketika teringat anak tersebut.Apa dia memang darah dagingku? Kenapa wajah dan tatapannya saat foto bersama di taman waktu itu tidak bisa kulupakan. Terus membayangi pikiran.Haruskah aku memastikan pada Ning. Apa benar Fathan anakku?-Pulang menjadi badut, aku putuskan untuk datang ke rumah yang dulu pernah ngamen di sana, tempat

  • Badut di Lampu Merah Itu Ternyata Istriku   Bab 33 Badut di Lampu Merah Itu Ternyata Istriku

    BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGBibirku tak mampu berkata-kata. Bahkan napas ini terasa berhenti. Tertegun."I-Ibu tidak salah dengar 'kan? Kamu mau melamar Ning, Ham?" Bu Wati memperjelas ucapan yang baru saja dikatakan Mas Ilham. "Iya, Bu. Saya ingin melamar Ningrum–putri Ibu," terangnya. Aku berdiri hendak meninggalkan ruang tamu. Apa ini? Tiba-tiba Mas Ilham ingin melamarku, seakan-akan keputusan sangat besar hanya seperti candaan semata."Mbak Ning. Maaf, kalau niat saya ini tidak berkenan di hati, Mbak. Saya tidak akan memaksa." "Ning … duduklah!" titah Bu Wati.Rasanya berat untuk kembali menjatuhkan bobot tubuh di sofa. Tapi aku tidak bisa menolak apa yang diperintahkan Bu Wati. "Kenapa Mas Ilham bisa semudah itu ingin melamar saya? Kita kenal sebatas kenal biasa. Tidak ada kedekatan lebih. Apalagi memiliki rasa. Apa Mas Ilham pikir, saya perempuan yang berhak dipermainkan?" "Demi Allah, saya serius. Saya tidak mempermainkan Mbak Ningrum."Aku menatap B

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status