Share

Bab 7 Badut di Lampu Merah Itu Ternyata Istriku

BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU

POV NING

Selama menikah, baru kali ini aku keluar rumah tanpa izin pada suami. Aku tahu ini salah, tapi aku juga punya batas kesabaran.

Mengatur napas untuk melegakan sesak di dada, rasanya seperti terhimpit batu besar. Aku tidak pernah menyangka, pria yang pernah berjanji akan selalu menjaga dan menyayangiku di hadapan bapak dan emak tega mengingkari.

Seandainya kedua orang tuaku masih ada, pasti mereka tidak akan membiarkan Mas Heru menyakiti aku seperti ini.

"Ning, dari kemarin Ibu lihat kamu banyak melamun. Ada yang sedang kamu pikirkan?"

Aku menoleh ke arah Bu Wati yang sedang menatapku. Seperti biasa, aku mengumbar senyum mengembang. "Ning baik-baik saja, Bu. Biasa, Ibu hamil bawaannya ngga menentu."

"Ya sudah … kalau memang belum siap terbuka sama Ibu. Tapi kalau kamu memang sudah tidak kuat, Ibu siap menjadi pendengar segala keluh kesahmu, Ning. Apalagi orang hamil tidak boleh banyak pikiran, nanti berpengaruh pada bayinya," ucap Bu Wati dengan mengalihkan pandangan ke jalan raya.

Tiba-tiba aku menangis tergugu tanpa bisa ditahan. Aku sudah berusaha menahan agar air mata ini tidak keluar. Berkali-kali menarik napas panjang dan menghembuskan dengan pelan. Tapi ternyata hatiku tak mampu menahan rasa sakit ini.

"Menangislah! Keluarkan semua rasa sedihmu, biar lega. Orang kuat pun ada kalanya menumpahkan beban di hati dengan tangis. Bukan berarti lemah, tapi manusiawi."

"Sakit sekali hati, Ning, Bu," terangku.

Bu Wati merangkul pundakku. "Ibu tidak tahu ada masalah apa denganmu. Tapi yakinlah, dibalik masalahmu itu, Allah janjikan kebahagiaan. Meski kita baru saja kenal, tapi Ibu tahu kamu perempuan baik. Sabar!"

"Terima kasih, Bu." Aku segera menghapus bulir bening yang membasahi wajahku. Meski tidak menceritakan permasalahan pada Bu Wati, tapi hatiku sedikit merasa lega.

Mas Heru, setiap hari pasti dia berangkat lewat sini. Karena memang arah tempat kerjanya. Berarti aku akan sering melihat dia.

Aku segera mengenakan rambut palsu yang dari tadi memang belum kupakai. Jangan sampai Mas Heru tahu, kalau badut yang dia lihat adalah aku.

Aku dan Bu Wati berdiri di pinggir jalan, menunggu lampu merah menyala. Pandanganku fokus menatap setiap motor yang lewat di depan.

Tidak berapa lama, motor matic berwarna putih yang tak asing bagiku terlihat juga. Lagi-lagi Mas Heru tidak sendirian. Dia bersama perempuan yang kulihat kemarin. Meski belum melihat wajahnya, tapi jaket yang dikenakan sama.

"Ning … awas!" teriak Bu Wati ketika aku sengaja menghadang motor Mas Heru.

Mas Heru langsung membelokkan motornya ke samping sampai hampir terjatuh.

"Masss," teriak perempuan yang semakin erat memeluk Mas Heru.

"Badut g*bl*k, sialan. Hampir saja kami celaka gara-gara kamu. Ngga lihat kalau lampunya hijau, ngapain kamu tiba-tiba muncul?"

Aku mendekat ke arah perempuan yang dibonceng. Dia terlihat ketakutan dan tidak berani menoleh ke arahku.

"Mau ngapain kamu dekat-dekat istriku? Dia itu takut sama badut," terang Mas Heru dengan menarik lenganku.

Istri, jelas sekali ucapan itu terlontar dari mulut Mas Heru. Tadinya aku tidak ingin Mas Heru tahu siapa diriku. Tapi ucapannya tentang perempuan ini membuat darahku mendidih.

"Mass, suruh badutnya pergi. Aku takut!" ucapnya.

Aku menarik perempuan itu turun dari motor, dia menjerit.

"Badut g*la. Mau apa kamu?" teriak Mas Heru sembari turun dari motornya.

"Kamu yang gila."

"Kamu …." Mas Heru menatapku tanpa berkedip, pasti dia kaget mendengar suaraku.

"Iya, aku–Ningrum."

Kedua mata Mas Heru membulat. Dia mengusap kasar wajahnya.

Selingkuhan Mas Heru yang dari tadi menutup wajah dengan kedua tangannya, seketika menoleh ke arahku. "Di-dia istrimu, Mas?" tanyanya, lalu berlari dan berdiri di belakang Mas Heru.

Mas Heru tidak menjawab pertanyaan perempuan tersebut, semakin sakit perasaanku dibuatnya. Mengakui siapa diriku saja Mas Heru tidak mau. Sedangkan perempuan yang statusnya selingkuhan, dia sebut sebagai istri.

Suami macam apa dia.

"Urusan kita belum selesai." Aku mengambil kunci motor milik Mas Heru dan pergi meninggalkan mereka.

"Ningrum, kembalikan kuncinya. Aku dan Ida mau berangkat kerja." Mas Heru mengikuti langkahku.

Ida? Jadi perempuan itu bernama Ida.

"Aku tidak akan mengembalikan kunci motor ini. Kalau kamu berani bersikap kasar, aku akan teriak."

"Jangan gila kamu, Ning. Masa' aku harus mendorong sampai tempat kerja."

Aku tidak menggubris ucapan Mas Heru, segera melangkahkan kaki ini lebih cepat untuk menghindarinya.

-

Bu Wati mendekat dan berdiri di sampingku. "Tadi itu …." Dia tidak meneruskan ucapannya. Terdengar hembusan napas panjang dari beliau, lalu menepuk bahuku berkali-kali.

Aku sendiri hanya bisa menghembuskan napas kasar sembari menatap ke depan, teringat kata-kata kedua orang tuaku saat mereka menjelaskan makna dari namaku. Ternyata ini, kenapa bapak dan emak memberiku nama Ningrum Anniyah. Karena mereka berharap anaknya akan tumbuh menjadi perempuan yang bertanggung jawab, melindungi, kuat dan mandiri.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status