BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU
POV NINGSelama menikah, baru kali ini aku keluar rumah tanpa izin pada suami. Aku tahu ini salah, tapi aku juga punya batas kesabaran.Mengatur napas untuk melegakan sesak di dada, rasanya seperti terhimpit batu besar. Aku tidak pernah menyangka, pria yang pernah berjanji akan selalu menjaga dan menyayangiku di hadapan bapak dan emak tega mengingkari.Seandainya kedua orang tuaku masih ada, pasti mereka tidak akan membiarkan Mas Heru menyakiti aku seperti ini."Ning, dari kemarin Ibu lihat kamu banyak melamun. Ada yang sedang kamu pikirkan?"Aku menoleh ke arah Bu Wati yang sedang menatapku. Seperti biasa, aku mengumbar senyum mengembang. "Ning baik-baik saja, Bu. Biasa, Ibu hamil bawaannya ngga menentu.""Ya sudah … kalau memang belum siap terbuka sama Ibu. Tapi kalau kamu memang sudah tidak kuat, Ibu siap menjadi pendengar segala keluh kesahmu, Ning. Apalagi orang hamil tidak boleh banyak pikiran, nanti berpengaruh pada bayinya," ucap Bu Wati dengan mengalihkan pandangan ke jalan raya.Tiba-tiba aku menangis tergugu tanpa bisa ditahan. Aku sudah berusaha menahan agar air mata ini tidak keluar. Berkali-kali menarik napas panjang dan menghembuskan dengan pelan. Tapi ternyata hatiku tak mampu menahan rasa sakit ini."Menangislah! Keluarkan semua rasa sedihmu, biar lega. Orang kuat pun ada kalanya menumpahkan beban di hati dengan tangis. Bukan berarti lemah, tapi manusiawi.""Sakit sekali hati, Ning, Bu," terangku.Bu Wati merangkul pundakku. "Ibu tidak tahu ada masalah apa denganmu. Tapi yakinlah, dibalik masalahmu itu, Allah janjikan kebahagiaan. Meski kita baru saja kenal, tapi Ibu tahu kamu perempuan baik. Sabar!""Terima kasih, Bu." Aku segera menghapus bulir bening yang membasahi wajahku. Meski tidak menceritakan permasalahan pada Bu Wati, tapi hatiku sedikit merasa lega.Mas Heru, setiap hari pasti dia berangkat lewat sini. Karena memang arah tempat kerjanya. Berarti aku akan sering melihat dia.Aku segera mengenakan rambut palsu yang dari tadi memang belum kupakai. Jangan sampai Mas Heru tahu, kalau badut yang dia lihat adalah aku.Aku dan Bu Wati berdiri di pinggir jalan, menunggu lampu merah menyala. Pandanganku fokus menatap setiap motor yang lewat di depan.Tidak berapa lama, motor matic berwarna putih yang tak asing bagiku terlihat juga. Lagi-lagi Mas Heru tidak sendirian. Dia bersama perempuan yang kulihat kemarin. Meski belum melihat wajahnya, tapi jaket yang dikenakan sama."Ning … awas!" teriak Bu Wati ketika aku sengaja menghadang motor Mas Heru.Mas Heru langsung membelokkan motornya ke samping sampai hampir terjatuh."Masss," teriak perempuan yang semakin erat memeluk Mas Heru."Badut g*bl*k, sialan. Hampir saja kami celaka gara-gara kamu. Ngga lihat kalau lampunya hijau, ngapain kamu tiba-tiba muncul?"Aku mendekat ke arah perempuan yang dibonceng. Dia terlihat ketakutan dan tidak berani menoleh ke arahku."Mau ngapain kamu dekat-dekat istriku? Dia itu takut sama badut," terang Mas Heru dengan menarik lenganku.Istri, jelas sekali ucapan itu terlontar dari mulut Mas Heru. Tadinya aku tidak ingin Mas Heru tahu siapa diriku. Tapi ucapannya tentang perempuan ini membuat darahku mendidih."Mass, suruh badutnya pergi. Aku takut!" ucapnya.Aku menarik perempuan itu turun dari motor, dia menjerit."Badut g*la. Mau apa kamu?" teriak Mas Heru sembari turun dari motornya."Kamu yang gila.""Kamu …." Mas Heru menatapku tanpa berkedip, pasti dia kaget mendengar suaraku."Iya, aku–Ningrum."Kedua mata Mas Heru membulat. Dia mengusap kasar wajahnya.Selingkuhan Mas Heru yang dari tadi menutup wajah dengan kedua tangannya, seketika menoleh ke arahku. "Di-dia istrimu, Mas?" tanyanya, lalu berlari dan berdiri di belakang Mas Heru.Mas Heru tidak menjawab pertanyaan perempuan tersebut, semakin sakit perasaanku dibuatnya. Mengakui siapa diriku saja Mas Heru tidak mau. Sedangkan perempuan yang statusnya selingkuhan, dia sebut sebagai istri.Suami macam apa dia."Urusan kita belum selesai." Aku mengambil kunci motor milik Mas Heru dan pergi meninggalkan mereka."Ningrum, kembalikan kuncinya. Aku dan Ida mau berangkat kerja." Mas Heru mengikuti langkahku.Ida? Jadi perempuan itu bernama Ida."Aku tidak akan mengembalikan kunci motor ini. Kalau kamu berani bersikap kasar, aku akan teriak.""Jangan gila kamu, Ning. Masa' aku harus mendorong sampai tempat kerja."Aku tidak menggubris ucapan Mas Heru, segera melangkahkan kaki ini lebih cepat untuk menghindarinya.-Bu Wati mendekat dan berdiri di sampingku. "Tadi itu …." Dia tidak meneruskan ucapannya. Terdengar hembusan napas panjang dari beliau, lalu menepuk bahuku berkali-kali.Aku sendiri hanya bisa menghembuskan napas kasar sembari menatap ke depan, teringat kata-kata kedua orang tuaku saat mereka menjelaskan makna dari namaku. Ternyata ini, kenapa bapak dan emak memberiku nama Ningrum Anniyah. Karena mereka berharap anaknya akan tumbuh menjadi perempuan yang bertanggung jawab, melindungi, kuat dan mandiri.BersambungBADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Terus ini gimana, Mas? Masa' iya aku ikut dorong motor sampai tempat kerja, yang ada kakiku gempor," protes Ida. "Lagian istrimu itu ngapain pakai ngambil kunci motor segala?" sambungnya lagi.Ning memang keterlaluan, aku tidak habis pikir dia menjadi badut jalanan seperti itu, memalukan. "Kamu naik angkutan saja, ya. Biar Mas dorong sendiri motornya."Ida menyembulkan napas, "ya sudah, Mas Heru cariin aku taksi. Kalau naik jalur ngga bisa turun sampai depan pabrik."Aku pun segera mencarikan Ida taksi biar dia tidak telat masuk kerjanya. "Aku duluan, ya, Mas," pamit Ida ketika taksinya sudah datang. Si*lan, gara-gara Ning aku harus dorong motor. Berduaan dengan Ida pun gagal. Ternyata dua hari ini Ning tidak ada di rumah karena menjadi badut? Berarti badut yang kemarin itu dia juga? Astaga … kok bisa aku sampai tidak mengenalinya. Sekarang Ning sudah tahu kalau aku memiliki perempuan lain di belakang dia. Pantas saja sikapnya sangat ane
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NING"Ternyata perempuan itu lebih berarti daripada aku dan anak kita, Mas. Kamu lebih memilih pergi meninggalkan kami," ucapku tanpa beranjak dari tempat duduk setelah Mas Heru benar-benar meninggalkan rumah.Laki-laki yang pernah mengucap janji suci, berjanji di depan bapak telah mengingkari ucapannya sendiri. Tidak ada maksud menjadi istri pembangkang, membantah dan berani menantang suami. Tapi Mas Heru sudah sangat keterlaluan. Bukan kata maaf yang terucap atas perbuatan yang dia lakukan, melainkan masih saja menyalahkanku. "Kita pasti mampu menghadapi semua ini, Nak. Ibu akan selalu menjagamu. Maafin Ibu belum bisa memberikan yang terbaik." ***Waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Aku segera beranjak dari tempat tidur dan berwudhu untuk menjalankan salat sunah tahajud. Hanya dengan mengadu dan berkeluh kesah pada Rabb'ku hati ini menjadi tenang. Menguntai sebuah doa dan harapan, memohon ampun atas segala kesalahan. Aku pasrahkan hidu
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Da, Ida …," panggilku sambil mengetuk pintu berkali-kali. Pagi-pagi buta aku sudah menyambangi kontrakannya. Tidak berapa lama Ida pun membuka pintu, wajahnya masih terlihat ngantuk. "Astaga, Mas Heru. Ngapain pagi begini sudah ke sini. Aku juga belum mandi, baru bangun tidur.""Boleh aku masuk dulu. Ngga enak kalau dilihatin orang." Aku celingak celinguk mengamati sekitar kontrakan Ida. "Cepetan!"Aku pun segera memasukkan barang-barangku.Semalam terpaksa aku tidur di pos ronda tak jauh dari kontrakan Ida, karena bingung mesti ke mana. "Da, aku nitip mandi, ya.""Hem … malah repot sendiri 'kan sekarang. Harusnya Mas Heru tidak usah pakai acara pergi dari rumah segala. Mestinya badut itu yang keluar. Sekarang dia malah enak-enakkan tinggal di rumah kamu.""Ngga pa-pa, Da. Ini juga untuk sementara saja. Besok setelah Ning melahirkan, aku akan ceraikan dia. Dan rumah itu akan aku minta." Terpaksa berbohong, padahal rumah tersebut memang mi
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGSebenarnya aku malu harus meladeni kekonyolanmu itu, Mas. Tapi ucapan demi ucapan yang kamu lontarkan selalu menyakitkan. Memberi sedikit pelajaran memang harus aku lakukan. "Cepat kamu ambil kunci motorku!" Mas Heru menarik kasar baju badutku dari belakang. Untung saja aku bisa mengimbangi badan sehingga tidak terjengkang."Jangan kasar sama perempuan, apalagi dia sedang hamil," balas Bu Wati yang tiba-tiba datang mem*k*l keras kepala Mas Heru."Tidak usah ikut campur perempuan tua. Ini urusanku dengan badut g*la itu," ucap Mas Heru seraya menunjukku.PLAKKKPLAKKKDua tamparan keras membuat pipi Mas Heru seketika memerah. "Badut gil*? Lagi-lagi kamu mengucapkan kata-kata itu. Bukannya kamu yang tidak w*ras? Aku, yang kamu sebut g*la tak lain Ibu dari darah dagingmu." Mas Heru memegang pipinya dengan wajah penuh amarah. "Aku tidak yakin itu anakku, bisa saja 'kan selama ini kamu juga memiliki selingkuhan. Aku 'kan jarang di rumah.
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Ngga usah bicara apapun, Mas. Urus sendiri, tuh, motor kamu." Ida meremas kesal tangannya, dia terlihat sangat marah. "Da, kamu mau ninggalin Mas sendirian di sini? Ini kuncinya belum bisa diambil." Aku berusaha mengejar langkah Ida yang hendak menyeberang."Aku 'kan sudah bilang, urus sendiri. Lagian kamu itu benar-benar kurang kerjaan, ya, Mas. Nyari makan siang saja sampai ke sini. Aku yakin, kamu memang sengaja pengen ketemu si badut g*la itu."Niatku memang ingin memberi pelajaran pada Ning, tapi aku tidak menyangka kalau akhirnya akan seperti ini. Bahkan Ning berani sekali men*njokku sampai memar seperti ini. "Oke, Mas minta maaf. Tapi bantuin Mas ngambil kuncinya, ya. Biar kita bisa cepat balik ke pabrik.""Apa?" ucap Ida dengan mata melotot. "Maksudnya aku mesti turun ke selokan dan ngambil kuncinya? Begitu?""Tepat, kamu memang perempuan cerdas. Mas belum bilang saja, kamu sudah tahu. Tolong, ya." Aku menangkupkan kedua tangan, mem
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGDari tadi menunggu Bu Wati, tapi beliau tidak balik-balik. Akhirnya aku pun berusaha mencari ke kamar mandi seperti pamitnya. Kakiku terhenti ketika melihat Bu Wati dan pria yang mengejarnya seperti sedang berdebat. Pria tersebut berkali-kali memegang tangan Bu Wati, tapi dengan cepat pula Bu Wati selalu menarik tangannya kembali. Takut terjadi apa-apa dengan Bu Wati, aku pun berjalan mendekati mereka. "Maaf, Bu. Ada apa ini?" tanyaku yang membuat mereka langsung terdiam. "Ning khawatir karena dari tadi Bu Wati tidak balik. Makanya saya mencari Ibu," terangku."Tidak ada apa-apa, Ning. Ibu baik-baik saja. Ayo kita balik ke tempat tadi," ajaknya."Tunggu! Tolong terima uang ini. Ibu jangan jadi badut lagi!" ucap pria tersebut sembari meraih tangan Bu Wati dan meletakkan sebuah amplop cokelat.Tiba-tiba Bu Wati meletakkan amplop tersebut di atas tanganku. "Uang ini untuk kamu saja, Ning. Buat modal usaha biar kamu tidak perlu panas-pa
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Siapa, sih, ini?" ucapku ketika ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal sampai sembilan kali. Saat bekerja, ponsel memang aku simpan dalam loker. Dan aku silent.Karena penasaran, aku pun menelepon balik nomor tersebut. "Hallo, selamat siang," jawabnya."Siang. Maaf, ini siapa, ya?" tanyaku."Oh, ini nomor yang tadi dihubungi sama Mbak Ning, ya?""Mbak Ning?" Ngapain Ning meneleponku segala? Jangan-jangan dia mau minta uang. Karena sudah lama tidak terlihat menjadi badut."Iya, Mbak Ning–pasien di sebelah kakak saya. Tadi dia pinjam ponsel saya, katanya untuk menghubungi suaminya.""Pasien? Memangnya Ning di rumah sakit?""Lho, ini suaminya bukan? Masa' iya istri melahirkan tidak tahu.""Sa-saya memang suaminya, tapi saya di luar kota. Jadi wajar 'kan kalau saya tidak tahu Ning melahirkan," jawabku sedikit emosi."Memangnya istrinya ngga dibeliin ponsel sama anda? Kasihan 'kan kalau ada hal penting seperti ini. Bagaimana dia mau ngabari?
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGAku terus berdoa ketika rasa sakit luar biasa mulai sering kurasakan. Mengatur napas, berusaha menikmati setiap proses menjelang kelahiran. Dadaku terasa sesak ketika menatap setiap calon ibu yang satu ruangan denganku menunggu pembukaan lengkap ditemani suami dan juga keluarganya. Mereka berusaha menenangkan ketika rasa sakit tak tertahankan datang. Ada yang teriak dan berkali-kali bilang tidak kuat. Ada juga yang reflek tiba-tiba mengejan. Suasana yang membuat hati ini pilu. Aku–di sini sendiri. Sesekali seorang perawat mendekat dan mengelus pinggangku ketika aku merintih sakit. Akhirnya hal yang kulakukan agar tetap kuat adalah memupus untuk tidak mengasihani diri sendiri. Karena saat ini aku harus menyiapkan mental, berjuang demi buah hati yang sebentar lagi akan hadir ke dunia. Untaian doa tak hentinya kupanjatkan pada Rabb'ku. "Aku ikhlas atas jalan hidup ini ya Allah," ucapku dengan air mata yang menetes dengan sendirinya.