Share

Bahagia Setelah Terusir
Bahagia Setelah Terusir
Penulis: El Nurien

Diusir

Sebelum baca, subscribe dan klik love dulu ya❤️

***

Tera membuka matanya, tetapi kembali memejam disebabkan sakit yang mendera di sekujur tubuh. Sayangnya, haus dan sakit tenggorokan yang mencekik membuatnya terpaksa menyeret kaki ke dapur dengan mata setengah terbuka. 

Tenggorokannya sedikit nyaman setelah menghabiskan segelas air putih. Setelah itu, ia berbalik ke kamar. Tiba-tiba dari pintu kamar sebelah muncul adik iparnya dengan tatapan mencurigakan. Ia abai, dan mempercepat langkahnya menuju kamar. 

Tidak disangka ipar bergegas menarik lengannya. 

"Jangan sok jual mahal. Aku tau kamu masih mencintaiku," seru iparnya, Arbain.

Tera menghentak tangannya hingga pegangan Arbain terlepas. Ia menyungging sinis. "Dulu memang, tapi itu karena aku bodoh. Hanya perempuan bodoh yang mencintaimu. Aku sangat menyesal telah membuang waktu mencintai laki-laki sepertimu. Aku sangat bersyukur tidak berjodoh denganmu.."

Tera masuk ke kamar, siapa sangka ternyata Arbain mengikuti dan mendorong tubuhnya ke dinding. Seketika tubuh Tera gemetaran. Di luar mulai gerimis, terdengar nyaring ketika jatuh ke atap sengnya. 

"Perempuan dekil seperti kamu berani sombong padaku?! Sadar diri, di usiamu sekarang dan tubuh gosong begitu siapa yang suka denganmu hah?!"

"Aku tak butuh itu."

Arbain mendekatkan wajahnya. "Ayolah main bersamaku. Aku yakin cintamu masih ada untukku. Demi jasamu padaku, aku akan menyenangkanmu malam ini."

Tera mendorong dada Arbain sekuat tenaga. Hilang gemetarannya, berganti dengan amarah tak terbendung. Ia merangsek maju. Terus mendorong Arbain hingga keluar kamarnya.

"Aku memang perempuan buruk rupa. APA HAKMU MENGHINAKU?!" teriak Tera. 

"A … aku cuma ingin menyenangkanmu. Aku banyak hutang padamu," sahut Arbain terbata-bata. Langkah semakin termundur.

"Begini caramu balas budi? Banci," dorong Tera 

Ceklek. 

Tiba-tiba handel pintu bergerak. Tera menoleh ke arah pintu. Kelengahannya dimanfaatkan oleh Arbain. Tiba-tiba Arbain menarik kerah bajunya. Tanpa sempat bertindak, keseimbangannya hilang. Ia terguling. Menindih badan Arbain.

"AAA …." teriak istri Arbain yang baru datang.

"Astaghfirullaah," pekik ibu mereka, Bastiah.”TERA!!!” 

Tetangga yang tadinya datang barengan dengan Bastiah dan Kembang mengurungkan niatnya masuk rumah, begitu mendengar teriak Bastiah dan Kembang. 

Tera bangun. Ia mendekat ibunya. "Bu, tidak seperti yang ibu bayangkan. Dia …." Tera menghentikan ucapannya, mengingat adiknya akan terluka. 

"Jelas-jelas kamu yang di atas, masih menuduh orang lain, hah?!" teriak Kembang. 

"Dik, ini tidak seperti yang kamu lihat. Sungguh, aku …." Lagi-lagi ia tak kuasa membeberkan keburukan Arbain.

Kembang menangis. Arbain berdiri mendekati istrinya. "Sudah, Dek. Jangan nangis. Lagipula aku tidak apa-apa."

"Jadi benar Tera yang mulai?! ANAK TIDAK TAHU DIRI. BIKIN MALU SAJA!" Bastiah berteriak sambil menyeret Tera. 

Tetangga mendekat. “Ada apa, Tiah?” 

Ternyata tetangga kanan juga ikut mendengar kegaduhan itu. Mereka ke halaman rumah dan ikutan menyaksikan drama itu.

"Bu, dengarkan aku. Sungguh itu fitnah." Tera menarik lengannya sehingga terlepas dari ibunya.

"Sekarang kamu memfitnah Mas Arbain?! Jahatnya kamu, Kak! Pantesan kamu tadi diajak nggak mau. Rupanya kamu mau mengambil kesempatan ini,” teriak Kembang. 

Tetangga satu sama lain mulai berbisik. Orang seberang rumah juga ikut menambah kerumunan. satu persatu warga mulai berdatangan. tak terkecuali Bu RT. 

"Itu karena aku sakit, Dek!"

Bastiah kembali menarik putrinya.

"BU!"

Bastiah menuli. Ia mendorong kuat keluar rumah, ditambah lantai yang licin akibat percikan air hujan, membuat Tera kesulitan menjaga keseimbangan.

Bu Rt mendekat. Ia membantu Tera berdiri. “Bu, sebenarnya apa yang terjadi? Sebaiknya ini selesaikan secara kekeluargaan. Tidak baik jadi tontonan orang. Malu.”

“Kekeluargaan. Dia bukan anakku lagi. Haram mempunyai anak jadah seperti dia," teriak Bastiah 

“Bu?!” Tera tersentak, tak terkecuali Bu Rt. 

"Aku tak sudi punya anak sepertimu!" Bastiah menutup pintu dan menguncinya.

 

"Bu, dengarkan aku dulu. Bu!" 

Tera mengetuk pintu berkali-kali, tetapi tak kunjung dibuka. 

Tera berhenti mengetuk. Ia tahu betul siapa ibunya. Ibunya sering mengeluarkan dari rumah, lalu membiarkannya semalaman di luar rumah. 

“Nak, kamu ke rumah kami dulu. Mungkin ibumu hanya lagi emosi, besok-besok dia akan menyesalinya,” bujuk Bu Rt.

Tera terdiam. Bisik-bisik kerumunan terdengar jelas di telinganya, pasti juga di telinga Bu Rt. 

“Kenapa?”

“Dia tertangkap basah dengan Arbain.” 

“Pantesan. Siapapun pasti malu.” 

Tera mendelik ke arah orang itu. Seketika mereka terdiam. 

“Sekarang bubarlah!” perintah Bu Rt. Satu persatu orang-orang menjauh. 

Bu Rt menengadah ke langit yang semakin pekat. Lalu ke jalanan yang diguyur gerimis.

“Sepertinya hujan akan lebat. Kamu ke rumah Ibu dulu, atau ke bibimu,” ucap Bu Rt. 

“Apa Bu Rt percaya dengan omongan mereka?” tanya Tera. 

“Kalau soal itu ….” ucapan Bu Rt terhenti. Ia menatapi Tera dari kepala sampai ujung kaki. 

“Tak perlu Ibu jawab. Terima kasih! Ibu sebaiknya cepat kembali, sebelum hujan bertambah lebat. Saya pergi duluan!” ucapnya, lalu bergegas ke samping rumah. Bertengger sebuah sepeda di dinding. 

Hujan mulai lebat, Tera mengayuh sepeda bututnya tanpa tahu harus ke mana. 

Banyak rumah yang seharusnya bisa singgahi. Di rumah saudara ibunya, Acil Nurul dan Hasan, anak buahnya, warung-warung langganannya atau meminjam sebuah sampan untuk membawanya ke lanting*. 

Tatapan Bu Rt telah menghantam mentalnya. Bu Rt yang selama ini memuji-mujinya sebagai gadis mandiri, kreatif, merawat sumber daya, juga telah mempekerjakan beberapa orang warga Bangkau. 

Bisik-bisik tetangga juga membuatnya tidak percaya diri untuk singgah kepada siapa pun. Ia yakin, beritanya telah tersebar cepat, melebihi kayuhan sepedanya. 

Tera mengayuh sepedanya di bawah hujan semakin lebat, disertai angin kencang. Meriang yang tadi terlupakan kini terasa kembali. Tubuhnya makin menggigil. Kayuhannya makin sempoyongan.

Tiba di sebuah belokan lengkingan klakson mengejutkannya. Cahaya lampu menerpa penglihatannya. Ia hilang keseimbangan. Beberapa detik kemudian terdengar sebuah hantaman rongsokan dari sepedanya.

Sepedanya oleng, badannya terhempas ke tanah. Ia mencoba bergerak, tapi sakit sekujur tubuh mengekangnya. Sesaat ia sempat melihat lampu mobil, sebelum semuanya gelap. 

***

Catatan. 

* Lanting : Rumah yang mengapung di atas air. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status