"Ucapan saya kemarin." Regantara menatap Rubi tajam.Rubi kembali menoleh ke arah kedua pegawainya."Saya sudah melupakannya," jawab Rubi kembali melakukan kegiatannya."Saya rasa nggak, saya minta kamu nggak berpikiran macam-macam dengan apa yang saya katakan kemarin. Saya nggak ada maksud apa-apa." Regantara meletakkan kedua tangannya di atas meja kasir sehingga posisi tubuhnya sedikit membungkuk."Saya nggak mikir macam-macam. Sebaiknya Bapak meninggalkan tempat ini sebelum dua karyawan saya yang malah nantinya berpikir macam-macam tentang kita," ujar Rubi masih melanjutkan perhitungan pendapatannya."Ok kalo begitu," ucap Regantara melihat Rubi dana dua pegawainya bergantian lalu lelaki bertubuh ringgi itu pun pergi dari ruangan itu.Mobil Regantara belum beranjak dari pelataran parkir toko roti Rubi sudah lebih dari satu jam. Regantara memilih menunggu Rubi menutup toko rotinya agar dia bisa banyak bicara tentang kesalahpahaman antara mereka."Halo, Mbak ... ini sudah jam tujuh,
Sudah lebih satu minggu sejak pertemuan Regantara dan Rubi, mereka tak lagi pernah bertemu. Seingat Rubi saat itu Winda datang hanya menyampaikan pesan selama satu minggu ke depan makan malam Regantara sementara diliburkan tanpa alasan apapun."Pak Regan jarang keliatan ya Mbak," kata Bono."Hhmm ...." Rubi tak menggubris."Katanya pulang ke Jakarta, Bon," sahut Yanti."Oh, mungkin kangen istri," ujar Bono.Rubi hanya melihat dua pegawainya itu sejenak, lalu berusaha mengalihkan pikirannya. Benar kata Bono, mungkin Regan rindu mendiang istrinya bahkan kedua anaknya."Bon, nanti aku di turunkan di Latto Mart ya, mau cari sesuatu," kata Rubi."Di tungguin nggak, Mbak?" tanya Bono lagi sambil bersiap untuk pulang sore itu."Enggak usah, nanti aku pulang sendiri aja," ucap Rubi lalu meraih tas selempangnya.Memasuki supermarket besar di kota Semarang, Rubi mendorong troli mengitari rak demi rak."Papa, Kay mau yang ini ya. Kay mau beli tiga."Seorang anak perempuan dengan rambut kuncir k
"Apa tujuan Bapak selalu saja membuat saya merasa tidak nyaman." Regantara meletakkan setengah pizza yang telah dia makan. Membersihkan kedua tangannya dengan tisue lalu meneguk air mineral kemasan botol."Enggak nyaman?""Iya, saya merasa terganggu. Pertama Bapak tiba-tiba ingin catering untuk di antar setiap malam," ujar Rubi."Karena saya sakit—""Lalu kedua, Bapak tiba-tiba memesan kamar hotel tanpa persetujuan saya.""Karena kalau kalian pulang malam itu bahaya, kamu tau medannya seperti apa ...." Regan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi."Ketiga, tiba-tiba Bapak kembali datang dengan dalih minta maaf." Sorot mata Rubi begitu tajam menatap Regantara."Lalu ke em—""Saya datang malam ini hanya untuk mengajak kamu makan malam, bisakah kita menjadi teman? saya ingin mengenal kamu begitu pun sebaliknya, hanya itu tujuan saya," ucap Regantara melipat tangannya di depan dada. Mata mereka saling bersitatap, Rubi terdiam perlahan dia turunkan pandangannya. Helaan napas janda
"Win, berkas yang kemarin saya suruh taruh di atas meja saya, kamu ambil lagi?" tanya Regantara pagi itu di ruangan kerjanya."Iya Pak, saya simpan lagi karena belum Bapak tanda tangani," jawab Winda."Nanti bawa lagi kemari, segera saya tanda tangani. Oh ya, Win ... siang ini Pak Wahyu datang ke kantor kita. Tolong kamu siapkan semua ya, dari hotel hingga makanan dan tim untuk survey ke lokasi yang baru lusa nanti." Regantara kembali berkutat dengan laptopnya.Semalam Wahyu, ayah mertuanya mengatakan akan melakukan kunjungan ke Semarang. Dia ingin melihat langsung hasil kerja Regantara yang memang berhasil setelah hampir enam bulan."Baik, Pak," jawab Winda lalu meninggalkan ruangan Regantara.Tepat pukul dua siang sesuai perkiraan , Wahyu sudah sampai di Semarang. Lelaki bertubuh tegap itu melihat keseluruhan kantor yang menantunya kelola. "Setiap ruangan Regan buat seperti kantor kita di Jakarta, Pa. Meski karyawannya tidak sebanyak di sana, tapi lebih tetata saja kalau sewaktu-wa
"Mbak ... Mbak tau nggak?" Bono datang sambil menurunkan nada suaranya."Apa?" Rubi menghentikan kegiatannya memasukkan sayur ke dalam mangkuk."Ternyata Pak Regan itu duda ....""Apa?!" Yanti yang ternyata berdiri di belakang mereka pun terkejut mendengarnya. "Yanti!" Rubi dan Bono bersama menoleh ke belakang."Serius?" tanya Yanti."Iya, dia duda," ujar Rubi."Apa?! Kali ini Yanti dan Bono sama terkejutnya."Mbak Rubi tau?" tanya Bono."Iya, duda anak dua, istrinya meninggal karena covid," jelas Rubi."Kok Mbak Rubi tau?" Yanti kembali bertanya."Kalian kenapa sih?" Rubi tertawa melihat wajah kebingungan dua pegawainya itu."Mbak Rubi sudah tau lama?" Bono semakin penasaran.Rubi mengangguk hingga membuat dua pegawainya itu mengatup bibir mereka tak percaya."Woo ... angel iki angel," ujar Yanti terduduk di lantai."Koe ngopo e, Yan (kamu kenapa, Yan)?" Bono tertawa melihat Yanti mengusap dadanya dengan wajah sendu."Duda, Bon. Semakin besar harapanku," ujar Yanti."Ojo ngimpi, car
"Mantan suami saya," jawab Rubi melepaskan tangan Regantara dari pundaknya. "Terimakasih karena sudah membantu saya, Pak. Sudah malam, saya permisi," ucap Rubi sambil mencari-cari dimana kunci motornya berada. "Sialan." Rubi teringat kunci motornya ada pada Dimas."Saya antar kamu pulang, ini sudah malam. Motor masukkan kembali ke toko, bisa kan?"Rubi mengangguk, bagaimanapun ini sudah malam. Rubi juga takut jika Dimas masih membuntutinya."Kenapa dia datang?" tanya Regantara setelah beberapa menit mereka saling terdiam di dalam mobil."Entah," jawab Rubi singkat."Apa sesering itu?"Rubi menggelengkan kepalanya, "dia datang hanya untuk mengancam," jawab Rubi lalu mengusap air matanya."Kenapa?""Saya enggak tau, memang seperti itu hidupnya," kata Rubi."Perpisahan kalian— maksud saya, kalian bercerai tidak dengan baik-baik?""Tidak ada pasangan menikah lalu bercerai secara baik-baik, Pak. Apalagi dikarenakan pihak ketiga," ucap Rubi."Maaf," ujar Regantara tak enak hati."Saya hanya
Regantara sesekali melihat kaca spionnya, beberapa kali juga mata mereka saling bertemu. Sedangkan Rubi masih tak habis pikir dengan sikap Regantara belakangan ini. "Memang Tama mau cari buku apa?" tanya Regantara memecah keheningan. "Om temannya Bunda? Kok aku nggak pernah liat." Tanpa menjawab pertanyaan Regantara, Tama malah bertanya kedekatan Rubi dan Regan. "Tama ...." Rubi yang duduk di belakang berusaha memberikan pengertian pada Tama. "Om Regan ini pemilik perusahaan tempat cateringnya Bunda." "Oh, kok bisa datang ke rumah kita?" tanya Tama tanpa berpikir jika pertanyaannya itu membuat dua orang dewasa itu saling pandang. "Karena kemarin Bunda Tama cerita tentang Tama, jadi Om ingin kenal dengan Tama lebih dekat. Kita bisa jadi teman, mungkin?" Regantara hati-hati sekali menjawab pertanyaan anak berusia 10 tahun itu. "Kita beda umur Om, mana mungkin bisa berteman," jawab Tama singkat. "Tama ...." Rubi menekan suaranya berusaha memperingati sang putra agar berkata yang l
"Jadi Dimas datang?" tanya Inggit sore itu di toko roti Rubi."Iya, kacau ... penampilannya lebih kacau dari biasanya," kata Rubi menyesap teh hangat yang baru saja disajikan Rini."Ngapain lagi sih biang kerok itu nongol, ngajak balikan? Mending kelakuan berubah tapi tetap aja begitu," kata Inggit kesal."Wong ora duwe otak yo ngono, Mbak Inggit," celetuk Bono yang sedang berada di meja kasir. "Kalo ketemu aku udah hancur kali mukanya, untung aja kemarin ada yang nolong.""Siapa?" tanya Inggit penasaran."Bos Semprul," kata Bono sambil senyum-senyum."Siapa Bos Semprul?" Inggit semakin penasaran."Itu yang tinggal di apartemen seberang," ujar Bono melirik ke arah Rubi."What? Serius? Ooh so sweet pasti ya," ucap Inggit sambil bergelayut manja di lengan Rubi."Opo toh, Nggit," sungut Rubi menjauhkan kepala Inggit dari pundaknya sambil tertawa."Eh tapi suami orang, kan?" Inggit mengingat kembali. "Ah, bahaya Bi.""Duda, Mbak Inggit. Emang nasib baik Mbak Rubi," ujar Bono lagi."Wah, g