LOGINKamar itu hanya seukuran 3x4 meter. Lantainya dari keramik kusam yang sebagian sudah retak di sudut-sudutnya. Dindingnya lembab, dengan bercak kehitaman yang tumbuh di pojok atas, pertanda jamur dan kebocoran bertahun-tahun. Bau apek mengambang samar di udara, bercampur aroma minyak kayu putih dan sabun mandi murah yang belum mengering.
Suara tetesan air dari kamar mandi kecil di pojok ruangan tak henti-henti, menjadi latar belakang permanen yang mengusik keheningan. Lampu neon yang tergantung di langit-langit berkedip beberapa kali sebelum menyala stabil, memberi penerangan pucat yang dingin.
Di tengah ruangan, sebuah ranjang kayu tua berderit saat Nayla menaruh tas ransel kecilnya. Spontan, tangannya menyentuh permukaan kasur yang terasa tipis, hampir tak ada pegasnya. Di atas kasur itu hanya ada satu bantal lusuh dan selimut tipis yang warnanya telah pudar.
Namun mata Nayla tidak menunjukkan kekecewaan. Ia mengedarkan pandangan, menyentuh benda-benda seadanya dengan hati-hati. Ada meja lipat plastik di pojok dengan dua gelas melamin, sebuah kipas angin kecil yang hanya bisa diarahkan satu arah, dan rak buku dari triplek yang mulai melengkung di tengah.
Di tengah ruangan yang sempit dan jauh dari kemewahan, Nayla malah tersenyum.
“Maaf ya, sayang… Belum bisa kasih kamu yang mewah. Tapi aku janji, suatu hari nanti kamu akan tinggal di apartemen lantai atas gedung pencakar langit,” kata Galan, berdiri canggung di pintu dengan tangan di belakang kepala, mencoba tertawa. Tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan rasa minder yang menyelinap diam-diam.
Nayla menoleh. Ia berjalan pelan ke arah Galan, lalu menggenggam tangannya yang kasar dan hangat.
“Aku tidak mencintaimu karena gedung pencakar langit, Galan. Aku mencintaimu karena kamu mau berusaha membangunnya,” ujarnya lembut.
Tatapan Galan melunak. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu memeluk Nayla erat-erat. Pelukannya tak sempurna—tangannya gemetar sedikit, mungkin karena lelah, mungkin karena takut tak cukup. Tapi di dunia yang tak memberi jaminan apa pun, pelukan itu adalah satu-satunya hal yang membuat Nayla yakin: ia telah memilih dengan benar.
**
Hari-hari awal di kos itu bukan hal mudah bagi Nayla. Air panas tak tersedia. Untuk mandi, ia harus memanaskan air dengan kompor kecil gas portable yang sering rewel. Cucian baju dilakukan dengan tangan, dan menjemur pun bergantung pada matahari yang sering enggan muncul karena musim hujan.
Ia belajar menyesuaikan diri. Menyapu lantai setiap pagi, merapikan ranjang, mencuci piring dengan sabun cuci seadanya. Bahkan membeli beras dan telur di warung kecil depan gang menjadi pengalaman baru yang membuatnya merasa lebih ‘manusia’.
Malam pertama mereka tidur berdua di kasur tipis itu, hujan turun deras. Air rembes dari pojok plafon menetes ke lantai dan membentuk genangan kecil. Nayla tak mengeluh. Ia mengambil ember dan menampung tetesan itu, lalu duduk di samping Galan sambil bersandar di bahunya.
“Dulu aku pikir hidup miskin itu menakutkan,” gumamnya. “Tapi ternyata, yang lebih menakutkan adalah hidup kaya tanpa arah dan tanpa cinta.”
Galan menatapnya. “Kalau kamu menyesal, kamu boleh kembali. Aku nggak akan tahan kalau tahu kamu menderita.”
Nayla menggeleng. “Aku nggak menyesal. Kamu tahu kenapa?” Ia menatap wajah Galan dalam-dalam. “Karena setiap pagi aku bangun dengan seseorang yang tahu cara mencintai dengan tulus. Itu cukup.”
**
Galan bekerja serabutan. Kadang jadi kurir ojek online, kadang membantu di bengkel temannya, kadang ikut proyek pemasangan banner. Penghasilannya tak menentu, tapi ia selalu berusaha membawa pulang sesuatu—entah makanan sederhana atau sekadar kopi sachet dua gelas.
Nayla, yang dulu terbiasa dengan pengacara pribadi dan rapat bisnis, mulai mencari pekerjaan daring: menulis artikel, mengedit dokumen, menjadi admin toko online. Upahnya tak besar, tapi cukup untuk menambah uang makan dan membeli sabun yang lebih wangi.
Setiap malam, mereka duduk di lantai, berbagi makanan sederhana—kadang hanya mie instan dengan telur dan potongan sosis murah. Tapi tawa mereka tulus. Obrolan mereka penuh mimpi: tentang membuka kedai kopi kecil, tentang Galan yang ingin kuliah lagi di bidang teknologi, tentang Nayla yang ingin membuka tempat pelatihan kerja untuk perempuan kurang mampu.
“Kalau nanti kedai kopi kita buka, kamu mau jadi barista atau bagian marketing?” tanya Galan suatu malam sambil menggambar sketsa kasar di buku catatannya.
“Aku bagian yang bikin nama dan logo. Tapi bagian menyeduh kopi… tetap kamu. Soalnya kamu satu-satunya lelaki yang bisa bikin aku jatuh cinta sama kopi hitam,” jawab Nayla sambil tertawa kecil.
“Kalau begitu, aku akan belajar jadi barista paling handal,” balas Galan sambil mengangkat tangan seolah bersumpah.
**
Namun, tak semua hari manis. Suatu malam, Nayla mendapat pesan dari sepupunya, Aileen. Singkat, tapi menusuk:
“Katanya dulu cewek pintar dan paling elegan. Sekarang tidur di kasur tua dan hidup dari upah kurir. Hebat juga kamu bisa jatuh sedalam itu.”
Nayla membaca pesan itu berulang-ulang. Tangannya gemetar. Ia menaruh ponselnya di meja, lalu menatap kosong ke dinding.
Galan yang melihatnya terdiam, lalu duduk di samping Nayla. “Pesan dari keluarga?” tanyanya hati-hati.
Nayla mengangguk.
Galan tak bertanya lebih lanjut. Ia tahu. Ia tahu betapa sakitnya dihina oleh orang yang dulu bersulang bersamanya di pesta ulang tahun mewah. Tapi ia hanya memegang tangan Nayla, menguatkan tanpa kata.
“Apakah aku terlalu bodoh?” bisik Nayla lirih. “Terlalu gegabah? Aku kadang ragu... apa ini semua salah?”
Galan memeluknya dari samping. “Kalau ini salah, biar aku juga ikut salah. Asal kamu tetap di sisiku, aku rela dianggap gila oleh dunia.”
Air mata Nayla jatuh, bukan karena sedih—tapi karena tahu, dalam keterbatasan ini, ada cinta yang tak bisa dibeli.
**
Beberapa minggu kemudian, Nayla mulai menulis blog. Ia menulis kisahnya: tentang meninggalkan kemewahan, tentang kos kecil, tentang belajar hidup dengan tangan sendiri. Tanpa menyebut nama asli, ia menceritakan sisi manusia dari perjuangannya.
Tak disangka, tulisannya mulai dibaca orang. Beberapa mengirim pesan:
“Terima kasih sudah menulis ini. Aku juga sedang berjuang dari nol.”
“Kamu membuatku percaya bahwa cinta tak harus mewah untuk bermakna.”
Nayla membaca setiap pesan dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa hidupnya kembali punya makna. Bahwa bahkan dalam kesempitan, hatinya masih bisa memberi ruang untuk orang lain merasa ditemani.
**
Suatu sore, saat mereka duduk di depan pintu kos sambil minum teh hangat, Galan berkata, “Kamu tahu nggak, Nay… kamar ini sempit, tapi aku merasa dunia kita luas.”
Nayla menoleh. “Kenapa?”
“Karena selama kamu di sini… rasanya setiap mimpi punya tempat untuk tumbuh.”
Nayla tersenyum. “Kalau begitu, mari kita rawat mimpi itu. Meski dalam kamar sempit, asal hati kita cukup luas, kita bisa membangun langit di dalamnya.”
Dan mereka tertawa. Bukan tawa orang yang sedang menang, tapi tawa orang yang tahu: mereka berjalan ke arah yang benar, bersama-sama.
Angin sore membawa aroma tanah basah dari halaman rumah sakit. Langit baru saja berhenti menangis, tapi tanah masih menyimpan jejak hujan yang deras. Di salah satu bangku panjang dekat taman kecil rumah sakit itu, Nayla duduk dengan jaket abu-abu, menatap ke arah danau buatan yang permukaannya bergetar lembut diterpa angin.Langkah cepat terdengar dari arah belakang. Alya datang, mantel lusuhnya kini tampak lebih kusam karena air hujan, rambutnya berantakan, wajahnya letih. Tapi yang paling mencolok bukan penampilannya — melainkan matanya. Ada sesuatu yang baru di sana: bukan lagi amarah, melainkan kepanikan.“Aku butuh bantuanmu, Nayla,” katanya terburu-buru, tanpa basa-basi.Nayla menoleh pelan. “Bantuan apa?”Alya menelan ludah. “Perusahaanku… sudah di ujung. Investor mundur semua. Rekening dibekukan. Aku… aku nggak punya siapa-siapa lagi.”Suara itu nyaris pecah. “Kau tahu rasanya, kan? Ketika semua orang menjauh begitu saja.”Nayla menatap lurus, ekspresinya sulit ditebak. “Aku t
Hujan turun pelan malam itu, membasahi halaman depan gedung rumah sakit. Lampu-lampu parkir memantulkan cahaya kekuningan di atas aspal basah. Di bawah atap kecil dekat lobi, dua perempuan berdiri berhadapan—bayangan masa lalu yang tak pernah benar-benar selesai.Alya masih mengenakan mantel lusuhnya. Rambutnya basah, bibirnya pucat, tapi matanya menyala—bukan oleh kehidupan, melainkan oleh amarah yang terlalu lama dipendam.Nayla berdiri tegak di depannya, tenang, dengan payung kecil di tangan kanan dan tatapan lembut yang tidak menghindar.Beberapa jam sebelumnya, keduanya sama-sama menerima kabar: Galan Prasetya, lelaki yang pernah mengikat dan menghancurkan keduanya, dirawat dalam keadaan kritis setelah kecelakaan di jalan tol. Dunia yang dulu mengikat mereka dalam lingkaran ambisi dan luka kini menarik keduanya kembali ke tempat yang sama.Dan di situlah, di depan pintu rumah sakit, semua yang tak pernah diucapkan akhirnya meledak.“Kenapa kamu datang?” suara Alya pecah di antara
Langit sore itu memantulkan warna oranye lembut ketika acara kewirausahaan tahunan diadakan di aula besar Hotel Arya. Spanduk besar bertuliskan “Empowering Women in Business” terpasang di depan panggung. Musik lembut mengalun dari pengeras suara, sementara para tamu—pebisnis muda, investor, dan mahasiswa—berkumpul, menunggu pembicara terakhir naik ke panggung: Nayla Arindya, CEO perempuan yang belakangan ini menjadi simbol kebangkitan bisnis etis dan kepemimpinan empatik di tengah dunia korporat yang keras.Namun di luar gedung yang megah itu, di parkiran yang sudah mulai gelap, seorang perempuan berdiri terpaku di balik tiang beton. Mantelnya lusuh, rambutnya acak-acakan, dan kacamata hitam menutupi mata yang sembab. Di genggamannya, sebuah ponsel dengan layar penuh notifikasi—semuanya tentang dirinya.ALYA PRAMESWARI: BISNISNYA RESMI BANGKRUT, TERLIBAT SKANDAL MANIPULASI LAPORAN KEUANGAN.INVESTOR MENARIK DANA, PROYEK BESAR GAGAL.Ia membaca judul-judul itu berulang kali, seperti in
Pagi itu, matahari muncul perlahan dari balik perbukitan, menembus celah pepohonan dan menyinari halaman rumah kayu yang sudah berumur puluhan tahun. Aroma tanah basah sisa hujan semalam masih terasa. Burung-burung kecil berkicau di ranting, dan dari dapur terdengar bunyi air mendidih—pertanda teh sedang diseduh.Nayla duduk di beranda, mengenakan sweater lembut warna krem. Di sebelahnya, ibunya dengan kain batik melingkar di bahu, sibuk menata piring kecil berisi singkong rebus dan kelapa parut. Harra, yang kini beranjak remaja, duduk di tangga kayu, menatap pemandangan pagi dengan mata berbinar.Tiga perempuan, tiga generasi, dalam satu ruang yang penuh kenangan—dan kali ini, tanpa beban.“Ibu, ini enak banget,” kata Harra sambil menggigit singkong. “Aku nggak pernah makan yang kayak gini di rumah kota.”Ibunya Nayla terkekeh. “Ya iyalah, di kota semua serba instan. Di sini masih alami. Gula aja Ibu tumbuk sendiri.”Nayla tertawa kecil, menatap dua orang yang ia cintai dengan pandan
Hujan semalam sudah reda, tapi udara pagi masih menyisakan aroma basah dan dingin yang menempel di daun-daun jambu di halaman belakang. Dari dapur, terdengar bunyi sendok mengaduk perlahan di dalam cangkir. Uap tipis teh melayang, menciptakan semacam kehangatan yang lembut di antara dua perempuan yang duduk berhadapan di meja makan tua.Nayla diam, menatap wajah ibunya yang kini tampak lebih tua dari yang ia ingat. Ada garis-garis halus di sekitar mata, tapi di balik keriput itu, tersimpan ketenangan yang tidak pernah Nayla lihat dulu—ketenangan yang lahir setelah bertahun-tahun berjuang dalam diam.“Ma…” Nayla membuka suara pelan, “tadi malam aku nggak bisa tidur.”Ibunya menatap lembut. “Masih kepikiran tentang kita?”Nayla mengangguk. “Tentang semua yang nggak pernah kita omongin. Tentang hal-hal yang mungkin seharusnya kita tangisi dulu, tapi kita tahan.”Ibunya tersenyum kecil, mengaduk tehnya pelan. “Kadang diam itu cara bertahan, Nay. Kalau Ibu dulu bicara, mungkin Ibu bakal ha
Di ruang tengah, dua perempuan duduk berdampingan di sofa lawas yang mulai melengkung di bagian tengahnya. Teh di meja sudah tak lagi hangat, tapi percakapan mereka justru semakin menghangat.Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, tidak ada jarak di antara mereka. Hanya ada dua hati yang sedang belajar bicara dengan jujur.“Ma,” Nayla memecah keheningan. “Aku masih ingat waktu aku kecil. Aku sering nunggu di depan jendela, berharap Ibu pulang lebih cepat.”Ibunya tersenyum samar, tapi matanya sudah mulai berkaca. “Ibu juga ingat. Waktu itu kamu selalu nulis di kertas, ‘Jangan lupa makan, Ma.’ Ibu masih simpan catatan-catatan kecil itu.”Nayla menatap ibunya, agak terkejut. “Masih?”“Iya. Di dalam kotak kayu di lemari kamar. Surat-surat kecil dari kamu, yang ditulis pakai spidol warna ungu.” Ibunya tertawa kecil, suaranya pelan. “Tulisanmu jelek sekali waktu itu.”Mereka berdua tertawa, tapi tawa itu segera mereda, berganti dengan keheningan lembut yang menyimpan banyak kenangan.







