Pagi itu, sinar matahari belum sepenuhnya menyelinap melalui celah jendela kecil kamar kos mereka. Jam dinding berdetak pelan, menunjukkan pukul 05.12. Udara masih dingin, menyisakan embun di permukaan kaca dan rasa enggan di tubuh siapa pun yang ingin beranjak dari kasur.
Tapi Nayla sudah bangun lebih dulu.
Dengan rambut digelung seadanya dan kaki telanjang menyentuh lantai yang dingin, ia berjalan pelan ke dapur mungil di sudut kamar. Ia membuka laci kecil tempat mereka menyimpan bahan makanan, mengambil sebungkus mi instan dan dua butir telur yang tersisa.
Ia menyalakan kompor portable, mengisi panci kecil dengan air, lalu mulai memasak dengan hati-hati. Tangannya bergerak cekatan, tapi tatapannya penuh kehangatan. Setiap gerakan seperti menyulam cinta ke dalam sarapan pagi.
Ia memecahkan telur, mengocoknya dalam mangkuk plastik, lalu menuangkannya ke wajan. Suara desis telur bersentuhan dengan minyak panas menjadi irama pertama pagi itu. Aroma sedap mulai memenuhi ruangan.
“Hmm… bau enak banget,” gumam Galan dari balik selimut, suaranya serak dan masih mengantuk.
Nayla menoleh sambil tersenyum. “Bangun, sayang. Sarapan dulu. Hari ini kamu harus tampil maksimal.”
Galan mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya bangun dan duduk di pinggir kasur. Ia menatap Nayla yang sedang menata dua piring kecil di atas meja lipat. “Kamu bangun sejak kapan?”
“Baru saja,” jawab Nayla. “Aku tahu kamu butuh energi. Hari ini penting, kan?”
Galan mengangguk pelan, lalu menatap tumpukan kertas di rak. Proposal bisnis yang ia susun selama berhari-hari, dengan semangat, cemas, dan harapan yang bertumpuk-tumpuk. Hari ini, ia akan mempresentasikannya ke calon investor kecil—bukan perusahaan besar, tapi cukup untuk menjadi batu loncatan.
Setelah sarapan, Galan bersiap. Ia mengenakan kemeja biru langit yang sudah disetrika Nayla malam sebelumnya, lalu mengambil jaket favoritnya. Tapi saat ia mencoba mengancingkan, satu kancing di bagian depan copot begitu saja.
“Ah,” keluhnya pelan, menghela napas. “Kancingnya copot. Jaket ini memang sudah tua…”
Nayla mendekat, mengambil jaket itu dari tangannya. “Kenapa nggak bilang dari kemarin? Ini penting, kamu harus tampil rapi.”
Galan mengangkat bahu. “Nggak sempat. Lagian, yang penting kan isi proposalnya, bukan jaketnya.”
Nayla menatapnya lama. Lalu tanpa berkata apa-apa, ia duduk di lantai, membuka kotak kecil berisi benang dan jarum, dan mulai menjahit kancing itu dengan hati-hati. Setiap tusukan jarum ia lakukan perlahan, memastikan kancing itu terpasang kuat. Ia tahu, meski Galan tak mengatakan, pria itu gugup dan butuh semua dorongan kecil hari ini.
“Kalau kamu berhasil hari ini,” ucap Nayla sambil menjahit, “aku mau traktir kamu makan bakso di tempat langganan kita.”
Galan tertawa. “Bakso lima ribuan?”
“Kalau dapat investor, kita naik level—yang isi urat dan pakai sambal dua sendok!” balas Nayla dengan mata berbinar.
Tawa mereka pecah sejenak. Ringan, hangat, dan jujur.
Namun, setelah Galan pergi membawa proposal dalam map plastik bening dan secercah harapan, Nayla duduk diam di tepi ranjang. Ia menatap kotak perhiasan kecil yang selalu ia simpan di bawah bantal. Di dalamnya ada sebuah gelang emas tua—pemberian mendiang neneknya saat Nayla lulus SMA. Nilainya mungkin tak seberapa, tapi artinya sangat besar.
Namun pagi tadi, saat Galan memeriksa kertas proposalnya, Nayla melihat raut cemas di wajahnya. Kertas itu buram, hasil cetakan printer lama. Ia tahu Galan ingin mencetak ulang di kertas yang lebih tebal dan rapi, tapi uang mereka bahkan tak cukup untuk beli satu rim kertas premium.
Tanpa ragu, Nayla mengenakan jaket dan keluar.
**
Sinar matahari mulai menanjak ketika Nayla tiba di toko emas di pasar kecil. Ia menyerahkan gelang itu kepada petugas, lalu menerima uang tunai secukupnya. Ia tak menangis, tak menyesal. Karena dalam hatinya, ia tahu: pengorbanan kecil ini akan membawa mereka lebih dekat pada mimpi yang besar.
Dengan uang itu, ia membeli satu rim kertas kualitas tinggi, map presentasi yang elegan, dan bahkan sisanya ia simpan untuk membeli dua bungkus kopi instan favorit Galan—yang belakangan ini tak pernah mereka beli lagi.
**
Malam harinya, Galan pulang dengan langkah cepat, napas memburu, dan mata bersinar seperti anak kecil yang baru saja menemukan harta karun.
“Nayla!” serunya dari luar pintu. “Mereka tertarik! Kamu dengar itu?! Mereka tertarik!”
Nayla buru-buru membukakan pintu. “Serius?!”
“Mereka bilang idenya ‘segar dan ambisius’!” Galan menurunkan tasnya, lalu memeluk Nayla dengan penuh semangat. “Mereka bilang akan mempelajari lebih lanjut dan mengajak pertemuan lanjutan minggu depan!”
Nayla memeluknya erat. “Aku bangga padamu… Kamu pantas mendapatkannya.”
Galan menarik diri sebentar, menatap wajah Nayla. “Aku nggak akan bisa tanpa kamu. Tanpa dukunganmu, tanpa semangatmu…”
Ia melihat map presentasinya dan mengerutkan kening. “Kertas ini... kelihatan bagus ya. Lebih tebal. Aku bahkan lupa kapan beli ini…”
Nayla mengelak dengan senyum. “Kamu mungkin beli tanpa sadar waktu terakhir belanja.”
Galan masih menatapnya, curiga. Tapi ia memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. Ia percaya Nayla, dan lebih dari itu—ia merasa dicintai tanpa syarat.
**
Malam itu, mereka makan bakso di warung pinggir jalan. Kursinya plastik, meja sedikit lengket karena kuah, tapi mereka duduk seperti raja dan ratu.
“Sambal dua sendok, ya?” kata Nayla ke penjual, membuat Galan tertawa.
“Kalau nanti investor setuju, kita makan di restoran,” kata Galan.
“Restoran? Wah… asal jangan restoran all you can eat. Bisa rugi mereka,” jawab Nayla bercanda.
Namun di balik tawa itu, Nayla tahu pengorbanannya bukanlah yang terakhir. Akan ada banyak hal yang harus mereka lepas untuk bisa membangun masa depan. Tapi ia juga tahu, selama mereka saling mendukung, kehilangan apa pun akan terasa ringan.
Dan di kamar kos kecil itu, saat malam kembali sunyi dan mereka berbaring berdampingan, Nayla menyadari satu hal penting: bahwa cinta yang benar tak selalu datang dengan bunga atau puisi, tapi dengan keberanian untuk berkorban, sekecil apa pun.
Ia membelai rambut Galan yang sudah mulai tertidur, lalu berbisik pelan di dalam hati:
"Aku akan terus di sini, sampai kamu berhasil. Karena impianmu, adalah impianku juga."
Keesokan paginya, Nayla baru saja menyelesaikan tinjauan presentasi untuk klien saat resepsionisnya mengetuk pintu kantor.“Bu Nayla, Pak Galan ada di lobi. Katanya membawa proposal bisnis yang sangat mendesak.”Nayla menarik napas dalam. Semalam, ia sudah menyampaikan dengan sangat jelas bahwa percakapan mereka selesai. Tapi rupanya, Galan belum benar-benar mendengar.“Sudah berapa lama dia menunggu?”“Sekitar setengah jam, Bu. Katanya akan menunggu sampai Ibu bisa meluangkan waktu.”“Baik. Suruh dia ke Ruang Rapat B. Saya beri lima belas menit.”Di Ruang Rapat B, Galan masuk dengan membawa koper kerja dan wajah penuh tekad. Jas yang ia kenakan rapi, penampilannya seperti hendak menghadapi rapat bisnis penting.“Nayla, terima kasih sudah bersedia bertemu.”“Galan, kupikir pembicaraan kita tadi malam sudah cukup.”“Memang. Tapi ini berbeda. Aku datang dengan proposal bisnis, bukan urusan pribadi.”Nayla menunjuk kursi di hadapannya. “Silakan. Tapi waktumu lima belas menit.”“Aku ingin
Galan duduk sendirian di ruang makan pribadi yang elegan, menghadap gemerlap langit malam Jakarta. Ia telah merancang pertemuan ini dengan penuh perhitungan—bukan di kantor Nayla, bukan dalam suasana konsultasi profesional, melainkan sebuah makan malam di tempat netral."Situasi putus asa menuntut tindakan putus asa," pikirnya, sembari merapikan dasi dengan gugup.Pintu terbuka. Nayla melangkah masuk dalam balutan gaun hitam yang anggun, rambutnya tergerai lembut di bahu. Sejenak, Galan seolah kembali ke masa lalu—makan malam berdua, acara bisnis, saat-saat ketika mereka benar-benar menjadi rekan dalam segala hal."Terima kasih sudah datang, Nayla.""Kamu bilang ini penting," jawab Nayla singkat, sopan tapi berjaga."Silakan duduk. Aku sudah pesan wine favoritmu."Nayla melirik botol Bordeaux di meja. "Aku tidak minum anggur merah lagi, Galan.""Oh... aku tidak tahu.""Ada banyak hal tentangku yang tidak kamu tahu lagi."Hening mengisi ruangan ketika Nayla duduk di hadapannya. Jarak d
Dua hari setelah Alya mengundurkan diri. Galan duduk sendirian di ruang kerjanya yang kini tak lagi terasa seperti kantor, melainkan seperti bunker—terkunci, sunyi, dan penuh tekanan. Di mejanya, berderet dokumen hukum, surat keluhan dari para investor, dan potongan berita media yang makin hari makin tajam menghantam nama perusahaannya.“Pak Galan,” suara Dimas terdengar pelan dari balik pintu, mengetuk dengan ragu. “Laporan dari tim legal dan keuangan sudah siap.”“Berapa total kerugiannya?” tanya Galan, suaranya berat.“Pak… Singapore Investment Group resmi menarik diri. Itu 150 miliar. Kredit dari Jakarta Development Bank dibekukan, 200 miliar. Dan ada lima investor lain yang sedang mempertimbangkan untuk keluar juga.”Galan memejamkan mata. “Total?”“Kalau semuanya jadi keluar… kerugiannya bisa sampai 500 miliar, Pak.”“Cash flow kita sekarang?”“Dengan proyek berjalan dan biaya operasional… maksimal bisa bertahan tiga bulan, mungkin empat kalau semua pengeluaran non-essensial dip
Nayla berdiri di depan cermin di ruang rias, memeriksa penampilannya untuk terakhir kali. Blazer biru navy yang pas di tubuh, rambut disanggul rendah dengan rapi, riasan tipis tapi memberi kesan tegas. Hari ini, ia akan memoderatori sesi utama bertajuk “Kepemimpinan Perempuan di Dunia Bisnis Asia-Pasifik”—sebuah forum bergengsi yang dihadiri dua ribu peserta dan disiarkan langsung ke seluruh Asia."Bu Nayla, sudah siap?" Sari muncul dari balik pintu, membawa clipboard dan earpiece."Sepertinya... ya." Nayla menarik napas panjang. "Ingatkan aku lagi, siapa saja panelisnya?""CEO Unilever Indonesia, Managing Director Google Asia Tenggara, Presiden Direktur BCA, dan Pendiri Tokopedia. Semuanya pemain besar, Bu.""Sempurna. Lalu setelah sesi ini, apa jadwal kita?""Istirahat makan siang, lalu ada sesi networking dengan investor internasional. Oh ya, Bu—ada yang menarik. Ternyata di ruangan lain ada sesi panel soal konstruksi berkelanjutan."Nayla terdiam sejenak. "Konstruksi?""Ya. Hanya
Pagi itu, Nayla tengah menikmati kopi hangat ketika sebuah email masuk dengan subjek yang mencuri perhatiannya: “Undangan Keynote Speaker - Seminar Nasional Perempuan Indonesia 2025.”“Sari, tolong ke ruanganku sebentar,” panggil Nayla sambil tetap menatap layar.Sari masuk dengan wajah penuh semangat dan tablet di tangan. “Bu, ini luar biasa. Ibu sudah baca email dari Kongres Perempuan Indonesia?”“Baru saja. Mereka mengundangku jadi keynote speaker bulan depan?” tanya Nayla, masih belum sepenuhnya percaya.“Benar, Bu. Dan ini bukan acara biasa. Ini pertemuan tahunan paling bergengsi—5.000 perempuan dari seluruh Indonesia akan hadir. Mulai dari CEO, pengusaha, tokoh publik, aktivis, hingga profesional. Temanya ‘Transformasi Diri, Transformasi Bangsa.’”Nayla membaca lebih lanjut. “Mereka memintaku membawakan pidato berjudul From Heartbreak to Empowerment: A Personal Journey.”Sari tersenyum lebar. “Ini kesempatan emas, Bu. Bukan sekadar tampil di media sosial—tapi langsung menyentuh
12 jam setelah tayangan Prime TalkSari masuk ke ruangan Nayla dengan langkah cepat, wajahnya menyimpan kegembiraan sekaligus kegelisahan. Di tangannya, laptop terbuka dengan layar penuh data."Bu Nayla... Ibu harus lihat ini."Nayla yang tengah menelaah kontrak proyek hanya mengangkat alis. "Seberapa parah?"Sari menggeleng. "Bukan parah, Bu. Ini... luar biasa." Ia meletakkan laptop di meja Nayla dan memutar layar ke arahnya. "Video Prime Talk sudah ditonton 2,3 juta kali di YouTube. 850 ribu kali dibagikan di Facebook. Dan 45 ribu retweet di Twitter. Itu baru dalam 12 jam."Nayla terdiam, matanya terpaku pada angka-angka yang bergerak cepat."Ini beneran?" suaranya nyaris berbisik.Sari mengangguk. "Dan itu belum semuanya. Hashtag #WanitaTangguh sekarang trending nomor satu. #BangkitTanpaBalas di posisi ketiga. Dan nama Ibu sendiri, #NaylaMahardika, ada di nomor tujuh.""Bangkit tanpa balas?""Netizen