Pagi itu, sinar matahari belum sepenuhnya menyelinap melalui celah jendela kecil kamar kos mereka. Jam dinding berdetak pelan, menunjukkan pukul 05.12. Udara masih dingin, menyisakan embun di permukaan kaca dan rasa enggan di tubuh siapa pun yang ingin beranjak dari kasur.
Tapi Nayla sudah bangun lebih dulu.
Dengan rambut digelung seadanya dan kaki telanjang menyentuh lantai yang dingin, ia berjalan pelan ke dapur mungil di sudut kamar. Ia membuka laci kecil tempat mereka menyimpan bahan makanan, mengambil sebungkus mi instan dan dua butir telur yang tersisa.
Ia menyalakan kompor portable, mengisi panci kecil dengan air, lalu mulai memasak dengan hati-hati. Tangannya bergerak cekatan, tapi tatapannya penuh kehangatan. Setiap gerakan seperti menyulam cinta ke dalam sarapan pagi.
Ia memecahkan telur, mengocoknya dalam mangkuk plastik, lalu menuangkannya ke wajan. Suara desis telur bersentuhan dengan minyak panas menjadi irama pertama pagi itu. Aroma sedap mulai memenuhi ruangan.
“Hmm… bau enak banget,” gumam Galan dari balik selimut, suaranya serak dan masih mengantuk.
Nayla menoleh sambil tersenyum. “Bangun, sayang. Sarapan dulu. Hari ini kamu harus tampil maksimal.”
Galan mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya bangun dan duduk di pinggir kasur. Ia menatap Nayla yang sedang menata dua piring kecil di atas meja lipat. “Kamu bangun sejak kapan?”
“Baru saja,” jawab Nayla. “Aku tahu kamu butuh energi. Hari ini penting, kan?”
Galan mengangguk pelan, lalu menatap tumpukan kertas di rak. Proposal bisnis yang ia susun selama berhari-hari, dengan semangat, cemas, dan harapan yang bertumpuk-tumpuk. Hari ini, ia akan mempresentasikannya ke calon investor kecil—bukan perusahaan besar, tapi cukup untuk menjadi batu loncatan.
Setelah sarapan, Galan bersiap. Ia mengenakan kemeja biru langit yang sudah disetrika Nayla malam sebelumnya, lalu mengambil jaket favoritnya. Tapi saat ia mencoba mengancingkan, satu kancing di bagian depan copot begitu saja.
“Ah,” keluhnya pelan, menghela napas. “Kancingnya copot. Jaket ini memang sudah tua…”
Nayla mendekat, mengambil jaket itu dari tangannya. “Kenapa nggak bilang dari kemarin? Ini penting, kamu harus tampil rapi.”
Galan mengangkat bahu. “Nggak sempat. Lagian, yang penting kan isi proposalnya, bukan jaketnya.”
Nayla menatapnya lama. Lalu tanpa berkata apa-apa, ia duduk di lantai, membuka kotak kecil berisi benang dan jarum, dan mulai menjahit kancing itu dengan hati-hati. Setiap tusukan jarum ia lakukan perlahan, memastikan kancing itu terpasang kuat. Ia tahu, meski Galan tak mengatakan, pria itu gugup dan butuh semua dorongan kecil hari ini.
“Kalau kamu berhasil hari ini,” ucap Nayla sambil menjahit, “aku mau traktir kamu makan bakso di tempat langganan kita.”
Galan tertawa. “Bakso lima ribuan?”
“Kalau dapat investor, kita naik level—yang isi urat dan pakai sambal dua sendok!” balas Nayla dengan mata berbinar.
Tawa mereka pecah sejenak. Ringan, hangat, dan jujur.
Namun, setelah Galan pergi membawa proposal dalam map plastik bening dan secercah harapan, Nayla duduk diam di tepi ranjang. Ia menatap kotak perhiasan kecil yang selalu ia simpan di bawah bantal. Di dalamnya ada sebuah gelang emas tua—pemberian mendiang neneknya saat Nayla lulus SMA. Nilainya mungkin tak seberapa, tapi artinya sangat besar.
Namun pagi tadi, saat Galan memeriksa kertas proposalnya, Nayla melihat raut cemas di wajahnya. Kertas itu buram, hasil cetakan printer lama. Ia tahu Galan ingin mencetak ulang di kertas yang lebih tebal dan rapi, tapi uang mereka bahkan tak cukup untuk beli satu rim kertas premium.
Tanpa ragu, Nayla mengenakan jaket dan keluar.
**
Sinar matahari mulai menanjak ketika Nayla tiba di toko emas di pasar kecil. Ia menyerahkan gelang itu kepada petugas, lalu menerima uang tunai secukupnya. Ia tak menangis, tak menyesal. Karena dalam hatinya, ia tahu: pengorbanan kecil ini akan membawa mereka lebih dekat pada mimpi yang besar.
Dengan uang itu, ia membeli satu rim kertas kualitas tinggi, map presentasi yang elegan, dan bahkan sisanya ia simpan untuk membeli dua bungkus kopi instan favorit Galan—yang belakangan ini tak pernah mereka beli lagi.
**
Malam harinya, Galan pulang dengan langkah cepat, napas memburu, dan mata bersinar seperti anak kecil yang baru saja menemukan harta karun.
“Nayla!” serunya dari luar pintu. “Mereka tertarik! Kamu dengar itu?! Mereka tertarik!”
Nayla buru-buru membukakan pintu. “Serius?!”
“Mereka bilang idenya ‘segar dan ambisius’!” Galan menurunkan tasnya, lalu memeluk Nayla dengan penuh semangat. “Mereka bilang akan mempelajari lebih lanjut dan mengajak pertemuan lanjutan minggu depan!”
Nayla memeluknya erat. “Aku bangga padamu… Kamu pantas mendapatkannya.”
Galan menarik diri sebentar, menatap wajah Nayla. “Aku nggak akan bisa tanpa kamu. Tanpa dukunganmu, tanpa semangatmu…”
Ia melihat map presentasinya dan mengerutkan kening. “Kertas ini... kelihatan bagus ya. Lebih tebal. Aku bahkan lupa kapan beli ini…”
Nayla mengelak dengan senyum. “Kamu mungkin beli tanpa sadar waktu terakhir belanja.”
Galan masih menatapnya, curiga. Tapi ia memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. Ia percaya Nayla, dan lebih dari itu—ia merasa dicintai tanpa syarat.
**
Malam itu, mereka makan bakso di warung pinggir jalan. Kursinya plastik, meja sedikit lengket karena kuah, tapi mereka duduk seperti raja dan ratu.
“Sambal dua sendok, ya?” kata Nayla ke penjual, membuat Galan tertawa.
“Kalau nanti investor setuju, kita makan di restoran,” kata Galan.
“Restoran? Wah… asal jangan restoran all you can eat. Bisa rugi mereka,” jawab Nayla bercanda.
Namun di balik tawa itu, Nayla tahu pengorbanannya bukanlah yang terakhir. Akan ada banyak hal yang harus mereka lepas untuk bisa membangun masa depan. Tapi ia juga tahu, selama mereka saling mendukung, kehilangan apa pun akan terasa ringan.
Dan di kamar kos kecil itu, saat malam kembali sunyi dan mereka berbaring berdampingan, Nayla menyadari satu hal penting: bahwa cinta yang benar tak selalu datang dengan bunga atau puisi, tapi dengan keberanian untuk berkorban, sekecil apa pun.
Ia membelai rambut Galan yang sudah mulai tertidur, lalu berbisik pelan di dalam hati:
"Aku akan terus di sini, sampai kamu berhasil. Karena impianmu, adalah impianku juga."
Hari-hari berlalu lebih cepat dari yang Nayla kira.Bukan karena waktu bergerak lebih cepat, tapi karena segala sesuatu terasa seperti perlombaan—berlari dari pagi ke malam, dari harapan ke kecewa, dari tawa ke diam. Dan di tengah perlombaan itu, Nayla dan Galan bertahan sebisa mungkin.Setelah pertemuan pertama dengan calon investor yang memberi secercah harapan, Galan mulai tenggelam dalam ritme baru. Ia sibuk menyesuaikan proposal, mengatur jadwal meeting, menghadiri presentasi, bahkan belajar dari nol bagaimana membuat business plan yang sesuai standar pasar.“Nay, aku pulang duluan ya,” ujar Galan pada suatu pagi sambil meneguk kopi instan. “Ada meeting dadakan jam sepuluh.”“Kamu belum makan apa-apa.”“Nggak apa-apa. Nanti beli gorengan di jalan,” jawab Galan cepat sambil menyambar tas kerja lusuhnya.Nayla hanya bisa menghela napas. Ia tahu ini bagian dari perjuangan. Tapi sejak kapan perjuangan membuat seseorang terlihat begitu jauh?**Siang itu, Nayla berdiri di balik meja k
Ruangan itu tak besar, bahkan lebih mirip aula sewaan untuk seminar kecil daripada acara formal. Tapi malam itu, lampu-lampu gantung berjajar rapi di langit-langit, tirai hitam dipasang untuk menutupi tembok usang, dan di sudut ruangan, sebuah layar proyektor menampilkan logo startup dengan huruf kapital berwarna biru muda: VIVARA.“Visi Baru untuk Era Baru.” Begitu tagline yang tertulis di bawahnya.Galan berdiri di atas panggung kecil berkarpet tipis. Ia mengenakan kemeja putih yang baru saja disetrika Nayla tadi siang, dipadukan dengan jas hitam bekas pinjaman temannya. Tangannya sedikit bergetar saat memegang mikrofon, tapi wajahnya memancarkan semangat dan keberanian.“Selamat malam, semuanya,” ucapnya membuka pidato. “Saya Galan Mahesa, founder dari Vivara Tech. Startup ini belum punya kantor, belum punya tim besar, dan modal kami pun masih terbatas. Tapi kami punya satu hal: keyakinan.”Beberapa kepala di antara audiens mulai menoleh. Di deretan kursi baris ketiga dari depan, s
Jam di dinding berdetak lambat, seakan tahu bahwa malam ini Nayla tak ingin cepat berlalu. Angka digital merah di pojok ponselnya menunjukkan pukul 22.07. Suara mesin jahit manual yang ia gunakan sejak sore mulai melemah. Tangan kanannya terasa berat, jari-jarinya pegal karena menjahit puluhan badge seragam sekolah untuk anak-anak SD di lingkungan sekitar.Benang terakhir ia potong dengan gunting kecil, lalu disusun rapi seragam-seragam itu di atas kursi lipat. Satu pesanan lagi selesai. Satu langkah kecil untuk membayar tagihan listrik minggu depan.Nayla menghela napas panjang. Lehernya kaku, bahunya terasa seperti tertusuk jarum. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding lembab kamar kos berukuran 3x4 itu. Di pojok ruangan, galon air sudah lama kosong. Bahkan suara 'gluk-gluk' terakhir dari dispenser tadi siang masih membekas di kepalanya.“Besok pagi harus angkat galon baru...” gumamnya, matanya mengarah pada botol air minum yang tinggal seperempat.Di sudut ruangan yang lain, Galan
Matahari sudah turun ke balik awan kelabu ketika Nayla berdiri di halte. Udara sore itu padat oleh asap kendaraan dan debu jalanan, membuat napas terasa berat. Di kedua tangannya, ia menenteng dua kantong besar berisi baju pesanan pelanggan onlinenya—masing-masing dibungkus rapi dengan plastik, diberi label alamat tulisan tangan. Tangannya bergetar, bukan karena dingin, tetapi karena kelelahan.Baru satu jam lalu ia menyelesaikan les privat dengan seorang anak SD. Anak itu sedang persiapan lomba matematika dan Nayla sudah menjanjikan tambahan waktu belajar. Mata dan pikirannya nyaris kosong saat itu, tetapi senyum anak kecil itu menguatkannya.Sekarang, ia harus buru-buru kirim paket ke agen ekspedisi sebelum tutup. Kalau terlambat, rating tokonya bisa jatuh, dan ia tak punya waktu atau tenaga untuk menjelaskan ke semua pelanggan yang mungkin komplain.Di seberangnya, jalanan macet total. Klakson bersahut-sahutan. Bus mini yang ditunggunya belum juga datang. Ia mengusap peluh di dahi
Langit malam menumpahkan hujan seperti kemarahan yang sudah lama dipendam. Petir membelah langit, menyinari jalanan basah tempat Nayla berjalan terseok dengan dua tangan penuh. Tas jinjing di satu tangan berisi paket pesanan, dan tangan satunya menahan kotak makanan yang mulai hancur terendam air.Langkahnya terhuyung saat melewati genangan air. Sepatu kanvas murahan yang sudah usang mengeluarkan bunyi ceplak-ceplok, menandakan bahwa satu-satunya alas kaki itu mungkin tak akan bertahan seminggu lagi.Ia baru saja selesai mengantar paket COD ke seorang pelanggan yang menuduhnya lambat, padahal Nayla sudah menerobos tiga lampu merah dan menumpang ojek online demi sampai tepat waktu. Namun nyatanya, ia tetap dimarahi. Dituduh menipu. Dibentak seolah harga dirinya tak lebih mahal dari plastik pembungkus barang itu sendiri.Tapi Nayla hanya tersenyum, menunduk, lalu meminta maaf. Karena ia tahu, pelanggan puas berarti satu ulasan bintang lima. Dan ulasan itu, bisa jadi harapan untuk hari e
Pagi itu, matahari memancar hangat dari balik jendela kamar kos yang mulai lembap di beberapa sudut. Di dapur kecil, aroma tumisan sederhana menyebar. Nayla mengenakan daster lusuh bermotif bunga, rambutnya dikuncir asal. Di tangannya, sendok kayu bergerak pelan mengaduk telur orak-arik yang dicampur potongan tahu.Meja makan diisi dua piring nasi dan dua cangkir teh manis hangat. Ia mengecek jam dinding—07.18.“Galan belum bangun,” gumamnya pelan. Lalu, seperti biasa, ia membangunkan lelaki itu dengan lembut.Setelah sarapan, Galan berdiri di depan cermin, merapikan kerah kemeja biru langit yang sudah Nayla setrika malam sebelumnya. Ia tampak bersemangat pagi ini—senyum merekah, matanya berbinar.“Aku mau ke coworking space hari ini. Ada acara pitching kecil-kecilan. Kayaknya bakal ketemu orang-orang penting juga,” katanya sambil menyemprotkan parfum.Nayla mengangguk. “Kamu bawa proposalnya?”“Udah. Semua udah siap. Oh iya,” Galan berbalik cepat, “kemarin aku ketemu sama partner bis
Hujan turun perlahan di luar jendela. Tetesannya menari di atas atap seng, menciptakan irama yang dulu bisa membuat Nayla tertidur pulas. Tapi malam ini berbeda. Hujan bukan lagi lagu nina bobo, melainkan denting-denting kesepian yang memantul di dinding hatinya.Di atas ranjang tipis itu, Nayla duduk bersandar pada dinding yang dingin. Tubuhnya lelah luar biasa. Tulang punggungnya nyeri karena duduk terlalu lama menjahit seragam pesanan pelanggan. Tangan kanannya masih terasa panas akibat setrika rusak yang menyemburkan uap tak teratur. Dan di matanya, kelelahan itu tak hanya berasal dari tubuh—tapi dari hati yang mulai retak, perlahan.Ponselnya tergeletak di samping dompet tipis berisi uang kertas lima puluh ribu yang terlipat rapi. Uang itu adalah sisa dari pengiriman paket tadi sore. Nayla ingat betul ekspresi remeh dari ibu-ibu pelanggan yang berkata, “Masa ongkir segini mahal banget, padahal bajunya biasa aja.” Nayla hanya tersenyum, menunduk, dan mengangguk seperti biasa.Lalu
Malam telah larut. Lampu redup menyala di ruang kerja sempit di sudut kamar kos mereka. Di antara tumpukan kertas, sketsa-sketsa desain produk digital berserakan. Gambar-gambar prototipe sederhana, alur kerja aplikasi, dan beberapa catatan strategi pemasaran ditulis tangan dengan pulpen hitam yang tintanya mulai habis.Nayla duduk bersila di lantai, tubuhnya menyandar pada dinding yang dingin. Rambutnya diikat sembarangan, matanya sembab dan lelah. Tapi tangannya masih bergerak—menghapus, menggambar ulang, mencoret, mencatat.Sudah tiga malam berturut-turut ia begadang, bukan untuk pekerjaannya sendiri, tapi untuk merapikan konsep yang dilempar Galan tanpa bentuk. Ide itu masih mentah—“aplikasi layanan berbasis komunitas”, katanya. Tapi tanpa detail, tanpa arah. Hanya semangat kosong yang mengandalkan energi dari kopi dan ambisi.Nayla mencoba menyusunnya ulang. Ia belajar dari forum, membaca artikel bisnis, bahkan menonton video tutorial dari internet yang kadang tersendat karena kuo
Galan akhirnya memutar kursinya, menghadap Nayla sepenuhnya. Ada ekspresi waspada di wajahnya. "Nayla, apa sebenarnya yang ingin kau katakan?"Nayla menimbang, haruskah ia mengungkapkan tentang helaian rambut dan aroma parfum itu? Atau menunggu waktu yang lebih tepat?"Tidak ada," jawabnya akhirnya. "Hanya penasaran bagaimana acara gala itu. Kau hampir tidak bercerita apa-apa saat pulang malam itu."Galan menatapnya lama, seolah mencari tahu apa yang sebenarnya ada di pikiran Nayla. "Acaranya biasa saja. Formal, membosankan, banyak obrolan bisnis.""Dan Alya?" nama itu terasa pahit di lidah Nayla. "Apakah dia... menikmati acaranya?""Nayla," nada suara Galan berubah, ada kekesalan di dalamnya. "Bisakah kita tidak memulai ini lagi? Aku harus kembali ke kantor.""Memulai apa?" Nayla balik bertanya, kini ada tantangan dalam suaranya. "Aku hanya bertanya tentang kolegamu.""Kau tahu persis apa yang kau lakukan," Galan menutup laptopnya de
Tiga hari berlalu sejak pembicaraan pagi itu. Tiga hari penuh dengan keheningan yang canggung, percakapan singkat tentang hal-hal remeh, dan malam-malam yang dihabiskan di ruangan terpisah. Galan kembali tenggelam dalam rutinitas kerjanya—berangkat pagi-pagi sekali dan pulang larut malam, kadang bahkan tidak pulang dengan alasan lembur atau meeting di luar kota. Nayla pun mulai sibuk dengan proyek barunya, membiarkan dirinya terserap dalam sketsa dan desain sebagai pelarian dari kenyataan rumah tangga yang perlahan runtuh.Pagi itu, Senin yang kelabu, Nayla menemukan setumpuk pakaian kotor di keranjang laundry. Sebagian besar milik Galan—kemeja-kemeja kerja, celana formal, dan di bagian paling bawah, jas navy yang ia kenakan minggu lalu ke acara gala perusahaan. Acara yang Nayla tidak diundang untuk hadir."Rutinitasmu tak berubah, ya?" gumam Nayla pada dirinya sendiri sambil memilah pakaian. Meski hubungan mereka sedang di ambang kehancuran, ia masih melak
"Mungkin kita berdua," jawabnya akhirnya. "Mungkin kita berdua sama-sama membiarkan jarak itu tumbuh."Nayla menggelengkan kepalanya perlahan. "Tidak, Galan. Aku mencoba. Aku berusaha menjaga komunikasi kita, mengajakmu bicara, bertanya tentang harimu. Tapi kau selalu menjawab dengan singkat, selalu terburu-buru, selalu ada meeting berikutnya atau email yang harus dibalas."Galan menatap Nayla, ada rasa bersalah yang kini terpancar jelas di matanya. "Aku tidak menyadarinya," ucapnya pelan. "Aku pikir... aku pikir kau mengerti kesibukan pekerjaanku.""Aku mengerti, Galan. Tapi mengerti tidak berarti aku harus menerima diabaikan, ditinggalkan, dan digantikan pelan-pelan dalam hatimu."Kata-kata Nayla menggantung di udara, berat dan menusuk. Galan terlihat kehabisan kata-kata, seperti seseorang yang akhirnya menyadari kesalahan fatal yang telah ia lakukan, namun terlalu terlambat untuk diperbaiki."Apakah..." Galan memulai dengan ragu, "apakah artinya
Pagi itu, Nayla berdiri di depan cermin kamar tamu. Matanya sembab, lingkaran hitam menghiasi bagian bawah kelopaknya yang bengkak. Rambutnya acak-acakan karena tak tidur semalaman. Tangannya menyentuh permukaan cermin, seolah ingin memastikan bahwa bayangan yang terpantul adalah benar dirinya."Siapa kau?" bisiknya pada refleksi yang menatap balik dengan sorot terluka.Suara air mengalir dari kamar mandi utama terdengar samar. Galan sudah bangun, bersiap-siap untuk berangkat kerja seperti pagi-pagi biasanya—seolah semalam tak pernah terjadi apa-apa, seolah topeng mereka tak pernah terlepas.Nayla menarik napas dalam-dalam. Aroma kopi menguar dari dapur, mengisi apartemen dengan kehangatan yang ironis. Galan selalu menyeduh kopi untuk mereka berdua setiap pagi—salah satu kebiasaan yang masih bertahan dari masa-masa awal pernikahan mereka. Namun pagi ini, rutinitas itu terasa hambar, seperti sebuah gerak refleks belaka, bukan lagi ungkapan kasih.
"Ya," akhirnya ia mengakui. "Dengan Alya. Tapi itu murni profesional, Nayla.""Profesional?" Nayla tersenyum pahit. "Apakah 'aku juga senang bisa ngobrol sama kamu' termasuk percakapan profesional, Galan?"Galan mengacak rambutnya, kebiasaan lama saat ia merasa terdesak. "Kau mengambil kalimat itu dari konteksnya.""Kalau begitu jelaskan konteksnya padaku," tantang Nayla. "Jelaskan mengapa kau berbicara dengan nada seperti itu kepada CMO perusahaanmu di tengah malam. Jelaskan mengapa kau tertawa seperti itu—tawa yang sudah lama tidak kudengar di rumah ini."Galan tidak menjawab. Keheningan yang menyakitkan kembali menyelimuti mereka, hanya diinterupsi oleh suara hujan yang semakin deras di luar."Tidak bisa menjawab?" tanya Nayla akhirnya, suaranya bergetar. "Atau tidak mau jujur?""Apa yang ingin kau dengar dariku, Nayla?" tanya Galan, nada frustasi jelas terdengar dalam suaranya. "Kau sudah memutuskan apa yang kau percayai.""Aku ingin mend
Malam itu hujan turun rintik-rintik di luar jendela apartemen. Nayla duduk sendirian di sofa ruang tengah, menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda. Cahaya dari layar laptop menerangi wajahnya yang lelah. Sudah hampir tengah malam, dan Galan belum juga pulang—tak ada kabar, tak ada pesan, seolah ia telah terbiasa dengan ketidakhadiran suaminya.Suara pintu terbuka membuat Nayla menoleh. Galan masuk dengan jas tersampir di lengan dan dasi yang sudah dilonggarkan. Wajahnya terlihat lelah, namun ada sesuatu yang berbeda dari sinarnya—sebuah keceriaan yang tak cocok dengan seseorang yang baru saja menghadiri meeting bisnis hingga larut malam."Oh, kau masih bangun," kata Galan, sedikit terkejut melihat Nayla."Deadline," jawab Nayla singkat, kembali menatap layar laptopnya. "Meeting sampai selarut ini?"Galan meletakkan tasnya di meja. "Ya, lalu kami melanjutkan diskusi di restoran. Kau tahu bagaimana orang-orang Singapura—mereka ingin membicarakan
"Kau selalu bilang begitu," bantah Nayla. "Setelah pendanaan awal, kau bilang semuanya akan lebih baik. Setelah ekspansi pertama, kau bilang hal yang sama. Sekarang pendanaan seri B. Nanti apa lagi? IPO? Akuisisi?"Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat. Di luar, senja mulai berganti malam, menyapu ruangan dengan bayangan panjang yang semakin gelap."Aku harus bersiap-siap," kata Galan akhirnya, memutuskan untuk tidak melanjutkan perdebatan. "Meeting malam ini penting.""Tentu saja," balas Nayla, mengalah seperti biasa. "Semua meetingmu penting."Galan menatapnya sejenak, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian mengurungkan niatnya. Ia berbalik dan berjalan menuju kamar mereka untuk berganti pakaian.Nayla tetap berdiri di dapur, menyandarkan tubuhnya pada konter. Matanya menatap punggung Galan yang menjauh, mengamati caranya berjalan yang kini lebih tegap dan percaya diri—sangat berbeda dari langkah sedikit canggung yang dulu i
Cahaya matahari sore menerobos masuk melalui jendela apartemen, menciptakan pola keemasan di lantai kayu ruang tamu. Nayla membaca buku di sofa saat mendengar suara lift terbuka di lorong, diikuti langkah kaki yang sudah terlalu familiar baginya—langkah kaki Galan yang ringan namun tegas, ritme yang selalu bisa ia kenali bahkan dengan mata tertutup.Pintu terbuka dan Galan masuk, mengenakan setelan biru tua yang rapi dengan kemeja putih tanpa dasi. Rambutnya tertata sempurna, tidak berantakan seperti dulu saat ia masih menghabiskan malam-malam untuk mengerjakan kode di apartemen sempit mereka."Hai," sapa Nayla, menurunkan bukunya dan menatap Galan dengan senyum tipis."Hai," balas Galan singkat, meletakkan tasnya di meja dan melonggarkan kancing teratas kemejanya. "Sudah makan?""Belum. Aku menunggumu. Kupikir kita bisa makan bersama malam ini."Galan melirik jam dinding. "Maaf, aku sudah ada janji makan malam dengan tim marketing dari Singapura j
Nayla melangkah pelan ke ruang tengah, mengenakan kaus putih longgar dan celana pendek yang dulu selalu dikomentari Galan sebagai "outfit paling seksi" karena kesederhanaannya. Lampu ruangan sudah diatur redup—kebiasaan malam mereka sejak dulu. Galan duduk di sofa, matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan acara bisnis yang biasanya tak pernah ia tonton."Mau kopi?" tanya Nayla, suaranya lembut memecah keheningan.Galan menoleh sekilas. "Boleh."Nayla mengangguk dan bergerak ke dapur. Tangannya dengan cekatan menyiapkan dua cangkir kopi—satu hitam tanpa gula untuk Galan, satu dengan sedikit susu dan satu sendok gula untuk dirinya sendiri. Rutinitas yang sudah ratusan kali ia lakukan, hingga tangannya bisa bergerak otomatis tanpa perlu berpikir.Ia masih ingat bagaimana dulu mereka sering berbagi cangkir yang sama, Galan akan menyesap dari sisi yang sama dengan bekas lipstik Nayla, mengatakan itu cara tidak langsung untuk menciumnya. Kenangan kecil yang dulu terasa remeh, ki