Ruang rapat di lantai tiga puluh kantor pusat Galan terasa lebih sesak dari biasanya. Bias cahaya dari jendela kaca besar tak mampu mengurangi suasana yang menekan. Meja kayu mahoni yang dulu jadi saksi presentasi penuh optimisme, kini hanya dipenuhi berkas-berkas berisi kabar buruk.Enam kursi kulit mengelilingi meja, masing-masing diduduki direktur yang wajahnya mencerminkan kekhawatiran serupa.Galan duduk di ujung meja, matanya mengamati satu per satu wajah yang sudah bertahun-tahun membantunya membangun imperium ini. Di sana ada Hendrik, Direktur Keuangan, yang biasanya kalem tapi kini gelisah sambil membolak-balik laporan. Sandra, Direktur Operasional, menggenggam bolpoin begitu erat sampai buku jarinya memutih. Rizki, Direktur Marketing, menatap kosong ke arah langit Jakarta yang mendung dari balik kaca."Terima kasih sudah datang dengan cepat," buka Galan. Suaranya berat, nyaris berbisik. "Kalian semua pasti sudah tahu kenapa kita ada di sini."Hendrik menegakkan tubuhnya. "Si
Galan masih terpaku di kursi kerjanya, menatap layar ponsel yang sudah tiga hari tak berubah—pesan untuk Nayla masih centang dua, tapi tetap tanpa balasan. Sunyi. Seolah jawaban itu tak akan pernah datang.Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. Dina masuk dengan raut wajah lebih pucat dari biasanya, menggenggam tablet yang sudah terbuka pada halaman berita bisnis."Pak... ada berita yang Bapak harus lihat."Galan menatapnya dengan firasat yang tak lagi asing—rasa was-was yang akhir-akhir ini setia menemaninya."Berita apa, Din?"Dina mendekat dan meletakkan tablet di mejanya, seolah benda itu bisa meledak jika tidak ditangani hati-hati."TokoBelajar.com baru saja mengumumkan kerja sama eksklusif dengan Bright Future Learning."Dunia Galan seakan runtuh—untuk kedua kalinya dalam seminggu. TokoBelajar.com adalah platform e-commerce edukasi terbesar di Indonesia. Selama tiga tahun terakhir, merekalah tulang punggung distribusi digital produknya. Enam puluh persen pendapatan perus
Galan menatap layar laptopnya. Dahinya berkerut, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme gugup. Email baru saja masuk, dan isinya seperti hantaman telak ke dada—PT Indotrade Global, pemasok utama bahan baku selama tiga tahun terakhir, memutuskan kontrak sepihak. Tanpa peringatan. Tanpa diskusi."Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini," tulis mereka. "Namun karena perubahan strategi bisnis dan komitmen eksklusif dengan mitra baru, kami tidak dapat melanjutkan kerja sama."Galan melempar stylus ke meja. Suara benturan logam dan kayu mengisi ruang sunyi.Sudah lima email seperti ini dalam dua minggu terakhir. Lima pemasok, lima alasan yang hampir sama—strategi berubah, komitmen baru, mitra lain."Bos?"Suara Dina, asisten pribadinya, terdengar dari ambang pintu. Pelan, seolah tahu badai akan datang. Sudah empat tahun ia bekerja dengan Galan, dan ia tahu saat untuk bicara, dan saat untuk diam."Ada laporan baru?" tanya Galan, masih menatap layar."Iya, Pak. Stok bahan baku kita tersisa
Langkah-langkah sepatu hak Nayla bergema di koridor marmer gedung tinggi di kawasan SCBD. Tegas, mantap, penuh keyakinan. Tak ada lagi bayang-bayang ragu yang dulu sering mencuri pijakannya. Di tangannya, tas kulit hitam berisi proposal yang telah dipoles dan diperjuangkan selama berminggu-minggu.Hari ini bukan hari biasa. Hari ini, dia akan bertemu Marcus Chen—direktur utama Chen Industries. Tiga tahun lalu, nama itu sempat menjadi bayang samar dalam kisah masa lalunya bersama Galan. Kala itu, Galan menolak tawaran Marcus untuk menjalin kerja sama. Terlalu kaku, katanya. Terlalu mengatur. Ego Galan menolak diatur siapa pun, apalagi oleh mitra yang baru dikenal.Nayla masih mengingat betul malam itu.Galan pulang dengan wajah muram, membanting kunci mobil ke meja kaca.“Dia pikir dia siapa?” gerutunya. “Mau ngatur-ngatur perusahaan gue? Gue sukses tanpa bantuan orang kayak dia.”Nayla, yang saat itu masih menjadi tempat pulang segala amarah dan frustrasi Galan, hanya mengangguk pelan
Nayla berdiri di balkon lantai empat puluh Hotel Mandarin Oriental, menatap gemerlap lampu Jakarta yang berkelap-kelip seperti bintang jatuh di bumi. Udara malam yang masih menyimpan aroma hujan menyentuh wajahnya lembut, menyapu rambutnya yang tergerai—dingin, tapi justru menenangkan.Di belakangnya, di atas meja kaca, trofi kristal yang tadi malam ia genggam dengan penuh kebanggaan kini berdiri tenang, memantulkan cahaya kamar. Tapi Nayla tak menoleh. Pandangannya terpaku pada cakrawala. Jakarta yang dulu menjadi tempat ia berlutut dalam hancur kini menjadi saksi kebangkitannya."Tehmu sudah dingin."Suara bariton itu memecah keheningan. Nayla menoleh. Di ambang pintu berdiri Adrian—dengan sweater krem sederhana dan celana kain, membawa dua cangkir teh.Adrian Wijaya. Pria tiga puluh lima tahun, dokter anak, yang hadir dalam hidup Nayla bukan sebagai penyelamat, bukan sebagai pengganti, tapi sebagai seseorang yang melihatnya. Enam bulan lalu, mereka bertemu di rumah sakit saat Nayla
Nayla berdiri di podium, menggenggam trofi kristal dengan kedua tangan. Kilapnya memantulkan cahaya panggung, tapi bukan itu yang membuat dadanya terasa sesak—melainkan beban dari setiap kata yang sebentar lagi akan ia ucapkan.Auditorium itu luas, dingin, penuh sorotan mata dan ekspektasi. Tapi Nayla tak gentar. Di balik detak jantung yang memacu cepat, ada keheningan dalam dirinya—hening, tapi kokoh.Ia tahu, di antara ratusan pasang mata yang menatapnya malam itu, ada sepasang mata yang pernah ia kenal terlalu dalam. Mata seseorang yang tak seharusnya hadir, tapi entah bagaimana kehadirannya justru terasa seperti titik akhir dari sebuah lingkaran yang pernah terbuka… dan tak pernah benar-benar tertutup.Nayla menarik napas panjang.Lalu ia mulai bicara.“Tiga tahun lalu…” suaranya jernih, tapi gemetar halus. “…aku berdiri di titik tergelap dalam hidupku.”Seluruh ruangan mendadak senyap. Bahkan napas pun terasa enggan keluar.“Aku kehilangan lebih dari sekadar hubungan,” lanjutnya,