Share

Bab 49

Penulis: perdy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-20 12:13:05

Galan dan Alya tampil sebagai pasangan baru yang "inspiratif".

Nayla menyeruput kopi panasnya sambil membuka aplikasi media sosial di ponselnya. Sudah menjadi kebiasaan paginya—rutinitas yang masokistis, ia akui itu—mengecek perkembangan cerita yang tersiar tentang dirinya dan, yang lebih menyakitkan, tentang Galan dan kekasih barunya, Alya.

Halaman Instagram Galan dipenuhi foto-foto baru. Kali ini dari acara amal yang dihadirinya bersama Alya semalam. Galan mengenakan setelan jas berwarna navy yang Nayla ingat pernah memilihkan untuknya, sementara Alya bersinar dalam balutan gaun merah panjang yang menjuntai anggun. Mereka terlihat sempurna—pasangan yang serasi, sukses, dan dihormati.

"Bersama @alya.mahendra menghadiri acara penggalangan dana untuk Yayasan Pendidikan Anak Indonesia. Bersyukur bisa berkontribusi untuk masa depan bangsa. #GivingBack #BetterTogether," tulis Galan di keterangan foto.

Nayla mendengus. Galan bahkan tidak pernah tertarik dengan kegiatan amal selama mereka b
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 52

    "Setuju," jawab Nayla dengan senyum tulus. "Terima kasih, Ayah.""Jangan berterima kasih dulu," Herdian menatap putrinya dengan serius. "Jalanmu masih panjang dan tidak akan mudah. Galan dan Alya memiliki momentum dan dukungan publik saat ini. Mengubah persepsi itu akan membutuhkan strategi jangka panjang dan ketahanan mental yang kuat.""Aku siap," tegas Nayla. "Kali ini aku tidak akan naif atau terburu-buru. Aku akan bermain dengan cerdas dan sabar."Herdian mengangguk puas. "Baiklah. Mulai besok kamu bisa mengunjungi kantor NeoVerse dan berkenalan dengan tim inti. Dokumen serah terima dan pengangkatanmu sebagai CEO akan Ayah siapkan akhir minggu ini."Nayla bangkit dari kursinya, menggenggam map hitam itu dengan erat. Untuk pertama kalinya sejak pengkhianatan Galan, ia merasakan semangat dan gairah yang dulu pernah hilang. Langkahnya terasa ringan saat berjalan menuju pintu."Nayla," panggil Herdian sebelum putrinya mencapai pintu, "ingat satu h

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 51

    Sinar matahari pagi menerobos tirai jendela ruang kerja Herdian Wijaya, menciptakan garis-garis keemasan di atas meja kayu jati yang mengkilap. Nayla duduk tegak di hadapan ayahnya, kedua tangannya sibuk membolak-balik lembaran dokumen dalam map hitam itu. Matanya yang tajam menyusuri setiap detail, setiap angka, dan setiap peluang yang tersaji di hadapannya."Jadi," suara berat Herdian memecah keheningan, "bagaimana menurutmu?"Nayla mengangkat wajahnya, menatap sang ayah dengan campuran rasa takjub dan haru yang berusaha ia sembunyikan. Selama hidupnya, ia selalu menganggap ayahnya sebagai sosok kaku yang lebih menghargai kesempurnaan daripada hubungan emosional. Namun map hitam di tangannya ini—berisi proposal dan dokumen bisnis dari berbagai perusahaan milik keluarga Wijaya—adalah bentuk kasih sayang yang tidak pernah ia sangka akan diterimanya."Ini... sangat komprehensif, Ayah," jawab Nayla, berusaha terdengar profesional meskipun hatinya berge

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 50

    Di tengah badai tuduhan, Ayah Nayla memanggilnya ke ruang kerja.Sudah dua minggu sejak terakhir kali Nayla mengunjungi rumah orangtuanya. Bukan karena ia tidak ingin—orangtuanya adalah satu-satunya benteng yang masih berdiri tegak mendukungnya—tapi karena ia merasa malu. Malu karena merasa gagal. Malu karena namanya tercoreng. Dan mungkin yang paling menyakitkan, malu karena ayahnya pernah memperingatkannya tentang Galan."Dia terlalu licin, Nayla. Terlalu mahir menjual dirinya sendiri," kata sang ayah ketika Nayla pertama kali memperkenalkan Galan lima tahun lalu.Kini, melangkah masuk ke ruang kerja ayahnya yang familiar—ruangan dengan rak buku tebal, aroma tembakau pipa yang samar, dan foto-foto keluarga yang dipajang dengan rapi—Nayla merasakan kembali rasa malu itu. Namun wajah ayahnya tidak menampakkan kekecewaan atau "sudah kubilang" yang ia takutkan. Hanya ketenangan dan kehangatan yang selalu menjadi ciri khas pria berusia 60 tahun itu."Duduklah, Nak," kata Rachman Wijaya,

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 49

    Galan dan Alya tampil sebagai pasangan baru yang "inspiratif".Nayla menyeruput kopi panasnya sambil membuka aplikasi media sosial di ponselnya. Sudah menjadi kebiasaan paginya—rutinitas yang masokistis, ia akui itu—mengecek perkembangan cerita yang tersiar tentang dirinya dan, yang lebih menyakitkan, tentang Galan dan kekasih barunya, Alya.Halaman Instagram Galan dipenuhi foto-foto baru. Kali ini dari acara amal yang dihadirinya bersama Alya semalam. Galan mengenakan setelan jas berwarna navy yang Nayla ingat pernah memilihkan untuknya, sementara Alya bersinar dalam balutan gaun merah panjang yang menjuntai anggun. Mereka terlihat sempurna—pasangan yang serasi, sukses, dan dihormati."Bersama @alya.mahendra menghadiri acara penggalangan dana untuk Yayasan Pendidikan Anak Indonesia. Bersyukur bisa berkontribusi untuk masa depan bangsa. #GivingBack #BetterTogether," tulis Galan di keterangan foto.Nayla mendengus. Galan bahkan tidak pernah tertarik dengan kegiatan amal selama mereka b

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 48

    Teman-teman yang dulu sering bersulang di rumahnya kini tak menjawab chat.Nayla menatap layar ponselnya dengan hampa. Sudah tiga hari ia mengirim pesan ke grup "Sabtu Seru", grup berisi lima sahabatnya yang biasa berkumpul setiap akhir pekan di apartemennya. Dulu, jeda satu jam saja tanpa balasan adalah hal yang aneh. Kini, hanya tampilan "Dibaca" yang terlihat di bawah pesannya."Hai teman-teman, ada yang mau mampir akhir pekan ini? Aku masak pasta jamur yang biasa kalian suka," tulis Nayla dengan nada ceria yang dipaksakan.Tak ada jawaban.Nayla menyesap kopinya yang sudah dingin. Apartemennya terasa lebih luas dan kosong sejak narasi palsu itu tersebar. Dindingnya seakan bergema dengan kesunyian. Ia ingat bagaimana dulu tempat ini selalu penuh tawa dan percakapan—Nina yang selalu bercerita dengan ekspresif, Dimas yang sibuk memutar piringan hitam koleksinya, Ratih yang tak pernah absen membawa kue buatan sendiri, Fajar dan Renata yang selalu datang bersama dengan botol anggur pil

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 47

    Tak butuh waktu lama, media sosial dan grup bisnis lokal mulai ramai. Semua orang membicarakan hal yang sama. Ponsel Nayla bergetar tanpa henti dengan notifikasi. Awalnya ia mengabaikannya, mengira itu hanya pesan-pesan biasa dari rekan kerja atau teman lama yang menanyakan kabarnya setelah berita perpisahan dengan Galan tersebar.Namun ketika ia akhirnya membuka salah satu tautan yang dikirimkan temannya, jantungnya seolah berhenti berdetak.Seseorang menyebar cerita bahwa Nayla hanyalah "mantan pacar pemalas" yang ikut hidup dari jerih payah Galan."Ia tak pernah terlibat dalam bisnis," tulis sebuah artikel anonim. "Galan membiayai hidupnya bertahun-tahun—bahkan memberikan tempat tinggal."Nayla membaca semuanya dengan tangan gemetar. Begitu mudahnya kebenaran dikaburkan.Artikel itu memuat foto-foto Nayla yang diambil dari media sosialnya—gambar saat ia berlibur, makan di restoran mewah, atau menghadiri acara bersama Galan. Semua foto itu disajikan sebagai "bukti" ketergantungannya

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 46

    Taksi melaju menyusuri jalan-jalan Jakarta yang padat. Dari jendela, Nayla memandangi kota yang berubah selama ia "menghilang" dalam hubungannya dengan Reyhan. Ada gedung-gedung baru, jalan-jalan baru, kehidupan-kehidupan baru yang berlangsung sementara ia terjebak dalam lingkaran yang sama."Sudah lama tidak pulang, Mbak?" tanya sopir taksi, menangkap ekspresi nostalgia di wajah Nayla."Tujuh tahun," jawab Nayla pendek."Wah, lama sekali. Pasti banyak yang berubah ya."Nayla tersenyum. "Ya, termasuk saya."Taksi berbelok ke jalan yang sangat dikenalnya—jalan menuju rumah orangtuanya di pinggiran kota. Pepohonan rindang masih berjajar di sepanjang jalan, memberikan keteduhan yang familiar. Rumah-rumah tetangga masih terlihat sama, meski beberapa sudah berganti warna cat atau pagar.Dan kemudian, rumah itu muncul di pandangan. Rumah sederhana bercat putih dengan pagar hijau tua dan taman kecil di depannya. Tempat yang selama ini ia hindari karena takut mengecewakan Reyhan.Taksi berhen

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 45

    Esoknya, Nayla membereskan barang-barangnya. Bukan karena diusir, tapi karena ia sadar: Ia telah kehilangan dirinya sendiri di dalam rumah itu.Ia menulis satu kalimat di selembar kertas: "Terima kasih atas waktumu. Tapi aku akan mengambil kembali diriku sendiri."Lalu ia menelepon seseorang—untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun: "Ayah… bolehkah aku pulang?"Suara di seberang telepon terdiam beberapa saat. Lalu dengan suara yang penuh keharuan, ayahnya menjawab, "Pintu rumah ini selalu terbuka untukmu, Nay."Nayla merasakan hangat menjalar di dadanya. Selama ini, ia menjauh dari keluarganya karena Reyhan. "Keluargamu terlalu tradisional, Nay. Mereka tidak akan mengerti visi bisnismu," kata Reyhan dulu. Dan Nayla mempercayainya, membiarkan hubungan dengan keluarganya memudar seperti foto lama yang terkena sinar matahari terlalu lama.Dengan gerakan metodis, ia mulai mengemas barang-barangnya. Tidak banyak yan

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 44

    Malam itu, Nayla tidak menangis. Bukan karena ia tidak terluka, tapi karena luka itu terlalu dalam untuk air mata.Ia hanya duduk diam, memeluk dirinya sendiri di kamar gelap.Dan untuk pertama kalinya sejak lama… ia tak merasa ingin menyelamatkan hubungan itu lagi.Apartemen yang ia tempati bersama Reyhan terasa begitu sunyi, seolah ruangan itu sendiri menahan napas. Lampu-lampu sengaja tidak dinyalakan. Dalam kegelapan, Nayla bisa merasakan lebih jelas ketidakhadiran Reyhan di sampingnya—sesuatu yang sebenarnya sudah ia rasakan sejak berbulan-bulan lalu, tetapi selalu ia sangkal.Jemarinya menyentuh cincin sederhana di jari manisnya. Cincin perak tanpa berlian yang Reyhan berikan saat mereka akhirnya mampu menyewa apartemen ini tiga tahun lalu. "Ini janji kita," kata Reyhan saat itu. "Suatu hari nanti, akan kuganti dengan cincin berlian."Nayla tersenyum getir. Kini ia paham, janji itu mungkin akan ditepati—tapi dengan wanita lain.Ponselnya bergetar untuk kesekian kali. Notifikasi

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status