Sejak kecil, Nayla sudah dibesarkan dalam dunia penuh target dan jadwal: les piano, bahasa asing, coding, bahkan public speaking. Ibunya menginginkan Nayla jadi wanita sempurna, sementara ayahnya—seorang pria dingin tapi visioner—memimpikan pewaris tangguh yang bisa duduk di kursi utama Mahardika Corp.Tapi Nayla kecil… ia hanya ingin hidup bebas dan mencintai tanpa tekanan.Malam itu, setelah kembali dari Lombok, Nayla duduk di kamar masa kecilnya yang masih utuh seperti dulu. Dinding dipenuhi piala kompetisi piano, sertifikat bahasa, dan foto-foto keluarga yang terlihat sempurna tapi dingin. Di sudut ruangan, piano hitam mengkilap masih berdiri megah—saksi bisu dari tahun-tahun yang penuh tekanan.Nayla menyentuh tuts piano dengan jari yang sudah lama tak berlatih. Melodi yang keluar terdengar patah-patah, seperti kenangan masa kecil yang terfragmentasi."Nayla, duduk yang tegap! Kamu calon pemimpin, bukan anak biasa!""Nilai matematikamu turun? Bagaimana mau memimpin perusahaan kal
Tiga hari setelah percakapan itu, Nayla sudah duduk di ruang rapat yang sama tempat ia dulu mendengar keputusan-keputusan penting keluarga sebagai penonton. Kini, ia duduk di kursi yang dulu kosong—kursi yang ditinggalkan ibunya ketika sakit mulai menggerogoti tubuhnya."Proyek pembangunan resort di Lombok mengalami hambatan," lapor Pak Hendro, manajer senior. "Izin lingkungan tertunda karena ada protes warga setempat."Nayla mendengarkan dengan seksama. Ayahnya tak langsung memberi jawaban, melainkan menatap Nayla. "Apa pendapatmu?"Semua mata tertuju padanya. Nayla merasakan jantungnya berdetak cepat, tapi ia ingat kata-kata ayahnya: bukan sebagai korban, tapi sebagai pewaris."Kita perlu turun langsung," kata Nayla pelan tapi tegas. "Bertemu warga, dengarkan kekhawatiran mereka. Mungkin ada solusi yang menguntungkan kedua belah pihak tanpa mengorbankan lingkungan."Pak Hendro tampak ragu. "Tapi itu akan memakan waktu dan biaya tambahan, Nona.""Reputasi keluarga ini dibangun atas k
Pukul sebelas malam, mobil sedan hitam Nayla memasuki garasi rumah keluarga Mahardika di Bandung. Perjalanan dari Jakarta terasa lebih panjang dari biasanya, bukan karena macet, tapi karena pikiran yang terus berputar menganalisis setiap detail dari acara bisnis tadi.Nayla duduk sejenak di dalam mobil setelah mematikan mesin, menatap pantulan dirinya di rearview mirror. Makeup yang tadi pagi perfect kini sedikit pudar, tapi aura confident yang ia bangun masih terpancar jelas. Namun ada sesuatu yang terasa... kosong.Kesuksesan networking tadi malam, cara para CEO mendengarkan ide-idenya dengan serius, bahkan moment ketika ia melihat shock di wajah Galan—semuanya terasa seperti victory. Tapi mengapa ada rasa hampa yang menggerogoti dadanya?Nayla keluar dari mobil dan melangkah pelan menuju pintu utama rumah. Heels Christian Louboutin yang ia kenakan berbunyi ritmis di lantai marmer, suara yang biasanya memberikan confidence kini terdengar seperti echoing di kesunyian malam.Rumah tam
Hotel Grand Hyatt Jakarta dipenuhi kemewahan yang menyilaukan mata. Ballroom utama telah disulap menjadi arena pertemuan para titan bisnis Indonesia—CEO konglomerat, direktur bank multinasional, dan para pengambil keputusan yang mengendalikan triliunan rupiah dalam ekonomi nasional. Ini adalah Indonesia Business Leaders Summit 2025, acara eksklusif yang hanya dihadiri oleh lima ratus orang terpilih dari seluruh nusantara.Di tengah keramaian yang terkendali itu, seorang wanita melangkah masuk dengan aura yang membuat conversations terhenti sejenak. Gaun midi berwarna midnight blue yang ia kenakan bukan hanya elegant, tapi juga calculated—cukup konservatif untuk menunjukkan profesionalisme, namun dengan cutting yang sempurna memperlihatkan confidence yang tak terbantahkan.Nayla Mahardika.Rambutnya yang dulu sering tergerai casual kini ditata dalam low chignon yang sophisticated. Makeup-nya minimal namun striking—foundation flawless, winged eyeliner yang tegas, dan lipstick burgundy y
"Nayla, kamu... berbeda," ujarnya sambil mempersilakan duduk di ruang meeting pribadinya. "Ada aura kewibawaan yang tidak pernah kulihat sebelumnya.""Pengalaman adalah guru terbaik, Pak Hendro," jawab Nayla sambil membuka laptop dan mengeluarkan catatan-catatan yang telah ia persiapkan. "Saya hari ini bukan lagi gadis muda yang mengikuti passion tanpa strategi. Saya datang untuk belajar mengelola bisnis dengan benar."Selama tiga jam, Pak Hendro memberikan masterclass privat tentang struktur corporate governance, analisis finansial, dan strategi ekspansi bisnis. Nayla menyerap setiap informasi dengan lapar, mencatat detail-detail yang dulu mungkin ia anggap membosankan, kini terasa seperti senjata yang akan ia butuhkan dalam pertempuran mendatang."Industri kreatif memiliki potensi besar, tapi juga risiko tinggi," jelas Pak Hendro sambil menunjukkan grafik tren pasar. "Kegagalan sebagian besar startup kreatif bukan karena kurangnya talent, tapi karena lemahnya manajemen keuangan dan
Cerita itu membuat Nayla terdiam. Ia tidak pernah mendengar tentang kegagalan ayahnya sebelumnya. Dalam ingatannya, Pak Mahardika selalu menjadi sosok pemimpin yang solid dan tak terkalahkan."Ibu tidak pernah cerita," gumam Nayla."Karena beberapa hal perlu kamu alami sendiri untuk memahaminya," jawab Bu Ratna bijak. "Luka yang kamu rasakan sekarang—dari Galan, dari kegagalan Studio Nara—itu bukan untuk menghancurkanmu. Itu bahan bakar untuk membangun api yang lebih besar dalam dirimu."Nayla menatap catatan analisisnya, lalu kembali ke foto-foto kesuksesan Galan dan Alya di layar komputer. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasakan tusukan rasa sakit atau cemburu, melainkan kesadaran jernih bahwa setiap pengalaman telah membentuknya untuk momen ini."Aku sekarang mengerti, Bu," ujar Nayla pelan, tapi dengan keyakinan yang semakin tumbuh. "Dulu aku bertarung dengan cinta. Sekarang, aku akan bertarung dengan kendali."Bu Ratna tersenyum bangga, sebelum bangkit dan mencium kening putrin