Dua bulan telah berlalu sejak malam itu, malam yang membuat hati nayla hancur dan dua bulan sejak duninya runtuh dalam sekejap. Sejak kepercayaan, cinta, dan masa depannya diambil begitu saja oleh dua orang yang paling ia percayai dalam hidupnya.
Hari itu, matahari tidak terlalu terik. Angin sepoi dari jendela apartemen kecil yang ia sewa terasa sejuk, menyapu wajahnya yang kini tak lagi dibalut riasan ini tersa damai. Dengan wajah yang sama, tapi berbeda lebih tenang, lebih dingin. Nayla menatap dirinya di cermin. Rambut panjangnya yang dulu selalu ia biarkan tergerai, kini dipotong sebahu. Tak ada lagi warna cokelat lembut yang dulu diminta Reyhan. Kini hitam gelap, seperti niatnya. Di matanya, bukan hanya luka tapi tekad yang di balut dengan dendam. “Aku akan bangkit. Tapi bukan untuk memohon kembali. Aku akan berdiri... untuk mengambil semuanya,” gumamnya lirih sambil terkekeh kecil soalah menantang diri di depan kaca. Selama dua bulan ini, Nayla menghilang dari dunia sosial bahakan dari orang-orang di sektarnya. Ia tak menghubungi siapa pun kecuali ibunya. Ia pindah dari rumah, mengganti nomor ponsel, bahkan mengganti nama akun media sosialnya. Semua demi satu hal menghilangkan jejak masa lalunya, menghapus semua bekas tentang sampah-sampah itu hingga tak membekas. Tapi Nayla bukan tipe wanita yang diam dan meratap terlalu lama, tentu itu bukan style nya. Ia mulai bekerja kembali di perusahaan lamanya sebagai konsultan keuangan. Tempat itu pernah menjadi awal kariernya sebelum ia memilih resign demi rumah tangga yang di impikan bersama orang terkasihnya. Tapi apa yang di perolehnya? Hanya angin belaka. Kini, dengan otaknya yang tajam dan pengalaman yang tak luntur, Nayla cepat mencuri perhatian. Klien mulai berdatangan, proyek demi proyek mulai mengisi waktunya. Hidupnya kembali bergerak dan tertata dengan rapi . Tapi kali ini, tujuannya bukan untuk bertahan dalam pernikahan. Melainkan untuk menjadi lebih kuat… agar bisa membalas semuanya. ________________________________________ Sore itu, ia menerima email dari sebuah firma hukum besar yang pernah bekerja sama dengan Reyhan Group. Mereka menawarkan kerja sama proyek besar, dan Nayla diminta hadir dalam pertemuan pembuka. Ia sempat ragu. Tapi melihat nama perusahaan itu justru membuatnya tersenyum tipis. “Reyhan Group...” “Bagus. Waktunya aku kembali muncul, dengan wajah yang tak akan mereka kenali.” * * * Seminggu telah berlalu, hari yang di tunggu akhirnya tiba Lobi kantor masih sama seperti dulu, tidak ada yang berubah. Megah, dingin, dan penuh kesibukan. Nayla berjalan tenang dengan heels hitam, setelan kerja berwarna charcoal, rambutnya disanggul elegan. Tak ada yang mengenalnya dan itu yang ia harapkan. Reyhan tidak tahu Nayla adalah konsultan utama dalam proyek yang akan dibahas hari ini. ah ini sangat enarik. Saat pintu ruang rapat terbuka, tatapan Reyhan membeku. Ia berdiri dari kursinya, nyaris tak percaya melihat siapa yang masuk. “Nayla...?” Nayla hanya tersenyum tipis. Ternyata dia tidak lupa Ia duduk di seberangnya, membuka map presentasi, dan menatap Reyhan lurus-lurus, dengan tatapan yang tenang dan terlihat anggun. “Selamat pagi, Tuan Reyhan. Saya harap pertemuan ini bisa berjalan profesional.” Di balik senyum dinginnya, Nayla tahu ini baru permulaan. Balas dendam tidak perlu dilakukan dengan kemarahan. Tapi dengan keanggunan yang menusuk lebih dalam. Keheningan terjadi, aura mencengkam memenuhi seisi ruangan seakan ada bayangan kasat mata yang mengintai dengan penuh peringatan. Tatapan Reyhan menajam, namun bukan karena marah melainkan karena panik yang disembunyikan dengan buruk.Ya, seperti biasa ia tidak bisa mengendalikan ekspresinya. Di hadapannya kini duduk sosok yang dulu pernah ia remehkan. Wanita yang ia tinggalkan, yang ia anggap akan hancur dan menghilang seperti puing-puing. Tapi Nayla justru kembali dengan versi terbarunya. Bukan sebagai istri yang memohon, melainkan sebagai profesional yang siap menegakkan kepala di atas tumpukan luka. Suara ketukan pena Nayla di atas meja terdengar pelan, tapi hal itu cukup mengusik Reyhan. Ia membaca ulang proposal di depannya, setiap kalimat ia pahami dengan cepat. Latar belakang keuangan, potensi pengembangan proyek, hingga skema kerja sama yang ditawarkan. Presentasi ini kerja tim Nayla sendiri sempurna. Terlalu sempurna dan ini sulit untuk dipercaya dengan akal dan pikiran reyhan. “Kau yang menyusun semua ini?” tanya Reyhan akhirnya, suaranya agak serak dan terlihat ketidakpercayaannya. Nayla tidak langsung menjawab. Ia menutup map presentasinya perlahan, lalu mengangkat wajah. Dan itu sangat terlihat tenang dan berwibawa. “Tentu. Ini pekerjaan saya, bukan?” Tatapan mereka bertemu. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Reyhan merasa kalah hanya dengan sebuah pandangan. Tak ada air mata, tak ada amarah. Yang ada hanya sorot mata dingin yang menyimpan terlalu banyak luka yang dipendan dan terlalu banyak kekuatan. Ruang rapat itu tampak besar, tapi mendadak terasa sesak bagi Reyhan. Pikirannya berlarian entah kemana, ingatan tentang Nayla yang menangis malam itu tiba-tiba muncul dan menghantuinya seperti kabut yang menolak pergi. Tapi ia tidak pernah benar-benar menyesal. Sampai hari ini. ya masi terlihat angkuh Nayla yang ia kenal dulu tak akan pernah bisa berbicara seperti ini. Nayla yang dulu tak akan pernah membuatnya merasa kecil di ruangan miliknya sendiri. Nayla yang dulu adalah sosok yang lembut, penurut dan juga lemah. Tapi wanita yang kini duduk di depannya bukanlah wanita yang sama, ini sangat berbeda. ________________________________________ “Kalau tidak ada lagi yang ingin didiskusikan, saya mohon izin kembali. Proposal lengkap sudah saya kirimkan via email,” ujar Nayla tanpa berbasa-basi sembari bangkit berdiri. Langkahnya tenang dan berwibawa. Matanya tetap lurus ke depan, bahkan saat Reyhan berdiri cepat dan memanggil namanya pelan, ia seakan-akan tuli dan tidak peduli akan hal itu. “Nayla... tunggu.” Nayla berhenti. Punggungnya masih menghadap Reyhan. Ada jeda panjang sebelum akhirnya ia menoleh setengah, tidak sepenuhnya. “Saya di sini sebagai konsultan proyek, Tuan Reyhan. Bukan sebagai seseorang yang perlu diajak bicara secara pribadi.” “Tapi kita...” “Tidak ada ‘kita’,” potong Nayla datar tanpa memberi ruang untuk reyhan untuk menyelesaikan perkataannya. “Yang ada hanya saya... dan masa lalu yang sudah saya buang di tempat sampah dan lalu di bakar.” Langkah Nayla kembali bergema menyusuri lorong. Di balik setelan kerja yang elegan dan langkah yang mantap, hatinya masih bergetar, ya semuanya belum sepenuhnya sembuh. Tapi ia tahu satu hal: setiap kali ia berani melangkah menjauh dari luka itu, dirinya yang lama terkubur semakin jauh… dan dirinya yang baru semakin kuat. Dendamnya belum selesai. Tapi hari ini, ia berhasil memenangkan satu hal: harga dirinya, ya ini baru sebuah permulaan. * * * Hai, terima kasih sudah membaca sampai di Bab 2. Di bab ini, aku ingin menunjukkan bagaimana luka yang dalam bisa jadi bahan bakar untuk bangkit. Nayla bukan karakter yang sempurna ia hancur, dia marah, dan dia sangat terluka. Tapi dari semua itulah muncul kekuatan yang baru. Kadang, balas dendam bukan soal membalas dengan cara yang sama. Tapi tentang berdiri kembali… lebih kuat, lebih tegar, dan membuat mereka yang menyakitimu sadar bahwa mereka kehilangan sesuatu yang tidak akan pernah bisa mereka dapatkan kembali. Perjalanan Nayla masih panjang. Luka hatinya belum sembuh, dan rasa sakit itu akan membentuk keputusan-keputusannya di bab-bab selanjutnya. Tapi satu hal pasti dia tidak akan kembali menjadi wanita yang sama. Terima kasih sudah mengikuti perjalanan ini. Jangan lupa tinggalkan komentar dan like, karena dukunganmu sangat berarti untukku sebagai penulis ❤️Langit sore terlihat kelabu ketika Reyhan memarkir mobilnya di pelataran rumah sakit. Suasana di luar tenang, tapi pikirannya justru sebaliknya. Selama dua hari terakhir, firasat buruk terus mengusiknya. Bukan tentang Nayla, tapi tentang sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya. Atau mungkin... tentang seseorang.Ia menuruni tangga menuju taman belakang tempat biasa Nayla duduk saat istirahat. Namun kali ini, tak ada sosok wanita itu di sana. Hanya bangku kosong dan sehelai dedaunan kering yang tertiup angin. Reyhan menarik napas, lalu duduk di ujung bangku. Pikirannya kembali ke kata-kata Pak Firdaus beberapa hari lalu:“Ada seseorang dari masa lalu Anda yang sebaiknya Anda waspadai. Orang itu tidak menginginkan Anda bahagia... dan dia mengenal Anda lebih dari siapa pun.”Awalnya, Reyhan mengira itu hanya peringatan paranoia. Tapi kini, setiap detail mulai terasa masuk akal. Rania perempuan yang selama ini tampak tenang dan tak tergoyahkan—tiba-tiba berubah. Terlalu tenang. Terla
Heningnya pagi di rumah Reyhan seolah tak mampu menenangkan kegaduhan dalam diri Rania. Ia berdiri di depan cermin, menyisir rambutnya perlahan. Wajahnya tampak tenang, bahkan nyaris lembut, tapi mata itu… mata yang menatap dirinya sendiri, penuh dengan luka lama yang belum sembuh.Di balik semua gaun mahal dan gelar istri dari seorang Reyhan Pratama, ada jiwa yang remuk namun memaksa diri terlihat utuh.Rania tak tidur semalaman. Setelah mendengar suara langkah Reyhan di ruang kerja, dia sengaja mendekat. Bukan untuk mengintiptapi memastikan sesuatu: bahwa Reyhan sedang mencari tahu. Dan benar saja, nada suara Reyhan yang pura-pura tenang itu tak bisa menipunya. Ia tahu, malam itu adalah awal dari titik balik permainan.Sambil mengenakan anting, Rania membuka laci kecil di meja riasnya. Ia mengeluarkan sebuah flashdisk, benda kecil yang menjadi saksi bisu dari tahun-tahun yang ia habiskan bukan sebagai istri, tapi sebagai alat. Alat untuk menutupi rahasia Reyhan. Alat untuk menjaga c
Reyhan menatap bayangannya sendiri di cermin. Matanya merah, bukan karena tangis, tapi karena malam-malam tanpa tidur. Akhir-akhir ini, ia merasa semua orang mengawasinya dari rekan kerja, supir pribadi, bahkan sekretaris yang dulu selalu ia abaikan. Ketika ia masuk ke ruang kerja pagi itu, sesuatu terasa… berbeda. Dokumen di mejanya tersusun rapi, tapi terlalu rapi. Bolpoin kesayangannya yang biasanya ia taruh sembarangan di laci hilang. Dan yang paling membuatnya menggigil: satu berkas transaksi penting ia temukan terbuka, seolah seseorang dengan sengaja ingin ia sadar bahwa mereka tahu apa yang ia sembunyikan. "Ini tidak mungkin kebetulan," gumamnya. Reyhan membuka laci tersembunyi di balik rak buku. Di dalamnya, ada dua flashdisk satu berisi dokumen asli tentang pencucian uang yang ia lakukan dengan investor luar negeri, satu lagi tentang transfer aset ke nama Rania. Semua ia jaga rapat-rapat. Tapi sekarang, bahkan ruang tersembunyi ini terasa… tak aman. Ia memencet nomor seor
Senja menyapa langit dengan warna jingga keabu-abuan ketika Nayla berdiri mematung di depan jendela besar, memandangi gemerlap lampu kota yang mulai menyala satu per satu. Di balik kaca, ia melihat bayangan dirinya seorang perempuan yang pernah patah, pernah dihancurkan oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya, dan kini berdiri dengan kepala tegak, menyusun skenario akhir dari semua luka yang telah ditinggalkan. Di balik punggungnya, suara lembut tapi tajam terdengar, “Kamu yakin ingin mengambil risiko ini, Nay?” Nayla tidak menoleh. Ia tahu suara itu milik Dinda, mantan sahabat Rania wanita yang dulunya sama-sama tertawa di samping Rania, sebelum dikhianati dan dijatuhkan dalam-dalam. Wanita yang kini memilih untuk berdiri bersamanya, dalam rencana balas dendam yang perlahan mulai memakan bentuk. “Dia sudah terlalu lama bermain dengan luka orang lain,” jawab Nayla lirih. “Sudah saatnya dia tahu seperti apa rasanya kehilangan, tapi bukan karena takdir... melainkan karena keso
Reyhan menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi kantor. Pandangannya kosong, bola matanya merah karena kurang tidur. Dingin air yang mengalir dari keran tak mampu menenangkan getar dalam dadanya. Ini bukan lagi sekadar stres kerja ada sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap, yang menggoyahkan fondasi hidupnya. Sudah tiga minggu terakhir hidupnya seolah berada dalam pusaran badai. Email anonim, foto-foto dari masa lalu, hingga suara yang terekam dalam rekaman rahasia semuanya datang seperti hantu yang tahu kapan harus menyerang saat ia sedang paling rapuh. Tak satu pun dari semua ini terlihat seperti ulah iseng. Ada rencana besar di balik semua kekacauan yang tiba-tiba hadir. Rania sudah mulai rewel. Pertanyaan-pertanyaan sinis darinya muncul setiap malam. Sekali saja Reyhan lengah, rumah tangga yang sudah retak itu akan benar-benar runtuh. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang Arvino, mantan penyelidik swasta yang dulu pernah menolongnya dalam kasus keluarga. "Vin,
Kafe di sudut kota itu tampak sepi. Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi, tapi langit mendung membuat dunia seolah masih belum bangun sepenuhnya. Hujan rintik-rintik menetes di balik kaca jendela besar yang menghadap ke jalan. Nayla duduk di sudut ruangan, mengenakan jaket abu-abu dan topi rajut gelap. Wajahnya tampak biasa saja bagi orang asing, tapi sorot matanya tajam, seperti seseorang yang tengah membaca teka-teki rumit dan sudah hampir menyelesaikannya. Tak lama, seorang pria mendekat dengan langkah santai. Rambutnya sedikit berantakan, membawa bau tembakau yang samar. Ia menarik kursi dan duduk di hadapannya tanpa banyak basa-basi. “Lama nggak ketemu, Nay,” ucap Arka, menatapnya dengan rasa ingin tahu. “Kalau kamu yang ngajak ketemuan, pasti ada hal besar.” Nayla membuka tasnya, lalu mengeluarkan flashdisk kecil berwarna hitam. Ia meletakkannya di atas meja tanpa suara. “Isi di dalam itu cukup buat menghancurkan Reyhan dan Rania,” katanya datar. Arka mengangkat alis. “Kam