Langit perlahan mulai gelap saat Reyhan memandangi jendela kantornya. Dari lantai paling atas gedung Reyhan Group, lampu-lampu kota terlihat seperti bintang yang jatuh dan yang tebarang ke bumi... terlihat cantik, tapi tak pernah benar-benar bisa disentuh. Seperti Nayla. Ya, Nayla yang sekarang.
Nama itu terus bergema di kepalanya. Suara, wajah, dan sorot mata yang menatapnya pagi tadi…sangat terekam jelas dipikirannya dan tak bisa ia hilangkan. Sorot itu menusuk jauh ke tempat yang sulit dan bahkan tak pernah bisa jangkau. Nayla. Wanita yang pernah ia cintai atau… masih ia cintai? Reyhan sendiri mulai bingung dengan perasaannya sekarang. Kenapa harus sekarang? Ia duduk di kursi kerja yang entah kenapa malam ini terasa terlalu dingin padahal tidak ada celah untuk angin malam masuk. Di atas meja, proposal yang tadi diserahkan Nayla terbuka begitu saja. Data-data tersusun rapi, presentasi tajam, logika keuangan yang presisi. Tidak ada celah untuk mengatakan dia wanita lemah. “Dia berubah,” gumamnya lirih. “Bukan cuma penampilannya. Tapi auranya… caranya berjalan… caranya bicara, itu semua sudah tak ku kenali lagi” Dulu, Nayla selalu lembut. Bahkan saat Reyhan mulai menjauh, mulai bersikap dingin, Nayla tetap mencoba bertahan. Wanita itu menangis dalam diam. Memeluknya meski ia membeku. Mencintai meski ia tak lagi memberi ruang. Dan kini, Nayla kembali—bukan untuk merebut hatinya, tapi justru seakan menunjukkan bahwa ia sudah tak butuh Reyhan lagi. Reyhan menenggak kopinya yang sudah dingin. Pahit. Sama seperti rasa bersalah yang mulai mengendap perlahan di hatinya, entah ini perasaan sesaat karena sekian lama baru bertemu kembali atau kah... entahlah. Ia menatap layar ponsel. Sudah beberapa kali ia membuka kontak lama Nayla, tapi nama itu sudah tak ada. Bahkan akun media sosial Nayla pun lenyap seolah wanita itu menghapus seluruh jejak masa lalu tanpa tersisa. “Kenapa perasaan ini baru muncul? Rasa inii seperti.. rasa kehilangan?” “Padahal aku yang memilih pergi…” Pilihannya pada Rania… mendadak terasa samar. Rania yang ceria, enerjik, dan penuh kejutan, tiba-tiba terasa bising. Sejak pertemuan tadi, segala hal yang dulu terlihat indah, kini tampak seperti ilusi. Sedasyat itu pengaruh Nayla . Rania tak tahu Nayla muncul hari ini. Dan Reyhan belum tahu bagaimana ia akan menjelaskan itu jika saatnya tiba. Perlahan ia mulai bimbang dengan perasaannya. Suara ketukan pintu membuat Reyhan tersentak. Sekretarisnya muncul, membawa dokumen, lalu berkata pelan, “Pak, kalau tidak keberatan… Bu Nayla menjadwalkan meeting lanjutan minggu depan.” Reyhan mengangguk singkat. Tapi pikirannya jauh. Meeting lanjutan? Berarti ia harus bertemu Nayla lagi. Harus duduk berhadapan lagi dengan wanita yang dulu ia hancurkan… dan kini justru membuatnya merasa kecil. “Apa ini balas dendam, Nayla?” “Atau kau benar-benar sudah tak peduli?” Pertanyaan itu menggema di benaknya. Tapi Reyhan tahu satu hal—untuk pertama kalinya sejak memutuskan memilih Rania, ia merasa ragu. Dan rasa ragu itu... adalah awal dari kehancuran yang mungkin sudah Nayla rancang. * * * Denting jam dinding terdengar jelas di ruangan Reyhan yang kini sepi. Tak ada rapat, tak ada suara Rania yang cerewet, tak ada suara apa pun kecuali detak waktu dan ingatan yang mulai menerobos masuk tanpa izin. Tiga tahun lalu... Hari hujan. Hujan yang sama seperti malam ini. Reyhan pulang terlambat. Tubuhnya lelah, kepalanya penuh angka dan negosiasi. Tapi begitu membuka pintu rumah, aroma masakan rumahan langsung menyambutnya. “Kamu belum makan, kan?” suara Nayla menyambut dari dapur. Ia berdiri dengan celemek yang basah karena cipratan kuah sup, rambutnya dikuncir asal, dan wajahnya penuh senyum. Tidak ada raut lelah di wwajahnya. “Aku masak sop kesukaanmu. Ada tahu isi juga, kamu sempat nyebut itu kemarin.” Reyhan hanya mengangguk. Ia duduk di meja makan, menatap makanan yang tersaji, lalu menatap istrinya. Wanita itu selalu ingat hal-hal kecil, selalu peduli, bahkan saat ia sudah jarang memeluknya. “Capek banget hari ini?” tanya Nayla sambil duduk di sebelahnya. Reyhan tak langsung menjawab. Ia hanya mengambil sendok, lalu mulai makan. Dan meski ia tidak bilang, hatinya merasa sedikit lebih tenang. Karena Nayla. Dia selalu bisa membuat ku merasa nyaman dan benar-benar di hargai. Tapi seiring berjalannya waktu, ia mulai kehilangan rasa, semuanya terasa hampa. Bukan karena Nayla berubah. Tapi karena Reyhan yang mulai menutup mata pada semua perhatian kecil itu, ia seolah menutup mata aka semua itu. Ia mulai melihat Nayla sebagai “bagian rumah” semata. Seseorang yang akan selalu ada. Seseorang yang tidak akan pergi. Dan saat itu, Rania datang membawa warna lain, hal baru, pujian yang membuatnya merasa hebat. Ego Reyhan mengira itu cinta. Dan Nayla… jadi korban. “Apa selama bersama ku, kamu bahagia waktu itu, Nay?” bisik Reyhan dalam hati, kembali menatap langit malam dari jendela kantornya, ia terus menerawang ke depan. Ia tahu jawabannya. Nayla tak pernah benar-benar berhenti mencintainya. Tapi ia juga tak pernah diberi ruang untuk bertumbuh. Ia terlalu sering menahan, terlalu sering mengalah, sampai akhirnya ia kehabisan tenaga. Dan malam itu, saat Nayla memergoki perselingkuhannya… Reyhan melihat sesuatu yang mati di mata wanita itu. Cinta. Yang tersisa hanya luka, dan luka itu kini tumbuh menjadi ketegasan yang dingin. Reyhan menyandarkan tubuhnya ke kursi. Rasa sesak di dada mulai menjadi beban nyata. Bukan karena dia kehilangan Nayla tapi karena perlahan ia mulai menyadari… mungkin ia tidak pantas memilikinya lagi. Dan saat ketidakpastian tumbuh di dalam dirinya, ia tahu: Nayla telah berubah. Dan dirinya telah terlalu terlambat. * * * Perlahan Reyhan membuka laptopnya. Jari-jarinya mengetik dengan cepat, mencoba mencari informasi terbaru tentang Nayla. Namun semuanya nihil. Tidak ada jejak, tidak ada foto, tidak ada media sosial. Seolah wanita itu menghilang dari dunia dan baru muncul kembali hari ini, sebagai sosok baru yang jauh lebih kuat. “Apa selama ini dia memang merencanakan untuk kembali?” “Untuk membuatku merasa seperti ini?” pikirnya mulai merasa resah. Reyhan menggertakkan rahangnya. Ada rasa tak nyaman yang mengendap di dada. Dan ketika ia membuka file jadwal perusahaan untuk minggu depan, matanya menangkap sebuah nama: "Meeting: Nayla Rahmadani x Arsen Prasetya – RevTech Indonesia" Alis Reyhan mengerut. Arsen. Pria muda, kompeten, dan berdasarkan kabar terakhir dari timnya tampaknya cukup akrab dengan Nayla di proyek sebelumnya. Akrab… atau lebih? Sesuatu mulai menggelitik egonya. Bukan sekadar penasaran. Tapi cemburu. Perasaan yang dulu tak pernah muncul, bahkan saat ia memutuskan meninggalkan Nayla. Kini tumbuh liar, tak terkendali. “Apa dia sedang dekat dengan pria itu?” “Apa Nayla… sudah melupakan aku sepenuhnya?” “tidak mungkin”. Ia mulai menyangkalnya, hatinya benar-benar tidak menerimanya. Reyhan memejamkan mata. Kepalanya berdenyut. Pertemuan singkat itu mengguncang fondasi yang selama ini ia anggap kuat. Rania, pekerjaannya, keputusannya semua mendadak terasa rapuh. Dan yang paling menyakitkan, ia mulai takut… Nayla benar-benar bisa bahagia tanpa dirinya. * * * Hello, terimakasih sudah membaca aku harap kalian menyukainya💋Pagi itu, kantor Nayla terasa lebih sunyi dari biasanya. Langkah-langkah para staf terdengar seperti gema, seolah seluruh ruangan sedang menahan napas. Nayla berjalan dengan tenang menuju ruang rapat utama, jas hitamnya melambai mengikuti langkah kaki yang mantap. Di tangan kirinya, ia membawa berkas tebal bertuliskan “Rekonsiliasi Data Operasional 3 Tahun Terakhir.” Sebuah dokumen yang tak seharusnya dibuka sembarangan kecuali jika seseorang berniat membuka luka lama dan menggali bangkai yang sudah dikubur dalam-dalam. Di dalam ruangan, para petinggi perusahaan sudah duduk rapi, termasuk dua auditor eksternal yang sengaja didatangkan Nayla secara pribadi tanpa sepengetahuan Reyhan. Begitu Nayla membuka presentasinya, ruangan yang semula tenang berubah menjadi medan sunyi yang penuh ketegangan. “Data yang akan saya paparkan pagi ini tidak hanya berkaitan dengan operasional, tetapi juga... integritas internal perusahaan kita selama tiga tahun terakhir,” ucap Nayla pelan, namun tajam
Langkah Nayla terdengar mantap saat memasuki ruang kerjanya keesokan harinya. Tak ada yang berubah dari penampilannya masih rapi, elegan, dan tak bercela. Tapi auranya… berbeda. Sekretaris yang menyapanya pun merasa ragu sejenak, seolah bisa mencium aroma badai yang dibawa oleh wanita itu. Di balik pintu ruangannya yang tertutup, Nayla duduk. Ia menatap layar laptop dengan tatapan kosong. Tapi pikirannya tidak kosong justru penuh strategi. Satu per satu, kepingan puzzle itu mulai tersusun. Dan kini, dia tahu arah permainan ini. Bukan hanya Rania, bukan hanya Reyhan. Tapi orang-orang di balik mereka. Dan yang paling menyakitkan: semuanya dimulai jauh sebelum dia tahu mereka ada. Ia membuka file dokumen yang Arga kirimkan melalui email bukti-bukti lanjutan. Transkrip pesan, tangkapan layar percakapan, dan informasi rekening. Semuanya mengarah pada satu hal: permainan lama yang menjadikannya pion. "Kamu pikir aku hanya akan menangis di sudut kamar setelah tahu semua ini, Rania? Kamu
Pagi itu, langit tampak bersih. Terlalu bersih, hingga membuat Nayla merasa seperti alam sedang mengejek kekacauan yang selama ini ia simpan di dalam. Tapi ia tidak lagi goyah. Sudah cukup malam yang ia habiskan untuk menangis tanpa suara. Sudah cukup hari-hari di mana dirinya merasa tidak cukup baik. Kini, Nayla berdiri tegak di depan cermin besar di kamarnya. Wajah yang menatap balik padanya bukan lagi wanita yang patah karena cinta. Tapi seorang wanita yang telah melewati badai dan masih berdiri utuh. Ia memakai blouse putih bersih dengan blazer abu terang, rambut diikat rapi, bibirnya diberi sentuhan nude lembut. Elegan. Tenang. Penuh kendali. Pagi ini ia punya pertemuan penting bukan hanya soal proyek kerja sama, tapi juga momen di mana ia akan duduk berdampingan dengan Reyhan dan Rania. Ironisnya, mereka tak tahu bahwa Nayla lah yang menjadi penghubung dua perusahaan itu. Ia yang menentukan apakah kerja sama ini akan berjalan... atau tidak. Dan ia menyukai posisi ini. Bukan
Senja berganti malam tanpa aba-aba, dan gedung-gedung yang menjulang di pusat kota mulai menyala satu per satu seperti barisan lilin dalam gelap. Di lantai tertinggi kantor Arsal Group, Reyhan duduk sendiri di ruang kerjanya. Lampu ruangan tidak ia nyalakan sepenuhnya, hanya cahaya dari jendela dan layar laptop yang menyinari wajahnya yang murung. Ia menatap layar kosong, kursor berkedip-kedip, menanti diketikkan sesuatu. Tapi pikirannya jauh. Terlalu jauh untuk dijangkau oleh urusan kerja. Sudah berhari-hari ini, wajah Nayla muncul di sela-sela waktunya yang sunyi. Diam-diam, tiba-tiba, tanpa permisi. Wajah itu... tidak lagi penuh luka. Tidak juga penuh harap. Wajah itu kini tenang, tapi asing. Dan itu membuat Reyhan gelisah. Dulu, Nayla adalah sosok yang selalu menunggu. Menunggu kabarnya. Menunggu perhatiannya. Menunggu malam pulang lebih awal. Tapi sekarang, ia justru merasa Nayla yang terus berjalan, dan dirinya yang tertinggal. Dan perasaan itu menusuk seperti duri tak kasa
Ruang rapat siang itu dipenuhi suara laptop yang menyala, gesekan pena, dan desahan napas yang berusaha tetap tenang. Nayla duduk di ujung meja panjang, bersebelahan dengan tim internal yang sudah ia kenal, tapi di seberangnya kini duduk dua orang yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari yang ia harapkan.Reyhan. Dengan kemeja biru gelap dan tatapan tenang yang dulu pernah membuat Nayla jatuh. Kini, mata itu terasa seperti dinding batu. Kaku. Dingin. Tapi tidak bisa ia abaikan.Dan Rania. Duduk di sisi Reyhan dengan senyum tipisnya yang menyebalkan. Sikapnya masih angkuh, tapi kali ini lebih hati-hati. Seperti wanita yang tahu bahwa sesuatu telah berubah. Bahwa Nayla bukan lagi sekadar masa lalu yang bisa disingkirkan dengan mudah.Lalu ada Arga. Duduk di samping Nayla, dengan sikap profesional yang tak bercela. Tapi sesekali, Nayla menangkap sorot khawatir di matanya—sorot yang hanya bisa dimiliki seseorang yang benar-benar peduli.Diskusi dimulai. Nayla menyampaikan progres
Gedung itu tak berubah. Aroma ruangan yang steril, lantai marmer yang mengilap, dan senyum-senyum palsu dari para karyawan yang berpapasan. Tapi kali ini, ada satu hal yang berbeda—Nayla sudah tak lagi merasa kecil. Langkahnya terhenti saat pintu ruang rapat terbuka. Seseorang melangkah keluar dengan suara hak tinggi berderak pelan. Gaun midi biru laut yang elegan membalut tubuhnya sempurna. Rambut panjang terurai. Wajahnya bersih dan riasannya halus. Namun, matanya—tetap sama: menilai, meremehkan, dan menusuk dalam diam. Rania. Untuk sesaat, dunia terasa membisu. Mereka berdiri hanya beberapa meter, berhadapan, tapi tak satu kata pun keluar. Waktu seolah mengulur napasnya, mempermainkan denyut jantung Nayla yang entah kenapa terasa lebih cepat. Tapi ia berdiri tegak, dagu terangkat sedikit—tanda bahwa ia tak akan jatuh lagi hanya karena wanita ini. Rania tersenyum, sebuah senyum yang begitu manis... tapi pahit bagi yang tahu siapa dia sebenarnya. "Aku dengar kamu akan kerja bar