Langit Jakarta malam itu seperti ikut menangis bersamanya. Hujan turun deras, membasahi jalanan dan kaca mobil Nayla yang diparkir diam di depan sebuah restoran mewah. Tangannya gemetar, napasnya sesak. Di genggamannya, ada sebuket bunga mawar putih yang tadi dibelinya dengan hati berdebar.
Malam ini ulang tahun pernikahan mereka yang ketujuh. Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar. Nayla sengaja berdandan cantik, mengenakan gaun biru navy kesukaan Reyhan, berharap suaminya akan tersenyum saat melihatnya datang dengan kejutan. Ia tak menyangka, malam itu justru akan menjadi titik balik hidupnya. Melalui kaca mobil, ia menyaksikan sesuatu yang menghancurkan seluruh dunianya. Reyhan. Suaminya. Duduk bersama seorang wanita di meja pojok restoran. Mereka tertawa—tertawa yang tak pernah Nayla lihat lagi sejak dua tahun terakhir. Tapi bukan itu yang membuatnya nyaris pingsan. Melainkan cara Reyhan menggenggam tangan wanita itu… dan mencium punggungnya dengan penuh kelembutan. Wanita itu—Rania. Sahabatnya sejak SMA. Wanita yang ia percaya, yang ia peluk saat hancur, yang ia ajak curhat tentang retaknya rumah tangganya sendiri. Air mata Nayla jatuh tanpa bisa dibendung. Mawar putih di tangannya perlahan jatuh ke lantai mobil. Bunga itu hancur seperti hatinya malam itu. Seketika, dunia menjadi sunyi. Tak ada suara. Tak ada hujan. Hanya satu yang tersisa dalam pikirannya: pengkhianatan. Ia membuka pintu mobil dengan tangan gemetar. Kakinya melangkah perlahan. Ia ingin menampar mereka. Ia ingin berteriak. Tapi ketika ia sampai di depan meja itu, hanya satu kalimat yang keluar dari bibirnya, lirih dan nyaris patah. "Selamat ulang tahun pernikahan, Reyhan… Sayangnya, aku yang salah datang." Reyhan terbelalak. Rania pucat pasi. Nayla tersenyum—senyum pahit yang hanya bisa dimengerti oleh orang yang kehilangan segalanya dalam satu malam. Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik. Meninggalkan mereka. Meninggalkan segalanya. Tapi malam itu, saat hujan masih turun deras dan gaunnya basah oleh air mata serta amarah, Nayla bersumpah satu hal dalam hatinya: “Kalian menghancurkanku... Tapi aku akan kembali. Dan saat aku kembali, aku pastikan kalian tahu rasanya diinjak seperti aku malam ini.” * * * Langkah Nayla terpatah-patah ketika keluar dari restoran. Gaunnya berat oleh air hujan, tapi ia tidak peduli. Jalanan tampak kabur oleh air mata, namun ia terus melangkah. Di balik punggungnya, Reyhan memanggil samar—tapi Nayla tak lagi mengenali suara itu. Suara itu... bukan lagi suara suaminya. Itu suara pengkhianat. Ia membuka pintu mobil dengan kasar dan membantingnya begitu masuk. Kedua tangannya memukul-mukul setir, menggigit bibir kuat-kuat agar tidak menjerit. Tapi tangisnya akhirnya pecah, tumpah ruah bersama setiap luka yang selama ini ia tahan. “Kenapa...?” “Kurang apa aku, Reyhan…?” “Apa aku selama ini hanya pelengkap status?” Nayla meremas dadanya sendiri. Sakitnya bukan hanya di hati—tapi seakan menusuk sampai ke tulang. Ia memandang bayangannya sendiri di kaca spion. Matanya bengkak, makeup-nya luntur, rambutnya kusut oleh hujan. Lalu… semuanya mulai terputar dalam pikirannya. Tujuh tahun pernikahan Tujuh tahun penuh kesabaran. Reyhan yang dulu penuh janji—janji sederhana seperti “aku takkan pernah menyakitimu”. Tapi apa yang terjadi? Lima tahun pertama mereka masih tampak baik-baik saja, meski tanpa anak. Lalu sejak dua tahun lalu, Reyhan mulai berubah: pulang larut, lebih sering marah, bahkan tidur terpisah. Nayla mencoba memahami, mencoba bertahan. Ia bahkan menyalahkan dirinya sendiri. Dan sekarang, ternyata alasannya sesederhana itu. Wanita lain. Dan yang paling menyakitkan—wanita itu Rania. Rania yang dulu menyeka air matanya saat Reyhan mulai bersikap dingin. Rania yang selalu tahu jika Nayla bertengkar dengan suaminya. Ternyata, ia bukan sekadar sahabat... tapi juga perusak rumah tangga. "Aku yang bodoh," gumam Nayla sambil menyalakan mesin mobil. Mobil melaju dalam hujan, membawa Nayla ke arah yang belum jelas. Ia tak tahu ke mana akan pergi malam itu. Tapi satu hal ia tahu pasti—ia takkan kembali ke rumah itu. Rumah tempat Reyhan dan Rania mungkin sudah merencanakan segalanya. Di tengah derasnya hujan dan suara wiper mobil yang berdetak monoton, Nayla menghubungi seseorang. “Halo… Ma, aku boleh pulang malam ini?” Suara ibunya terdengar kaget di seberang. “Nak? Kamu kenapa? Kamu baik-baik saja?” Nayla menggigit bibir, menahan tangis yang kembali menggumpal. “Aku cuma... capek, Ma. Aku cuma ingin tidur di tempat yang benar-benar aman malam ini…” Dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Nayla akhirnya membiarkan dirinya rapuh. Ia tak tahu apa yang akan terjadi besok. Tapi malam ini, dia hanya ingin menangis sampai tertidur. Besok, ia akan mulai kembali berdiri. Besok... balas dendamnya akan dimulai.Pagi itu, kantor Nayla terasa lebih sunyi dari biasanya. Langkah-langkah para staf terdengar seperti gema, seolah seluruh ruangan sedang menahan napas. Nayla berjalan dengan tenang menuju ruang rapat utama, jas hitamnya melambai mengikuti langkah kaki yang mantap. Di tangan kirinya, ia membawa berkas tebal bertuliskan “Rekonsiliasi Data Operasional 3 Tahun Terakhir.” Sebuah dokumen yang tak seharusnya dibuka sembarangan kecuali jika seseorang berniat membuka luka lama dan menggali bangkai yang sudah dikubur dalam-dalam. Di dalam ruangan, para petinggi perusahaan sudah duduk rapi, termasuk dua auditor eksternal yang sengaja didatangkan Nayla secara pribadi tanpa sepengetahuan Reyhan. Begitu Nayla membuka presentasinya, ruangan yang semula tenang berubah menjadi medan sunyi yang penuh ketegangan. “Data yang akan saya paparkan pagi ini tidak hanya berkaitan dengan operasional, tetapi juga... integritas internal perusahaan kita selama tiga tahun terakhir,” ucap Nayla pelan, namun tajam
Langkah Nayla terdengar mantap saat memasuki ruang kerjanya keesokan harinya. Tak ada yang berubah dari penampilannya masih rapi, elegan, dan tak bercela. Tapi auranya… berbeda. Sekretaris yang menyapanya pun merasa ragu sejenak, seolah bisa mencium aroma badai yang dibawa oleh wanita itu. Di balik pintu ruangannya yang tertutup, Nayla duduk. Ia menatap layar laptop dengan tatapan kosong. Tapi pikirannya tidak kosong justru penuh strategi. Satu per satu, kepingan puzzle itu mulai tersusun. Dan kini, dia tahu arah permainan ini. Bukan hanya Rania, bukan hanya Reyhan. Tapi orang-orang di balik mereka. Dan yang paling menyakitkan: semuanya dimulai jauh sebelum dia tahu mereka ada. Ia membuka file dokumen yang Arga kirimkan melalui email bukti-bukti lanjutan. Transkrip pesan, tangkapan layar percakapan, dan informasi rekening. Semuanya mengarah pada satu hal: permainan lama yang menjadikannya pion. "Kamu pikir aku hanya akan menangis di sudut kamar setelah tahu semua ini, Rania? Kamu
Pagi itu, langit tampak bersih. Terlalu bersih, hingga membuat Nayla merasa seperti alam sedang mengejek kekacauan yang selama ini ia simpan di dalam. Tapi ia tidak lagi goyah. Sudah cukup malam yang ia habiskan untuk menangis tanpa suara. Sudah cukup hari-hari di mana dirinya merasa tidak cukup baik. Kini, Nayla berdiri tegak di depan cermin besar di kamarnya. Wajah yang menatap balik padanya bukan lagi wanita yang patah karena cinta. Tapi seorang wanita yang telah melewati badai dan masih berdiri utuh. Ia memakai blouse putih bersih dengan blazer abu terang, rambut diikat rapi, bibirnya diberi sentuhan nude lembut. Elegan. Tenang. Penuh kendali. Pagi ini ia punya pertemuan penting bukan hanya soal proyek kerja sama, tapi juga momen di mana ia akan duduk berdampingan dengan Reyhan dan Rania. Ironisnya, mereka tak tahu bahwa Nayla lah yang menjadi penghubung dua perusahaan itu. Ia yang menentukan apakah kerja sama ini akan berjalan... atau tidak. Dan ia menyukai posisi ini. Bukan
Senja berganti malam tanpa aba-aba, dan gedung-gedung yang menjulang di pusat kota mulai menyala satu per satu seperti barisan lilin dalam gelap. Di lantai tertinggi kantor Arsal Group, Reyhan duduk sendiri di ruang kerjanya. Lampu ruangan tidak ia nyalakan sepenuhnya, hanya cahaya dari jendela dan layar laptop yang menyinari wajahnya yang murung. Ia menatap layar kosong, kursor berkedip-kedip, menanti diketikkan sesuatu. Tapi pikirannya jauh. Terlalu jauh untuk dijangkau oleh urusan kerja. Sudah berhari-hari ini, wajah Nayla muncul di sela-sela waktunya yang sunyi. Diam-diam, tiba-tiba, tanpa permisi. Wajah itu... tidak lagi penuh luka. Tidak juga penuh harap. Wajah itu kini tenang, tapi asing. Dan itu membuat Reyhan gelisah. Dulu, Nayla adalah sosok yang selalu menunggu. Menunggu kabarnya. Menunggu perhatiannya. Menunggu malam pulang lebih awal. Tapi sekarang, ia justru merasa Nayla yang terus berjalan, dan dirinya yang tertinggal. Dan perasaan itu menusuk seperti duri tak kasa
Ruang rapat siang itu dipenuhi suara laptop yang menyala, gesekan pena, dan desahan napas yang berusaha tetap tenang. Nayla duduk di ujung meja panjang, bersebelahan dengan tim internal yang sudah ia kenal, tapi di seberangnya kini duduk dua orang yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari yang ia harapkan.Reyhan. Dengan kemeja biru gelap dan tatapan tenang yang dulu pernah membuat Nayla jatuh. Kini, mata itu terasa seperti dinding batu. Kaku. Dingin. Tapi tidak bisa ia abaikan.Dan Rania. Duduk di sisi Reyhan dengan senyum tipisnya yang menyebalkan. Sikapnya masih angkuh, tapi kali ini lebih hati-hati. Seperti wanita yang tahu bahwa sesuatu telah berubah. Bahwa Nayla bukan lagi sekadar masa lalu yang bisa disingkirkan dengan mudah.Lalu ada Arga. Duduk di samping Nayla, dengan sikap profesional yang tak bercela. Tapi sesekali, Nayla menangkap sorot khawatir di matanya—sorot yang hanya bisa dimiliki seseorang yang benar-benar peduli.Diskusi dimulai. Nayla menyampaikan progres
Gedung itu tak berubah. Aroma ruangan yang steril, lantai marmer yang mengilap, dan senyum-senyum palsu dari para karyawan yang berpapasan. Tapi kali ini, ada satu hal yang berbeda—Nayla sudah tak lagi merasa kecil. Langkahnya terhenti saat pintu ruang rapat terbuka. Seseorang melangkah keluar dengan suara hak tinggi berderak pelan. Gaun midi biru laut yang elegan membalut tubuhnya sempurna. Rambut panjang terurai. Wajahnya bersih dan riasannya halus. Namun, matanya—tetap sama: menilai, meremehkan, dan menusuk dalam diam. Rania. Untuk sesaat, dunia terasa membisu. Mereka berdiri hanya beberapa meter, berhadapan, tapi tak satu kata pun keluar. Waktu seolah mengulur napasnya, mempermainkan denyut jantung Nayla yang entah kenapa terasa lebih cepat. Tapi ia berdiri tegak, dagu terangkat sedikit—tanda bahwa ia tak akan jatuh lagi hanya karena wanita ini. Rania tersenyum, sebuah senyum yang begitu manis... tapi pahit bagi yang tahu siapa dia sebenarnya. "Aku dengar kamu akan kerja bar