Nayla memandangi layar laptopnya yang menyala di tengah malam. Beberapa data proyek terpampang di sana, namun fokusnya tidak benar-benar di situ. Tangannya tetap mengetik, tetapi pikirannya melayang entah ke mana.
Sudah beberapa hari sejak ia kembali bertatap muka dengan Reyhan. Pria yang pernah menjadi segalanya dan sekaligus menghancurkan semuanya. Tapi kali ini… Nayla tidak merasakan getar itu lagi. Atau… dia hanya tak mengizinkan dirinya merasakannya. Ia bersandar di kursinya, menghela napas panjang. Satu hal yang tidak banyak orang tahu tentang Nayla: ia tidak mudah membenci. Bahkan orang yang menyakitinya sekalipun. Tapi bukan berarti ia ingin kembali. “Dendamku bukan tentang balas sakit,” bisiknya pada diri sendiri. “Tapi tentang menunjukkan… bahwa aku bisa hidup tanpamu, Rey.” Nayla bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela apartemennya. Hujan rintik-rintik mulai turun, menyapu kaca dengan lembut. Seperti malam itu malam ketika Reyhan meninggalkannya. “Kamu terlalu tenang, Nay,” suara Reyhan dulu terngiang jelas. “Aku butuh seseorang yang bisa bikin hidupku lebih… hidup.” Lucu. Sekarang, Nayla adalah orang yang paling hidup dalam diamnya. Sementara Reyhan? Baru tersadar bahwa kebebasan yang ia kejar, tak pernah benar-benar membuatnya utuh. Nayla mengangkat ponselnya. Ada notifikasi dari perusahaan: Proyek akan berlanjut ke tahap negosiasi akhir. Dan itu berarti ia akan semakin sering bertemu Reyhan. Tapi berbeda dengan dulu, kini Nayla tidak goyah. “Kalau dia pikir aku akan jatuh lagi, dia keliru.” Wajah Reyhan terlintas di pikirannya. Tatapan pria itu saat melihatnya kemarin bukan tatapan orang yang bahagia. Tapi tatapan orang yang sedang dihantui keputusan masa lalu. Dan Nayla tahu satu hal yang pasti: Ia tak akan lagi jadi pilihan kedua. Ia kembali ke meja, menuliskan sesuatu di buku kecilnya hal yang selalu ia lakukan sejak Reyhan meninggalkannya dulu. Tapi malam ini, ia menulis dengan tangan yang tidak gemetar. “Dendamku bukan tentang membalas. Tapi tentang membiarkanmu menonton aku menjadi lebih dari yang pernah kamu bayangkan.” Dan dengan senyum tenang, Nayla menutup bukunya. Malam ini, ia tak lagi memikirkan Reyhan sebagai cinta lamanya. Malam ini, ia mulai melihat Reyhan hanya sebagai luka lama yang tak perlu dijahit ulang. Cukup dibiarkan sembuh… dan ditinggalkan. * * * Nayla duduk di tepi ranjangnya, menatap bayangan samar wajahnya sendiri di cermin. Rambutnya terurai seadanya, dan matanya tampak lelah meski tak berair. Sejak kecil, ia terbiasa menyimpan segala perasaan sendiri. Bukan karena ingin terlihat kuat tapi karena sudah terlalu sering kecewa ketika orang lain tak tahu cara menjaga perasaannya. Cinta pertama Nayla adalah Reyhan. Cinta yang dulu ia kira akan menjadi rumah. Nyaman, hangat, dan melindungi. Nyatanya, rumah itu dibangun di atas tanah yang Reyhan tinggalkan tanpa peringatan. "Aku gak cukup menarik buat kamu, Rey?" "Atau aku terlalu mudah untuk kamu tinggalkan?" Pertanyaan-pertanyaan itu sempat menjadi nyanyian menyakitkan di pikirannya setiap malam. Tapi itu dulu. Sebelum ia belajar bahwa jawaban atas semua luka, bukan datang dari orang yang melukai melainkan dari dirinya sendiri. Hari-hari Nayla kini tak lagi diisi dengan menunggu kabar dari seseorang. Ia tak lagi membuka ponselnya dengan harap, tak lagi terpaku pada suara notifikasi yang dulu membuat jantungnya berdebar. Sekarang, ia bangun setiap pagi dengan satu tujuan: membuktikan bahwa ia tetap bisa berjalan, bahkan saat orang yang ia percayai pergi. Hidup Nayla berubah sejak kepergian Reyhan. Namun perubahan itu tidak menjadikannya pahit. Ia tumbuh. Ia belajar. Ia memperbaiki caranya mencintai terutama mencintai dirinya sendiri. Di meja kerjanya, ada banyak memo dan catatan kecil. Target mingguan, daftar proyek, bahkan rencana kecil untuk membuka bisnis sendiri. Ia tak menunggu diselamatkan oleh siapa pun. Nayla adalah tipe perempuan yang diam-diam membangun benteng sambil dunia mengira ia masih berkabung. "Kamu gak bisa hancurin aku dua kali, Rey." Itulah mantranya. Bukan untuk membenci, tapi untuk mengingatkan diri sendiri: ia bukan korban, ia adalah penyintas. Angin malam meniup lembut gorden tipis di jendelanya. Di luar, lampu-lampu kota terus menyala, seakan berkata bahwa hidup tak akan berhenti hanya karena hati seseorang pernah patah. Dan Nayla? Ia menatap ke depan. Esok pagi, ia akan kembali bertemu Reyhan dalam sebuah ruang rapat yang penuh tekanan. Tapi kali ini, tidak ada hati yang bergetar. Tidak ada senyum yang ingin disembunyikan. Hanya ada Nayla versi dirinya yang baru. Lebih tenang. Lebih tajam. Dan yang paling penting: tak lagi menoleh ke belakang. * * * Pagi menyelinap perlahan lewat celah tirai kamarnya, membawa cahaya keemasan yang lembut. Nayla masih terjaga, matanya memandangi langit-langit kamar seperti sudah menyatu dengan diam. Tak banyak yang tahu bahwa malam-malam Nayla sering kali berlalu tanpa tidur. Bukan karena memikirkan cinta yang lalu, tapi karena ia terus memikirkan bagaimana caranya menciptakan hidup yang tak lagi membuatnya bergantung pada siapa pun. Ia bangkit pelan dari tempat tidur, menyeduh kopi hitam yang pahit seperti kenangan itu. Saat aroma kopi memenuhi ruang apartemennya, Nayla berjalan ke meja kerja di sudut ruangan. Di atasnya, tumpukan dokumen dan proposal bisnis menanti untuk dipelajari. Rutinitas adalah caranya bertahan. Setiap jadwal yang padat, setiap angka dan data yang harus ia telaah, adalah bentuk perlawanan terhadap kekosongan yang dulu sempat menggerogoti. Ia mengisi waktunya dengan hal-hal nyata pekerjaan, rencana, dan mimpinya sendiri. “Aku dulu berpikir bahagia itu artinya bersama orang yang dicintai,” tulisnya dalam buku catatannya. “Ternyata, bahagia juga bisa berarti… gak perlu takut ditinggalkan.” Nayla masih ingat betul sore itu. Sore terakhir bersama Reyhan. Saat pria itu menatapnya dengan pandangan bersalah, tapi tanpa usaha mempertahankan. Tak ada pelukan perpisahan. Tak ada air mata. Hanya kalimat singkat yang menyayat. “Maaf, Nay… aku gak bisa terus sama kamu.” Dan begitu saja, Reyhan pergi. Seperti seseorang yang menjatuhkan gelas dari tangannya lalu berpaling, tak pernah melihat bagaimana pecahannya menusuk telapak kaki orang lain. Namun waktu, dengan caranya yang diam-diam kejam, menyembuhkan luka itu. Bukan karena rasa sakitnya hilang, tapi karena Nayla memilih untuk tidak lagi menoleh. Hari itu Nayla bersiap ke kantor lebih awal. Ia mengenakan setelan blazer berwarna navy yang membingkai tubuhnya dengan elegan. Riasan wajahnya tipis, tapi cukup menegaskan garis matanya yang tajam dan percaya diri. Dulu ia tak pernah peduli penampilan. Tapi sekarang, setiap langkah, setiap pilihan busana, adalah bagian dari narasi baru yang ia ciptakan. Nayla yang dulu mencintai dengan seluruh hati. Nayla yang sekarang mencintai dengan penuh batas dan logika. Di dalam mobil menuju kantor, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari sekretaris perusahaan: “Hari ini meeting pukul 10.00 dengan pihak Reyhan & Co. Sudah dikonfirmasi.” Nayla hanya menatap layar sejenak, lalu meletakkan kembali ponsel itu. Tidak ada gelisah. Tidak ada jantung yang berdebar. Ia hanya menarik napas, dan berkata dalam hati: “Biarkan dia melihat siapa yang dia tinggalkan.” Sampai di kantor, semua terasa seperti biasa. Namun rekan-rekannya mulai memperhatikan satu hal: Nayla semakin berbeda. Bukan karena ia lebih dingin, tapi karena ia lebih utuh. Tidak ada lagi senyum basa-basi. Tidak ada lagi tawa untuk menyenangkan orang lain. Ia berbicara seperlunya, bekerja sepenuhnya. Saat langkah kakinya menyusuri koridor menuju ruang rapat, beberapa mata tertuju padanya. Ada yang tak bisa dijelaskan dari caranya membawa diri tenang, tapi kuat. Seperti badai yang memilih diam. Ia masuk ke ruang rapat lima menit sebelum waktu dimulai. Membuka laptop, mempersiapkan bahan presentasi, dan duduk tegak dengan tenang. Dan ketika pintu ruang rapat terbuka... Suara langkah itu begitu dikenalnya. Wajah yang kini terlihat lebih letih dari terakhir kali mereka bertemu. Reyhan. Pandangan mereka bertemu. Tapi hanya satu orang yang tampak goyah. Dan itu bukan Nayla. * * * Hello, selamat membaca 💋 semoga suka yaaaa🫶🏼Langkah Reyhan terdengar mantap menyusuri koridor kantor yang mulai sepi. Setelah berhari-hari terpuruk dalam kubangan rasa bersalah dan pengkhianatan, hari ini ia kembali berdiri tegak. Jas hitamnya kembali rapi, kemejanya tanpa kerut. Tapi satu hal yang tak bisa ia rapikan adalah pikirannya, berantakan dan selalu siaga.Namun, ada sesuatu yang berubah. Bukan hanya di dirinya, tapi di sekelilingnya. Udara terasa lebih berat, dan langkah orang-orang di sekitarnya tak lagi terdengar seperti biasanya. Ada jarak, ada bisik-bisik yang tak terdengar, namun terasa. Reyhan bukan pria mudah goyah, tapi nalurinya bicara lain: ada sesuatu yang salah.Seseorang memperhatikannya. Ia yakin.Bukan Nayla. Bukan Rania. Tapi sosok lain. Sosok yang mungkin tahu lebih banyak daripada seharusnya. Sosok yang bersembunyi di balik topeng tenang, menunggu momen yang tepat untuk mencabik-cabik sisa harga dirinya.Reyhan membuka pintu ruangannya, lalu menutupnya perlahan. Ia berdiri diam di tengah ruangan, men
Reyhan duduk sendiri di ruang kerja, memandangi layar laptop yang sudah menyala sejak pagi. Namun pikirannya tidak benar-benar ada di sana. Tangannya sibuk menggulirkan dokumen tanpa membaca isinya. Bayangan Nayla pagi tadi masih melekat jelas di kepalanya sikapnya, ucapannya, senyumnya yang nyaris menyindir.Dulu, Nayla adalah bagian dari zona nyamannya. Seseorang yang bisa ia kendalikan, yang selalu memaafkan, bahkan untuk luka-luka yang tak seharusnya ia torehkan. Tapi kini, Nayla tidak lagi berada di tempat yang sama. Ia tidak lagi menjadi wanita yang bisa Reyhan tebak atau arahkan sesuka hati.Dan itu menakutinya.Tapi di balik ketakutan itu, sesuatu yang lain mulai tumbuh amarah. Bukan amarah yang meledak, tapi yang sunyi, membentuk lapisan pelindung yang selama ini Reyhan kubur dalam-dalam. Ia bukan pria lemah. Ia bukan seseorang yang akan duduk diam menunggu semua hancur.Ia menarik napas dalam, lalu membuka berkas lama dari folder tersembunyi di laptopnya. File itu berisi cat
Malam telah lewat jauh, tapi mata Nayla tetap terbuka. Lampu kamar sengaja dibiarkan mati, menyisakan cahaya remang dari luar jendela yang menyelinap melalui celah gorden. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya sendiri, dan menatap kosong ke dinding seakan mencari makna dari semua luka yang tak pernah sempat ia torehkan. Dulu, Nayla adalah perempuan yang takut kehilangan. Ia selalu menahan, selalu memaafkan, selalu berpikir bahwa diam adalah bentuk kesabaran yang mulia. Tapi sekarang... diam yang ia pilih bukan lagi bentuk tunduk melainkan strategi. Suara langkah kaki Reyhan di bawah terdengar samar. Sejak beberapa hari terakhir, suaminya itu mulai gelisah. Ia bisa merasakannya. Nafas Reyhan tak lagi teratur, tatapannya seperti orang yang terus dihantui bayangan sendiri. Dan Nayla tahu, ketakutan itu tidak datang dari rasa bersalah tetapi dari rasa takut kehilangan kekuasaan. Ia berdiri perlahan, membuka laci kecil di meja samping tempat tidur. Di sana ada satu benda yang telah
Reyhan menatap layar komputernya, tetapi fokusnya buyar. Angka-angka di laporan bulanan yang biasanya bisa ia telan dalam sepuluh menit kini seperti simbol-simbol asing yang menertawakannya. Ada sesuatu yang tak beres. Dan yang lebih membuatnya muak, ia tak tahu dari mana datangnya. Satu minggu terakhir, proyek yang biasanya berjalan lancar tiba-tiba menghadapi gangguan. Pihak pengawas meminta dokumen tambahan yang tak pernah diminta sebelumnya. Beberapa kontrak ditunda penandatangannya dengan alasan administratif. Bahkan salah satu rekan bisnisnya, William, terlihat canggung saat bertemu Reyhan seperti menyembunyikan sesuatu. Reyhan mengernyit, tangannya mengusap dagu yang mulai ditumbuhi jenggot tipis. Ia menyadari bahwa setiap langkah yang ia ambil belakangan ini seperti diawasi. Seolah ada mata tak terlihat yang mengikuti setiap geraknya, mencatat, dan menunggu saat tepat untuk menyerang. Ia mencoba mengabaikan itu semua, mencoba tetap tenang. Tapi ketenangan itu mulai retak ke
Fajar baru menyapu langit Jakarta, tapi Nayla belum tidur sedikit pun. Di dalam apartemen yang sunyi, ia duduk tegak dengan laptop terbuka di hadapannya. Kopi hitam dingin di meja tak tersentuh. Matanya fokus, tajam, penuh perhitungan. Semua file yang ia dapat dari Tiara sudah tersusun rapi. Foto, video, percakapan yang direkam, dan bukti transfer ke rekening atas nama Rania. Langkah pertamanya bukan ledakan besar. Nayla tahu, permainan mereka selama ini rapi dan penuh kehati-hatian. Maka balasannya pun harus lebih rapi. Ia bukan gadis polos yang dulu mudah diombang-ambingkan cinta dan janji manis. Ia adalah Nayla yang baru dingin, terencana, dan sabar menunggu waktu. Dengan teliti, ia membuat akun anonim. Di akun itu, ia mulai menyusun cerita. Bukan fitnah. Tapi kebenaran, dilapisi fakta. Perlahan, satu per satu konten ia unggah dengan tajuk “Di Balik Pernikahan Reyhan Aditya.” Belum banyak yang membaca, tapi Nayla tak peduli. Ia bukan ingin viral. Ia hanya ingin nama itu mulai
Nayla berdiri di ambang pintu sebuah kafe tua yang sudah lama tak ia kunjungi. Tempat ini menyimpan banyak kenangan bersama Rania dan… Tiara. Wangi kopi hitam dan suara hujan yang menetes pelan di luar jendela kaca membuat waktu seolah melambat. Duduk di sudut ruangan, seorang wanita dengan syal abu-abu dan tatapan tajam menunggu. Mata mereka bertemu, dan seketika itu pula Nayla tahu tebakannya benar. Tiara. “Sudah lama, Nay,” ucap Tiara pelan, namun cukup untuk membuat seluruh ruang terasa tegang. Nayla duduk perlahan, mencoba menyusun kata, tapi Tiara lebih dulu berbicara. “Aku nggak nyari pembenaran. Tapi kamu harus tahu siapa yang sebenarnya berdiri di belakang semua ini. Bukan cuma Reyhan. Bukan cuma Rania.” Hening. Bahkan detak jam di dinding seakan menunggu. “Aku disingkirkan karena aku tahu terlalu banyak,” lanjut Tiara. “Rania bukan sahabat biasa. Dia licik. Dia nggak pernah menginginkan kamu di sisinya sejak awal. Dan Reyhan? Dia cuma boneka yang terlalu takut kehilanga