Rania menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah yang biasanya penuh keangkuhan dan percaya diri kini tampak cemas. Ia merapikan riasan tipis di wajahnya, namun tak bisa menyembunyikan sorot mata yang terus mengamati setiap perubahan dalam diri Reyhan akhir-akhir ini.
Dua hari terakhir, pria itu… berbeda, sangat berbeada. Lebih diam, lebih banyak termenung, dan yang paling terasa yaita terasa jauh walauapun sosoknya di depan mata. Reyhan biasanya selalu mengirim pesan setiap pagi, entah hanya sekadar “hati-hati di jalan” atau “sarapan dulu.” Tapi dua hari ini? Hening. Bahkan saat mereka bertemu, Reyhan lebih sering menatap kosong ke layar ponsel, seolah pikirannya tak sepenuhnya ada di hadapannya, ia sudah seperti seseorang yang sulit di gapai. Dan yang membuat Rania benar-benar merasa tidak nyaman adalah… tatapan Reyhan. Bukan benci, bukan marah. Tapi…entahlah ini seperti suatu kesalahan. “Apa ada sesuatu yang terjadi di kantor?” pikir Rania mulai menebak-nebak Ia mencoba menenangkan diri, dan berusaha menepis pikiran negatif. Tapi tetap saja, rasa tidak tenang itu menggantung seakan menghantui pikirannya. Terlebih saat ia melihat catatan rapat Reyhan pagi tadi. Ada satu nama yang begitu familiar dan terlihat tak asing, yang dulu hanya dibisikkan dalam pertengkaran samar… Nayla. Rania duduk bersandar di sofa apartemennya, memeluk bantal kecil sambil merenung dan mencoba menata pikirannya. “Mustahil… Reyhan sudah melupakan wanita itu. Bukankah dia memilih aku? Bukankah dia bilang Nayla terlalu membosankan?” Tapi apa benar begitu? Apa yang dia ucapkan adalah perkataan dari hatinya? Karena sekarang, Rania merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan sejak bersama Reyhan: takut kalah, takut ditinggalakan, takut di abaykan dan... terlalu banyak takut yang iya rasakan saat ini. Selama ini, ia selalu merasa di atas angin. Ia wanita yang menyenangkan, penuh kejutan, dan selalu tahu bagaimana membuat Reyhan tertawa. Tapi kini… tak ada lagi tawa. Tak ada lagi pelukan hangat mendadak. Tak ada lagi lirikan manja Reyhan dari seberang ruangan. Semua berubah sejak… nama itu kembali muncul. Rania mengambil ponselnya, membuka akun media sosial, lalu mulai menelusuri jejak. “Kalau benar Nayla kembali, aku harus tahu seberapa berbahayanya dia sekarang.” Namun yang ia temukan justru mengejutkan. Nayla tak punya jejak digital. Tidak ada unggahan, tidak ada aktivitas. Semuanya bersih. Terlalu bersih dan itu membuat Rania makin tidak tenang. “Apa dia sengaja? Apa dia sedang menyusun sesuatu di balik diamnya?” Dan untuk pertama kalinya sejak memenangkan hati Reyhan, Rania merasa tak punya kendali. Di benaknya, pertanyaan-pertanyaan terus berputar: Apakah Nayla masih mencintai Reyhan? Atau lebih parah… apakah Reyhan mulai mencintai Nayla kembali? Dan jika benar begitu… apa yang bisa Rania lakukan untuk mempertahankannya? * * * Malam semakin larut apartemen Rania malam itu terasa sangat sunyi. Tak ada musik lembut, tak ada aroma lilin wangi yang biasa ia nyalakan. Hanya suara langkah sepatu Reyhan yang baru saja masuk, dan ketegangan di udara yang terasa kental. Rania berdiri di dapur, pura-pura menyibukkan diri dengan gelas wine, sementara matanya terus mengamati Reyhan dari ekor mata. "Kamu datang juga akhirnya," ucapnya pelan. Reyhan hanya mengangguk sambil membuka jas kerjanya. "Maaf, tadi rapatnya molor." "Rapat ya?" Rania menoleh, suaranya tenang tapi mengandung sesuatu yang menggigit. "Atau… kamu cuma butuh waktu untuk berpikir tentang sesuatu yang kamu belum siap aku tahu?" Reyhan mengangkat kepalanya, menatap Rania sebentar. "Maksud kamu?" Rania menaruh gelasnya dengan hati-hati di meja. "Aku cuma penasaran. Kamu berubah, Reyhan. Dua hari ini kamu kayak… bukan kamu." Ia berjalan mendekat, berdiri di hadapan pria itu, lalu menatap matanya dalam-dalam. "Apa ini karena Nayla?" Reyhan menegang, pertanyaan itu telak. Tidak berteriak, tidak dramatis, tapi menohok. "Kamu tahu dia kembali," ucap Rania lagi, kali ini lebih lirih. "Dan aku tahu kamu bertemu dia." Reyhan mengalihkan pandangannya. "Itu cuma urusan pekerjaan." "Dan setelah urusan pekerjaan itu, kamu berubah." "Kamu jadi lebih diam. Lebih jauh. Kamu bahkan tidak menyentuhku sama sekali dua hari ini, Reyhan." Keheningan melanda ruangan itu. Rania tertawa kecil, getir. Ya sudah di duga. "Lucu ya. Aku dulu yang kamu pilih, Rey. Kamu bilang Nayla itu datar, gak nyambung, dan terlalu kaku untuk hidupmu yang cepat. Tapi sekarang… kamu yang diam-diam mulai kehilangan arah setelah ketemu dia lagi." Reyhan memejamkan mata sejenak. "Rania, tolong jangan buat ini jadi lebih rumit." "Aku gak bikin ini rumit," potong Rania, suaranya naik sedikit. "Kamu yang gak jujur sama diri kamu sendiri!" Dia melangkah mundur, emosinya mulai mendidih. "Kamu masih cinta sama dia, ya?" Reyhan tak menjawab. Dan ketiadaan jawaban itu—lebih menyakitkan dari jawaban apa pun. Rania menatap reyhan tidak percaya, pria yang selama ini ia banggakan. Pria yang ia kira bisa ia genggam seutuhnya. Tapi malam ini, untuk pertama kalinya… ia merasa jadi orang ketiga. Sedikit lucu, semua itu sekarang berbalik padanya. "Kalau kamu masih mau dia, Rey… bilang aja. Aku gak akan jadi wanita yang terus mengejar pria yang pikirannya bukan buat aku." Lalu ia masuk ke kamar, meninggalkan Reyhan berdiri sendiri di ruang tamu. Dan Reyhan? Masih diam. Masih terguncang. Karena untuk pertama kalinya, ia sadar Rania membaca hatinya lebih jujur daripada dirinya sendiri. * * * Reyhan masih berdiri di ruang tamu. Lampu yang temaram membuat bayangannya membentang panjang di lantai, seolah menjadi saksi betapa berat pikirannya malam itu. Pintu kamar tertutup di belakang Rania, tapi gaung kata-katanya masih menggema di kepala Reyhan. “Kalau kamu masih mau dia, Rey… bilang aja.” Reyhan mengusap wajah kasar dengan kedua tangan. Napasnya berat, matanya merah. Selama ini ia percaya bahwa ia sudah membuat pilihan terbaik. Bahwa meninggalkan Nayla dan bersama Rania adalah keputusan yang logis praktis, dan tanpa beban emosional. Tapi ternyata... yang praktis tidak selalu berarti selesai. Ia berjalan ke balkon apartemen, menatap gemerlap lampu kota yang seperti tak pernah tidur. Dari tempat itu, ia biasa menemukan ketenangan. Tapi malam ini, yang datang hanya keresahan. “Aku salah ya, Nay?” “Salah karena ninggalin kamu dulu… dengan alasan yang bahkan aku sendiri gak sepenuhnya yakin.” Reyhan menunduk. Dulu ia pikir Nayla terlalu datar, terlalu teratur, terlalu tenang. Tapi sekarang, justru ketenangan Nayla itu yang menghantuinya. Keteguhan sikapnya. Cara bicaranya yang pelan tapi menusuk. Pandangannya yang tajam namun penuh luka. Dan yang paling mengganggunya adalah… Nayla tak menunjukkan sedikit pun bahwa ia masih menginginkannya. "Kenapa kamu justru makin kuat, Nay?" "Kenapa kamu gak jatuh seperti yang kubayangkan?" Reyhan menggenggam pagar balkon erat-erat. Ada rasa sakit di dadanya yang tak bisa dijelaskan. Rasa yang dulu ia pikir tak akan kembali. Tapi kini, menghantamnya tanpa ampun. Dan saat ia menutup mata, bukan wajah Rania yang muncul. Tapi Nayla. Dengan tatapannya yang dingin. Dengan luka yang belum sembuh. Dan dengan senyum yang menyiratkan satu hal: “Aku sudah tak butuh kamu lagi.” Reyhan membuka mata perlahan. Dan untuk pertama kalinya sejak bertemu Nayla kembali… ia takut kehilangan. Trlalu egois bukan? * * * Hello, selamat membaca yaaa semoga suka sama cerita aku ini yaa💋 Sampai jumpa di bab selanjutnya🫶🏼Pagi itu, kantor Nayla terasa lebih sunyi dari biasanya. Langkah-langkah para staf terdengar seperti gema, seolah seluruh ruangan sedang menahan napas. Nayla berjalan dengan tenang menuju ruang rapat utama, jas hitamnya melambai mengikuti langkah kaki yang mantap. Di tangan kirinya, ia membawa berkas tebal bertuliskan “Rekonsiliasi Data Operasional 3 Tahun Terakhir.” Sebuah dokumen yang tak seharusnya dibuka sembarangan kecuali jika seseorang berniat membuka luka lama dan menggali bangkai yang sudah dikubur dalam-dalam. Di dalam ruangan, para petinggi perusahaan sudah duduk rapi, termasuk dua auditor eksternal yang sengaja didatangkan Nayla secara pribadi tanpa sepengetahuan Reyhan. Begitu Nayla membuka presentasinya, ruangan yang semula tenang berubah menjadi medan sunyi yang penuh ketegangan. “Data yang akan saya paparkan pagi ini tidak hanya berkaitan dengan operasional, tetapi juga... integritas internal perusahaan kita selama tiga tahun terakhir,” ucap Nayla pelan, namun tajam
Langkah Nayla terdengar mantap saat memasuki ruang kerjanya keesokan harinya. Tak ada yang berubah dari penampilannya masih rapi, elegan, dan tak bercela. Tapi auranya… berbeda. Sekretaris yang menyapanya pun merasa ragu sejenak, seolah bisa mencium aroma badai yang dibawa oleh wanita itu. Di balik pintu ruangannya yang tertutup, Nayla duduk. Ia menatap layar laptop dengan tatapan kosong. Tapi pikirannya tidak kosong justru penuh strategi. Satu per satu, kepingan puzzle itu mulai tersusun. Dan kini, dia tahu arah permainan ini. Bukan hanya Rania, bukan hanya Reyhan. Tapi orang-orang di balik mereka. Dan yang paling menyakitkan: semuanya dimulai jauh sebelum dia tahu mereka ada. Ia membuka file dokumen yang Arga kirimkan melalui email bukti-bukti lanjutan. Transkrip pesan, tangkapan layar percakapan, dan informasi rekening. Semuanya mengarah pada satu hal: permainan lama yang menjadikannya pion. "Kamu pikir aku hanya akan menangis di sudut kamar setelah tahu semua ini, Rania? Kamu
Pagi itu, langit tampak bersih. Terlalu bersih, hingga membuat Nayla merasa seperti alam sedang mengejek kekacauan yang selama ini ia simpan di dalam. Tapi ia tidak lagi goyah. Sudah cukup malam yang ia habiskan untuk menangis tanpa suara. Sudah cukup hari-hari di mana dirinya merasa tidak cukup baik. Kini, Nayla berdiri tegak di depan cermin besar di kamarnya. Wajah yang menatap balik padanya bukan lagi wanita yang patah karena cinta. Tapi seorang wanita yang telah melewati badai dan masih berdiri utuh. Ia memakai blouse putih bersih dengan blazer abu terang, rambut diikat rapi, bibirnya diberi sentuhan nude lembut. Elegan. Tenang. Penuh kendali. Pagi ini ia punya pertemuan penting bukan hanya soal proyek kerja sama, tapi juga momen di mana ia akan duduk berdampingan dengan Reyhan dan Rania. Ironisnya, mereka tak tahu bahwa Nayla lah yang menjadi penghubung dua perusahaan itu. Ia yang menentukan apakah kerja sama ini akan berjalan... atau tidak. Dan ia menyukai posisi ini. Bukan
Senja berganti malam tanpa aba-aba, dan gedung-gedung yang menjulang di pusat kota mulai menyala satu per satu seperti barisan lilin dalam gelap. Di lantai tertinggi kantor Arsal Group, Reyhan duduk sendiri di ruang kerjanya. Lampu ruangan tidak ia nyalakan sepenuhnya, hanya cahaya dari jendela dan layar laptop yang menyinari wajahnya yang murung. Ia menatap layar kosong, kursor berkedip-kedip, menanti diketikkan sesuatu. Tapi pikirannya jauh. Terlalu jauh untuk dijangkau oleh urusan kerja. Sudah berhari-hari ini, wajah Nayla muncul di sela-sela waktunya yang sunyi. Diam-diam, tiba-tiba, tanpa permisi. Wajah itu... tidak lagi penuh luka. Tidak juga penuh harap. Wajah itu kini tenang, tapi asing. Dan itu membuat Reyhan gelisah. Dulu, Nayla adalah sosok yang selalu menunggu. Menunggu kabarnya. Menunggu perhatiannya. Menunggu malam pulang lebih awal. Tapi sekarang, ia justru merasa Nayla yang terus berjalan, dan dirinya yang tertinggal. Dan perasaan itu menusuk seperti duri tak kasa
Ruang rapat siang itu dipenuhi suara laptop yang menyala, gesekan pena, dan desahan napas yang berusaha tetap tenang. Nayla duduk di ujung meja panjang, bersebelahan dengan tim internal yang sudah ia kenal, tapi di seberangnya kini duduk dua orang yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari yang ia harapkan.Reyhan. Dengan kemeja biru gelap dan tatapan tenang yang dulu pernah membuat Nayla jatuh. Kini, mata itu terasa seperti dinding batu. Kaku. Dingin. Tapi tidak bisa ia abaikan.Dan Rania. Duduk di sisi Reyhan dengan senyum tipisnya yang menyebalkan. Sikapnya masih angkuh, tapi kali ini lebih hati-hati. Seperti wanita yang tahu bahwa sesuatu telah berubah. Bahwa Nayla bukan lagi sekadar masa lalu yang bisa disingkirkan dengan mudah.Lalu ada Arga. Duduk di samping Nayla, dengan sikap profesional yang tak bercela. Tapi sesekali, Nayla menangkap sorot khawatir di matanya—sorot yang hanya bisa dimiliki seseorang yang benar-benar peduli.Diskusi dimulai. Nayla menyampaikan progres
Gedung itu tak berubah. Aroma ruangan yang steril, lantai marmer yang mengilap, dan senyum-senyum palsu dari para karyawan yang berpapasan. Tapi kali ini, ada satu hal yang berbeda—Nayla sudah tak lagi merasa kecil. Langkahnya terhenti saat pintu ruang rapat terbuka. Seseorang melangkah keluar dengan suara hak tinggi berderak pelan. Gaun midi biru laut yang elegan membalut tubuhnya sempurna. Rambut panjang terurai. Wajahnya bersih dan riasannya halus. Namun, matanya—tetap sama: menilai, meremehkan, dan menusuk dalam diam. Rania. Untuk sesaat, dunia terasa membisu. Mereka berdiri hanya beberapa meter, berhadapan, tapi tak satu kata pun keluar. Waktu seolah mengulur napasnya, mempermainkan denyut jantung Nayla yang entah kenapa terasa lebih cepat. Tapi ia berdiri tegak, dagu terangkat sedikit—tanda bahwa ia tak akan jatuh lagi hanya karena wanita ini. Rania tersenyum, sebuah senyum yang begitu manis... tapi pahit bagi yang tahu siapa dia sebenarnya. "Aku dengar kamu akan kerja bar