Share

Bab 4

"Mas Ikbal?"

"Lho, Raina?"

Aku tersenyum. Dia adalah kakak iparku. Suaminya Mbak Dania, kakak Mas Arga. Selama ini, hanya dialah orang yang mengetahui wajahku yang mengenakan make up.Itu semua berawal dari aku yang keluar rumah, lalu duduk sebentar di bangku depan warung sebelah rumah. Kala itu Mas Ikbal mau beli rokok, tak sengaja melihatku memakai make up. Ibu warung juga sudah kusogok untuk tak membocorkan rahasia ini. Kalau Mas Ikbal, Alhamdulillah dia mau membantuku merahasiakannya.

"Kamu ngapain ke sini, Rain?"

"Ada perlu, Mas. Iya, ada perlu," jawabku terbata.

Ia memang mengetahui wajahku, tapi tak mengetahui jika aku memiliki usaha dan bisa dibilang sukses.

"Oh, gitu. Mas habis beli anting untuk Mbakmu."

Aku mengangguk, namun termenung seketika saat kulihat Mas Arga keluar dari tokoku sambil menggandeng seseorang.

"Ya sudah, Rain, Mas pulang dulu, ya."

"Oh, iya, Mas. Hati-hati di jalan, ya."

Kini, jarakku dengan Mas Arga sudah dekat. Apakah dia akan mengenaliku?

Aku berjalan tergesa-gesa. Namun na'as, bukannya menghindar,, aku malah bertabrakan dengannya. Buru-buru kutundukkan kepala, jangan sampai ia melihat wajahku.

"Ehm ... Maaf, Mbak. Tadi saya terlalu fokus."

"Oh, iya, nggak papa, Mas."

"Suara ini..."

Mampus!

Aku segera masuk ke dalam, khawatir jika Mas Arga melihat wajahku ini. karena biar bagaimanapun,ia pasti akan mengenali meski aku menggunakan make up.

"Baru ngeliat yang kaya gitu aja udah melongo kamu, Mas!"

"Jangan gitu dong, Shelina. Di hati Mas cuma ada kamu doang. Cuma kok tadi suaranya mirip dengan Raina, ya?"

"Ngelantur kamu, Mas? Istrimu kan ada di rumah, lagian dandanannya nggak kaya wanita tadi kan? katamu, istrimu itu selalu mengenakan daster.

Aku tersenyum miris. Ternyata, dia adalah Shelina? Hatiku seakan sudah mati rasa, bahkan setelah mengetahui bahwa Mas Arga mengatakan bahwa dihatinya hanya ada Shelina. Sudah jelas, bahwa aku tak pernah mampir di sana. Lebih miris lagi, ternyata wanita itu tahu kalau Mas Arga memiliki sorang istri. Lantas apakah dia mau jadi yang kedua? Gila!

"Siang, Bu," ucap dua karyawanku.

"Siang. Mana Indah?"

"Ada di dalam, Bu. Sedang mencatat pesanan pelanggan."

"Oke. Saya ke dalam dulu, ya."

Mereka mengangguk, kemudian aku masuk ke dalam ruanganku dulu, yang sekarang menjadi ruangan Indah.

"Ndah," panggilku.

"Eh, Ibu kapan datang?"

"Baru aja. Lagi ngapain? Serius amat?"

"Ini, ada pesanan cincin pernikahan, Bu."

Aku jadi teringat dengan kedatangan Mas Arga dan juga wanita bernama Shelina itu.

"Dari siapa?"

Indah tampak gugup, juga seperti takut-takut akan menjawabnya. Kini, aku mengerti sudah.

"Dari suamiku?"

Indah mengangguk.

"Tadinya mau saya laporkan, tapi keburu Ibu datang."

"Untuk kapan itu?"

"Minggu depan, Bu."

Aku mengangguk.

"Jadi bagaimana ini, Bu? Apa mau dibatalkan saja?"

"Tidak. Tetap terima dan urus itu."

"Apa Ibu baik-baik saja?"

"Kemarin mungkin tidak, sekarang aku sudah bangkit. Makasih infonya, Ndah."

-

Aku pulang setelah adzan magrib. Sudah dapat kubayangkan bagaimana cerewet dan berisiknya duo kunti itu. Aku sudah membersihkan wajah, sekarang tinggal menyiapkan hati juga pikiran agar tidak stress di dalam neraka yang berkedok rumah itu.

"Assalamu'alaikum," ucapku seraya memasuki rumah.

"Ehm ... Bagus, ya. Kenapa gak pulang sekalian, hah? Tau nggak, tadi siang kami kelaparan sedangkan kamu pergi tanpa masak dulu!" cerocos Ibu tanpa henti.

Aku mengedarkan pandangan. Mobil Mas Arga ada di depan, tapi tak kulihat penampakan orang itu. Apakah ada di kamar?

"Heh, denger gak kamu?"

"Iya, Bu."

"Iya? Cuma iya doang?"

"Lah terus? Harus bagaimana? Kan yang laper Ibu. Apa hubungannya sama Raina?"

"Oh, berani macem-macem kamu, ya!"

Tangan Ibu sudah di udara, bersiap menamparku. Tapi, dengan segera kutangkap. Takkan kubiarkan ia menyiksaku lagi.

"Cukup, Bu! Aku tak mau dijadikan babu lagi. Mulai besok, Raina mau kerja. Tadi telat karena cari kerjaan," ucapku sambil masuk ke dalam kamar.

Mataku hampir saja keluar dari tempatnya, saat kulihat pemandangan di depan sana.

"Kamu siapa?" tanyaku sambil memasuki kamar.

Wanita di dalam kamarku, adalah Shelina. Ia terlihat sedang duduk di meja riasku. Sedangkan di kamar mandi, terdengar bunyi gemericik air.

Ya Allah, apa yang telah mereka lakukan di kamarku?

"Dia Shelina. Anaknya adik almarhum bapak. Lina, kenalkan, ini Mbakmu. Istrinya Mas Arga."

"Shelina." Ia mengulurkan tangan, seolah memang benar ingin mengajakku berkenalan.

Ragu, kuulurkan tangan juga, tapi tak kugenggam. Jijik dengan mereka. Kuamati kasur yang lebih rapi dari sebelumnya. Padahal tadi pagi, aku meninggalkan kamar ini dengan bantal yang masih kusenderkan di kepala ranjang. Kenapa sekarang malah berubah?

"Maaf, ya, Mbak. Tadi saya pakai kamar Mbak untuk istirahat. Habisnya capek."

Aku mengangguk. Berusaha membenahi hati. Kulirik pintu kamar mandi.

"Ah, iya. Saya lupa mematikan air. Sebentar, Mbak." Shelina tampak masuk, lalu keluar lagi setelah mematikan kran air.

"Ya sudah, saya mau istirahat," ucapku sambil meletakkan tasku, tas yang sudah bertahun-tahun kupakai untuk memuluskan penyamaranku.

"Eh, iya..."

"Nggak bisa! Kamu harus masak dulu, Rain. Kami semua kelaparan."

"Kan ada Shelina, Bu. Raina capek."

"Alah, gayamu! Abis ngelayap aja capek!"

"Sudah, Bu. Nanti biar Shelina bikinkan nasi goreng, ya?" ucap Shelina, mencoba memberi jalan keluar.

Cih! Bahkan suaranya tadi siang yang terkesan ketus. Beginikah caranya bersikap di depan Ibu mertuaku? Hanya untuk formalitas saja?

"Ya sudah, ayo! Jangan lama-lama di sini. Nanti kamu ketularan mandul lagi. Kan sebentar-" ucapan Ibu berhenti tiba-tiba. Shelina tampak panik.

"Sebentar apa, Bu?" tanyaku pura-pura bodoh.

"Kan sebentar lagi Shelina ini mau nikah. Ya, kan, Sayang?"

Miris! Aku bahkan tak pernah dipanggilnya begitu. Apa karena menurutnya, aku adalah orang miskin? Begitu?

Mereka akhirnya keluar setelah Shelina pamitan padaku. Dasar ular! Aku takkan tertipu olehmu.

Setelah berbaring cukup lama, kuputuskna untuk mandi. Namun, keterkejutanku kian bertambah saat melihat isi kamar mandi.

Shampo, sabun serta conditioner milikku tumpah di mana-mana. Ini pasti kerjaan Shelina. Sudah tua aja masih gak bisa ngurusin beginian?

"Shelina!" panggilku ketika sudah berada di belakangnya.

Ia buru-buru menghampiriku.

"Kenapa, Mbak?"

"Kamu yang abis pake shampo, conditioner sama sabunku?" tanyaku.

"Iya, Mbak. Maaf ga izin. Tapi kata Tante boleh, kok."

"Iya, tapi tutup kembali lah. Sayang banget itu isinya. Aku bahkan belom punya anak, tapi keadaan kamar mandiku seperti habis dibikin mainan anak-anak!" keluhku. Baru kali ini, aku mengeluarkan unek-unekku.

"Jangan kurang ajar kamu sama Lina, Rain. Dia ini anak orang kaya, ga biasa ngelakuin hal kaya gitu!" bela Ibu.

Ya ya ya, dia anak orang kaya, aku anak orang miskin, makanya wajar aja dia yang ngebuka terus aku yang nutupin, gitu?

"Tapi, Ma-"

"Sudah! Tibang kaya gitu aja jadi masalah. Ga usah lebay."

Aku hanya mengelus dada, kemudian masuk ke dalam kamar kembali. Menunggu Mas Arga pulang.

"Assalamu'alaikum." Suara Mas Arga terlihat menggema.

"Wa'alaikum salam," jawabku sambil turun dari ranjang. Hendak melakukan tugasku sebagai istri. Yaitu menyiapkan keperluannya dan juga membawakan tas kerjanya. Meskipun hati ini kecewa, tapi tetap kulakukan hal-hal itu seperti biasa. Sampai di luar, kakiku berhenti bergerak.

"Apa-apaan kamu, Lina?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status