Share

Bab 4

last update Last Updated: 2022-10-13 17:13:53

"Mas Ikbal?"

"Lho, Raina?"

Aku tersenyum. Dia adalah kakak iparku. Suaminya Mbak Dania, kakak Mas Arga. Selama ini, hanya dialah orang yang mengetahui wajahku yang mengenakan make up.Itu semua berawal dari aku yang keluar rumah, lalu duduk sebentar di bangku depan warung sebelah rumah. Kala itu Mas Ikbal mau beli rokok, tak sengaja melihatku memakai make up. Ibu warung juga sudah kusogok untuk tak membocorkan rahasia ini. Kalau Mas Ikbal, Alhamdulillah dia mau membantuku merahasiakannya.

"Kamu ngapain ke sini, Rain?"

"Ada perlu, Mas. Iya, ada perlu," jawabku terbata.

Ia memang mengetahui wajahku, tapi tak mengetahui jika aku memiliki usaha dan bisa dibilang sukses.

"Oh, gitu. Mas habis beli anting untuk Mbakmu."

Aku mengangguk, namun termenung seketika saat kulihat Mas Arga keluar dari tokoku sambil menggandeng seseorang.

"Ya sudah, Rain, Mas pulang dulu, ya."

"Oh, iya, Mas. Hati-hati di jalan, ya."

Kini, jarakku dengan Mas Arga sudah dekat. Apakah dia akan mengenaliku?

Aku berjalan tergesa-gesa. Namun na'as, bukannya menghindar,, aku malah bertabrakan dengannya. Buru-buru kutundukkan kepala, jangan sampai ia melihat wajahku.

"Ehm ... Maaf, Mbak. Tadi saya terlalu fokus."

"Oh, iya, nggak papa, Mas."

"Suara ini..."

Mampus!

Aku segera masuk ke dalam, khawatir jika Mas Arga melihat wajahku ini. karena biar bagaimanapun,ia pasti akan mengenali meski aku menggunakan make up.

"Baru ngeliat yang kaya gitu aja udah melongo kamu, Mas!"

"Jangan gitu dong, Shelina. Di hati Mas cuma ada kamu doang. Cuma kok tadi suaranya mirip dengan Raina, ya?"

"Ngelantur kamu, Mas? Istrimu kan ada di rumah, lagian dandanannya nggak kaya wanita tadi kan? katamu, istrimu itu selalu mengenakan daster.

Aku tersenyum miris. Ternyata, dia adalah Shelina? Hatiku seakan sudah mati rasa, bahkan setelah mengetahui bahwa Mas Arga mengatakan bahwa dihatinya hanya ada Shelina. Sudah jelas, bahwa aku tak pernah mampir di sana. Lebih miris lagi, ternyata wanita itu tahu kalau Mas Arga memiliki sorang istri. Lantas apakah dia mau jadi yang kedua? Gila!

"Siang, Bu," ucap dua karyawanku.

"Siang. Mana Indah?"

"Ada di dalam, Bu. Sedang mencatat pesanan pelanggan."

"Oke. Saya ke dalam dulu, ya."

Mereka mengangguk, kemudian aku masuk ke dalam ruanganku dulu, yang sekarang menjadi ruangan Indah.

"Ndah," panggilku.

"Eh, Ibu kapan datang?"

"Baru aja. Lagi ngapain? Serius amat?"

"Ini, ada pesanan cincin pernikahan, Bu."

Aku jadi teringat dengan kedatangan Mas Arga dan juga wanita bernama Shelina itu.

"Dari siapa?"

Indah tampak gugup, juga seperti takut-takut akan menjawabnya. Kini, aku mengerti sudah.

"Dari suamiku?"

Indah mengangguk.

"Tadinya mau saya laporkan, tapi keburu Ibu datang."

"Untuk kapan itu?"

"Minggu depan, Bu."

Aku mengangguk.

"Jadi bagaimana ini, Bu? Apa mau dibatalkan saja?"

"Tidak. Tetap terima dan urus itu."

"Apa Ibu baik-baik saja?"

"Kemarin mungkin tidak, sekarang aku sudah bangkit. Makasih infonya, Ndah."

-

Aku pulang setelah adzan magrib. Sudah dapat kubayangkan bagaimana cerewet dan berisiknya duo kunti itu. Aku sudah membersihkan wajah, sekarang tinggal menyiapkan hati juga pikiran agar tidak stress di dalam neraka yang berkedok rumah itu.

"Assalamu'alaikum," ucapku seraya memasuki rumah.

"Ehm ... Bagus, ya. Kenapa gak pulang sekalian, hah? Tau nggak, tadi siang kami kelaparan sedangkan kamu pergi tanpa masak dulu!" cerocos Ibu tanpa henti.

Aku mengedarkan pandangan. Mobil Mas Arga ada di depan, tapi tak kulihat penampakan orang itu. Apakah ada di kamar?

"Heh, denger gak kamu?"

"Iya, Bu."

"Iya? Cuma iya doang?"

"Lah terus? Harus bagaimana? Kan yang laper Ibu. Apa hubungannya sama Raina?"

"Oh, berani macem-macem kamu, ya!"

Tangan Ibu sudah di udara, bersiap menamparku. Tapi, dengan segera kutangkap. Takkan kubiarkan ia menyiksaku lagi.

"Cukup, Bu! Aku tak mau dijadikan babu lagi. Mulai besok, Raina mau kerja. Tadi telat karena cari kerjaan," ucapku sambil masuk ke dalam kamar.

Mataku hampir saja keluar dari tempatnya, saat kulihat pemandangan di depan sana.

"Kamu siapa?" tanyaku sambil memasuki kamar.

Wanita di dalam kamarku, adalah Shelina. Ia terlihat sedang duduk di meja riasku. Sedangkan di kamar mandi, terdengar bunyi gemericik air.

Ya Allah, apa yang telah mereka lakukan di kamarku?

"Dia Shelina. Anaknya adik almarhum bapak. Lina, kenalkan, ini Mbakmu. Istrinya Mas Arga."

"Shelina." Ia mengulurkan tangan, seolah memang benar ingin mengajakku berkenalan.

Ragu, kuulurkan tangan juga, tapi tak kugenggam. Jijik dengan mereka. Kuamati kasur yang lebih rapi dari sebelumnya. Padahal tadi pagi, aku meninggalkan kamar ini dengan bantal yang masih kusenderkan di kepala ranjang. Kenapa sekarang malah berubah?

"Maaf, ya, Mbak. Tadi saya pakai kamar Mbak untuk istirahat. Habisnya capek."

Aku mengangguk. Berusaha membenahi hati. Kulirik pintu kamar mandi.

"Ah, iya. Saya lupa mematikan air. Sebentar, Mbak." Shelina tampak masuk, lalu keluar lagi setelah mematikan kran air.

"Ya sudah, saya mau istirahat," ucapku sambil meletakkan tasku, tas yang sudah bertahun-tahun kupakai untuk memuluskan penyamaranku.

"Eh, iya..."

"Nggak bisa! Kamu harus masak dulu, Rain. Kami semua kelaparan."

"Kan ada Shelina, Bu. Raina capek."

"Alah, gayamu! Abis ngelayap aja capek!"

"Sudah, Bu. Nanti biar Shelina bikinkan nasi goreng, ya?" ucap Shelina, mencoba memberi jalan keluar.

Cih! Bahkan suaranya tadi siang yang terkesan ketus. Beginikah caranya bersikap di depan Ibu mertuaku? Hanya untuk formalitas saja?

"Ya sudah, ayo! Jangan lama-lama di sini. Nanti kamu ketularan mandul lagi. Kan sebentar-" ucapan Ibu berhenti tiba-tiba. Shelina tampak panik.

"Sebentar apa, Bu?" tanyaku pura-pura bodoh.

"Kan sebentar lagi Shelina ini mau nikah. Ya, kan, Sayang?"

Miris! Aku bahkan tak pernah dipanggilnya begitu. Apa karena menurutnya, aku adalah orang miskin? Begitu?

Mereka akhirnya keluar setelah Shelina pamitan padaku. Dasar ular! Aku takkan tertipu olehmu.

Setelah berbaring cukup lama, kuputuskna untuk mandi. Namun, keterkejutanku kian bertambah saat melihat isi kamar mandi.

Shampo, sabun serta conditioner milikku tumpah di mana-mana. Ini pasti kerjaan Shelina. Sudah tua aja masih gak bisa ngurusin beginian?

"Shelina!" panggilku ketika sudah berada di belakangnya.

Ia buru-buru menghampiriku.

"Kenapa, Mbak?"

"Kamu yang abis pake shampo, conditioner sama sabunku?" tanyaku.

"Iya, Mbak. Maaf ga izin. Tapi kata Tante boleh, kok."

"Iya, tapi tutup kembali lah. Sayang banget itu isinya. Aku bahkan belom punya anak, tapi keadaan kamar mandiku seperti habis dibikin mainan anak-anak!" keluhku. Baru kali ini, aku mengeluarkan unek-unekku.

"Jangan kurang ajar kamu sama Lina, Rain. Dia ini anak orang kaya, ga biasa ngelakuin hal kaya gitu!" bela Ibu.

Ya ya ya, dia anak orang kaya, aku anak orang miskin, makanya wajar aja dia yang ngebuka terus aku yang nutupin, gitu?

"Tapi, Ma-"

"Sudah! Tibang kaya gitu aja jadi masalah. Ga usah lebay."

Aku hanya mengelus dada, kemudian masuk ke dalam kamar kembali. Menunggu Mas Arga pulang.

"Assalamu'alaikum." Suara Mas Arga terlihat menggema.

"Wa'alaikum salam," jawabku sambil turun dari ranjang. Hendak melakukan tugasku sebagai istri. Yaitu menyiapkan keperluannya dan juga membawakan tas kerjanya. Meskipun hati ini kecewa, tapi tetap kulakukan hal-hal itu seperti biasa. Sampai di luar, kakiku berhenti bergerak.

"Apa-apaan kamu, Lina?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Balasan Untuk Suami Pelit   BAB 58-- TAMAT

    BAB 58 Aku tak bisa tinggal diam saja ketika melihat suamiku diharapkan oleh perempuan lain. Terlebih ini adalah oleh wanita di masa lalu Mas Uji. "Ayo, Na, kita teruskan jalan-jalan. Misi ya, Nak Riris." Seperti ada kekecewaan di kedua manik hitam perempuan manis itu. Seolah-olah mengharapkan sesuatu yang memang sangat ia inginkan. "Umi duluan, Nana mau ngobrol dulu sama Mbak Riris." Riris membeliakkan matanua seakan bingung dengan keinginanku. Aku meminta Umi untuk menunggu di warung dekat lapangan. "Ada apa, Mbak?" tanya Riris. "Begini ya, Mbak Riris. Aku tak ingin menggunakan cara kasar. Singkatnya saja, tolong jauhi suami saya. Mbak Riris sudah tahu Mas Uji memiliki seodang istri, kenapa masih mengharapkannya?" tanyaku pada Riris yang langsung menunduk. Kupikir, wanita itu mengerti, namun ternyata tidak. Ia justru terkekeh mendengar ucapanku. "Lantas, kalau dia sudah menikah memang kenapa? Banyak kok, pernikahan yang hancur karena orang ketiga." Dadaku berdebar kencang

  • Balasan Untuk Suami Pelit   BAB 57

    "Eh, Nak Raina. Nggak papa, tadi Bibi salah ngomong. Kalau begitu, aku pulang dulu ya mbak, soalnya bentar lagi mau ada tamu. Maaf gak bisa ngebantu dulu," ucap Bi Waroh. Umi menggelengkan kepalanya, Aku hanya bisa beristighfar dan mencoba sabar untuk menghadapi bibinya Suamiku itu. Aku sadar, jumlah manusia itu banyak dan tak mungkin semuanya itu menyukai kita. Ada saja permasalahan yang terjadi, meski kita hanya diam saja. "Mau masak apa, Mi? Biar Nana bantu." "Nggak usah, Na. Umi bisa melakukannya sendiri, lagi pula kamu di rumah Mama kan nggak pernah ngapa-ngapain, Masa Iya Umi mau menyuruh-nyuruh kamu." Aku terkekeh, memang banyak orang yang mengira jika Mama terlalu memanjakan aku. Padahal sebenarnya tidak, karena aku pun mengerjakan pekerjaan rumah selayaknya anak pada umumnya ketika di rumah. "Nggak, Mi, Nana juga sering masak di rumah. Enak masakannya, Mi," ucap Mas Uji sambil keluar dari kamar. "Iyakah? Wah Umi nggak tahu, Ayo kalau gitu sini, Na, bantu kupaskan kentan

  • Balasan Untuk Suami Pelit   BAB 56

    BAB 56 "Maafkan Riris, ya, dia memang terkenal pendiam. Jadinya begitu," ucap Bu Ina. Pendiam? Dari mananya? Terlihat sekali jika anaknya itu memendam perasaan pada suamiku. "Iya, Bu, nggak papa," jawabku. Mas Uji mengajakku keliling kampung lagi. Kampung suamiku memang sangat asri lingkungannya. Banyak pepohonan yang masih rindang. "Mas, Riris beneran pendiam?" tanyaku. "Iya, memang begitu. Kenapa?" "Nggak papa." Kami melanjutkan perjalanan hingga akhirnya sampai di rumah. Rupanya, Umi sudah membuatkan kudapan. Aku jadi tak enak, karena tak membantunya. "Maaf ya, Umi, Raina nggak bantuin." "Nggak papa, Nak Rain. Ayo, dimakan." Aku mengangguk, kami lalu lanjut mengobrol tentang masa-masa Mas Uji setelah pindah dulu. Ternyata, Umi tak jauh berbeda. "Sudah, Mi. Uji malu, ah." Umi terkekeh, lalu mengajakku untuk ikut pengajian nanti malam. Sementara Mas Uji berlalu untuk mandi sore. "Di mana, Mi?" tanyaku. "Ada di mushola, tadi Uji ngajak ke sana, nggak? Ke guru ngajinya U

  • Balasan Untuk Suami Pelit   BAB 55

    BAB 55Aku kembali ke kamar. Perasaan senang yang tercipta dari rumah tadi mendadak menguap begitu saja. Hatiku sakit saat lagi-lagi mendapat hinaan semacam itu. Meski tak diucapkan secara langsung, tapi itu bisa membuatnya lebih sakit hati. "Kenapa balik lagi?" tanya Mas Uji. "Oh, nggak papa. Ada Bik Waroh di belakang," jawabku. "Apa Bik Waroh ngomong yang nyakitin hati?" tanya Mas Uji sambil memegang pundakku. "Nggak, Mas. Cuma aku memang agak capek aja." "Oh, ya sudah, istirahat. Kamu kan akhir-akhir ini sering bolak-balik ke toko. Belum ke toko cabang. Jadi, selama di sini, kamu bisa istirahat." Aku mengangguk. Kantor Mas Uji dengan rumah Umi jauh lebih dekat daripada dari rumahku. Itu sebabnya, aku menyetujui ketika kami akan tinggal di sini selama seminggu. Aku keluar kamar, lalu melihat foto keluarga yang sepertinya sudah lama diambilnya. Di sana ada almarhum bapak mertua. "Sayang sekali, Raina nggak bisa bertemu dengan Bapak," ucapku sambil mengelus bingkai fotonya. "

  • Balasan Untuk Suami Pelit   BAB 54

    Aku menghela napas, ragu akan menjelaskan semuanya. Bukan tidak mungkin, Mas Uji malah akan menuduhku melakukan alibi untuk menutupi semua kesalahanku. "Laki-laki emang begitu kalau sudah cemburu, Na. Dulu saja Papamu begitu." "Iyakah? Mama kan nggak punya mantan suami," ucapku sambil cemberut. "Kata siapa? Mama punya." "Hah? Serius? Lalu, apa Raina bukan anak Papa?" tanyaku dengan sendu. "Hust! Ngawur. Kamu ya anak Mama dan Papa. Dulu, Mama dijodohkan. Nggak lama pernikahan, cuma bertahan satu bulan aja. Mama kabur dan nggak mau kembali ke rumah itu. "Wah, Rain baru tahu soal ini, Ma." "Memang sengaja dirahasiakan. Buat apa? Mama jadi kepikiran sama kamu. Kenapa nasib kita sama? Apa ini karma dari perbuatan kami di masa lalu?" "Tidak, Ma. Ini sudah takdirnya. Dulu, pas Raina menikah dengan Mas Arga, itu sebuah kesalahan sehingga pernikahan pun gagal. Semoga dengan Mas Uji ini, kami bisa akur." "Aamiin. Ya sudah, Mama masuk dulu. Sudah adzan magrib." Aku mengangguk, lalu ik

  • Balasan Untuk Suami Pelit   BAB 53

    "Mas?'" ulangku. Aneh, Mas Uji bahkan tak melirik sekalipun. Aku menghela napas, lalu segera mandi. Sebaiknya aku memang membersihkan diri terlebih dahulu, sebelum aku bertanya padanya. Usai mandi, masih kulihat Mas Uji di depan layar laptopnya. Ia bahkan tak bersuara sama sekali. "Mas, kamu kenapa sih?" tanyaku. "Kamu nanya aku kenapa? Harusnya aku yang nanya, kamu kenapa? Apa kamu mau kembali ke mantan suamimu?" Aku mengerutkan kening saat mendengar ucapan Mas Uji. Apa maksudnya? Kapan aku bilang akan kembali ke mantan suamiku? Jika pun iya, aku pasti sudah gila. Atau jangan-jangan.... "Mas apa kamu tadi-" "Ya, aku melihatmu masuk ke rumahnya Arga, mantan suamimu." Aku tersentak mendengar teriakan Mas Uji. Apakah ia cemburu? Seandainya iya, bukankah harusnya bicara pelan-pelan?"Dari mana kamu tahu, Mas?" "Jelas aku tahu, karena aku mengikutimu dari belakang," jawab Mas Uji. "Apa?" "Kenapa? Aku mau turun di toko, tapi ngeliat mobilmu pergi. Kupikir kamu mau pulang, terny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status