Share

Bab 5

Aku menatap tak percaya pada pemandangan di hadapanku. Lina, yang katanya tadi memasak, justru memporak-porandakan dapur. Sedangkan ia tengah bergelayut mesra pada Mas Arga, suamiku.

"Eh." Ia buru-buru melepaskan tangannya, kemudian menarik diri dari Mas Arga.

"Rain, ini bawakan!" perintah Mas Arga tepat setelah Shelina menjauh darinya.

Kuambil tas itu, lalu kucium takzim tangan Mas Arga. Hal yang biasa kulakukan, namun sekarang Mas Arga terlihat canggung. Biasanya, suamiku itu akan langsung mencium keningku, namun sekarang tidak. Tentu, karena di sini sedang ada calon istri keduanya.

Nyess!

Mengingat Mas Arga yang akan menikah lagi, hatiku kembali patah. Tak dapat kupungkiri jika di hatiku ini ada nama MAs Arga. Namun, aku tak boleh lemah. Jika lemah, mereka kan menindasku. Hatiku boleh sakit, tapi ragaku harus tetap sehat.

"Dia siapa, Ma?" tanya Mas Arga.

Mama terlihat terkejut, begitupun dengan Megan. Ah, aku tahu. Jadi mereka belum membicarakan tentang Shelina ini akan menjadi siapa ketika di hadapanku?

"Memang kamu nggak kenal dia, Mas?" tanyaku sambil menatap lekat ke matanya.

"Eh? Eng..."

Aku terus menatapnya, berusaha mengintimidasi lewat mata ini.

"Kamu ini gimana, sih, Mas? Dia ini Kak Lina, anaknya Bude Warni. Masa lupa?" Oke, kali ini Megan berusaha melindungi kakaknya.

"Oh, iya! Yang adiknya bapak itu, kan? Ya Allah, Lina, kamu udah besar ternyata."

Kuputar bola mata, jengah. Ternyata, satu keluarga ini memang jago akting.

"Lina, itu kenapa dapur berantakan?"

"Belum selesai masak, Mbak."

"Yaudah, selesaikan. Mumpung Mas Arga sudah pulang, nanti sekalian kita makan malam bersama." Kali ini, aku mencoba bersikap senatural mungkin menjadi istri. Toh, wanita j*lang ini tak tahu bagaimana Mas Arga memperlakukanku selama di rumah.

"Ayo, Mas. Kita ke kamar. Kamu harus mandi, kan?" Kugandeng mesra tangan Mas Arga, dan otomatis menggeser badan Lina yang berdiri di samping suamiku.

Ketika Mas Arga mandi, aku keluar kamar. Kulihat dapur sudah lumayan rapi, di atas kompor juga ada panci yang isinya entah apa tengah dimasak di atas kompor. Sedangkan yang bertugas masak entah di mana.

Aku berjingkat ke dekat kompor, lalu membuka tutup panci itu. Oh, ternyata dia memasak sup? Ide jahilku muncul.

Kuambil ketumbar bubuk dan menaruhnya sangat banyak di sup itu, tak lupa kutaruh garam serta micin yang sangat banyak. Setelah selesai, aku buru-buru berjalan ke kamar setelah menutup panci itu.

Mas Arga keluar dari kamar mandi bersamaan dengan aku yang menutup pintu. Ia menatapku. Eh, kenapa?

"Mana bajuku?"

Masya Allah, orang ini! Apa iya baju di atas kasur itu tak ia lihat?

"Itu, lho, Mas. Di atas kasur!"

Mas Arga tersenyum saat melihatku melotot. Eh, dia kenapa?

Kubuka lemari, lalu bergantian mandi. Badan ini rasanya sudah sangat lengket.

Selesai mandi, kami berdua keluar. Sengaja aku tak memakai jilbab dan mengenakan handuk di kepalaku.

Benar tebakanku. Shelina menatap kami dengan tatapan yang sulit kuartikan. Wajahnya cemberut, bibirnya monyong. Aku kini tahu. Ia, pasti tengah cemburu berat.

"Ayo makan, Mas dan Mbak! Tadi aku baru aja mau manggil, eh udah keluar duluan," ucap Shelina yang terus memperhatikan kepalaku. Aku tersenyum geli melihatnya.

"Iya, lagian ngapain kalian lama-lama di kamar?"

"Ah, Ibu..."

Mas Arga menatap Lina yang terlihat cemburu. Aku tahu, pasti ia sangat ingin mengatakan bahwa semua ini hanya salah paham.

Kutarik kursi, lalu mulai mengambil piring. Ternyata Lina telah lebih dulu mengambil nasi. Sudah lapar dia rupanya.

"Mau pake lauk apa, Mas?"

Deg!

Jadi, dia mengambilkan nasi untuk Mas Arga?

"Ehm ... Lina, ambil untukmu sendiri aja. Mas Arga, biar aku yang ambilkan. Aku kan, is-tri-nya," ucapku sambil mengeja serta memberikan intonasi yang lebih jelas lagi.

"Eh, iya, Mbak. Abisnya, aku kebiasaan ambil makan buat Papa," kilahnya.

"Oh, ya sudah. Kalau kamu sudah menganggap Mas Arga sebagai Papamu, kamu boleh ambilkan," ucapku sambil memperhatikannya.

"Eh?"

"Sudah-sudah! Masalah makan aja kalian pada ribut! Lagian kamu, Rain. Tumbena-tumbenan banyak omong hari ini. Biasanya juga cuma diem aja."

"Iya, nih. Mungkin dia takut kalah saing sama Kak Lina, Bu. Secara Kak Lina kan cantik, wangi, sedangkan dia?" Megan menimpali.

Kutatap tajam matanya. Dia terlihat senyum sinis padaku, akupun menyunggingkan senyum yang sama sepertinya. Ia nampak terkejut.

"Nggak papa aku tak cantik, yang penting aku bisa menjaga harga diriku. Daripada cantik, tapi doyannya pacaran di tempat yang gelap apalagi sampai jadi pelakor segala!"

"Apa-apaan kamu, Mbak? Mbak menyindirku?"

Megan tak terima.

"Lho, jadi kamu ngerasa, Gan?"

"Sudah!" Mas Arga berteriak, menyudahi perang dingin antara aku dan Megan.

"Aku mau makan. Kalian berisik banget, sih!"

Aku hanya terdiam. Kulirik Lina tersenyum melihatku dimarahi sama Mas Arga. Belum tahu aja dia, apa yang sudah kulakukan pada masakannya.

"Puih! Makanan apa ini?"

"Maksud Mas apa?"

"Kamu cobain sendiri aja!"

Lina dan Ibu menyuapkan satu sendok makanan ke mulut masing-masing, namun belum sempat mereka mengunyah, makanan itu sudah ditumpahkan kembali ke atas piring.

"Huek! Kukira sup, tapi apa ini? Lina, kamu beneran bisa masak? Kenapa rasanya begini?"

Ingin rasanya aku tertawa jahat!

-

Setelah selesai membenahi meja makan dan membuang sup yang sedikitpun tak tersentuh aku, aku masuk ke dalam kamar untuk memasukkan baju yang sudah kusetrika kemarin.

Saat kubuka lemari Mas Arga, di bagian paling bawah sendiri, aku melihat sebuah map yang tertutup oleh baju. Penasaran, kubuka map itu.

Surat wasiat Bapak.

Apa ini? Inikah wasiat yang Ibu ucapkan tempo hari? Apakah isinya? Aku pun membukanya, dan isinya...

-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status